Disclaimer: NARUTO © Masashi Kishimoto

Inspirated by:

J-Drama: Mysterious Transfer Student

Cold as Ice — Fanfiction (Percy Jackson and The Olympian) by Mandi2341

.

Tittle: Another World

Genre: Fantasy, Sci-Fic, Hurt/Comfort, Romance

Rating : T

Pairing: NaruSasu, slight NaruSaku

Summary: Naruto—pangeran matahari yang hidup dalam dunia yang penuh dengan monsters dan titans terkena kutukan. Kutukan tersebut membuatnya harus mengalami rasa sakit yang berkepanjangan. Ia hanya bisa selamat jika orang yang mengutuknya dilenyapkan atau jika dia bisa mendapatkan Batu Moonlith. Sasuke—pangeran bulan yang hidup dalam dunia yang kejam akibat peperangan dan senjata nuklir, hidup-mati nya tergantung pada daya Moonlith yang ia miliki sejak lahir. Keduanya kemudian dipertemukan di dunia parallel di mana Sakura hidup.

Warning! : AU, Sho-Ai, semi-crossovers (with Percy Jackson and The Olympian), OOC, typo(s), dan kekurangan lainnya. Don't Like? Don't Read! Please Leave This Page.

Enjoy and Hope You Like It!

.

Chapter 1: Time Travel

.

New York, Amerika Serikat— D-9.

Namaku Loukas A. Lawrence, 'double blasteran'. Well, maksudku dengan 'double blasteran'; Ibuku—Kushina Uzumaki adalah orang Jepang. Ayahku adalah Dewa Matahari dalam Mitologi Yunani—Apollo. Dengan kata lain, aku juga seorang Demigod atau Manusia Setengah Dewa. Itulah kenapa kusebut diriku 'double blasteran'. Ayahku seorang Dewa yang jatuh cinta kepada manusia. Dia menyamar menjadi manusia dan menggunakan nama Minato Namikaze Lawrence sebelum menjalin hubungan asmara dengan Ibuku. Dan aku sendiri juga mempunyai nama Jepang—Naruto Namikaze.

Aku sudah mempunyai tunangan. Dia adalah puteri Aphrodite (Dewi cinta dan kecantikan) dengan seorang manusia bernama Kizashi Haruno. Nama tunanganku adalah Cherry Princessa Haruno dan nama panggilannya adalah Sakura. Rambutnya berwarna soft pink dan matanya berwarna green-emerald. Aku sangat mencintainya tentu saja, tetapi aku juga mencintai pengawal pribadiku—Sasuke Moriz Uchiha. Ya, aku adalah seorang biseksual. Sasuke juga seorang demigod seperti aku dan Sakura. Demigod putera salah satu dari 3 Dewa terkuat—Hades (saudara Zeus dan Poseidon) – Dewa dunia bawah atau dikenal sebagai Dewa kematian.

"Yeay! Last day of school before summer vacation!" Aku berteriak sambil berjalan ke dalam kelasku. Aku siswa SMA kelas tiga di Goode High School dan Oktober nanti umurku 17 tahun.

Aku senang sekali hari ini karena ini pertama kalinya aku bisa bertahan di sekolah tanpa dikeluarkan. Biasanya aku selalu dikeluarkan dari sekolah, bahkan sebelum aku bisa bertahan selama satu tahun sehingga aku sering sekali harus pindah sekolah. Dan bagian terbaiknya adalah bahwa siang ini aku akan pergi ke tempat favoritku. Satu-satunya tempat aman di dunia ini untuk seorang putera Apollo sepertiku—Camp Half-Blood. Aku sangat antusias karena di sana aku bisa bertemu dengan teman-teman blasteranku yang lain, seperti Annabeth Chase (demigod puteri Dewi Athena) Perseus Jackson—atau biasa disebut Percy (demigod putera Dewa Poseidon) dan juga demigods lainnya. Percy adalah penyelamat Olympus, by the way.

Tahun lalu terjadi Perang Titans ke-dua. Kami semua melawan Kronos (Raja para Titans). Dan orang yang memimpin kami saat itu adalah Percy. Amazing, kami akhirnya bisa menang melawan para monster itu walaupun membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Ada banyak demigods yang tewas termasuk Luke Castellan (demigod putera Hermes), beberapa saudara satu ayahku, dan juga demigods putera/puteri para Dewa/Dewi lainnya.

Sayangnya, guru-guru tidak pernah terlihat bahagia seperti para murid di hari terakhir sekolah, yang tidak ku mengerti padahal liburan musim panas akan segera tiba. Contohnya saja wali kelasku Mr. Alexander Price. Dia menatapku dingin.

"Lawrence, this will not be your last day of school if you don't sit in your seat right now. And fix your uniform!" ujarnya.

Aku memutar bola mataku malas seraya merapikan seragam sekolahku dan melepas blazer-ku. Dione Chouji Akimichi mengambil blazer tersebut dan melipatnya dengan rapi, sementara Hugo Shikamaru Nara menarik kursi untukku. Mereka berdua memang selalu memperlakukanku seperti seorang pangeran. Aku memang salah satu murid terkaya di Goode High School karena Ibuku adalah seorang business women yang sukses, sekaligus pernah menjadi salah satu Pejabat Negara, walaupun dia sudah meninggal satu tahun yang lalu. Ibu Chouji dan Ayah Shikamaru sendiri adalah tangan kanan Ibuku. Mungkin itulah alasan mengapa Shikamaru dan Chouji selalu memperlakukanku dengan istimewa meskipun kami bertiga memiliki Kakek yang sama yaitu Lord Zeus. Menurutku yang lebih cocok disebut 'pangeran' adalah Sasuke, karena dia adalah putera salah satu dari 3 Dewa terkuat. Namun entah mengapa nasib putera/puteri Hades selalu berakhir tragis dan hidupnya juga tak pernah luput dari kemalangan? Contohnya saja Sasuke, di dunia ini dia malah ditakdirkan untuk menjadi pelayan pribadiku. Hidupnya juga sebatang kara karena Ibu dan Kakaknya sudah tiada. Dia agak mirip denganku sebenarnya, karena ibuku sendiri juga sudah tiada.

"Bisakah kalian membunuh Mr. Alexander?" gumamku pada Chouji dan Shikamaru.

"Jika dia adalah monster kami pasti akan membunuhnya dengan senang hati, pangeran! Sayangnya, kami tidak mau membunuh manusia biasa," jawab Chouji. Ngomong-ngomong dia adalah demigod putera Dewa anggur atau disebut juga Dewa pesta—Dionysus

"Menurutku orang itu terlihat seperti monster," gumam Shikamaru. Perasaanku jadi tidak enak, biasanya naluri Shikamaru selalu benar mengingat dia adalah demigod putera Dewi Kebijakan—Athena.

"Cepat nyalakan laptop mu, Lawrence! Sebentar lagi pelajaran akan segera dimulai," tambah Mr. Alexander. Tiba-tiba saja suhu di dalam ruangan seakan turun beberapa derajat, walaupun ini adalah pertengahan bulan Juni. Hal ini juga membuatku sedikit menggigil.

"Anda baik-baik saja, pangeran?" tanya Shikamaru pula.

"Nee, Shikamaru! Kau juga, Chouji! Sampai kapan kalian akan memanggilku pangeran dan bersikap formal padaku? Panggil saja aku Naruto!" tegasku pada mereka.

"Baik, Pangeran Matahari!" sahut mereka berdua serentak.

"Kubilang panggil aku Naruto! Yeah, Loukas juga tidak apa-apa asal jangan pangeran atau pangeran matahari!" kataku seraya membuka resleting ransel ku. "Eh?"

"Ada apa, Na-naruto –sama?" tanya Chouji.

"Geez! Tidak perlu menambahkan embel-embel 'sama'. Ini gawat, laptop ku ketinggalan di rumah."

Beberapa detik setelah aku berkata demikian, seseorang datang dan meminta maaf pada Mr. Alexander atas keterlambatannya. Orang itu kemudian menghampiriku dan mengeluarkan laptop milikku dari dalam tasnya. "Naruto-sama, kau meninggalkan laptop mu."

"Yah, terimakasih sudah membawakannya untukku Sasuke." Sebenarnya aku tidak suka dia menambahkan embel 'sama' di belakang namaku, tetapi setidaknya dia bisa berbicara informal kepadaku. Tidak seperti Chouji dan Shikamaru.

"Hn," pipinya sedikit bersemu merah saat mengucapkan gumaman singkat itu.

