DISCLAIMER: Semua tokoh dalam Naruto adalah milik Masashi Kishimoto dan cerita fiktif ini dibuat demi kesenangan dan hajat sebuah group chat. Adapun kesamaan kisah dan lainnya, itu tidak dilakukan secara sengaja. #EventUpdateSerentak-FNI (1-2 November 2018)

o

o

o

o

o

THREE SEASONS

Perasaan adalah anugerah. Saking tebal dan kayanya sebuah perasaan, kita butuh upaya untuk menyederhanakan abstraksi ini.

o

o

o

o

o

Gadis itu jatuh cinta. Sering ketika ia pergi menuju kampus, ia tersenyum tanpa sadar di tengah keramaian sambil menarik beberapa helaian rambut merah mudanya ke belakang telinga. Seperti pagi itu, di mana ia sedang berada di dalam sebuah bus kota dengan tas dan map yang ia letakkan di atas pangkuan. Tatapannya tertuju pada langit Osaka yang begitu biru, yang mengingatkannya pada warna bola mata yang paling ia suka.

Sudah lama ia jatuh cinta, mungkin sudah hampir empat tahun dan kemarin pagi akhirnya cinta itu bersemi saat ia menerima pernyataan cinta dari seseorang yang telah lama ia sukai, di mana daun-daun menguning pertama kali dan menunggu untuk runtuh dari pokoknya. Rasanya apa pun yang ia lihat menjadi lebih indah. Kini, penantian dan pertemanan yang mereka jalin sebagai masa pendekatan yang tak singkat itu membuahkan hasil.

Haruno Sakura, gadis itu, merapatkan jaket sembari membayangkan dirinya yang tengah didekap erat sang kekasih. Dan, begitulah rindu. Ia akan sesekali menyiksa tanpa perlu menunggu waktu yang lama, seperti Sakura yang merasa bus yang ia tumpangi bergerak selamban keong. Gadis itu ingin segera sampai ke kampus dan bertemu dengan kekasihnya.

"Nona! Nona!"

Mendengar suara lamat memanggilnya, yang disertai dengan guncangan pundak nan pelan, Sakura membuka mata. Ia tak begitu saja mengindahkan pria yang membangunkannya dari tidur singkat dan langsung menengok ke kaca jendela. Helaan napas terdengar. Ia lega bahwa ia tak kebablasan.

"Anda akan segera sampai di halte tujuan Anda," ujar pria itu. "Oh, saya hanya menduga saja karena Anda terlihat seperti seorang mahasiswi."

"Terima kasih," balas Sakura.

Rasanya musim gugur membuatnya lebih cepat mengantuk dan ingin bermalas-malasan di atas kasur. Andai saja penumpang pria tadi tidak membangunkannya, mungkin sekarang ia akan jauh melewatkan kampus. Kini, ia meneruskan perjalanannya menuju universitas tempatnya berburu gelar sarjana dan di mana kisah barunya akan banyak ditenun di sana.

Senyumnya mengembang manakala ia mendapati kekasihnya berdiri di samping gerbang. Pemuda berambut pirang itu bersandar sambil mungkin membaca pesan di ponsel pintarnya. Sakura merasa dadanya diletupi perasaan senang dan ia pun menghampiri sang kekasih, Uzumaki Naruto. Ia tersenyum lebar, sedangkan binar mata birunya nampak bagaikan langit cerah yang bahkan dirindui oleh ikan-ikan di lautan sekali pun. Apalagi oleh hati Sakura.

Sapaan malu-malu terlontar dari mulut keduanya sebelum mereka berjalan beriringan dalam bisu yang berkelindan dengan rasa nyaman. Kecanggungan pun tak terelakkan hingga Sakura merasa geli. Pemuda itu bukanlah pemuda pendiam. Ia cenderung suka berbicara, namun mungkin status baru mereka membuatnya berbeda, apalagi Naruto memang terkadang tidak peka.

"Kenapa kau jadi pendiam?" tanya Sakura pada kekasihnya di menit-menit kebungkaman yang membuatnya semakin kikuk.

Naruto terkekeh jenaka, sementara tangannya ia sembunyikan dalam kedua saku celana. Ia sendiri bingung apa yang harus ia lakukan lantaran sebelum menjadi kekasih mereka adalah dua kawan baik yang telah mengenal sejak masa kuliah mereka dimulai. Jika sekarang status mereka berubah menjadi kekasih, mungkin Naruto perlu menyesuaikan diri.

Sebab tak ingin membuat Sakura berprasangka buruk, Naruto mengeluarkan tangan kirinya dari saku, kemudian diraihnya tangan kanan kekasihnya itu. Mereka bergandengan sambil saling merasakan hangatnya telapak tangan masing-masing. Sakura bahagia, terlebih saat Naruto mulai bersikap seperti biasa dengan bercerita tentang tingkah lucu sepasang hamster jantan yang ia pelihara. Karena kelucuan hamster-hamster itulah ia kadang tak tega menitipkannya pada anak kecil tetangga sebelah saat jadwalnya sedang padat di kampus.

Ah, Sakura memang selalu menikmati saat-saat seperti ini, saat Naruto bersemangat tentang apa pun yang ia lakukan. Ia tak pernah bermasalah dengan sang kekasih yang baru sehari mengencaninya itu mengalihkan topik untuk kemudian membicarakan sesuatu yang tidak berkaitan. Topik acak. Hal itu yang menjadi salah satu ciri khas Naruto yang kian lama membuat Sakura suka. Dengan Naruto, rasanya ia bisa membicarakan apa pun, termasuk soal dosen pembimbing yang menyusahkan.

Namun, saat itu, setelah hubungan mereka berubah, sesuatu berubah pula. Ada masa di mana Sakura tiba-tiba merasa canggung dan terdiam. Hal itu terjadi saat Naruto mengangkat tangan mereka yang saling menggenggam, namun agaknya pemuda itu tak menyadarinya.

