Payung tentu digunakan ketika rintik menangis. Gumiya hanya― tidak merasa ingin, atau perlu, atau― sesuatu. Dudukan di halte ini cukup hangat, orang bodoh saja yang mau beranjak.

Tepatnya, ia sedang menunggu seseorang. Pemuda Nakajima itu bahkan tidak perlu repot melihat arlojinya; kulit pucatnya yang semakin memudar seakan ikut menghitung mundur waktunya pulang.

Ponselnya bergetar, jemari ringkihnya merogoh saku jaket marunnya yang kebesaran. Nama seseorang terlukis kaku di balik layar mika. Gumiya menekan tanpa berpikir dua kali, jarinya agak tergelincir pula karena percikan hujan yang semakin deras.

"Mikuo, aku menunggu: tapi tidak selamanya," Gumiya menjawab, kali ini kosong dan serak, "tentu, brengsek. Akan kutunggu, jadi cepatlah―"

(Tiga jam dalam bekunya perpindahan musim dingin: Gumiya masih menunggu Mikuo yang entah ada di mana.)