Aku membuka laptop ku dan menyalakannya. Aku tersenyum ketika melihat wallpaper desktop. Itu adalah fotoku bersama Sakura yang diambil oleh Chiron musim panas tahun lalu. Kami saling bergandengan tangan dan tersenyum pada satu sama lain. Aku sangat merindukannya. Sayangnya dia tinggal di California sekarang, mengikuti Ayahnya yang merupakan seorang Actor Hollywood. Yah, itu bukan masalah. Walaupun dia tinggal di Los Angeles dan aku di New York, kami akan segera bertemu di Camp Half-Blood.

"LAWRENCE!"

Aku tersentak kaget. Bodohnya aku. Mengapa aku bisa lupa kalau aku masih berada di ruang kelas.

"You care to share what you were thinking about just now, since it wasn't my class?" sindir Mr. Alexander. Mungkin itu karena efek cahaya, tetapi aku berani bersumpah bahwa mata abu-abu Mr. Alexander berubah menjadi sebiru es.

Aku membalas tatapan matanya. Satu hal yang aku benci mengenai ADHD adalah fakta bahwa aku tidak bisa menjaga mulutku tetap diam. Dan lagi, jujur saja aku adalah orang yang cukup angkuh mengingat aku adalah anak orang kaya dan mempunyai banyak bawahan yang selalu berada di sisiku. Mereka bahkan tidak pernah melanggar perintahku dan selalu menuruti apapun yang aku inginkan.

"Why do my thoughts matter so much to you?"

"You'de better watch your temper Mr. Lawrence!"

"Or what?" tanyaku. "You're going to give me detention?"

Aku tahu itu adalah pertanyaan yang bodoh, tetapi itu semua karena aku memiliki ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan selalu dimanjakan oleh semua orang.

Guruku terlihat begitu kesal, seakan dia sudah menantikan jam sekolah usai dan sudah memikirkan rencana yang matang untuk menyiksaku.

"Very good idea, Lawrence." Dia berbisik di dekatku dan temperatur seolah kembali menurun beberapa derajat. Aku bahkan mulai merasa kedinginan dan nafasku terasa sedikit berat.

"See me right here after school and we'll discuss your punishment!" sesuatu di dalam suaranya membuat bulu kudukku bergidik. Aku memiliki firasat bahwa hukumannya akan lebih buruk daripada yang aku bayangkan.

Aku melihat Sasuke yang duduk di sampingku, dia terlihat menahan amarahnya untuk tidak meledak. Dijajaran bangku sebelah kanan bangku milikku, kulihat Chouji dan Shikamaru yang juga nampak menahan diri untuk tidak meninju Mr. Alexander.

Mr. Alexander memulai pelajarannya hingga bel berbunyi. Jam selanjutnya adalah pelajaran seni. Semua teman sekelasku mulai membereskan alat tulis mereka dan meninggalkan ruang kelas untuk pindah ke ruang kesenian. Ketika aku melewati bangku guru— di mana Mr. Alexander tadi duduk, tubuhku terasa lebih dingin dari sebelumnya. Aku bahkan sampai bersin. Mungkinkah aku terkena demam musim panas?

.

Waktu terasa berjalan begitu lambat. Pertama kalinya aku merasa bosan dan malas di kelas seni. Aku masih berkonsentrasi menyelesaikan lukisanku, ketika seorang gadis dengan rambut pirang keperakan dan bermata biru es memasuki ruangan. Dari pin yang dikenakannya, aku tahu kalau dia adalah anak kelas dua. Gadis itu memegang selembar kertas di tangannya.

"Excuse me!"

"Yes? What is your name, miss?" tanya guru seni ku.

"Isuzu Centolousiana," balas gadis itu. "I have a message from Mr. Alexander Price for Loukas Apollo Lawrence."

Mataku membulat sempurna. Kedua pipiku terasa terbakar. Jantungku berdebar tiga kali lebih cepat. Bagaimana mungkin Mr. Alexander mengetahui nama tengahku? Semua orang di sekolah ini bahkan tidak tahu nama tengahku. Aku hanya menggunakan nama 'Loukas A. Lawrence' mengingat Apollo adalah nama Ayahku. Itulah mengapa Ibuku sengaja merahasiakan nama lengkapku.

Aku memang sudah curiga sebelumnya kalau Mr. Alexander adalah monster seperti yang diduga Shikamaru, tetapi sekarang aku benar-benar mulai khawatir. Hanya sedikit orang yang mengetahui identitasku yang sesungguhnya. Mereka adalah beberapa orang terdekatku seperti Sakura dan yang lainnya, dan juga para monster yang selalu mengincar demigods seperti kami. Aku bukanlah putera Zeus, Poseidon, ataupun Hades, jadi aku tidak begitu kuat. Shikamaru bahkan lebih kuat dariku karena Ibunya—Athena juga dikenal sebagai ahli strategi perang. Meskipun demikian, aku berusaha untuk tetap tenang.

"Loukas, jadi nama tengahmu adalah Apollo? Apakah orangtua mu menyukai mitologi yunani dan semacamnya?" komentar salah seorang siswi teman sekelasku.

"Well, kau memang mirip sekali dengan Apollo dalam cerita-cerita fiksi; tampan, berambut pirang, bermata biru, berkulit kecokelatan, bertubuh atletis, dan juga mempunyai senyuman yang mempesona. Kau juga pandai sekali memainkan alat-alat musik, sampai-sampai lelaki saja bisa jatuh cinta padamu," tambah seorang siswi lainnya.

"Rata-rata bangsa barat seperti kita berambut pirang dan bermata biru, juga bertubuh atletis. Apa kalian lupa? Dan lagi, Ayahku memang seorang musisi yang berasal dari Eropa!"

"Yah, memang. Tapi kau juga ahli memanah 'kan, mengingat simbol senjata Apollo adalah busur dan panah?! Selain itu Kakak tirimu—Ino Anora Yamanaka juga tahu banyak soal obat-obatan, mengingat Apollo juga dikenal sebagai Dewa pengobatan. Gadis itu juga pintar sekali membuat puisi," sahut seorang siswa.

"Benar. Menurut kami kau itu sangat mirip dengan Apollo dalam Mitologi Yunani," tambah siswi lainnya.

"Bukan itu saja. Hugo dan Dione bahkan selalu memanggilmu pangeran," komentar seorang siswa lainnya.

"Cukup! Hentikan semua omong-kosong ini! Kita masih berada ditengah-tengah jam pelajaran!" tegur guru seni kami.

"Tapi Miss, Loukas selalu memperlakukan Moriz seperti seorang budak. Aku jadi berpikir, jangan-jangan dia memang seorang pangeran!" komentar siswi lainnya.

"Dia diperlakukan seperti seorang pangeran karena dia adalah salah satu anak terkaya di Goode. Sekolah kita ini 'kan merupakan sekolah khusus untuk orang-orang elite dan juga anak-anak nakal, bahkan walaupun hampir semua murid-murid Goode High School adalah anak-anak orang kaya… Loukas termasuk yang paling kaya diantara mereka!" tambah seorang siswa lainnya.

Aku mulai merasa tidak nyaman dengan sikap teman-teman sekelasku. Hal itu juga merupakan salah satu alasan mengapa aku tidak memiliki banyak teman di sekolah ini.

"Okay, Lawrence! Mr. Alexander said, that you must go to his room right now," ucap Isuzu sebelum undur diri.

"Aku akan menemanimu Naruto-sama," kata Sasuke padaku.

"Tidak usah! Aku bisa pergi sendiri."

"…tapi Naruto-sama—"

"Ini perintah!" tegasku yang kemudian pamit pada Miss. Eliza, sebelum keluar dari ruangan.

.

.

Aku membuka pintu ruangan Mr. Alexander.

"Loukas Apollo Lawrence, kau cukup berani juga ternyata, walaupun kau tidak sekuat Hugo Shikamaru Nara apalagi Sasuke Moriz Uchiha dalam hal bertarung. Yah, mau bagaimana lagi? Menurutku, Ayahmu itu bahkan tidak lebih kuat dari saudari kembarnya—Dewi Artemis."

Aku reflek mengepalkan kedua tanganku. Aku tidak peduli kalau dia menghinaku tetapi aku tidak suka dia menghina Ayahku bahkan sampai membandingkannya dengan bibiku. Aku baru saja akan melawannya, ketika aku merasakan udara di dalam ruangan berubah menjadi sedingin es. Aku bahkan tidak bisa bergerak. Aku membeku. Udara dingin itu seolah masuk melalui mulut dan hidungku, yang akhirnya membuka jalan menuju jantung dan paru-paru ku. Tiba-tiba aku merasakan rasa sakit yang menusuk-nusuk di dadaku. Aku juga mulai tidak bisa bernafas.

