Itu adalah awal bulan Desember ketika butiran kristal putih berjatuhan dari awan yang mendung. Jalanan, pepohonan, atap-atap dan ayunan terselimuti kristal itu. Kolam, sungai dan danau membeku. Sejauh mata memandang, hanya satu warna yang mendominasi; putih.
Jalanan tampak lenggang seusai badai salju tadi malam. Hanya satu atau dua mobil pribadi yang sesekali melintas.
Jauh dari suasana lenggang itu, disebuah rumah minimalis yang jauh dari pusat kota, suara musik yang menghentak, meramaikan suasana sunyi. Sebuah ruangan persegi berukuran 5x5 meter, dengan dinding berlapis kaca diseluruh sisinya.
Disanalah music itu menghentak, dengan seorang pemuda yang melenggak-lenggokkan seluruh persendian tubuhnya. Bergerak bebas dalam ruang bercahaya terang itu.
Celananya panjang hingga mata kaki berbahan karet. Berwarna hitam dan terasa nyaman kala pemuda itu menggerakkan kakinya. Ia memakai kaos tipis sebagai atasan. Kaos tipis tanpa lengan berwarna biru muda yang beberapa basah oleh peluh.
Tubuh berkulit putih itu melenggok, melompat, bergerak patah-patah. Tangan dan kakinya tak tinggal diam; menarik, memutar, mendorong, dan vertical keatas. Gerak tubuhnya mengikuti irama musik bervolume keras yang diputar dari tape-recorder disudut ruangan.
Seraut wajah pemuda itu menampilkan sejuta ekspresi. Ada kilatan humor dalam manik berwarna hitam itu; penuh godaan.
Musik itu berakhir, tepat ketika pemuda berkulit putih menekuk tangan dengan posisi vertical. Kepala mendongak dan bibir merah yang setengah terbuka.
Pemuda itu membungkuk selama satu detik. Lalu ia berputar seraya menebar senyum kesetiap sudut ruang persegi itu, seolah ada banyak pasang mata yang menonton seni-nya itu.
Pemuda itu—Uchiha Sasuke, berusaha menetralkan nafasnya yang terengah akibat gerakan-gerakan tingkat tinggi dalam dancenya. Langkah pelannya membawa pemuda berkulit putih itu disudut ruangan, dimana ia meletakkan botol minumannya.
"Haa. Ini sangat melelahkan." Ia bergumam setelah menenggak air mineral dalam botol hingga tersisa setengah.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Pair: NarutoXSasuke
Genre: Drama, Romance, Comfort, and little bit of Hurt
Warning: BL/Yaoi!
.
.
.
Note: Aku mencoba membuat fanfiksi NaruSasu yang normal. Senormal-normalnya sebuah kehidupan. No action. No fantasy/supernatural. Ini pengalihan dari segala uneg-uneg dalam fikiranku akhir-akhir ini. I was sad, but, yeah… aku menghibur diri dengan menulis ini.
Sasuke disini out of chara. Sangat. Dan, ya, Naruto juga. Tidak jauh beda pokoknya.
Kuharap kalian suka. Happy reading ^_^
.
Summary:
Kehidupan Sasuke yang tenang mulai terusik ketika seorang bayi mungil berada dipangkuannya. Dan dengan adanya bayi mungil itu, mengantarkan Sasuke pada ikatan takdir dengan seorang pria asing bermata biru yang menolongnya dikereta bawah tanah.
.
.
Irreplaceable: Bab I
.
.
.
I-Phone bercasing warna putih itu tidak berhenti berbunyi sedari tadi. Warna merah dipojok kanan atas benda mahal itu tetap berkedip berkelanjutan.
Cklek.
Pintu coklat yang berada dalam ruang pribadi—kamar tidur, terbuka. Menampilkan seorang pemuda dalam balutan bathrobe putih. Sasuke menggerutu pelan ketika ia melangkah menuju I-Phone nya berada—diatas meja nakas disamping tempat tidurnya.
Ada lima pesan pribadi. Dan ratusan notifikasi dari media sosialnya, terutama akun youtubenya. Dua pesan dari partnernya, dan tiga pesan lagi dari ibunya.
.
I Kiba [9.20 am]
Kerja bagus, Sasuke. Kau melakukannya dengan sangat baik.
.
I Kiba [10. 03 am]
Aku telah mengupload videonya. Kau bisa mengeceknya sekarang.
.
Sasuke tersenyum tipis membaca isi pesan dari partnernya itu. Kurang dari satu jam, akan tetapi Kiba telah selesai mengedit videonya. Video dance-nya. Kiba memang sangat andal dalam hal itu.
Sasuke segera mengetikkan balasan untuk sahabat baiknya itu.
To: I Kiba
Thanks, Kiba. Kau memang bisa diandalkan. Dan aku akan segera mengeceknya.
[Sent—01. 10 pm]
.
Sasuke kemudian membuka tiga pesan dari ibunya.
Ibu [10. 09 am]
Kau sudah bangun, nak? Jangan lupa sarapan. Jaga kesehatanmu. Jaga dirimu baik-baik disana. Kami disini sangat merindukanmu, Sasuke.
.
Ibu [11. 56 am]
Sasuke, ibu dan ayah mengkhawatirkanmu. Kapan kau berkunjung, nak? Sudah hampir tiga bulan sejak terakhir kali kau berkunjung kesini. Kami sangat merindukanmu—terutama Shisui. Adikmu itu selalu menanyakanmu.
.
Satu pesan yang lain berisi tak jauh berbeda dari kedua pesan itu. Sasuke tidak membuang banyak waktu untuk segera membalas pesan ibunya. Sasuke tak ingin ibunya semakin khawatir karena pesan yang ibunya kirimkan tak segera Sasuke balas.
