Koko ni Iru yo (prolog)
Suasana ruang rawat intensif terlihat lengang. Sinar matahari diam-diam menelusup melalui celah jendela. Memberikan sinarnya untuk menghangatkan wajah damai itu. Matanya terpejam. Bibirnya mengatup. Dan helaian rambutnya menghiasi kening indah itu. Suara nada-nada monoton dari berbagai alat rumah sakit yang menopang hidupnya tak berubah sedikitpun. Tak menunjukkan tanda-tanda perubahan berarti.
Ia koma.
Cairan infus masih tetap setia menetes satu demi satu. Menjadi saksi bisu. Lelaki berwajah damai itu tetap terdiam. Terlelap dalam tidur panjangnya. Tak beranjak sejengkal pun. Seperti enggan membuka matanya untuk melihat dunia. Seperti enggan menggerakkan tangannya untuk meraba benda. Seperti enggan membuka bibirnya untuk kembali melantunkan untaian indah. Seperti enggan melakukan apapun.
Senyumannya yang meluluhkan perlahan lenyap. Tatapan matanya yang teduh menghanyutkan kini terpejam. Jemari lentiknya yang biasa memainkan tuts-tuts piano dan menghasilkan dentingan indah kini tergolek kaku. Dan juga kelincahan buku-buku jarinya dalam memetik gitar kini kehilangan kelincahannya.
Hampa.
Itulah yang tersirat dari pemilik wajah pangeran merangkap malaikat itu. Terlelap dalam kesendirian. Berusaha bertahan dari malaikat maut yang siap membawanya kapanpun ia ingin. Seperti boneka. Diam. Diam. Dan diam.
Tim medis terus mencari cara agar lelaki itu cepat tersadar dari koma-nya. Paling tidak ia menunjukkan sedikit perkembangan. Namun nihil. Kian lama, tubuh lemahnya kian melemah. Sedikit demi sedikit fungsi organnya tergerogoti. Semakin jauh, semakin dalam, semakin gelap.
"Hyung, aku tahu kau mendengarku.." ujar seorang lelaki lain yang terlihat lebih muda darinya. Digenggamnya tangan itu erat. Tak peduli buku-buku jarinya memutih. Berusaha mengalirkan kehangatan untuk tangan dingin itu.
"Leluconmu tidak lucu, hyung." Lanjutnya lagi. Setetes air mata bergulir menuruni pipi putihnya. Tidak diterimanya respon apapun. Lelaki itu masih membisu.
"Apa kau tidak lelah terus seperti ini hyung? Apa kau tidak ingin melihat wajahku? Apa kau tidak ingin mengacak rambutku? Apa kau tidak ingin memetik gitarmu lagi untukku hyung?" katanya lirih. Disentuhnya pipi yang dingin itu penuh kasih. Rasa sesak menguasai rongga dadanya. Membuatnya tak bisa menahan isakannya. Menyaksikan Hyung terkasihnya yang biasanya selalu ceria kemudian menjadi boneka membuatnya begitu terguncang.
"Biasanya kau tidak pernah membiarkanku meneteskan air mata," ujarnya ketika ia sudah mulai bisa mengontrol isakannya. "Biasanya begitu aku meneteskan air mata, kau akan langsung mengusapnya seperti ini," lanjutnya. Digerakkannya jari itu mendekati pipinya kemudian disekanya air matanya menggunakan jari Hyungnya.
"Lalu kau tersenyum padaku, menggenggam kedua bahuku, dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Dan itu selalu membuatku yakin akan ucapanmu adalah benar." Katanya berusaha tersenyum. Namun senyuman hambar yang dapat tersungging di bibirnya.
Disandarkannya kepalanya ke sisi ranjang. Dipejamkannya matanya, mencoba merasakan apa yang dirasakan hyungnya.
"Hyung, jika aku bisa, aku ingin bertukar tempat denganmu. Biarlah aku yang merasakan apa yang kau rasakan sekarang, hyung.."
Lelaki itu tetap bergeming. Tak menjawab ataupun sekedar menggerakkan jari. Sinar matahari yang mengenai wajahnya, sedikit membuat wajahnya lebih segar, namun pucat itu masih tersisa. Nada-nada monoton itu tetap tak berubah. Masih tetap sama seperti sebelumnya. Suara isakan kecil perlahan terdengar. Diiringi jatuhnya setetes air mata di punggung tangan berbalut infus itu.
Tanpa disadarinya, setetes air mata juga ikut bergulir di wajah damai bermandikan sinar matahari itu..
To be continued..