"What- what are you doing?"

"Memberimu pelajaran sekaligus bersenang-senang, Lawrence."

"What- the hell—"

"Kau mungkin akan menyebabkan sedikit masalah untuk kami di masa depan dan kami ingin menghabisimu sebelum hal itu terjadi."

Aku mulai batuk dan aku tidak tahu kenapa. "A-apa maksud… perkataanmu? Apa yang sudah kulakukan? Dan siapa yang kau maksud dengan 'kami'?"

"Kau tidak perlu tahu tentang siapa kami, Lawrence. Ah, ada kabar buruk untukmu! Boss ku sudah melenyapkan tunanganmu dan juga Ayahnya, katanya gadis itu sangat lemah. Yah, mau bagaimana lagi? Dia hanya puteri Aphrodite!"

"Apa maksudmu? Kalian membunuh Cherry dan juga Kizashi-san? Untuk alasan apa?"

"Kami hanya menyingkirkan serangga kecil."

"Tidak! Tidak mungkin kalau Cherry sudah mati! Dan kenapa kalian juga membunuh makhluk mortal?"

"Yeah, dia keras kepala ingin melindungi puterinya. Mungkin bos merasa muak lalu membunuhnya."

Kabut es nampak keluar dari dalam mulutnya, seperti di mana kalian bisa melihat nafas kalian dalam udara dingin, tetapi sekarang adalah bulan Juni— sama sekali tidak dingin di luar sana. Matahari nampak begitu cerah hari ini, seakan-akan Ayahku sedang dalam mood yang baik. Namun entah mengapa temperatur terasa begitu dingin di ruangan ini. Dan bahkan terasa jauh lebih dingin di dalam diriku. Aku merasa seperti paru-paru ku mulai membeku dari dalam karena dingin.

"You shall bear my curse, Son of Apollo!" ujarnya. "Your blood shall turn to ice and the sun not shine anymore. Your father can't help you. You will suffer terribly and die slowly, painful death!"

Apa yang coba pria ini lakukan padaku? Rasa sakit ini terasa begitu dahsyat. Aku mengerang kesakitan. Aku merasa seperti ada sebuah tangan yang terbuat dari es mencengkram erat paru-paru ku dan mencoba untuk memeras semua oksigen dariku. Beberapa detik kemudian, aku tidak bisa bernafas. Aku ambruk, merintih kesakitan. Namun aku berusaha untuk berbicara.

"You're crazy. My Grandfather—Zeus rules the sky. He'll never let you get away with freezing it!"

"Zeus and Apollo is only two gods, you foolish boy. Against all of us, even their doesn't have a chance. And neither do you!"

"I have a son of Hades in my side, son of Athena, and son of Dionysus too."

"Haha… they are only little brats!"

Aku merasa seolah aku sedang tenggelam ke dalam lautan terdalam, hampir mati lemas, dan aku bahkan terlalu lelah untuk mengucapkan sebuah kata lagi, kehabisan nafas untuk sekedar berbicara. Rasa sakit yang begitu hebat menghujam paru-paru ku, seakan-akan ada duri-duri tajam yang terbuat dari es menusuk-nusuknya dari dalam. Aku tidak pernah merasakan begitu banyak siksaan sebelumnya, bahkan pada saat aku ikut berjuang bersama Percy dan yang lainnya melawan Kronos beserta seluruh anak buahnya. Bersamaan dengan tubuhku yang lemas terbaring di lantai, pandangan mataku semakin memburam. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku mendengar beberapa langkah kaki mendekat, seperti seseorang tengah berlari menghampiriku.

oOOo

.

.

Tokyo, Japan— D-7

Berada di atas Pegasus putih yang tidak kuingat namanya—ingatkan aku untuk menanyakannya pada Percy nanti, yang memang bisa berbicara dengan kuda dan juga hewan-hewan laut— aku melihat pemandangan kota Manhattan. Pegasus yang membawaku meningkatkan kecepatan terbangnya menuju Long Island. Ino melingkarkan lengannya disekitar pinggangku. Begitu kami mendekati Camp Half-Blood, aku merasakan perubahan suhu. Aku menggigil kedinginan. Angin kencang menerbangkan helaian pirang Ino hingga menyentuh wajahku. Di sisi kanan kami, kulihat Pegasus berwarna cokelat membawa Shikamaru dan Chouji di punggungnya.

Tiba-tiba aku merasa sulit untuk bernafas. Semua hal yang bisa kupikirkan saat ini hanyalah betapa sakitnya ketika aku mencoba bernafas. Udara dingin terasa menyengat tenggorokkanku. Aku mulai batuk-batuk dan rasanya itu menyakitkan.

"Loukas, you okay?" Ino bertanya padaku.

Aku tidak bisa menjawab. Aku tidak bisa bernafas. Kupejamkan mataku, berharap itu bisa menetralisir sakit di dadaku. Lagi, aku merasa seperti tenggelam ke dalam dasar laut terdalam, rasanya tidak mungkin untuk memperoleh udara di dalam paru-paruku. Kepalaku terasa berputar.

"Loukas, hang in there! We're almost there!" suara Ino seolah datang dari ratusan mil jauhnya, tetapi aku melihat samudra, beberapa kabin, bukit hijau.

Lalu, sesuatu yang aneh muncul dalam pandanganku. Wajah seorang wanita muda terbentuk dari awan gelap. Itu bukanlah wajah yang aku kenal. Awan berbentuk wajah itu seolah berbicara padaku.

"Sampaikan pada Perseus Jackson bahwa dia akan segera hancur! Kami akan membunuhnya secara perlahan-lahan!"

'Apa maksud perkataannya? Mengapa dia mengincar Percy?'

"That's right, Loukas come. Soon you and Perseus will be destroyed. And I will finally have my eternal winter. There will be nothing you can do about it."

Aku mengalihkan pandanganku pada Ino. "Sister, did you see that?" kataku, merasa lega karena sudah bisa mengeluarkan suaraku lagi.

"See what?"

"That face in the clouds."

"Are you sure you weren't imagining it, Loukas?" tanyanya.

"No! I swear. It's right—" tetapi ketika aku kembali mengalihkan pandanganku pada awan berbentuk wajah seorang wanita tadi, wajah yang tidak ku kenal itu sudah menghilang. Di tempat tadi hanya ada awan gelap yang tidak jelas bentuknya.

Pegasus yang membawa kami mulai menurunkan ketinggiannya. Awan mendung menyelimuti pantai di Camp, tapi ada yang berbeda. Pasir itu lebih putih dari biasanya. Lautan lebih abu-abu dari biasanya. Dan udara jauh lebih dingin dari biasanya.

"Is that… snow?" tanya Ino, suaranya terdengar cemas.

"That's impposible," gumamku.

Ini adalah pertengahan bulan Juni. Waktunya musim panas. Namun, sebelum aku memikirkan lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi, angin dingin yang membawa salju bersamanya berembus disekitar kami. Aku menundukkan kepala, menghindari sensasi dingin yang membuat mataku perih.

"What's going on? What happen with Lord Poseidon? How about Percy?"

Terdengar lengkingan suara Pegasus putih dan Pegasus cokelat—yang membawa Shikamaru dan Chouji, seakan-akan mereka sedang menjawab pertanyaan Ino tentang pencipta mereka—Poseidon dan juga pangeran mereka, Percy. Namun suara Ino dan para Pegasus itu terdengar jauh. Aku merasa seolah membeku dari dalam. Kepalaku terasa sangat pusing dan dingin. Aku gemetar. Dan beberapa detik kemudian dunia seolah diselimuti oleh kegelapan.

Tiba-tiba saja pemandangan yang sebelumnya kulihat berubah. Kini aku tengah berdiri di tengah-tengah hutan. Hutan ini belum pernah kujamah sebelumnya. Di mana ini?

Di balik sebuah pohon besar kulihat sebuah bayangan. Bayangan itu kemudian menampakkan diri. Dia adalah seorang pemuda. Pemuda yang sangat ku kenal baik. Rambutnya berwarna hitam, tatapan matanya tajam seperti elang, kulitnya putih bak porselen. Mata pemuda itu berkaca-kaca, tidak lama kemudian beberapa tetes air mata jatuh dan mengalir membentuk aliran sungai kecil di kedua pipinya. Lalu, jari telunjuknya menunjuk senjata yang tengah ku pegang—sebuah busur yang kudapatkan dari Ayahku ketika ulang tahunku yang ke dua belas. Senjata yang terbuat dari bahan perak istimewa, yang bahkan bisa membunuh para monster, demigods, titans, dan raksasa seperti Orion—. Sasuke kemudian menunjuk belasan anak panah yang tersampir di pinggangku.