Sasuke tersenyum ketika mengingat Shisui, adik kecilnya yang manis dan masih berusia satu setengah tahun.
To: Ibu
Aku sudah bangun tidur sejak pukul setengah tujuh tadi, Bu. Aku juga sudah sarapan dengan makanan bergizi—sepotong sandwich ikan tuna dan segelas susu vanilla. Jadi tak perlu khawatir dengan kesehatanku. Aku baik-baik saja.
Aku juga merindukan kalian. Sangat.
Maaf Bu, akhir-akhir ini aku sedikit sibuk. Banyak tulisanku yang harus direvisi ulang sebelum kukirimkan ke penerbit. Mm, apa aku lupa memberitahu ibu? Aku akan berkunjung hari ini. Aku belum sempat berkemas. Mungkin, aku akan sampai disana sore nanti.
Sampai nanti, Ibu.
[Sent—01. 17 pm]
.
.
Merasa capek karena terus berdiri, Sasuke pun mendudukkan dirinya dipinggir ranjang empuknya. Jemari panjangnya mengusap layar I-Phone nya, membuka notifikasi yang berasal dari akun youtube nya.
Video dance-nya diupload 3 jam yang lalu. Dan penonton telah mencapai angka dua ratus ribu. Sekitar sepuluh ribu like, duaratus dislike, dan komentar yang hampir mencapai seribu.
Penasaran dengan hasil kerja kerasnya, Sasuke pun mengecek video nya.
Itu adalah video dari dance yang dilakukan Sasuke beberapa jam lalu. Perlu latihan selama dua minggu untuk menyempurnakan tiap gerakan yang dibuatnya. Sasuke meluangkan sedikit waktunya setiap hari ditengah kesibukannya merevisi ulang karya tulisannya—novel musim dinginnya. Rencananya, Sasuke menginginkan novel karyanya itu diterbitkan tepat ketika hari natal—tanggal 25 Desember. Maksimal, Sasuke harus menyerahkan script nya tanggal lima belas ke penerbit. Dan sekarang masih tanggal dua, sehingga Sasuke memiliki sisa waktu kurang dari dua minggu untuk menyelesaikan novelnya.
Video itu hanya berdurasi 4 menit 21 detik. Namun sepertinya videonya itu sangat disuka oleh para pelanggannya.
Sasuke tidak berkomentar apa-apa. Hanya seulas senyum tipis dibibir merahnya.
"Sepertinya aku harus mentraktir Kiba dengan satu atau dua cawan sake. Ah, mungkin satu botol untuk semua kebaikannya." Sasuke bergumam sebelum ia merubahnya menjadi mode silent, kemudian meletakkan I-Phonenya ditempat semula.
Pemuda itu beranjak, berjalan menuju almarinya dan segera bersiap untuk kunjungan ke rumah ibunya.
.
.
.
"Ambil saja kembaliannya, sir."
"Wah, terimakasih, nona." Sopir taxi itu tersenyum sangat lebar hingga kelopak matanya menyipit. Ia menganggukkan kepalanya kepada penumpang kesekiannya hari ini.
Aku seorang pria, sir. Bibir Sasuke terlalu kelu untuk membalas perkataan penuh syukur dari sopir taxi itu.
Ini bukan yang pertama kali, batin Sasuke dengan perasaan dongkol. Enggan mengoreksi perkataan yang salah itu, Sasuke hanya berdiri diam dipinggir jalan hingga taxi itu berlalu.
Sopir taksi itu tidak salah sepenuhnya, sebenarnya. Pakaian yang Sasuke kenakan adalah masalah utamanya: mantel abu-abu dengan tudung berhias bulu-bulu yang lembut. Itu membuat helaian hitam pendek milik Sasuke tenggelam, menyisakan seraut wajah putih yang manis dengan bingkai bulu-bulu lembut berwarna putih dari tudung mantelnya. Mantel abu-abu itu menyelimuti tubuh ramping Sasuke dengan pas. Tidak kurang, tidak lebih.
Sasuke tampak indah dengan itu, hingga sopir taksi itu mengira Sasuke seorang gadis manis.
Manik hitam Sasuke menyapu pemandangan didepannya, menatap pada jalanan berselimut salju yang lenggang. Sasuke melangkahkan kakinya untuk menuruni tangga yang berada tak jauh dari tempatnya berhenti—sebuah tangga yang mengantarkan Sasuke pada stasiun kereta api bawah tanah.
Pemandangan didalamnya tak berbeda jauh dengan diluar; sama-sama sepi. Sangat sepi hingga Sasuke mengira hanya dirinya yang berada dalam stasiun kereta api bawah tanah yang luas itu. Tapi, tidak. Masih ada orang disana. Penjaga loket, para pekerja, petugas kebersihan, dan beberapa orang yang nampak menunggu kedatangan kereta.
Setelah membeli tiket untuk perjalanannya, Sasuke tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu kedatangan kereta. Tepat pukul 2. 30 pm keretanya tiba.
Sasuke mengira hanya ada sedikit penumpang didalam kereta. Namun, diluar dugaan, kereta itu penuh. Kereta ini adalah kereta antar kota—kereta yang berhenti hanya pada stasiun dipusat-pusat kota. Tempat duduknya dibuat saling berhadapan. Dan tempat nyaman untuk menyandarkan punggung. Itu berguna untuk mereka-mereka yang biasanya tidur selama perjalanan berlangsung.
Seperti saat ini, sejauh mata memandang, kebanyakan dari mereka—penumpang-penumpang itu, menyandarkan kepala dan memejamkan mata—tidur.