"Kenapa kau malah diam?" tanya Naruto dengan sangat tidak pekanya.

"Tidak, kok," jawab Sakura, "aku hanya ... tiba-tiba merasa aneh."

Pemuda itu menoleh dan mengerjap. Sakura bukanlah seseorang yang suka menyembunyikan apa yang ia pikirkan meski ia masih bisa menahan diri, namun baginya terbuka dengan kekasih adalah hal yang harus ada dalam sebuah hubungan. Meski demikian, Sakura masih tak sanggup untuk mendongak sebab ia yakin bahkan dalam keadaan menunduk saja rona wajahnya terlihat jelas.

"Apa aku berbuat kesalahan?" tanya pemuda itu.

Sakura menggeleng. Senyum geli menghiasi wajahnya.

"Tidak. Kau tidak berbuat apa pun. Ini hanya karena aku canggung karena ... ." Sakura menggantung kalimatnya.

Memahami apa yang gadis itu ingin sampaikan, Naruto melepaskan genggaman mereka. Awalnya, tindakannya membuat Sakura bingung dan tak rela jika tangannya terasa hampa, namun perasaannya semakin membuncah ketika Naruto merangkulnya. Tiba-tiba, ia merasa berpasang-pasang mata terarah pada mereka dan ia malu. Malu, tapi juga tak ingin lepas dari Naruto.

Perasaan yang ditimbulkan dari keadaan jatuh cinta memang lucu. Ia seperti ahli dalam menciptakan beberapa kontradiksi.

"Kita akan terbiasa nanti. Kau tahu, sebenarnya aku juga merasakan hal yang sama," ucap Naruto dengan kekehan.

"Benarkah?"

Naruto mengangguk, sementara senyum lebar masih setia melengkungi bibirnya.

"Kurasa kita harus membiasakan diri melakukan hal-hal yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih," katanya.

Pelak, telinga Sakura memanas saat mendengar ucapan pemuda itu. Ia tak memiliki pengalaman dalam percintaan karena sebelum ini ia hanya menaruh semua perhatiannya pada pendidikan dan hobi; dunianya sendiri. Akan tetapi, ia cukup tahu apa saja yang dilakukan oleh sepasang kekasih.

Tak pernah berpacaran bukan berarti ia tidak punya teman-teman yang memiliki kekasih dan dari merekalah ia acap kali mendengarkan bagaimana mereka mejalani hibungan. Seputar kencan di tempat-tempat menyenangkan hingga hanya berduaan; bergandengan tangan, memeluk, berciuman, hingga hal terjauh seperti hubungan intim. Hal terakhir itu yang paling jauh dari bayangannya.

Memang benar bahwasanya Sakura sendiri tergelitik ketika mendengar semua itu dan ia penasaran. Dulu, ia membayangkan betapa indahnya jika ia memiliki kekasih yang ia cintai dan mencintainya, kemudian berbagi banyak hal. Ketika kini ia benar-benar memiliki kekasih dan kekasihnya menawarkan hal-hal tersebut, ia malah jadi kehilangan keberanian untuk membayangkan akan seperti apa kencan mereka nanti.

"A ... aku tidak akan memaksamu kalau kau keberatan," lanjut Naruto.

"Tidak!" Jawaban Sakura terlontar secepat kilat, membuatnya merasa bodoh. "Maksudku ... aku tidak keberatan, tapi-"

"Aku tidak akan melewati batas, Sakura. Aku menyayangimu, maka hal-hal yang kita lakukan bersama harus dengan persetujuan bersama pula. Jika kau tidak setuju, maka tidak akan terjadi apa-apa," sela Naruto.

Perasaan berbunga-bunga rasanya bisa memeledakkan dada gadis itu. Ia tahu ia tak salah memilih Naruto sebagai kekasihnya sebab pemuda itu adalah pemuda yang baik. Sikap cerianya juga seperti matahari yang bukan hanya bagi Sakura saja, tapi juga bagi orang lain. Lebih dari itu, Naruto adalah pria yang santun dan kata-katanya barusan benar-benar membuatnya tersanjung.

Sakura pun mengangguk, lalu semakin mendekatkan dirinya pada rangkulan Naruto. Mereka tak peduli bagaimana beberapa orang membicarakan mesranya mereka.

"O, ya, hari ini aku harus menemui para respondenku. Hm ... apa kau mau ikut?" goda Sakura.

Naruto menoleh dan tersenyum tipis.

"Tentu," jawabnya sambil mengacak rambut gadisnya. "Kenapa kau tertarik dengan topikmu itu?" tanyanya kemudian.

"Hm ... kenapa ya ...? Yang jelas karena kaum LGBT marak diperbincangkan dua tahun terakhir ini, dengan pro-kontra dan lain sebagainya. Pada akhirnya, aku tergugah untuk menggali tentang konsep diri mereka," jawab Sakura.

"Semoga berhasil," ujar Naruto.

"Terima kasih."

Di persimpangan jalan yang memisahkan gedung Fakultas Psikologi tempat Sakura menuntut ilmu dan gedung Fakultas Planologi di mana Naruto berkuliah, mereka melepaskan diri dari dekapan.

XxX

Sakura mematut diri di depan cermin. Hari ini adalah kencan kesekian kalinya dengan Naruto yang juga merupakan kencan di minggu kedua bulan Februari. Berhubung untuk kencan, Sakura memilih mengenakan celana hitam ketat dan coat jacket berwarna abu-abu dengan kerah tinggi, di mana ikatnya melingkar rapi di pinggang. Sebuah topi beret hitam menutupi kepala, yang rambut sepunggungnya ia kepang asal. Untuk melindungi tangan dan kakinya dari dingin, ia mengenakan sarung tangan dan sepatu boots setinggi betis. Ia puas dengan penampilannya.