"Aku ingin menyelamatkanmu, Naruto, karena itulah cepat bunuh aku!"

"Tidak!" kataku tegas.

"Jika itu demi dirimu, aku rela mati."

Tidak. Tidak mungkin aku membunuh Sasuke dengan busur dan panahku. Aku mencintainya, sama seperti aku mencintai Sakura. Aku ingin melindunginya. Mana mungkin aku menembakkan salah satu anak panahku pada tubuh yang nampak ringkih itu.

"Bukankah ada banyak sekali orang yang ingin kau lindungi? Dan kau menyayangi mereka?"

Tanganku bergerak sendiri, mengambil salah satu anak panah. Tanganku dan tubuhku—mereka mematuhi perintah otakku. Ku arahkan busur dan panah itu pada Sasuke. Apa yang harus aku lakukan? Otak dan tubuhku tetap bekerja walaupun hatiku menolak untuk menembaknya.

Kulihat senyuman tipis tersungging di bibir Sasuke. "Aku tidak ingin kehilanganmu, karena itulah~ bunuh aku dan misimu akan selesai!"

Aku mulai merasakan sesuatu yang hangat dan cair di wajahku. Apakah aku menangis? Tentu saja!

"I'm sorry… I'm really sorry," terdengar keraguan dalam suaraku yang bergetar. Aku kemudian melanjutkan, "I love you Sasuke."

Dan akhirnya aku melepaskan anak panah berujung metal tajam itu dari busurnya. Anak panah itu melesat cepat dan—

.

Aku membuka kelopak mataku perlahan. Mimpi. Tidak, yang barusan itu bukanlah sekedar mimpi. Bagi para demigods seperti kami, mimpi bisa berarti sebuah visi atau penglihatan mengenai masa depan, atau sesuatu yang tengah terjadi di suatu tempat—jauh di sana. Aku mendapati sepasang mata aquamarine menatapku cemas. Ino meletakkan kedua tangannya di atas dadaku, menyalurkan cahaya hijau kekuningan. Aku merasa lebih baik, rasa hangat seolah mengalir di dalam darahku. Ngomong-ngomong, Ino adalah demigod puteri Apollo. Dengan kata lain, kami adalah saudara satu Ayah. Ibunya adalah manusia biasa yang juga seorang florist. Kemampuannya dalam pengobatan bahkan jauh lebih hebat daripada aku. Usianya 18 tahun. Dia seumuran dengan Chouji dan juga Shimaru. Kulihat Ino menggeleng. Airmata berjatuhan membasahi kedua pipinya.

"Ada apa Hime-sama?" tanya Shikamaru.

"Persis seperti yang dikatakan oleh saudarimu—Anabeth. Aku tidak bisa menyembuhkannya."

"Tidak mungkin, padahal kemampuan Hime-sama bahkan lebih hebat dari saudara kalian—Will Solace!" sahut Chouji.

Pada saat Ino menjauhkan telapak tangannya dariku, tubuhku kembali terasa dingin dan aku mulai batuk-batuk tanpa henti. "Ouji-sama…" gumam Chouji dan Shikamaru serentak.

Aku mencoba untuk bangun. Ino membantuku duduk. Ia kemudian meletakan telapak tangannya di dahi ku. "Kau demam," ujarnya.

Aku melihat sekeliling dan terkejut. Tunggu. Di mana aku? Ini bukan di Amerika! Aku kembali melirik Ino, Shikamaru, dan Chouji. Aku akhirnya tersadar kalau Sasuke tidak ada. Ketika batukku sudah berhenti, aku pun menatap Shikamaru. "Di mana kita? Dan di mana Sasuke?"

"Kita berada di dunia parallel D-7 dan lokasi tepatnya adalah Tokyo-Japan."

"D-7? Memangnya apa yang terjadi dengan dunia kita—D-9?"

"Langit berubah menjadi mendung. Matahari tidak lagi bersinar. Dan yang paling aneh, salju turun di bulan Juni. Kita tidak mungkin bisa bertahan hidup di tempat seperti itu, bahkan lautan yang merupakan daerah kekuasaan Poseidon mulai membeku. Percy sekarat. Annabeth, Nico, Thalia, dan yang lainnya disuruh pergi ke Alaska untuk menuntaskan sebuah quest dari Oracle Delphi kita—Rachel Elizabeth Dare. Sebuah quest untuk menyelamatkan Percy dan juga dunia kita," cerita Ino panjang lebar.

"Percy juga sekarat katamu? Dia yang bahkan lebih kuat dari Sasuke?"

Chouji mengangguk. Ia menambahkan. "Ya, dia dibekukan dari dalam sama seperti anda Ouji-sama. Kami pun sulit mempercayainya, padahal dia adalah satu-satunya demigod putera Poseidon—Prince of The Sea."

"Lalu di mana Sasuke?"

Mereka bertiga mendadak terdiam. Sesaat kemudian Ino berkata dengan mata berkaca-kaca, "Dia lebih dulu menyusulmu ke tempat Mr. Alexander. Ketika kami bertiga tiba di ruangannya, Sasuke sudah sekarat. Dia ditusuk oleh pedang es tepat di dada kirinya. Aku mencoba mengobatinya tetapi tidak bisa. Luka itu terlalu dalam. Stygian Ice menusuk dan melukai jantungnya. Aku bahkan tidak bisa menghentikan pendarahannya. Dan pada akhirnya Sasuke tewas. Aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya walaupun dia adalah orang yang aku cintai."

'Sasuke sudah tiada? Itu tidak mungkin! Tidak mungkin dia mati di tangan orang lain. Jelas-jelas di dalam mimpi itu, akulah yang mencoba membunuhnya.'

Aku tidak ingin membuat Kak Ino, Shikamaru, dan Couji semakin cemas, jadi aku memutuskan untuk menyembunyikan mimpi itu dari mereka. "Lalu kalian membawaku ke dunia ini? Bagaimana caranya?"

"Kami pergi ke Camp Half-Blood dan menemui Chiron. Ayah saya—Dionysus memberi saya benda ajaib. Sebuah kristal berbentuk anggur yang bisa membuat kita melakukan perjalanan waktu ke dunia parallel," jawab Chouji.

"Untuk apa? Padahal mereka semua sedang kesulitan bukan?"

"Mencari Pangeran Bulan," jawab Shikamaru.

"Pangeran Bulan?"

"Ya. Dia memiliki benda ajaib yang bernama 'Moonlite'. Menurut Rachel, benda itu bisa menyelamatkan dunia kita. Annabeth dan yang lainnya melaksanakan quest untuk mencari Mr. Alexander juga Boss-nya. Dengan begitu, jika dia berhasil dilenyapkan… anda dan Percy akan terlepas dari kutukannya!" tambah Shikamaru.

"Jadi Mr. Alexander kabur?"

"Ya, di ruangan itu kami hanya mendapati tubuh Sasuke dan juga anda Ouji-sama!" sahut Chouji.

"Siapa bos nya?"

"Khione, puteri Dewa angin utara Boreas—Dewi Salju. Tapi menurut Rachel, masih ada dalang lain dibalik insiden ini. Mereka adalah para raksasa."

"Begitu. Tidak heran dia begitu percaya diri, bahkan dia berani menantang Dewa langit sekaligus Raja para Dewa/Dewi Olympia—Zeus."

"Para Raksasa, ya? Jadi setelah melawan Titans, kita juga akan melawan para Raksasa?" tanya Ino.

"Dan menurut Chiron, pangeran bulan itu ada di sini? Di D-7?" tanyaku.

"Benar, Ouji-sama!" jawab Shikamaru pula.

Aku tidak tahu lagi harus bereaksi apa? Perasaanku bercampur aduk. Aku marah, sedih, dan kecewa pada diriku sendiri karena tidak bisa menyelamatkan Sakura dan juga Sasuke.

"Ano, apakah Sakura-chan benar-benar sudah tiada?"

"Ya, Ouji-sama!" jawab Chouji dengan suara lirih.

"Kalian bilang ini adalah dunia parallel? Itu berarti di dunia ini juga ada kembaran kita, bukan? Bukankah itu akan merepotkan dan mengganggu misi kita?"

"Saya sudah menyelidiki dunia ini beberapa jam yang lalu. Di dunia D-7 ini, identik kita sudah mati."

"Apa maksudmu, Shikamaru?"

"Orang-orang yang sudah meninggal di dunia kita, masih hidup di dunia ini. Sebaliknya, orang-orang yang masih hidup di dunia kita, sudah meninggal di dunia ini."

"Itu berarti Ibuku dan saudara sepupu mortal ku—Karin-Neesan, masih hidup?"