Sasuke melangkah, mencari-cari bangku kosong. Ia tidak ingin berdiri sepanjang perjalanannya menuju tiga kota berikutnya—yang mungkin membutuhkan waktu minimal dua jam.
Helaan nafas lega itu tak bisa disembunyikan ketika manik hitam dibalik kacamatanya menemukan sebuah bangsu kosong didekat jendela.
"Permisi." Sasuke berbisik pelan ketika berjalan melewati penumpang yang tertidur untuk menuju kursi kosong itu.
Sasuke mengangguk kecil kepada wanita didepannya yang terjaga. Wanita dengan bayi mungil dipangkuannya itu membalas dengan senyuman lebar.
"Halo," Sapa wanita itu, tersenyum lembut, "sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya." Ujarnya langsung, dengan mimik wajah mengingat-ingat.
"Benarkah?" Sasuke tersenyum gugup. Ia membenahi kacamatanya yang melorot, "sepertinya anda salah lihat. Banyak orang berkata bahwa ada dua atau tiga orang didunia yang memiliki wajah serupa—dengan kata lain sangat mirip." Kilah Sasuke dengan nada halus.
"Ah, begitukah? Aku baru tahu mengenai hal itu. Mungkin—" perkataan wanita itu terpotong ketika bayi dalam pelukannya menggeliat tak nyaman dan mulai menangis. Wanita itu terlihat berusaha menenangkan bayinya seraya meraih tas dibawah kakinya.
"Ini." Sasuke membantu ibu muda itu.
"Ah, terimakasih." Wanita itu tersenyum hingga kelopak matanya menyipit. "Menjadi seorang ibu terkadang sangat merepotkan. Apalagi jika bayimu masih kecil. Dan kau seorang wanita karir." Katanya. Ia mengambil sebotol susu dalam tasnya dan memberikan susu itu kepada bayinya.
Sasuke hanya mengangguk sebagai balasan. Jujur, ia bingung bagaimana merespon perkataan wanita itu. Sasuke sama sekali buta mengenai masalah anak kecil, terlebih pada bayi.
"Astaga!" wanita itu memekik tiba-tiba, membuat Sasuke berjengit. "Bisakah anda menjaga bayiku sebentar saja? Sepertinya aku salah makan hingga perutku terasa sangat sakit." Air muka wanita itu seperti tengah menahan rasa sakit.
"A-ah, baiklah." Sasuke memangku bayi itu dengan hati-hati. Ia khawatir jika ia tidak berhati-hati, ia akan menyakiti makhluk mungil itu.
Wanita dengan kemeja merah muda dan rok selutut itu beranjak berdiri. "Tolong jaga Menma baik-baik, nona."
"Tu-tunggu—" Sasuke ingin mengoreksi bahwa dia pria, namun urung ketika melihat wanita itu telah berjalan menjauh.
Sasuke menunduk, menatap bayi kecil dipangkuannya. Bayi mungil dengan ujung hidung memerah itu terlihat begitu menikmati susunya.
Menma. Namanya Menma.
Topi rajut yang dipakai bayi mungil itu melorot sedikit, memperlihatkan helaian tipis dan lembut berwarna pirang. Sasuke memperbaiki posisi topi rajut berwarna merah itu, membuat bayi itu membuka mata kala merasakan sentuhan dikepala kecilnya. Kelopak putih itu terbuka. Dan Sasuke menahan nafas ketika melihat manik bayi itu. Sasuke merasa tenggelam dalam lubang hitam kala menatap manik itu. Begitu bening dan hitam kelam.
Itu mengingatkan Sasuke pada seseorang. Warna mata itu sama dengan milik kakaknya, Uchiha Itachi.
"Itachi-nii…"
Sasuke merasa ditarik kembali ke masa lalu. Dimana, dulu sewaktu kecil, Sasuke sering menatap mata hitam kakaknya. Memandang mata hitam dan bening milik kakaknya berlama-lama. Sasuke kecil sangat suka melakukan itu, karena Sasuke kecil bisa melihat pantulan dirinya dalam mata kelam kakaknya.
Kakaknya hanya tertawa dengan kebiasaan Sasuke. Lelaki yang berusia tujuh tahun lebih tua dari Sasuke itu akan berujar singkat, "dasar bocah." Dan Sasuke kecil akan terisak setelahnya. Sasuke kecil—yang waktu itu berusia enam tahun, tidak suka dengan panggilan bocah. Sasuke bukan bocah. Kemudian, Sasuke kecil akan berlari kepelukan ibunya, mengadukan kakaknya. Ibunya hanya tertawa dengan tingkah putra keduanya.
Tapi kini Sasuke tidak akan pernah melihat kakaknya lagi. Tidak akan melihat bagaimana mata hitam kakaknya menatap penuh kasih pada dirinya. Seorang pria dengan nama Uchiha Itachi telah kehilangan eksistensinya sejak lima tahun yang lalu. Kakaknya menghilang ketika tsunami menerjang desa kecilnya dipinggir pantai lima tahun lalu. Termasuk ayahnya, ayah kandungnya.
Suara tangisan kecil menyentak Sasuke dari kenangan masa kecilnya. Susu dalam botol itu telah tandas, membuat bayi itu merengek. Mengikuti nalurinya, Sasuke menimang bayi itu pelan. Bayi itu menguap lebar, memperlihatkan gusinya yang belum tumbuh gigi.
Sasuke mencium kening bayi itu spontan, merasa gemas dengan bayi mungil itu. Tak butuh waktu lama, bayi itu telah tertidur dalam dekapan hangat Sasuke.