Ledekan iseng dari sang ayah tak ia hiraukan, padahal dalam hati ia merasa malu setengah mati. Ayahnya memang merasa senang sebab putri tunggalnya akhirnya menemukan kekasih yang baik; pemuda yang ia juga kenal. Setelah mengabaikan sang ayah, Sakura keluar dan Naruto sudah berdiri menunggunya di depan pagar.

"Maaf, membuatmu menunggu lama," ujar Sakura.

"Tidak apa-apa. Setidaknya, sepadan dengan penampilanmu hari ini," goda Naruto.

Sakura mendecak, menutupi salah tingkahnya. Ia ketahuan kalau ia benar-benar mempersiapkan diri untuk kencan mereka.

"Kenapa kau malu? Kita sudah beberapa kali kencan," celetuk pria itu.

"Sudahlah, kau ini!" balas Sakura sambil berlalu.

Tanpa sadar, gadis itu berjalan mendahului Naruto sebelum pemuda itu menyamakan langkah, lalu merengkuh pundaknya. Selalu seperti ini. Naruto memang suka berjalan sambil merangkul Sakura, atau kadang menggandengnya. Tak ada rasa keberatan dari gadis itu. Ia justru merasa seolah kekasihnya sedang melindunginya. Mereka juga telah terbiasa dengan tatapan orang-orang. Masa bodoh. Toh, banyak pasangan kekasih yang melakukan hal ini.

Seperti yang sudah direncanakan, mereka akan mengunjungi beberapa tempat, seperti pusat perbelanjaan, pusat kuliner, bioskop, wahana permainan, dan yang terakhir mereka berada dalam sebuah gondola yang tergantung pada bianglala. Berada di dalamnya adalah hal yang menyenangkan sebab mereka dapat menyaksikan panorama, juga bentangan kota dari atas. Rona oranye saat matahari tenggelam selalu menjadi pemandangan akhir yang menenangkan setelah banyaknya kegiatan yang mereka lakukan.

Naruto mendekap kekasihnya dari belakang sekaligus memberi kehangatan bagi Sakura yang mulai merasa kedinginan. Suhu udara memang akan semakin turun saat matahari menghilang di balik garis cakrawala. Tak ada kata-kata yang terucap; hanya hening yang tak lagi terasa aneh. Sakura mulai memahami bahwa seorang kawan dapat bersikap lain ketika menjadi seorang kekasih. Kadang, mereka memang tak butuh kalimat-kalimat untuk mengisi kekosongan percakapan sebab komunikasi bisa dalam bentuk apa pun, termasuk sebuah ciuman.

Ciuman itu adalah ciuman yang mereka lupa sudah keberapa. Mereka tidak menghitung, namun mereka ingat ciuman pertama mereka dilakukan saat kencan kedua, di mana mereka sedang duduk di bangku pinggir sungai. Saat itu sudah malam dan tak banyak orang yang lewat, apalagi sampai menyadari apa yang mereka lakukan.

Ketika ciuman itu berakhir, keduanya saling menatap. Sakura tak pernah bosan dengan ini. Naruto yang baik, selalu ada untuknya, dan ia mencintai pemuda itu.

Naruto membelai wajah kekasihnya, lalu bertanya, "Ada apa?"

"Apa kau bahagia denganku?"

Kening Naruto mengerut.

"Kenapa kau menanyakan hal itu?"

Dengan segera, Sakura memalingkan wajah dan kembali menatap hamparan kota. Ia kembali menenggelamkan punggung dalam dada sang kekasih sambil menerawang dan tersenyum, seakan hari itu adalah hari yang paling damai. Sementara, Naruto menopangkan dagu di puncak kepala Sakura.

"Aku ingin kau bahagia karena kita bersama, Naruto," ucapnya lirih.

Terdengar dengus geli dari Naruto dan pemuda itu mengacak rambutnya. Tak lama, nada dering ponsel Naruto yang merupakan tanda pesan masuk berbunyi dan kesuyian pun berakhir. Ia segera memeriksa telepon genggamnya dan membaca isi pesan.

Mata Sakura tak lepas dari sosok kekasihnya yang kini menampakkan gurat lain di wajahnya, seperti sedang khawatir atau sedih. Ia tak bisa mengatakannya dengan pasti. Sebenarnya, Sakura pernah sesekali menangkap ekspresi Naruto yang demikian dan ia ingin bertanya apa yang terjadi. Ia hanya tak berani melakukannya karena tak ingin terdengar seperti kekasih yang ingin tahu segalanya, sementara hubungan mereka belum terlalu lama berjalan.

"Sakura, kau tidak keberatan, kan, kalau kita pulang sekarang?" tanya Naruto. Jelas sekali mimik khawatir di wajah pemuda itu.

"Tak masalah, tapi apa semua baik-baik saja?" tanya Sakura.

Naruto mengangguk ragu.

"Sasuke sedang berada di bandara dan tidak ada yang menjemputnya," ujar Naruto, lalu ia menambahkan, "Dia teman sekolahku."

Dengan berakhirnya penjelasan singkat Naruto, Sakura mengangguk. Sebenarnya, ia masih ingin bersama Naruto, namun apa daya, urusan pemuda itu sepertinya begitu mendesak. Di saat bersamaan, Sakura semakin digelisahkan dengan ciuman perpisahan yang terasa dingin sebelum mereka pulang.

XxX

Kegelisahan semakin memuncak pagi itu. Sakura mondar-mandir di kamarnya sebelum memutuskan untuk berdiri di ambang jendela. Balasan-balasan pesan Naruto selama lima hari ini berisikan penolakan ajakan bertemu setelah hari-hari sebelumnya, sejak mereka pulang kencan di bianglala, sikap Naruto berubah. Pemuda itu lebih sering terlihat seperti terhanyut dalam alam pikirannya sendiri atau bertanya ulang tentang apa yang dibicarakan Sakura. Ciuman-ciuman yang biasanya cukup kerap mereka lakukan pun tak ada, kecuali saat mereka berpisah. Itu pun terasa sangat hampa.