"Ya, tidak hanya Kushina-sama dan juga Karin-sama… di dunia ini Lord Apollo bahkan adalah manusia biasa yang bernama Minato Namikaze."

"Kalau begitu, berarti Sasuke dan Sakura juga masih hidup di dunia D-7 ini?"

"Ya, saya melihat seseorang yang sangat mirip dengan Sakura-sama tetapi saya belum melihat identik Sasuke."

"Saya sudah memanipulasi ingatan Kushina Uzumaki dan Minato Namikaze di dunia ini. Putera mereka—Naruto sudah meninggal pada saat berumur 7 tahun dalam kecelakaan lalu lintas. Saya memanipulasi ingatan mereka sehingga mereka beranggapan bahwa putera mereka masih hidup dan selama 10 tahun terakhir ini, dia tinggal di Amerika bersama Kakek dan Neneknya," cerita Chouji.

"Dengan kata lain, untuk sementara waktu kita bisa tinggal bersama mereka," tambah Ino.

"Itu saja?"

"EH?" sahut mereka bertiga serentak.

"Aku hanya ingin tanya, bagaimana denganku? Sampai kapan aku bisa bertahan hidup? Bukankah aku juga sekarat seperti Percy?"

"Ayah sudah memeriksamu dan Percy sebelumnya. Seperti yang kita semua tahu, Apollo adalah dewa matahari yang juga dikenal sebagai dewa pengobatan, dewa musik dan puisi, juga dewa ramalan yang mengendalikan oracle delphi. Sayangnya, dia juga tidak bisa menyembuhkanmu ataupun Percy. Dia bilang, mampu menyembuhkan penyakit ringan ataupun luka-luka juga menetralisir racun, tetapi dia tidak sanggup menyembuhkan penyakit berat atau hal-hal yang berbau kutukan karena itu berkaitan dengan takdir. Selain itu, akibat insiden ini kekuatan para Dewa/Dewi; termasuk Ayah, Lord Zeus, Lord Poseidon, dan Lord Hades berkurang setengahnya."

"Jadi apa yang Ayah katakan?"

"100 hari. Maksimal waktu yang kau dan Percy punya hanya 100 hari. Namun bisa jadi kalian juga tidak akan bisa bertahan selama 3 bulan ke depan. Kalian berdua bisa mati kapan saja."

"Dengan kata lain, kita harus secepatnya menemukan Pangeran Bulan?"

"Iya. Hanya itu satu-satunya cara."

'Pangeran Bulan? Seperti apa orang itu? Bisakah kami berempat menemukannya dalam waktu 100 hari?"

oOOo

.

.

Satu minggu sebelumnya. Japan, D-11

"Nee, profesor! Apakah kita semua akan segera mati?" tanya seorang pemuda berambut hitam dan bermata onyx. Kulitnya yang putih mulus bersinar keperakan di bawah cahaya lampu Laboratorium.

"Kita sedang berada ditengah-tengah perang dunia ke-tiga, tentu saja cepat atau lambat kita semua akan mati!" jawab seseorang yang tadi dipanggil 'profesor' oleh pemuda itu. Dia memiliki rambut pirang dan iris mata berwarna sapphire blue dan mengenakan kacamata.

"Meskipun kami punya Moonlith, kita semua akan tetap mati? Huh!"

"Jadi pangeran masih ingin hidup?" tanya profesor itu pula.

"Tentu saja! Perang nuklir menyebabkan kita harus hidup di bawah tanah seperti ini. Teknologi di dunia kita memang sudah sangat maju, sehingga kita masih bisa bertahan hidup selama bertahun-tahun meskipun di bawah tanah. Meskipun begitu, aku merindukan cahaya matahari. Aku ingin melihat langit biru."

"Kau cukup melihatku, kan?" ujar profesor tersebut sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Berhentilah becanda Naruto-dobe! Memang benar rambutmu berwarna kuning keemasan dan matamu berwarna biru, tapi kau itu cuma manusia biasa. Kau bahkan tidak sebanding denganku dan juga keluarga kerajaan."

"Tidak sopan! Aku ini 13 tahun lebih tua darimu. Dan aku adalah seorang ilmuwan. Bagaimana bisa kau masih memanggilku Naruto-dobe? Huh! Dasar Sasuke-teme."

"Kau juga tidak sopan! Aku ini pangeran! Pangeran dari Kerajaan Bulan, tahu?"

"Bagiku kau hanya bocah berusia 17 tahun!"

"DASAR PAMAN BERMULUT PEDAS!"

Prof. Naruto Uzumaki malah tertawa melihat ekspresi kesal Sasuke Uchiha. Baginya menggoda Sasuke adalah hal yang menyenangkan mengingat pemuda itu sangat minim ekspresi. Dia adalah seorang pangeran berwajah datar dan dingin yang bahkan hampir tidak pernah tersenyum. Namun entah kenapa, setiap kali pemuda itu bersamanya, dia malah sangat ekspresif seperti sekarang.

"Aku ingin melihat air sungai yang mengalir, air terjun yang indah, dan bunga-bunga asli. Di luar sana masih adakah dunia seperti itu?" kata Sasuke. Ia seakan tengah menerawang jauh.

"Aku bisa membawamu ke dunia parallel jika kau mau."

"Dunia parallel?" tanya Sasuke nampak tertarik.

"Dunia kita ini disebut D-11," ujar Naruto sambil membuka laptop-nya yang setipis jilid buku dan menyalakannya. Ia kemudian menampilkan sebuah video.

Pemandangan dalam video itu mengejutkan Sasuke. Sebuah Desa. Langit biru. Air pegunungan yang masih sangat bersih dan jernih. Bunga-bunga cantik. Aneka ragam flora dan fauna yang sudah tidak ada lagi di dunia ini. Naruto bahkan memperlihatkannya pemandangan kota besar yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit. Ditengah-tengah gedung tersebut ada menara Tokyo.

"Bukankah itu menara Tokyo yang pernah kulihat di buku-buku sejarah? Apakah itu adalah rekaman masa lalu? Dari mana kau mendapatkannya?"

"Ya, bisa jadi dunia sana adalah masa lalu dunia ini sekitar 100 tahun yang lalu. Tapi bisa jadi itu hanya dunia parallel. Kita sebut saja itu D-7."

"D-7? Aku ingin sekali pergi ke sana! Bisakah kita pergi ke sana, Naruto? Lagipula dunia kita ini akan segera hancur!"

"Saat mesin waktu ciptaanku selesai, kita mungkin bisa pergi ke sana."

"Kau membuat mesin waktu?" Sasuke tidak bisa menyembunyikan ekspresi kaget sekaligus takjubnya.

"Ya. Bisakah kau memanggilku 'si jenius' sekarang?"

"Tidak mau!" ucap Sasuke yang kemudian meleletkan lidah.

"Hidoi, padahal aku menciptakan mesin waktu itu untukmu."

"Jika itu adalah dunia parallel, berarti akan ada identik kita di sana, kan?" tanya Sasuke yang sudah sangat penasaran.

"Mm. Mungkin di sana identik ku masih seumuran denganmu."

"HEH~ Aku jadi penasaran ingin melihatmu yang masih berusia 17 tahun."

"Sayangnya, bisa saja di sana identik mu lah yang sudah seumuran denganku."

"Identik ku yang berusia 30 tahun? NO WAY!"

"Kau yang berusia 30 tahun pasti cantik dan seksi sekali Sasuke. Yah, maksudku bisa jadi identik mu di D-7 itu berjenis kelamin perempuan."

"Itu berarti identik mu juga berjenis kelamin perempuan, baka!"

"Ya, benar juga. Tapi kau tahu, bisa saja identik kita di sana sudah mati."

"Bukankah itu bagus? Jadi kita tidak perlu menggunakan Moonlith untuk memanipulasi ingatan manusia di dunia sana, dan itu bisa menghemat daya. Dengan begitu, aku juga bisa hidup lama."

"Ah, benar juga! Hidup dan mati mu itu tergantung Moonlith Sasuke. Kau benar-benar rapuh, membuatku ingin melindungimu selamanya."

Sasuke tersenyum kecil kemudian mendudukkan dirinya di pangkuan Naruto.

"Err… Sasuke! Di mana kau duduk?" tanya Naruto mulai salah tingkah.

Sasuke hanya menampakkan ekspresi polos. "Nanda ke? Dame?" tanya Sasuke dengan suara yang sengaja dibuat semanja mungkin.