Tak terasa, kelopak mata Sasuke semakin memberat. Ia menoleh ketempat wanita itu pergi, dan bertanya-tanya mengapa wanita itu belum juga kembali padahal sudah hampir setengah jam lalu.
Sasuke menyamankan posisi duduknya dan mendekap bayi mungil itu erat tanpa berniat menyakitinya. Tak lama kemudian, seperti para penumpang lainnya, Sasuke jatuh tertidur.
.
.
.
Sebuah guncangan membuat Sasuke terbangun dari tidur tanpa mimpinya. Ia tiba-tiba merasa panik karena merasa pangkuannya kosong.
"Bayi. Dimana bayiku?!" Sasuke tidak sadar dengan ucapannya karena terlampau panik. Kepalanya menoleh kebawah, mengira jika bayi mungil yang tidur dalam pelukannya jatuh. Tapi nihil, membuat Sasuke merasa takut.
Suara kekehan berat dari depannya membuat Sasuke mendongak.
Dan seketika, Sasuke menghembuskan nafas lega melihat bayi mungil yang dijaganya berada dipelukan seorang pria didepannya. Akan tetapi, detak jantungnya memompa cepat kala menatap pria didepannya. Sasuke merasa sesak.
"Anda lucu." Ujar pria itu, menahan tawa. Wajahnya tampan dan hidungnya mancung. Warna kulitnya kecoklatan sangat pas dengan manik biru jernih yang berkilat penuh humor itu. Ada beberapa helai rambut yang menyembul dari topi rajut yang dikenannya, membingkai seraut wajah tampan milik pria itu.
"Saya merasa sangat khawatir," balas Sasuke kalem, berusaha menetralkan detak jantungnya.
"Bayi mungil ini aman, anda tenang saja." Pria itu tersenyum.
"Tidak, bukan seperti itu—" pria itu memotong perkataan Sasuke.
"Tidak masalah, semua ibu muda pasti merasa khawatir terhadap putra pertamanya. Anda tenang saja, saya tidak bermaksud apapun terhadap bayi anda maupun terhadap anda. Saya hanya membantu karena tadi bayi anda hampir terjatuh dari gendongan anda. Anda pulas sekali saat tidur, jadi saya tidak tega untuk membangunkan anda."
Sasuke meringis diam-diam. Pria didepannya ini menganggap Sasuke ibu dari bayi mungil itu. "Terimakasih banyak, sir."
"Naruto. Panggil aku Naruto." Ujar pria itu, mengulurkan sebelah tangannya sementara tangan lainnya menyangga punggung bayi mungil itu.
"Uchiha, Uchiha Sasuke." Sasuke tersenyum seraya menjabat tangan besar pria itu. Tangan yang terasa hangat dipermukaan telapak tangan kecilnya. "Kau terlihat mirip dengan bayi ini ketika mengenakan topi rajut berwarna merah itu." Ujar Sasuke dengan senyum kecil. Ya, pria itu juga memakai topi rajut berwarna merah. Topi itu sama dengan topi yang dipakai si bayi mungil.
"Benarkah?" Naruto tertawa seraya menanggapi perkataan Sasuke. "Siapa nama bayi ini?"
"Menma."
"Uchiha Menma? Aaa, nama yang sangat manis." Naruto mengangkat tubuh Menma keudara lalu menciumi perut bayi itu, membuat Menma tertawa.
Lagi-lagi Sasuke meringis diam-diam. Salah paham kuadrat. Tapi, ah… biarlah—fikir Sasuke. Toh, Sasuke tidak akan bertemu Naruto lagi ketika telah sampai ditujuannya. Dan bayi ini akan kembali ke pelukan ibunya…
Tunggu!
Dimana ibu Menma?!
"Na-Naruto, berapa lama kau ada disini?"
Naruto mengangkat alisnya, lalu melirik arloji dipergelangan tangannya. "Sekitar tiga jam yang lalu."
"Jam berapa sekarang?" Sasuke bertanya panik.
Naruto melirik arlojinya sekali lagi. "Setengah delapan malam."
Sasuke terdiam sejenak, lalu ia memekik. "Astaga!" itu adalah lima jam setelah Sasuke memasuki kereta bawah tanah. Dan itu berarti, tempat tujuan Sasuke telah terlewat sedari tadi.
Suara Sasuke terlalu keras hingga membuat bayi dalam gendongan Naruto menangis. Sasuke merasa bersalah tiba-tiba.
"Ah, kurasa dia lapar. Sangat lapar. Bayi ini butuh susu ibunya."
Mendengar perkataan menjurus itu, Sasuke menggeleng. "Aku seorang pria." Bisiknya singkat, seraya menarik tudung mantelnya. Membuat rambut hitamnya yang pendek menyembul keluar.
Sasuke mengabaikan respon Naruto mengenai itu. Sasuke justru mengulurkan tanggannya kebawah untuk meraih tas milik ibu Menma. Disini pasti ada persediaan susu, fikirnya.
Ada berbagai barang didalam tas besar itu. Pampers, beberapa pasang pakaian, kaus kaki, bedak bayi, minyak telon, susu bubuk, botol susu kosong yang masih bersih, satu termos berukuran sedang dan sebotol air, dan… sebuah amplop tebal. Dibagian luar amplop itu, tertulis dua kata: Untuk Anda.
"Bisakah kau lebih cepat, Sasuke? Bayimu menangis keras sekali." Suara berat Naruto menyentak Sasuke dari keterdiamannya.
Dengan pengetahuan minim, Sasuke segera meracik susu dalam botol susu kosong yang masih bersih. Sasuke memasukkan empat sendok kedalam botol susu itu. Ia menimang berapa ml air panas dan air dingin agar susu racikannya tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Setelah mengocoknya, Sasuke menyodorkan susu itu kepada Menma yang langsung disedot rakus oleh bayi mungil itu.