Sekarang, alasan Naruto tak bisa menemuinya adalah karena ia sedang mengerjakan beberapa urusan dan membantu Sasuke. Sakura belum pernah bertemu langsung dengan pemuda bernama Sasuke itu. Ia cuma sesekali mendengarkan cerita tentang sahabat kekasihnya tersebut. Dari situ, Sakura mengetahui bahwa sahabat Naruto berkuliah di Kanto, maka tak heran jika Naruto diminta menemaninya selama di Osaka.

Uchiha Sasuke pastilah sahabat yang sangat berharga bagi kekasihnya. Sakura dapat melihat itu dan memahaminya sebab ia sendiri memiliki seorang sahabat. Meski sahabatnya agak jarang bersamanya sejak memiliki kekasih beberapa bulan lalu, ikatan persahabatan mereka tetap erat. Mungkin begitu juga dengan Naruto.

Sayangnya, pemahaman tersebut tak membuat kekhawatirannya mereda. Ia cemas karena Naruto seolah sedang menjaga jarak dengannya dengan segaja.

"Apa yang harus kulakukan, ya, Tuhan?" Sakura berbicara sendiri.

Ting!

Kelegaan akhirnya membuka semua simpul kegundahannya saat Naruto mengirim sebuah pesan untuk mengajaknya bertemu di suatu kedai kopi yang biasa mereka jadikan salah satu tempat kencan. Ia pun bergegas menuju menuju kedai yang dimaksud tanpa banyak persiapan, apalagi berdandan. Ia hanya butuh bertemu dengan kekasihnya.

Setelah di sepanjang jalan menahan pertanyaan-pertanyaan, kini tibalah Sakura di kedai kopi itu. Tak seperti biasa, kedai kopi milik seseorang bernama Itachi tersebut agak sepi. Ia pun masuk tanpa pikir panjang dan dijumpainya Naruto sedang duduk bersama seorang pemuda berambut sehitam bulu gagak.

Perkenalan mereka berlangsung singkat, sebatas menyebutkan nama dan kuliah di mana, juga bahwa kedai kopi ini ternyata milik kakak kandung Sasuke. Sekarang, ketiganya duduk melingkar di seputar meja bundar sambil mengantongi monolog dalam hati. Atau, mungkin hanya Naruto dan Sakura saja, sebab gadis itu merasa bahwa Sasuke tampak tak memikirkan apa pun.

Seorang pelayan wanita datang meletakkan tiga cangkir berisi kopi, menjambak bunyi gemelinting yang menyadarkan ketiganya dari lamunan. Mereka meraih cangir masing-masing dan meniup kepul kopi panas itu sebelum menyeruputnya, sebelum Naruto pamit untuk sejenak berhajat kecil di toilet. Ketidakadaannya membuat Sakura canggung ditinggalkan bersama Sasuke. Menurutnya, Sasuke bukan pemuda yang ramah dan cenderung menyeramkan dengan sikapnya yang seolah-olah menganggap Sakura seperti dekorasi tak berarti di kedai itu.

"Jadi, kau kekasih Naruto," ujar Sasuke yang mengejutkan gadis itu.

"Begitulah. Kami sudah jalan lima bulan ini," jawab Sakura.

Pemuda bermata hitam itu menancapkan pandangan pada Sakura. Tak ayal, Sakura digulat rikuh dan bertanya-tanya mengapa Sasuke bersikap demikian.

"Aku tak akan berbasa-basi," kata Sasuke. "Naruto pernah memintaku untuk menjagamu."

Hati Sakura mencelos hingga ia berani menatap langsung pemuda itu.

"Apa maksudmu?" tanyanya. "Kenapa dia meminta itu?"

"Pernahkah kau bertanya apa dia bahagia?" Sasuke balik bertanya, tak menghiraukan perkataan gadis itu, kemudian sambungnya, "Dia bahkan tidak sadar apakah dirinya bahagia."

Ai mata pun Sakura tahan habis-habisan. Jujur, pertanyaan itu pula yang mengganggunya belakangan ini.

"Ah ...," lirih Sakura, lalu katanya, "Setidaknya kau harus menjelaskan dengan baik."

"Haruno-san, aku sudah memiliki kekasih. Aku hanya tahu mengapa Naruto memintaku melakukan hal konyol itu, tapi-"

Sayang, ucapannya tak selesai sebab Naruto tiba-tiba kembali dari toilet. Pertanyaan-pertanyaan mencecar batin Sakura sejak sekembalinya sang kekasih, tentang apa yang dialami Sasuke hingga Naruto memintanya melakukan hal itu. Sakura merasa sakit hati ketika ia baru saja mengetahui bahwa kekasihnya sendiri berniat melemparnya pada pemuda yang baru ia kenal hari itu dan lebih buruknya telah memiliki kekasih.

Tak tahan, Sakura buru-buru beranjak dari kursi, menyisakan kopi yang masih tergenang tiga perempat cangkir. Ia berjalan cepat tanpa pamit, tanpa penjelasan, namun ia berharap Naruto tahu bahwa ia marah. Dan, pemuda itu memang tahu lantaran sekarang ia menyusul Sakura hingga berhasil mencekal lengan gadisnya.

"Ada apa denganmu? Apa Sasuke membuatmu tersinggung? Tolong jangan terlalu dimasukkan ke hati! Dia memang begitu," ujar Naruto dengan nada panik.

"Aku ingin sendiri untuk beberapa waktu nanti," ujar Sakura lirih sambil menepis tangan Naruto yang mencoba menggapai air matanya untuk diseka.

"Kita harus bicara!" balas Naruto. "Ayo, kuantarkan kau pulang!"