Naruto menelan ludah. Jika Sasuke sudah bersikap menggemaskan seperti ini, ia tidak akan sanggup menahan hasratnya lebih lama. Sasuke itu lebih mungil darinya karena dia masih berumur 17 tahun. Rasanya ia ingin menyentuh Sasuke, melumat bibir merah muda pemuda itu, dan melakukan hubungan seks dengannya. Tidak lama kemudian Sasuke menyandarkan kepalanya di dada bidangnya.

"Orangtuaku sudah meninggal karena daya Moonlith mereka habis. Rasanya tidak bisa kuterima. Mereka berdua terluka parah dan meninggal demi menyalamatkan aku, ani-ue, dan juga rakyat biasa seperti dirimu. Aku tidak mengerti, mengapa mereka ingin berkorban seperti itu?"

Naruto mengelus lembut rambut hitam Sasuke yang terasa halus dan tercium wangi. "Mereka berkorban karena mereka sangat menyayangimu, kakak mu, dan juga para penduduk. Kau akan melakukan apapun untuk orang yang kau cintai, bahkan jika kau harus bertaruh nyawa dan mati. Aku juga akan melakukan hal yang sama."

"Eh?" Sasuke mendongakkan kepala dan menatap mata biru Naruto.

"Aku akan melindungimu, Sasuke. Selamanya."

Sasuke tersentak. Apa yang pria di hadapannya ini katakan?

"Aku mencintaimu Sasuke."

"Bukankah kau mencintai Sakura-san?" tanya Sasuke pula.

"Aku mencintai isteriku—Sakura, dan juga kau!"

"Jahat! Padahal kalian sudah mempunyai seorang anak yang imut dan lucu—Shinachiku-kun. Kalian berdua sudah menikah selama 5 tahun. Bagaimana bisa kau jatuh cinta padaku? Sadar diri dong! Apa kau tidak pernah bercermin? Kau itu cuma rakyat jelata!"

"Kau memang tsundere Sasuke, padahal kau baru saja memancingku untuk melakukan 'itu' denganmu. Apa kau tidak sadar? Yah, tapi aku juga tidak tahu sejak kapan aku mulai tertarik padamu?"

"…tapi kau itu berbeda denganku. Kau adalah seorang bi-seksual. Aku seorang gay. Kau hanya menyakitiku! Dasar kejam! Serigala berbulu domba! Asdfghjkl…" kata Sasuke penuh dengan sumpah serapah yang menyakiti hati. Ia bahkan sudah menggunakan kedua tangannya untuk memukul-mukul dada Naruto.

"Apakah ucapanmu itu berarti bahwa kau juga mencintaiku?"

"Kau memang dobe! Jadi selama ini kau tidak tahu perasaanku padamu? Jahat! Dasar pedofil! KAU SANGAT EGOIS! SERAKAH! SAMA CEWEK MAU, SAMA COWOK JUGA MAU. DASAR!"

Mendengar makian itu Naruto hanya menarik Sasuke ke dalam pelukkannya dan mendekap pemuda berkulit putih-asia itu dengan erat.

Sasuke kesal. Dia benci sikap Naruto yang seperti itu. Dia mulai merasakan rasa panas di matanya. Tiba-tiba saja telinganya berdenging. Dia seperti mendengar ada banyak suara tangisan dan teriakan yang saling bersahutan di dalam kepalanya. Setelahnya, Sasuke merasakan rasa panas baru dari tempat yang tidak pernah dia harapkan. Sesuatu yang hangat keluar dari hidungnya, bau amis yang pernah akrab dengannya saat kedua orangtuanya meninggal dulu terasa begitu sesak dan aneh, mengalir dan melekat di hidungnya. Sasuke terkesiap, ia reflek melepaskan pelukan Naruto darinya, matanya yang tadi terpejam membuka. Onyx-nya membelalak takut. Naruto sama tercengangnya dengan Sasuke.

"Sasu kau—" bibir Naruto terasa kelu untuk melanjutkan ucapannya.

Sebelah tangan Sasuke yang bebas langsung menyentuh hidung. Dan ia melihat cairan merah gelap itu: darah. Wajahnya memucat. Napasnya terasa makin pendek tiba-tiba. Tapi begitu dia mau menyeka lagi darah itu. Naruto mencium paksa bibirnya yang berlumuran darah.

"Lepaskan! Aku membencimu! Sangat~" racau Sasuke tidak tenang. Ia panik. Hatinya takut bila darah yang ia seka kembali tertangkap jarak pandangnya. Sasuke bisa merasakan Naruto kini melepas tautan bibir mereka dan kemudian menggendongnya bridal style, membaringkannya di atas sofa panjang.

"Kau kenapa? Ada yang sakit?" tanya Naruto lembut namun ekpresinya terlihat cemas. "Kau sangat pucat. Apa yang terjadi?" lanjutnya.

"Aku mendengar suara tangisan dan teriakan para rakyatku, termasuk suara teriakkan dan tangis Sakura-san dan juga Shinachiku-chan. Naruto, apa mereka—" Sasuke tidak bisa melanjutkan perkataannya. Keringat dingin mulai membasahi kening dan wajahnya yang semakin pucat pasi.

Naruto mengeluarkan saputangan dari dalam saku jas putihnya dan mengusap lelehan darah yang makin banyak mengalir dari hidung Sasuke. Sasuke sendiri merasakan darah yang keluar dari hidungnya semakin banyak. Tubuhnya serasa melayang di bawa angin. Matanya berat. Kepalanya pusing, sakit bukan main.

"Kau tidak perlu takut Sasuke. Kita semua pasti akan selamat. Mereka tidak mungkin menemukan kita, soalnya alarm darurat tidak berbu—" baru saja Naruto berkata demikian, alarm darurat berbunyi nyaring.

Tiba-tiba saja pintu ruangan menjeblak terbuka. Naruto tersentak kaget dan reflek mengalihkan pandangannya dari Sasuke. Ditatapnya seorang wanita yang nampak was-was.

Karin Uzumaki menghampiri Sasuke dengan tergesa-gesa. Wanita berusia 31 tahun itu berkeringat dingin.

"Ada apa Karin-Neesan?" tanya Naruto.

"Mereka menemukan kita! Yang Mulia Pangeran Itachi menggunakan Moonlite miliknya untuk membuat perisai dan juga menyembuhkan orang-orang yang terluka. Beliau menggunakan banyak daya dari batu Moonlite dan—"

"Apa yang baka-aniki itu pikirkan?" potong Sasuke dengan suara lirih.

"Yang Mulia dalam bahaya. Beliau mengalami luka parah seperti yang diderita mendiang Yang Mulia Ratu dan meminta kami untuk melindungi anda, pangeran! Selain itu, kita harus mencari spesialis DRS secepatnya!"

"Tidak mungkin! Jadi dia mau meninggalku sendirian? Huh!" teriak Sasuke mencoba untuk bangkit dari sofa. Sayangnya, tubuhnya kembali terdorong ke belakang. Saat ini tubuhnya terlalu lemah untuk digerakkan. Rasa sakit di kepalanya belum juga hilang karena suara tangisan dan teriakkan rakyatnya masih menggema dalam kepalanya. Sasuke tahu kalau mereka semua menderita.

Karin menatap cemas Sasuke yang tak berdaya. Wajah pemuda itu pucat pasi. Naruto membantu Sasuke menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Tampilannya sangat kacau. Matanya sembab dan jejak darah bernaung di atas bibirnya. Entah kenapa Sasuke seakan-akan terhubung dengan para rakyatnya, seolah ada benang tak kasat mata yang mengikat orang-orang itu dan menghubungkannya dengan Sasuke. Karin kemudian melirik Adik sepupunya. "Naruto… Sakura dan Shina-chan, mereka juga terluka parah dan tidak bisa diselamatkan."

"Maksudmu isteri dan puteraku… mereka berdua sudah meninggal?"

"Ya, mereka tewas. Yang Mulia merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkan mereka. Beliau memintaku untuk menyampaikan permohonan maafnya padamu."

"Aku akan melindungi Yang Mulia Itachi! Bawa Pangeran Sasuke pada Suigetsu!"

"Maksudmu robot humanoid yang satu bulan lalu baru saja selesai kau ciptakan?"

"Ya, tombol untuk mengaktifkannya ada di geraham sebelah kiri. Setelah dia aktif, perintahkan dia untuk membawa pangeran ke mesin waktu. Sebenarnya benda itu belum sepenuhnya selesai, tetapi Suigetsu pasti bisa mengatasinya. Tujuan yang akan dituju adalah D-7. Kita mungkin bisa mengumpulkan spesialis DRS di dunia sana."

"KAU TIDAK MAU IKUT DENGANKU? KAU MENYURUHKU UNTUK PERGI KE DUNIA SANA SENDIRIAN?" teriak Sasuke.