"Stasiun tempat tujuanmu terlewat?" Naruto menebak reaksi kaget Sasuke tadi, setelah beberapa menit mereka saling diam.
"Begitulah. Aku mungkin terlalu lelah hingga tertidur lama sekali." Sasuke mendesah dan menyandarkan punggungnya. "Aku seharusnya turun sejak tiga jam yang lalu. Pukul setengah lima sore."
"Kau tidur seperti orang mati, Sasuke." Naruto terkekeh pelan.
Sasuke tidak tersinggung sama sekali. "Ya, dan selama itu, kau menggendong Menma. Sekali lagi, terimakasih, Naruto. Kau memang orang baik."
"Tidak ada orang yang sepenuhnya baik." Kekehan Naruto berhenti, digantikan dengan senyum kecut. Hal yang luput dari pandangan Sasuke karena pemuda itu tengah menunduk.
Sasuke menyobek pinggir amplop putih itu kemudian membaca surat yang ada didalamnya secara diam-diam. Setelahnya, semua menjadi masuk akal.
"Tolong jaga Menma baik-baik, nona."
Tentang perkataan wanita itu dan ucapan terakhirnya. Wanita itu memang berniat meninggalkan bayinya sejak awal.
.
.
Ini adalah kecelakaan. Bayi ini sebuah kesalahan. Aku masih terlalu muda untuk menjalani ini semua. 25 tahun. Aku merahasiakan semua ini dari keluargaku karena aku begitu takut. Tapi aku tak bisa membunuh bayi ini karena aku sangat mencintai bayiku. Aku kabur dari rumah dan sekarang aku sangat merindukan keluargaku. Aku ingin kembali kepada mereka.
Tolong, jaga anakku baik-baik. Aku akan sangat berterimakasih kepadamu jika anda bersedia merawat Menma baik-baik, bukan justru menyerahkan bayiku dipanti asuhan. Aku tahu aku sangat egois. Tapi, kumohon mengertilah. Maafkan aku.
Tertanda,
Ibu Menma
.
.
Sasuke menatap kosong pada surat itu. Pandangannya mendadak kabur karena Sasuke merasa kepalanya begitu sakit memikirkan hal itu.
"Sasuke, kau baik-baik saja?"
"Y-ya. Tentu." Sasuke cepat-cepat melipat kembali surat itu dan menutup tas putih itu. Ia menaruh kembali tas itu dibawah ketika bayi dalam gendongan Naruto merengek pelan.
"Sini, biarkan aku menggendong Menma."
"Tentu. Kau ibunya." Ujar Naruto. Pria itu menyerahkan bayi mungil itu kepada Sasuke dengan penuh hati-hati.
"Bagaimana rencanamu setelah ini, Sasuke?"
"Mungkin aku akan berhenti distasiun berikutnya dan membeli tiket lagi untuk kembali."
"Kau tidak kasihan pada bayimu? Dia terlihat tak nyaman dengan beberapa guncangan sedari tadi. Menma juga lelah, tak jauh beda dengan dirimu, Sasuke. Kalian butuh istirahat."
"Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus apa?" Helaan nafas lelah terdengar. Sasuke menunduk, menatap Menma yang telah memejamkan mata—tertidur. Ia sedikit menyesali nasib bayi mungil ini. Ibu Menma baru saja membuangnya, meninggalkan bayinya pada seorang yang terlampau asing. Muncul rasa simpati yang teramat besar dalam diri Sasuke, membuat pemuda itu memiliki keinginan besar untuk merawat bayi mungil ini. Sasuke akan berusaha merawat Menma dengan baik. Ia tinggal sendiri selama tiga tahun belakangan, jadi Sasuke tidak perlu khawatir. Masalah biaya, Sasuke memiliki tabungan lebih dari cukup untuk membiayai mereka berdua hingga dua tahun kedepan. Mengenai ibunya… ah, Sasuke akan memikirkan hal itu—nanti.
Naruto berbaik hati mengambil botol susu yang hampir jatuh dan menutupnya. Ia juga memasukkan itu kedalam tas putih tempat peralatan bayi Menma berada.
Naruto menjentikkan jarinya, yang berhasil mendapatkan perhatian penuh dari Sasuke. "Kurasa aku tahu solusinya." Katanya, tersenyum.
.
.
.
Sasuke memandang takjub pada bangunan elite didepannya. "Kau tinggal disini, Naruto?" ia menoleh, menatap Naruto yang mengeluarkan tas besar putih dari bagasi taxi dengan pandangan tak percaya.
Pria dengan topi rajut berwarna merah, masker yang menutupi sebagian besar wajah, dan memakai ransel itu mengangguk. "Ya. Selamat datang digubuk tuaku, Sasuke." ujar Naruto merendah. Suaranya yang berat sedikit teredam karena masker putih yang dikenakannya.
Sasuke menggeleng, "kau bercanda? Astaga. Rumah bertingkat tiga ini tidak terlihat seperti gubuk tua dari sisi manapun. Justru aku sempat mengira bahwa ini adalah sebuah istana." Rumah megah berlantai tiga dengan gerbang yang cukup tinggi. Ada tembok setinggi dua meter yang jauh mengelilingi rumah ini, membuat rumah ini tampak berjarak jauh dari bangunan elite yang berada disekitar rumah ini.
Tipikal rumah orang kaya.
Mendadak, Sasuke ragu dengan keputusannya menginap dikediaman Naruto untuk malam ini.
Pria itu tertawa dengan bass rendahnya. "Kau terlalu memuji, Sasuke."