Pemuda itu tak pernah melepaskan genggamannya bahkan saat mereka berada dalam bus kota. Genggaman Naruto tak begitu erat, mungkin hanya cukup untuk membuat Sakura tenang meski tidak sepenuhnya berhasil. Kata-kata Sasuke saat di kedai kopi tadi menggema dan menggaung berkali-kali dalam kepala, memberongsong semua kepandaiannya dalam menyusun sebuah kesimpulan.

Dipandanginya bayangan samar Naruto yang terpantul di permukaan kaca jendela bus kota sebagai satu-satunya cara untuk melampiaskan cinta yang tiba-tiba serasa tak sampai. Itu sebabnya ia tak berani langsung memandang kekasihnya itu. Jujur, ia ingin mengecup bagian mana pun dari wajah Naruto yang membuatnya menanggung asmara dari tiga tahun lebih yang lalu sampai detik ini. Ia berharap kalau kecupannya akan membawa kembali jiwa Naruto yang seolah bermain-main di tempat lain, namun ia tak mungkin melakukannya di sana.

"Aku dan Sasuke punya sahabat," ujar Naruto tiba-tiba.

Akhirnya, Sakura berani untuk menoleh dan benar-benar menatap wajah sang kekasih.

"Dia akan menikah," lanjut Naruto. "Pernikahan yang tidak ia inginkan dan dia tahu dia tidak akan bahagia. Sasuke pulang sekaligus memberitahuku kabar ini."

Alis Sakura berpaut.

"Sahabat kalian tidak memberitahumu langsung?" tanya Sakura.

Naruto menggeleng dan menciptakan jeda yang membuat Sakura menunggu dalam rekaan kemungkinan-kemungkinan. Gadis itu pun tahu bahwa kekasihnya menemui kesulitan untuk menjelaskan keadaan yang mungkin ia sendiri tak bisa mengerti.

"Aku tak tahu mengapa dia tidak memberitahuku langsung," jawab Naruto akhirnya.

"Apa dia ... seorang gadis?" tanya Sakura, namun kemudian ia menyadari betapa gamblangnya perasaan cemburu yang tiba-tiba ada. "Maksudku ... rata-rata para wanita yang menikah di usia semuda ini," imbuhnya sekaligus memberi alibi.

Senyum yang entah mengapa nampak menyimpan lara itu tersungging di bibir Naruto. Ia menggeleng lemah.

"Dia laki-laki. Mana mungkin seorang wanita bisa bersahabat dengan Sasuke," jawabnya.

"Kenapa?"

"Sasuke tidak pernah memercayai bahwa persahabatan antara pria dan wanita bisa terjadi. Baginya, wanita adalah makhluk yang diciptakan untuk ditiduri oleh pria."

Sontak, jawaban Naruto membuat Sakura hampir sepenuhnya dilahap api amarah. Ia tak percaya kekasihnya sanggup melakukan hal kejam dengan meminta Sasuke untuk menjaganya.

"Meski tahu begitu, kau memintanya untuk mengencaniku," katanya lirih tanpa bisa menyembunyikan gemetar dalam suaranya.

Naruto mengeratkan genggamannya, mencoba menenangkan sang kekasih yang sepertinya salah mengartikan segala sesuatunya. Di sisi lain, ia memaklumi bila gadisnya salah paham. Tak ada seorang kekasih pun yang suka diperlakukan seperti itu.

"Dia ... ." Tiba-tiba, Naruto kehilangan kata-katanya sampai ia menemukannya lagi beberapa saat kemudian. "Bukan berarti dia meniduri semua wanita yang mendekatinya. Buktinya, dia bertahan dengan satu wanita selama dua tahun meski ... perempuan itu perempuan malam yang-"

"Lantas, kenapa kau ingin dia menjagaku? Kenapa bukan kau, sementara kau ini kekasihku?" potong Sakura.

Beruntunglah bus kota saat itu sedang sangat sepi. Hanya ada empat penumpang termasuk mereka berdua, jadi mereka tak terlalu sungkan atau menahan diri berlebihan. Namun demikian, dua penumpang lain tadi melirik sebelum mengabaikan sepasang kekasih itu.

"Apa hubungan ini tidak membuatmu bahagia?"

Pertanyaan Sakura yang disertai dengan air mata itu membuat hati Naruto teremas rasa bersalah. Pemuda itu sungguh tak tahu bagaimana ia harus menjelaskan situasi yang ia hadapi. Terlebih, inilah kali pertama ia melihat Sakura menangis.

"Kau adalah gadis yang baik, Sakura, dan ... aku tidak punya kepercayaan diri kalau aku mampu membuatmu bahagia dalam waktu yang lama," ujarnya lirih. "Maaf, terkadang aku memiliki ketakutan semacam itu; apakah aku cukup untukmu."

Pembicaraan mereka tertunda ketika mereka harus turun dari bus, namun keduanya tak langsung menuju rumah Sakura. Naruto mengajak gadisnya naik ke bus lain, di mana pembicaraan mati total selama perjalanan yang mengantarkan mereka ke sebuah pantai. Pantai itu terletak cukup jauh dari kota sehingga memakan waktu selama satu jam untuk ke sana.

Cuma orang kurang kerjaan yang pergi ke pantai di musim dingin meski salju tak setebal saat bulan Desember. Mau bagaimana, hanya di sanalah mereka menemukan apa yang mereka cari; tempat yang paling sesuai untuk mereka membicarakan hal-hal yang bakal tak tuntas jika dilakukan di tempat ramai. Di sana, mereka akan lebih leluasa untuk berbicara.

Tampaklah hamparan laut yang tak pejal layaknya air menjadi hamparan es batu, sedangkan salju bertaburan di sepanjang tubirnya sebab hari itu musim dingin semakin mendekati akhir. Perpaduan warna putih dan biru itu memang indah, namun tak menawarkan kesan hangat. Semua sedingin perasaan mereka.