Naruto hanya tersenyum penuh arti. "Itulah caraku untuk melindungimu! Pergilah bersama Karin-Nee, Juugo, dan juga Suigetsu!"

"TIDAK! AKU TIDAK MAU PERGI TANPAMU!"

"Sasuke kau adalah pangeran kami. Tentu saja yang kami semua proritaskan adalah kau. Pergilah!"

"TIDAK! AKU TIDAK MAU!"

Naruto berjalan menuju meja kerjanya. Tangannya meraba isi laci kemudian mengeluarkan beberapa bungkus plastik obat. Hampir semua isinya kosong. Hanya dua plastik yang masih berisi kapsul dan tablet beda warna. Naruto meletakkan obat-obatan itu di atas nampan. Ia membawa nampan tersebut ke dekat dispenser, mengambil gelas dan mengisinya denga air. Diletakkannya gelas tersebut di atas nampan, kemudian ia kembali berjalan menghampiri Sasuke.

Napas Sasuke semakin tersengal-sengal karena tadi dia terus berteriak. Dia kemudian memijat pelipisnya, frustasi ketika gemuruh rasa tak nyaman makin menyerang. Kepalanya pusing. Darah mulai keluar lagi dari hidungnya. Pemuda itu cepat-cepat mengambil tisu di atas meja. "Kumohon, jangan menyuruhku pergi sendirian!" kata Sasuke. Tisu di tangan digunakan untuk menyeka darah yang keluar.

Karin menatap miris Sasuke. Darahnya encer dan terkesan mengalir tanpa henti. Lihat saja, baru beberapa detik Sasuke sudah memakai enam lembar tisu. Naruto menyodorkan obat tadi pada Sasuke, menyuruh pemuda itu untuk meminumnya.

"Biarkan aku ikut berjuang bersama kalian," ucapnya sengau karena mimisan. Kepalanya tambah pusing dan mimisannya makin parah.

"Dengar Sasuke, cepat kau minum obatmu!" kata Naruto pula.

Sasuke masih sibuk menyeka darah dari hidungnya. Laju cairan berwarna merah itu mulai melambat. Dia kemudian mengambil obat tersebut dari tangan Naruto dan langsung menelannya.

"JUUGO!" panggil Naruto. Seorang pemuda yang sepertinya berusia 26 tahun-an muncul dari sebuah ruangan dalam Laboratorium tersebut.

"Ya? Uzumaki-sensei!"

"Bawa Yang Mulia Pangeran pergi ke D-7!"

"TIDAK MAU! Biarkan aku ikut bertarung bersama Itachi-Niisan dan juga kalian!" teriak Sasuke kembali berontak.

Naruto memberi isyarat mata pada Juugo. Dengan gerakan super cepat, Juugo sudah berada di belakang Sasuke dan langsung memukul tengkuknya dengan keras, hingga pemuda itu jatuh pingsan. "Maafkan saya, Yang Mulia."

"Kalian bertiga harus melindungi pangeran apapun yang terjadi! Jangan sampai dia menggunakan Moonlith-nya secara berlebihan, apalagi membiarkan Moonlite itu jatuh ke tangan orang lain! Kalian harus ingat bahwa hidup-mati pangeran tergantung Moonlite itu!"

"Roger!" sahut Juugo dan Karin serentak. Juugo kemudian menggendong Sasuke bridal style.

"Naruto kau harus selamat dan tolong lindungi Yang Mulia Itachi. Kami akan berusaha menyelesaikan misi kami secepat mungkin. Bertahanlah sampai kami kembali, ya!" ujar Karin sebelum meninggalkan Laboratorium.

oOOo

.

.

Tokyo- Japan, D-7.

Sakura Haruno baru saja pulang dari sekolahnya karena hari ini kegiatan klub yang dia ikuti berlangsung hingga pukul 18:30. Ia mengikuti dua Klub yaitu brass band dan juga voley ball— yang akan segera mengikuti pertandingan Inter High. Tidak lama lagi akan dimulai pertandingan seleksi. Itulah sebabnya latihan sore hari ini berlangsung sangat lama. Sahabatnya dari kecil—Sai Shimura juga baru pulang dari sekolah karena Klub Baseball yang dia ikuti juga akan segera mengikuti pertandingan Inter High. Mereka berdua pulang bersama. Tiba-tiba Sakura berseru seraya jari telujuknya menujuk 4 buah cahaya di langit.

"METEOR! Cepat Sai, ucapkan permohonan!"

Sakura mulai mengatupkan kedua tangannya— berdo'a sambil memejamkan kedua mata. Beberapa menit kemudian ia membuka kelopak matanya dan mendapati Sai masih memandang cahaya tadi. "Kurasa itu bukan meteor," ujarnya.

"Apa maksudmu?"

"Tidakkah kau merasa kalau itu aneh, Sakura? Meteor biasanya akan terlihat seperti jatuh ke bumi, makanya meteor disebut juga dengan bintang jatuh. Tapi coba kau perhatikan baik-baik, cahaya itu malah terlihat seperti terbang."

"Ah, benar juga!"

"Itu pasti UFO!"

Mendengar ucapan Sai itu, tawa Sakura langsung meledak. "Jadi maksudmu, kau percaya kalau alien itu ada?"

"Tentu saja. Aku yakin!"

"Khayalanmu itu terlalu tinggi, Sai. Dasar otaku Science-Fiction!"

"Tolong jangan mengejek hobiku!"

"Haha… gomen ne!"

"Ngomong-ngomong, apa permintaanmu Sakura?"

"Himitsu," kata Sakura sambil tersenyum misterius.

.

Sakura tiba di depan pintu apartemen sederhana miliknya. Gadis itu nampak heran ketika melihat tetangga sebelahnya terlihat sangat kebingungan. Tetangganya itu adalah seorang kakek berusia 68 tahun. Namanya Hiruzen Sarutobi dan dia hanya tinggal sendirian.

"Sarutobi-san, apakah anda kehilangan sesuatu?" tanya Sakura.

"Apa kau melihat kyubi-chan?"

"Kyubi? Maksud anda, anjing peliharaan anda?"

"Ya, kyubi-chan belum pulang juga sampai sekarang."

"Eh? Bukankah kyubi sudah mati satu bulan yang lalu?" tanya Sakura pula. Tetangganya yang satu ini memang sudah mulai pikun.

"Benar, kyubi-chan sudah mati begitu pula dengan isteriku—Biwako."

Sakura menatap pria tua itu prihatin. Tiba-tiba Hiruzen Sarutobi kembali berbicara.

"Kau tahu Saku-chan, aku hanya punya dua orang anak. Yang satu perempuan dan yang satu laki-laki. Yang tertua bernama Sawako dan tinggal di Kagawa bersama suaminya dan juga cucu laki-laki ku. Dan yang termuda adalah Asuma, dia pindah ke Kyoto bersama isterinya—Kurenai, juga cucu perempuan ku yang masih bayi."

"Ya? Lalu?" kata Sakura berusaha untuk bersikap sopan.

"Tiba-tiba saja ada 4 orang asing di rumahku. Satu-satunya wanita diantara mereka mengaku sebagai anakku. Ia juga menikahi pria yang lebih muda 5 tahun darinya. Dan pria itu membawa keponakannya— seorang pemuda yang sepertinya seumuran denganmu Saku-chan. Yah, tapi anehnya tidak ada kemiripan diantara mereka berdua. Wajah mereka sama sekali tidak mirip."

"Eh?"

"Dan ada satu orang lagi. Dia juga sepertinya masih seumuran denganmu dan dia mengaku sebagai cucuku. Dia bilang namanya Sasuke dan Ayahnya bernama Fugaku. Padahal seingatku 'Sasuke' itu adalah nama Ayahku, dan nama cucuku adalah Konohamaru Sarutobi dan Mirai Sarutobi."

"Maaf, Sarutobi-san. Mungkin anda lupa kalau sebenarnya anda mempunyai 4 orang anak dan juga 3 orang cucu," kata Sakura merasa tidak enak.

"Yah, benar juga. Kurasa aku mempunyai 4 orang anak dan 3 orang cucu. Tapi, anehnya cucuku yang satu ini sama sekali tidak mirip denganku."

"Um, mungkin cucu anda itu lebih mirip Ibunya?"

"Ah, benar juga!" sahut Sarutobi Hiruzen. Tiba-tiba saja dia tersenyum lebar sambil memandang pada ruang kosong di depannya.

"Kyubi-chan, kau sudah pulang? Ayo masuk! Kau pasti sudah lapar, kan?" ujar si kakek dengan gerakan tubuh yang seolah sedang menggiring seekor anjing ke dalam rumah.