"Ayo masuk, Sasuke. Kurasa kau dan bayimu hampir beku karena terlalu lama berada diluar dengan cuaca sedingin ini."
Tidak ingin terjadi suatu hal yang tak diinginkan, Sasuke pun mengangguk. Setelah melewati gerbang tinggi dan halaman depan yang luas, mereka bertiga akhirnya memasuki kediaman Naruto.
Sasuke menatap takjub pada benda-benda koleksi didalam rumah itu. Guci, vas bunga, lukisan. Semuanya tampak mengkilap dan Sasuke yakin barang-barang itu dibeli dengan harga yang tak rendah. Sasuke cukup pandai menyembunyikan rasa takjubnya karena ia tidak ingin bertingkah memalukan didepan Naruto—orang baik hati yang bersedia membantunya secara cuma-cuma.
"Anggap saja rumah sendiri." Ujar Naruto setelah membukakan sebuah pintu kamar tamu dilantai dua.
"Terimakasih banyak, Naruto." Sasuke sedikit membungkuk—menjaga tubuhnya tetap seimbang. Berusaha keras agar bayi dalam gendongannya tetap terlelap.
"Ah, itu bukan apa-apa." Naruto mengibaskan tangannya. "Nah, aku akan kembali kekamarku. Jika kau ingin membuat susu, dapurnya ada dilantai satu. Jika ada apa-apa, kau bisa mengetuk pintu disana. Itu kamarku." Naruto menunjuk sebuah pintu.
"Ya, tentu." Sasuke mengangguk.
Naruto berjalan mendekat, "istirahat yang cukup, Sasuke, Menma." Pria itu menunduk dan mengecup pipi tembam Menma.
"Selamat malam." Dan pria itu berbalik dan berjalan menjauh.
Sasuke merebahkan tubuh mungil Menma diatas ranjang besar itu dengan hati-hati. Ia sedikit merengangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena menggendong Menma terlalu lama.
Pemuda itu melihat sekeliling, dan pandangannya berhenti pada pintu coklat didalam kamarnya. Setelah melihat isi dari pintu itu, Sasuke bergumam pelan, "sepertinya aku butuh mandi."
Puluhan pesan dari ibunya mengenai betapa khawatirnya wanita itu terhadap putranya dibalas dengan dua pesan yang panjang oleh Sasuke. Sasuke tidak mengatakan sejujurnya, tentu saja. Ia berbohong pada ibunya dengan mengatakan bahwa dirinya ada urusan mendadak sehingga kunjungannya hari ini kerumah ibunya gagal. Sasuke berkata akan mengusahakan secepatnya dilain waktu.
Suara tangisan Menma membuat Sasuke cepat-cepat menyelesaikan acara mandinya. Setelah memakai pakaian kasualnya yang ia bawa dari rumah, Sasuke segera menghampiri Menma.
Setelah mengganti pampers Menma dan membuatkan sebotol susu untuk bayi mungil itu, Menma tertidur lelap diatas ranjang besar itu. Merasa lelah dengan hari ini, tak butuh waktu lama untuk Sasuke menyusul Menma ke alam mimpi. Sasuke mendekap Menma erat.
.
.
.
"Sasuke?" suara panggilan dari anak tangga membuat Sasuke mematikan kompor lalu menoleh. Manik hitam Sasuke melihat bagaimana sesosok pria dewasa melangkah turun melewati anak tangga. Ada Menma dalam gendongannya yang terisak pelan.
Sosok pria dewasa berambut pirang itu mendekat kearah Sasuke dan menyerahkan Menma dalam gendongannya. "Aku menggedor pintumu terlalu keras hingga Menma terbangun. Dan, yeah… dia menangis."
"It's ok." Sasuke memberikan senyum kecilnya. "Aku tidak tahu jika rambutmu sangat… pirang?" Kemarin Naruto tidak sama sekali melepas topi rajut berwarna merahnya, sehingga Sasuke hanya melihat beberapa helai rambutnya.
"Apakah ini terlihat aneh?"
Sasuke menggeleng. "Tidak, sama sekali tidak."
Naruto tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih dan rapi. "Ini rambut asliku sejak lahir. Ayahku dari Arizona dan Ibuku dari Jepang." Ia mengacak rambut blondenya sesaat, membuat rambut berantakan khas orang bangun tidur menjadi lebih berantakan. Kemudian bola mata birunya melirik belakang punggung Sasuke. Ada sop jamur, telur dadar dan tumis sayuran. Juga ada segelas jus jeruk dan segelas jus yang berwarna merah. "Sudah lama sejak dapur ini terakhir kali digunakan." Ujarnya.
Sasuke tersentak. "Ah, maafkan aku. Aku menggunakan dapurmu untuk membuat sarapan tanpa izin darimu."
"Tak apa. Aku justru merasa senang karena dengan asap dan aroma lezat ini rumahku terasa jauh lebih hidup. Aku tinggal sendiri, ngomong-ngomong." Naruto, untuk pertama kalinya menyerigai tipis kepada Sasuke.
Serigai yang membuat wajah tan itu semakin tampan.
Sasuke menggeleng cepat ketika kata 'tampan' terucap dalam batinnya. "Sepertinya aku harus memandikan Menma dan membuatkannya susu." Sasuke menghindar. Ia bergumam permisi dan pergi dari hadapan Naruto dengan segera.
Dibelakang punggungnya, Sasuke mendengar Naruto terkekeh kecil.
"Bodoh," Sasuke merutuki dirinya sendiri. Entah apa yang ia fikirkan hingga bibir merahnya terus merapalkan kata itu.
Yang Sasuke tahu, rasa hangat menjalar dari wajah hingga leher—bahkan telinga, ketika mengingat senyum—serigai, Naruto tadi.