Warna langit ... warna air laut ... sebiru warna kedua manik mata Naruto. Sakura merasa disekap dalam dekapan beku, sebeku air matanya, juga waktu yang seolah berhenti. Sesak, bingung. Ia menghela napas.

"Maaf," ujar Naruto.

"Untuk apa?" Sakura bertanya.

"Untuk permintaanku pada Sasuke."

Bibir Sakura melengkungkan senyum getir, miris.

"Naruto ... Andai kau pergi, aku bisa menjaga diriku. Aku bukan anak kecil yang harus dititipkan."

Mungkin.

Naruto tahu bahwa Sakura memaksakan diri untuk bergurau. Ia dapat merasakan kegetiran di balik kekehan geli gadisnya.

"Beberapa wanita menginginkan pria melakukan hal-hal luar biasa, memang. Kau harus tahu bahwa di balik permintaan luar biasa itu wanita lebih membutuhkan hal-hal sederhana. Kau tak perlu berusaha menghapus air mataku. Cukup dengan berada di sisiku, menahan kejengahanmu saat kau mendengarkanku menangis," imbuhnya.

Naruto terpekur mendengarkan luapan hati kekasihnya. Ia takut mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan, namun ia tak melihat ada jalan baginya untuk melarikan diri. Ia hanya mendapatkan sedikit keberuntungan ketika seorang gadis menyerukan nama Sakura sebelum gadis itu menghampiri mereka bersama seorang pemuda berambut panjang.

Gadis tersebut memiliki wajah yang manis dan nampak menggemaskan dengan dua cepol rambut. Sakura memperkenalkannya pada Naruto, sedangkan pria berambut panjang itu diperkenalkan sebagai kekasih si gadis bercepol. Tenten dan Neji. Tenten adalah salah satu teman baik Sakura.

Sepasang kekasih kenalan Sakura itu sengaja ke sana sebab mereka sedang ingin mencari suasana baru untuk berkencan. Tak banyak yang mereka bicarakan. Tenten dan Neji meninggalkan mereka berdua, kemudian berjalan menyusuri bibir pantai sambil sesekali bertatapan. Cukup lama mereka berjalan, pemuda itu mencium kening kekasihnya sekilas.

"Naruto," panggilnya, lalu lanjutnya, "Kenapa kau memilihku?"

"Karena aku sangat nyaman denganmu dan aku tak merasakan itu pada wanita lain," jawab Naruto.

Hening.

"O, ya ... kau bilang sahabat kalian tidak akan merasa bahagia dengan pernikahan itu. Apa dia memiliki wanita yang dicintai?" tanya Sakura.

Naruto menggeleng.

"Dia tidak akan bisa mencintai wanita," lirihnya. "Itu kenapa aku sangat mengkhawatirkannya."

Mendengarnya, Sakura terperangah. Itu artinya, sahabat Naruto dan Sasuke adalah penyuka sesama jenis. Tak perlu konfirmasi atau penjelasan bertele-tele untuk membuat Sakura memahami maksud ucapan Naruto. Saat itu, ia terus mendorong dirinya agar mampu mencapai segala bentuk keberanian agar kakinya tetap kokoh menyangga tubuhnya yang tiba-tiba terasa lemah.

Tanpa ia duga, Naruto merengkuhnya dan membawanya dalam pelukan. Entah mengapa kali itu lebih erat.

"Apa kau masih tidak percaya diri kalau kau bisa membuatku bahagia?" tanya Sakura.

Ia tahu pertanyaannya berlebihan sebab hubungan mereka masih belum lama, namun siapa yang tak merasakan bahwa beberapa hal menjadi lebih daripada yang sesungguhnya ketika merasakan cinta? Apalagi, perasaan itu telah lama mendiami hatinya selama beberapa tahun. Menjadi kekasih cuma soal status.

"Aku ingin kau bahagia," bisik Naruto.

"Aku mencintaimu," balas Sakura.

"Kau tahu aku sayang padamu."

Gadis berusia 22 tahun itu memejamkan mata, membiarkan air matanya turun sebelum angin musim dingin menghapusnya. Jawaban Naruto berbeda dari apa yang ia pikirkan. Rasanya sekarang ia tahu apa yang harus ia lakukan setelah ini, maka ia memisahkan diri dari tubuh kekasihnya, kemudian memandangi pemuda itu.

"Terima kasih," katanya. "O, ya, mungkin beberapa hari ke depan aku akan sangat sibuk. Kau juga, bukan? Sebentar lagi kita akan lulus dan aku juga harus segera mengurus beberapa hal agar aku bisa mengambil program profesi."

Biasanya, Naruto akan selalu mengerti alasan Sakura, tapi tidak hari itu. Alisnya berpaut dekat dan wajahnya dipenuhi ketidaksukaan.

"Apa kau bermaksud menghindariku?" tanyanya.

"Apa?"

"Kau akan meninggalkanku, bukan?" tanya Naruto lagi.

Mulut Sakura sedikit menganga saat melihat bagaimana reaksi kekasihnya. Ia tahu bahwa Naruto sedang merasa, menurut asumsinya, sedikit panik. Namun, ia menemukan satu ide.

"Mengapa aku harus meninggalkanmu?" tanyanya.

"Dua mantan kekasihku melakukannya, bahkan saat hubungan kami belum sampai dua bulan," jawab Naruto. "Mereka bilang, aku tidak mencintai mereka dan berpikir kalau aku menyukai gadis lain. Aku tak mengerti kenapa karena aku tak mencintai gadis mana pun saat itu."

Sakura mengernyit cukup dalam. Ia tahu Naruto pernah dua kali menjalin hubungan dengan gadis, tapi ia baru tahu kalau alasan berakhirnya hubungan mereka karena Naruto ditinggalkan dan dengan tuduhan mendua hati.