Sakura yang merasa merinding segera memasuki rumahnya. "Kowaaii!" teriak Sakura setelah melempar sepatunya sembarangan.

"Sakura harus berapa kali ibu bilang, bereskan sepatumu dengan benar!" tegur Ibunya—Mebuki.

"Besok saja Okaa-san. Aku sedang merasa takut sekarang."

"Memangnya ada apa sampai kau ketakutan begitu Sakura?" tanya Ayahnya—Kizashi

"Kakek tetangga sebelah sepertinya bisa melihat hantu. Barusan sepertinya dia melihat hantunya kyubi."

"Maksudmu anjing peliharaannya yang mati satu bulan yang lalu?" tanya Kizashi pula.

"Iya. Dan satu lagi, sepertinya penyakit pikunnya sudah parah."

"Apa maksudmu?" tanya Mebuki.

"Dia lupa kalau sebenarnya dia mempunya 4 orang anak dan 3 orang cucu."

"Eh? Itu sih parah sekali!" komentar Mebuki.

"Benar, kan? Kakek itu bilang, dia hanya punya dua orang anak yang bernama Sawako dan Asuma. Dia sama sekali tidak tahu siapa itu Fugaku dan Karin."

"Sebenarnya kita juga tidak tahu asal-usul Sarutobi-san ataupun keluarganya. Siapa yang tahu kalau dia memang hanya memiliki dua orang anak?" kata Kizashi.

"Benar juga. Kita kan baru pindah dari Hokaido dua tahun yang lalu, jadi belum begitu mengenal Sarutobi-san," sahut Mebuki.

"Kalau begitu empat orang yang Sarutobi-san sebutkan itu siapa?"

"Mungkin hantu?" goda Kizashi.

"OTOU-SAN!" teriak Sakura.

"Sudah, sudah! Ayo makan malam dulu!" kata Mebuki pula.

.

.

Sementara itu di tempat Sarutobi Hiruzen,

"Pangeran, anda sebaiknya tidak menggunakan Moonlite untuk memanipulasi orang tua itu!" kata Juugo pada Sasuke.

"Memangnya kau punya tempat tinggal di D-7 ini? Huh! Kita bahkan tidak punya uang! Dan sebaiknya besok kalian bertiga mulai mencari pekerjaan, supaya kita punya uang. Uang di dunia kita dan di dunia ini berbeda, jadi semua uang itu sudah tidak berguna."

"Prof. Uzumaki menciptakan saya untuk melindungi anda, pangeran, bukan untuk bekerja!" komentar Suigetsu.

"Benar, pangeran. Lagipula, humanoid itu terlihat seperti seumuran dengan anda. Kalaupun dia ingin bekerja, dia pasti hanya bisa diterima sebagai pekerja paruh waktu," sahut Karin.

"Dan saya sama sekali tidak tertarik untuk bekerja, Yang Mulia Pangeran."

"Dengar, berhentilah memanggilku pangeran atau Yang Mulia di sini! Panggil saja aku Sasuke! Ini perintah!" tegas Sasuke.

"Baik, Sasuke-sama!" jawab Karin, Juugo dan Suigetsu serentak.

"Jangan pakai 'sama'. Sekarang, status kalian berdua itu 'kan adalah paman dan bibiku!" kata Sasuke sambil menunjuk Karin dan Juugo. Lalu, ia menunjuk Suigetsu. "Dan kau adalah saudara iparku, kan?" Sasuke kemudian menunjuk Sarutobi Hiruzen yang sudah tertidur lelap di sofa. "Kalian bertiga juga harus ingat bahwa mulai sekarang, orang tua itu adalah Kakekku!" tegasnya.

"Saya mengerti, jadi nama belakang kita sekarang adalah 'Sarutobi'?" tanya Karin.

"That's right!"

"Meskipun begitu Sasuke-kun, kau tidak boleh menggunakan kekuatan Moonlite untuk sesuatu yang tidak begitu penting! Jika kau menggunakan Moonlite secara berlebihan kau bisa—"

"Aku tahu kalau aku bisa mati, tetapi ini juga adalah sesuatu yang penting. Aku tidak mau tinggal di kolong jembatan!" kata Sasuke memotong ucapan Juugo.

"Sudahlah Juugo-Niisan, kau tidak perlu khawatir! Lagipula, kapasitas Moonlite-nya masih tersisa ratusan terra!" sahut Suigetsu.

"Kau dengar itu?" ucap Sasuke sambil menatap Juugo tajam.

"Masalahnya ratusan terra byte itu untuk berapa lama? Ini bukan dunia kita! Anda akan membutuhkan energi yang lebih besar di sini!" ujar Karin.

"Urusai! Dan berhentilah berbicara formal denganku karena sekarang kau adalah bibiku!"

"Maaf, Sasuke-kun. Kalau begitu aku permisi ke dapur untuk menyiapkan makan malam!" kata Karin yang kemudian pergi.

"Ne, Sasuke! Apa yang akan kau lakukan selama di sini?" tanya Suigetsu.

"Tentu saja seperti yang anak-anak normal usia 17 tahun lakukan. Pergi ke sekolah, olahraga, jalan-jalan, bermain, dan lain-lain. Ah, benar juga—" kata Sasuke yang kemudian mengeluarkan benda hitam berbentuk persegi berukuran sebesar smartphone dari kantong jaketnya.

"Aku ingin pergi ke sekolah yang paling elite di dekat sini. Cari tahu bagaimana cara masuknya!" ujar Sasuke. Beberapa detik kemudian setitik cahaya hijau mulai muncul dari benda tersebut.

"Kau menggunakan Moonlite lagi? Hentikan! Aku akan membelikanmu handphone besok!" tegas Juugo, sementara Sasuke nampak tidak peduli.

"Oh, begitu. Jadi ada dua tes masuk? Olahraga dan tes tulis? Huh!"

"Apa kita akan masuk ke sekolah itu?" tanya Suigetsu.

"Ya. Nama sekolahnya 'Konoha International High School' atau disingkat KIHS."

"… tapi ini pertengahan Juni dan kau juga sudah kelas tiga, kan? Mereka tidak akan menerima kita!"

"Kita pakai cara curang. Aku akan memanipulasi ingatan Kepala Sekolah dan para guru di sana dengan Moonlite."

"Moonlite lagi?" ucap Juugo shock.

"Suigetsu, aku sudah tahu alamat Kepsek itu. Kau pergilah ke sana dengan membawa Moonlite-ku! Kau tahu bagaimana cara menggunakannya, kan?"

"Baik!" Dan dengan itu Suigetsu pun pergi.

"Apa kau mau bunuh diri? Jangan gunakan Moonlite setiap waktu!" tegas Juugo.

"Urusai!" sahut Sasuke yang langsung pergi ke salah satu kamar yang ada di apartemen tersebut dan menutup pintunya. Juugo hanya bisa menghela nafas, mengurus seorang remaja labil memang sulit.

.

To be Continued

.

A/n: Selamat ulang tahun Hatsuki! Buat para fans Hatsuki, salam kenal semuanya! ^^ Ngomong-ngomong, ini adalah fanfiction NaruSasu pertama saya jadi mohon maaf bila masih banyak kekurangannya. Maaf juga jika seandainya Naruto dan Sasuke di sini agak OOC. Fanfiction ini terinspirasi dari J-Drama 'Mysterious Transfer Student' dan fanfiction Percy Jackson and The Olympian yang pernah saya baca (judulnya Cold as Ice by Mandi2341). Saya juga sudah mencantumkan 'disclaimer'-nya di atas. Well, karena tema event kali ini adalah HATSUKI… saya menjadikan Naruto sebagai 'Pangeran Matahari' dan Sasuke sebagai 'Pangeran Bulan'. Adapun untuk nama barat mereka di dunia D-9 akan saya cantumkan artinya. Nama mereka semua saya ambil dari Bahasa Yunani:

Naruto as Loukas (artinya pembawa cahaya)

Sasuke as Moriz (artinya putera kegelapan)

Ino as Amora (artinya cahaya)

Shikamaru as Hugo (yang berarti pemikir yang cerdas)

Chouji as Dione (artinya pecinta anggur)

Untuk nama barat Sakura (Cherry), artinya adalah Cherry Blossom dan ini bukan diambil dari bahasa yunani seperti nama-nama lainnya.

Saya juga bukan fujoshi, jadi mohon dimaklumi kalau saya tidak bisa menulis cerita yaoi yang Rate M. Ini hanya sebatas shounen-ai yang tidak akan mencantumkan adegan 'dewasa' yang terlalu eksplisit.