.
.
.
Langkah kaki Sasuke menjejak dua anak tangga terbawah ketika telinganya sayup-sayup mendengar perbincangan seseorang.
"—aku tahu, aku tahu. Jangan mengguruiku!"
Itu suara Naruto. Terdengar minim karena sepertinya Naruto berada diruang tamu.
"Aku selalu tahu apa yang kulakukan. Jadi, bisakah kau membereskannya? Jika mereka menolak, katakan pada mereka bahwa aku akan menyetujui sesi wawancara pribadi. Dan untuk masalah itu, aku akan mengkonfirmasinya tak lama lagi."
"Oke. Kami belum resmi. Kau puas?!" ada nada jengkel disana, membuat Sasuke mengerutkan kening.
"Dia kenapa?" gumam Sasuke lirih. Menguping memang tidak dibenarkan, tapi aku hanya mencuri dengar, batin Sasuke.
"Ya, ya, dan ya. Oke, bye!" suara Naruto terdengar lagi, dengan nada tak peduli yang terkesan acuh.
"Sasuke?" Naruto memergokinya ketika pria itu keluar dari arah dapur. "Sejak kapan kau berada disana?" tanyanya, sanksi.
Sasuke merasa gugup tiba-tiba. "A-a, baru saja. Aku tidak mendengar apapun itu yang kalian bicarakan ditelepon." Paniknya. Walaupun Sasuke mendengarnya, toh, Sasuke sama sekali tak mengerti arah pembicaraan Naruto dengan entah siapa itu ditelepon.
Sepertinya reaksi Sasuke lucu, hingga membuat pria berambut blonde tertawa. "No problem. Nah, ayo kita sarapan." Ajak pria itu. Kakinya yang terbalut celana pendek selutut melangkah pelan menuju meja makan.
"Kau menata semua ini?" ujar Sasuke tak percaya, ketika melihat masakannya telah tertata rapi diatas meja makan.
"Aku menunggumu, Sasuke. Makan bersama terdengar jauh lebih baik."
"Oh, maafkan aku. Aku tidak tahu itu." Sasuke merasa tersanjung dengan itu.
Mereka duduk berhadapan dimeja makan. Mereka memakan hindangan sederhana yang Sasuke masak dalam diam. Suasana menjadi hening untuk waktu beberapa lama hingga suara Naruto memecah keheningan itu.
"Berapa usiamu tahun ini, Sasuke? Maaf jika ini termasuk pertanyaan pribadi. Kau tak perlu menjawabnya jika kau memang tidak ingin."
"Tak apa," Sasuke menggeleng. "Kau sudah menolongku, jadi apa salahnya jika kita saling mengenal? Umm, usiaku dua puluh tahun."
Manik biru Naruto terlihat membola, "dan kau telah menjadi orang tua diusia semuda itu?"
"Sebenarnya Menma itu bu—" Sasuke mencoba menjelaskan tapi lagi-lagi Naruto memotong perkataannya.
"Tidak perlu seperti itu, Sasuke. Kau harus bangga dengan apapun yang kau miliki saat ini. Terkadang, aku merasa iri dengan orang sepertimu. Menjalin hubungan, cinta lalu pernikahan. Memiliki dua atau tiga anak. Hidup bahagia dibawah atap rumah yang nyaman. Suatu hal yang selalu ingin kujalani. Tapi, yah… sepertinya itu terlalu sulit untuk kuwujudkan." ujar pria itu, dengan pandangan menerawang.
"Kenapa?" tanya Sasuke, "lihatlah dirimu saat ini. Kau pria yang baik, dan ramah. Dan juga tampan," Sasuke berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "siapa yang tidak mau dengan pria sepertimu? Kau sungguh sempurna."
"Benarkah?" Naruto tersenyum miring, "kau bisa mengatakan hal itu karena kau baru saja mengenalku."
"Aku memang."
"Perjalanan hidupku tidak semulus itu, Sasuke. Setiap orang memiliki dua sisi yang berlainan. Bertolak belakang. Aku memiliki itu, bahkan lebih. Mereka-mereka memang menginginkanku. Tapi sayangnya, tak satupun yang mau menerima sisi lain dari diriku." Naruto menumpukan dagunya diatas tangannya.
"Kufikir mereka sangat egois." Balas Sasuke setelah mengunyah suapan terakhir.
"Apa kau tidak?" tantang Naruto dengan senyum miringnya.
"Tidak. Ah, maksudku aku tidak tahu." Sasuke menggelengkan kepalanya. "Bertahun-tahun hidup sendiri dan jauh dari orang-orang membuatku hanya mementingkan diriku sendiri."
"Anti social, eh?"
Sasuke mengendikkan bahunya. "Tidak juga. Terkadang aku membaur, jika kesendirian membuatku bosan."
"Jamuan makan? Pesta? Pub malam? Atau—" Naruto memberondongnya.
"Jamuan makan." Sasuke cepat-cepat memotongnya, "dan beberapa acara temu kangen dengan segelintir teman-teman SMA-ku, yang bahkan tak lebih dari jumlah jari-jari tanganku." Sasuke dengan wajah polosnya mengangkat kedua tangannya, menunjukkan kesepuluh jari-jari kurusnya, membuat Naruto terkekeh dengan ekspresi polosnya itu.
"Bagaimana dengan Menma? Kau terlihat sangat peduli pada bayimu itu." Naruto tersenyum tipis, "Suami.. ayah Menma, maksudku. Bagaimana dengannya?"