"Memang apa yang sudah kau lakukan dengan mereka?" tanyanya hati-hati.

"Aku merasa tak pernah menyakiti mereka. Kami ... baiklah, kami pernah melakukan hubungan intim, tapi mereka juga menginginkannya, lalu kenapa ...? Dan, barusan kau juga menunjukkan keraguan yang sama. Kenapa ... ."

Raut wajah Sakura berubah. Ia semakin heran dengan sikap Naruto yang menujukkan rasa frustrasi. Dengan cepat, ia memeluk kekasihnya lagi, sementara tangannya mengusap-usap punggung pemuda itu sambil berusaha menguatkan diri.

"Baiklah, permintaanku batal," ujar Sakura.

Untuk sesaat, mereka membiarkan suara debur ombak merebut kebisuan di antara mereka. Sakura menahan tangis, masih takut dan marah jika Naruto benar-benar berniat menyerahkannya pada Sasuke yang notabenenya baru ia kenal hari itu.

"Naruto ... mengapa kau memelihara sepasang hamster jantan? Bukankah jika ada betina, hamstermu akan bertambah?" tanyanya.

Naruto memandangi kekasihnya dengan heran. "Kau banyak sekali bertanya hari ini," guraunya yang dibalas dengan decakan Sakura. "Baiklah. Hm ... kupikir tak masalah jika tak ada hamster betina. Dua hamster jantan tak akan mati jika bersama, seperti mereka. Mereka baik-baik saja dan terlihat bahagia," jawab Naruto, "Lagipula, itu pemberian Gaara."

Hati Sakura mencelos, sedangkan wajahnya tetap tampak biasa saja. Dengan tersenyum, ia berpura-pura membenarkan perkataan Naruto.

XxX

Musim semi telah menginjak hari kedelapan; taruk-taruk bunga sakura telah merekah. Namun, berbanding terbalik dengan berseminya bunga-bunga, bagi Sakura hubungannya dengan Naruto belum berkembang; tak ke mana-mana, malah semakin mengalami kemunduran. Semakin hari semakin ada yang terasa hilang meski pemuda itu tetap menemaninya untuk sekedar jalan-jalan atau menemui responden demi keperluan tugas akhirnya.

Di saat itulah sesuatu semakin mengganjal sebelum menghantui Sakura saat ia diam-diam mengamati ekspresi Naruto selama sesi penelitiannya terhadap para responden itu. Kekasihnya tampak menyimak jawaban-jawaban mereka dengan seksama, kadang raut wajahnya tak dapat ia baca.

Ia yakin jika dari awal Naruto bersedia menemaninya ke tempat komunitas respondennya adalah karena Gaara, sahabat Naruto yang merupakan pria gay. Apalagi, semenjak kepulangan mereka dari pantai, Naruto mulai lebih banyak menceritakan persahabatannya dengan Gaara. Tentu Sasuke juga termasuk, namun nama Gaara paling sering disebut. Naruto bahkan menunjukkan fotonya; pemuda berwajah tampan dengan rambut merah darah dan matanya seperti giok.

Fakta bahwa Naruto mengetahui setiap rinci tentang sahabatnya membuat Sakura semakin percaya bahwa pemilihan topiknya untuk tugas akhir bukanlah tanpa alasan. Ia tak percaya adanya kebetulan yang terlalu pas, maka untuk memastikannya, ia akan menggali kecurigaannya sendiri. Terlebih, ia telah mengetahui perihal hubungan Naruto dengan dua perempuan di masa lalunya.

Ia akan mencari tahu apa yang salah pada diri Naruto sebab ia memiliki satu kecurigaan. Sakura tahu bahwa topik tugas akhirnya menyinggung tentang hal yang ia curigai, hanya saja ada hal lain yang ingin lebih ia pahami. Maka, ia memutuskan untuk mendatangi ayah Ino, sahabatnya, yang bekerja sebagai psikolog.

Sebelum ke sana, ia sudah mengumpulkan beberapa hasil dasar pemikirannya tentang mengapa kecurigaannya menuju ke satu kesimpulan sementara, juga dengan semua teori yang ia baca empat malam suntuk. Dari buku hingga internet, bahkan ia membaca ulang beberapa referensi untuk skripsinya.

Di ruang tamu dengan nuansa putih itu, telah duduk dua orang. Ino memutuskan untuk meninggalkan sahabatnya dengan sang ayah sebab ia menghormati apa pun urusan pribadi Sakura. Yamanaka Inoichi, ayah Ino, duduk menyilangkan kakinya, menunjukkan bahwa ia bersikap santai, namun siap mendengar atau pun memberikan pendapat.

"Jadi, apa yang ingin kau tanyakan, Sakura?" tanyanya.

"Terkait dengan topik tugas akhirku, Paman. Tentang ... homoseksual. Aku tahu bahwa tanpa gangguan internal dari pemilik orientasi tersebut, homoseksualitas termasuk dalam aspek normal dan bukan gangguan kejiwaan. Tetapi, yang ingin kutanyakan adalah ... bisakah orientasinya berubah dengan treatment?" tanya Sakura.

Inoichi tak bergerak sedikit pun, kecuali matanya yang sedikit menyipit. Baginya, menghadapi pertanyaan, bahkan melayani konseling bagi orang-orang dengan keadaan itu adalah hal yang biasa. Ia hanya terkejut saja karena Sakura yang merupakan sahabat karib putrinya menanyakan hal ini.

Sebenarnya, ia sadar bahwa Sakura tidak melakukannya semata karena rasa ingin tahu atau kepentingan akademis. Pria itu mengamati gerak-gerik, ekspresi, nada bicara, dan jeda yang sempat Sakura berikan sebelum ia menyebut kata homoseksual. Semudah itulah bagi Inoichi untuk mengetahui bahwa topik pembicaraan ini sedang sangat mengganggu Sakura.