Sasuke menggeleng. Ia sempat berfikir untuk menjelaskan bahwa dia bukan orangtua Menma, tapi sepertinya itu percuma. Naruto—pria itu tampak enggan membahas ataupun mendengar apapun tentang Menma. Buktinya pria itu selalu memotong perkataan Sasuke ketika Sasuke ingin berbicara mengenai Menma. "Bukankah kita selalu bicara mengenaiku? Bagaimana dengan dirimu sendiri?"
"Tidak ada yang special dengan diriku. Flat." Balasnya singkat. Ia meminum jus jeruk yang ada didekatnya hingga tandas.
Sasuke tampak tak puas dengan balasan Naruto. "Bagaimana dengan usia? Pekerjaan?"
"Tiga puluh lima tahun," jeda sejenak. "aku membuka sebuah apotek di pusat kota ini."
"Aku mengira kau masih awal dua puluh tahunan." Kata Sasuke tak yakin.
Naruto tampak terhibur dengan jawaban Sasuke, "benarkah?"
Sasuke mengangguk membenarkan. "Ya. Seperti dua puluh empat atau dua puluh lima tahun?"
Naruto menjentikkan jarinya, "tepat sekali. Aku dua puluh lima tahun." Lalu pria berambut blonde itu terkekeh, "kufikir aku bisa membohongimu." Ujarnya dengan penuh humor.
Sadar atau tidak, Sasuke merenggut kecil ketika tahu bahwa dirinya hampir saja dibohongi oleh pria blonde itu. "Aku memang hidup jauh dari orang-orang. Tapi setidaknya aku tidak buta mengenai karakteristik manusia."
"Mungkin kau memiliki bakat dibidang psikolog, Sasuke. Dan dengan sifat kepedulianmu yang tinggi itu, kurasa kau cocok menjadi seorang konselor disekolah tingkat atas lalu menangangi dan memberikan solusi mengenai permasalahan para remaja masa kini."
Sasuke merasa wajahnya menghangat dipuji sedemikian itu. "Dari mana kau tahu aku memiliki kepedulian tinggi? Kau tidak terlihat seperti seorang peramal, atau pembaca pikiran." tuding Sasuke.
Naruto hanya mengendikkan bahu sebagai respon, enggan menjawabnya.
"Sebe—" suara tangisan bayi dari lantai atas memotong kalimat Sasuke. "Menma menangis. Aku harus segera keatas." Tapi pandangan Sasuke jatuh pada meja makan. Ada piring kotor dan makanan sisa diatas meja makan.
"Aku akan menenangkan Menma. Kau bisa membereskan meja makan." Naruto melompat dari kursi dan setengah berlari menaiki tangga.
Sayup-sayup, Sasuke bisa mendengar gerutuan lirih Naruto, "kuatkan aku, Tuhan!"
Sasuke menghela nafas sebelum beranjak dari kursinya dan segera membereskan meja makan.
"Dia pria yang baik," gumam Sasuke, "dan terlihat sangat menyukai anak-anak."
Selama tiga tahun belakangan, Sasuke menutup diri dari lingkungannya. Semenjak ibunya menikah lagi, tepat setelah kelulusannya dari sekolah tingkat menengah atas, Sasuke memutuskan untuk hidup sendiri dengan tinggal dirumah peninggalan orang tua ibunya.
Sasuke memiliki pribadi yang tertutup, tapi ia tidak pendiam seperti bongkahan es batu yang dingin. Ia memiliki hubungan yang baik dengan beberapa temannya semasa SMA. Seperti yang Sasuke katakan kepada Naruto, teman Sasuke tak lebih dari sepuluh. Sembilan teman sekelasnya dan seorang seniornya yang selama tiga tahun ini membantu Sasuke tanpa pamrih: Inuzuka Kiba.
Tapi untuk hubungan percintaan, sekalipun Sasuke tidak pernah memikirkan hal itu. Sasuke terlalu focus pada pekerjaannya hingga Sasuke lupa untuk memikirkan hal itu. Sasuke bahkan tak ingat ia pernah jatuh cinta.
Itu hingga Sasuke bertemu dengan pria dua puluh lima tahun itu—Naruto.
Sasuke tidak terlalu buta untuk menyadari adanya rasa ketertarikan Naruto terhadapnya. Sasuke pernah membacanya dibuku psikolog mengenai cinta dan hal semacamnya.
Cara mata biru itu memperhatikan setiap gerak-gerik tubuh Sasuke seolah mencerminkan bahwa pria itu—menginginkan Sasuke.
Tapi yang tak Sasuke ketahui, pria itu menginginkan Sasuke dalam konteks apa. Jika ada perasaan suka—juga cinta, Sasuke tidak akan ragu untuk menerima Naruto. Dia pria baik, tampan, dan juga mapan. Terlepas dari sisi buruk yang dimiliki Naruto, Sasuke akan belajar memahami itu. Karena entah sejak kapan, Sasuke telah terpikat oleh pria itu. Sasuke suka, walupun belum cinta.
Namun jika Naruto hanya menginginkan Sasuke untuk menjadi penghangat ranjang untuk satu malamnya—
—sepertinya Sasuke harus membuang jauh-jauh rasa suka yang dimilikinya terhadap pria itu. Sasuke tidak tertarik untuk menjalin hubungan jasmani tanpa adanya ikatan. Pemikirannya memang sedikit kolot, tapi, itulah Sasuke.
Dan memikirkan hal itu, entah mengapa menimbulkan rasa nyeri didalam dadanya.
"Kenapa ini begitu sakit?" Sasuke mencengkram dadanya yang terasa sesak.
.
.
.
Hello, guys! Bagaimana menurut kalian mengenai fanfiksi ini?
Yang nungguin Bab II: Mind to REVIEW, please?
.
.
SuzyOnix
[07 Desember 2016]