"Sejujurnya, meskipun homoseksualitas selain karena traumatic event bukan lagi gangguan kejiwaan, namun hal ini masih menjadi misteri bagi para psikolog sebagai pemberi perlakuan," jawab Inoichi.

Hati Sakura terasa terbenam, terlebih saat Inoichi mengingatkan kembali tentang betapa kompleksnya soal orientasi seksual tersebut. Faktornya pun beragam, mulai dari keadaan biologis, faktor hormonal, keadaan sosial, atau pengalaman hidup menyakitkan, seperti sakit hati dan pelecehan seksual. Masing-masing tidak dapat disamakan, namun pada akhirnya hal itu akan berakhir di satu muara, yaitu orientasi. Ironisnya, meski bisa, namun orientasi seksual sendiri kelewat sulit untuk diubah.

Sementara orientasi mereka berbeda, mereka memiliki kesamaan seperti mereka yang memiliki orientasi heteroseksual. Kesamaan tentang ketertarikan romantis, afeksi atau kasih sayang, hingga hubungan intim. Itu mengapa, secara umum, homoseksualitas tidak lagi termasuk gangguan kejiwaan, kecuali jika hal tersebut sudah menimbulkan ketidaknyamanan atau bahkan depresi karena tekanan. Bisa dari dirinya sendiri dan juga dari luar.

"Seorang pria tidak bisa langsung bisa tahu kalau dirinya gay. Ada yang perlu waktu untuk menemukan identitasnya. Andai ... ada yang bisa mendampinginya dalam masa-masa itu dan mendukungnya, entah kemudian orientasinya berubah atau tidak, tapi setidaknya dia tidak akan terlalu terpuruk," ujar Inoichi.

"Karena belum ada penelitian ilmiah yang menjamin keberhasilan treatment itu," balas Sakura.

Inoichi mengangguk. Pikiran Sakura langsung tertuju pada kekasihnya.

Bisa jadi ... Naruto belum menyadari orientasinya sendiri. Atau, apakah pikiran Sakura saja yang berlebihan setelah ia mendapati ciri-ciri yang ia curigai? Sikap Naruto, tanggapannya tentang hamster-hamsternya, dan masih banyak lagi.

"Perlakuan juga tidak akan berhasil jika dijalani dengan keterpaksaan. Salah satu klienku mengalami sedikit kemajuan sebab dia menjalaninya karena kesadaran diri dan niat bulat," tutur Inoichi mengakhiri penjelasannya.

Jauh di lubuk hati, Sakura masih memiliki harapan bahwa kecurigaannya salah. Namun semikian, ia tetap ingin memastikan segala sesuatunya tanpa membuat Naruto tersinggung, sedangkan belum tentu kecurigaannya benar.

Belum tentu.

Semoga ... .

Dari lamanya ia berdiskusi dengan Inoichi, Sakura hanya menarik kesimpulan bahwa semua manusia berhak dicintai. Mungkin ia akan terus mencintai Naruto entah sebagai apa. Ia rasa ia bisa melakukannya. Mudah-mudahan.

Ia juga memahami bahwa tak akan ada habisnya memperdebatkan salah dan benar tentang hal itu. Jika dilihat dari segi agama yang ada di dunia ini dan tolok ukur norma, keadaan itu adalah sebuah kecacatan dan dosa. Namun, psikologi akan berpegang pada hal-hal paling dasar dari diri manusia. Ia hanya perlu mengingat itu. Dengan begitu, ia akan bebas dari segala pandangan menghakimi, namun bukan juga membenarkan atau menyalahkan.

XxX

Dalam kamarnya yang gelap, Sakura duduk meringkuk di sempadan pintu yang menghubungkan kamar dengan balkon. Ia sedang takut akan terang sebab terang akan membuat air matanya tampak. Ia masih ingin berada dalam gelap agar ia tak melihat apa pun dengan jelas dan membiarkan pendar lampu jalanan sedikit menghujam gulita.

Semangatnya sedikit muncul ketika pesan-pesan dari Naruto berdatangan, yang mana ia balas dengan hangat. Ia tak menemukan kebohongan dalam sikap Naruto. Pemuda itu memang tulus menyayangi dan peduli, tapi perasaan itu tak mengandung emosi-emosi yang seharusnya ada antara kekasih.

Sakura sering melihat saat Naruto membicarakan Gaara dengan sorot mata yang terkesan beda, seakan Naruto akan menghilang jika Gaara benar-benar menikah. Dalam perbincangan mereka di telepon pun Naruto sering menyebutkan nama pemuda itu. Sekarang, ia jadi mengingat foto Gaara yang pernah Naruto perlihatkan. Tak hanya pemuda itu saja, tetapi juga ada Naruto dan Sasuke. Foto mereka bertiga.

Meski sekilas tak ada yang aneh, Sakura dapat melihat dengan teliti apa yang membedakan kedekatan antara Sasuke dengan Gaara atau Naruto dengan si pemuda berambut merah darah. Sampai detik ini pun Sakura masih memikirkannya, di saat ia masih terus berkirim pesan dengan Naruto.

Tak!

Sakura terperanjat ketika didengarnya suara jendela yang dilempar. Mungkin dengan batu. Gadis itu berdiri dan berjalan menuju pinggiran balkon. Matanya membulat ketika ia melihat Sasuke berdiri di sana, di bawah, di depan pagar. Pemuda berambut sehitam gagak itu melambaikan tangan sekali, mengisyaratkan permintaannya agar Sakura turun menemuinya.

Tanpa menghiraukan keheranan tentang bagaimana Sasuke mengetahui di mana rumahnya, Sakura segera menuruni puluhan anak tangga. Ia tak sabar untuk mengetahui maksud Sasuke menghampirinya.

Dan, di sanalah ia, berdiri di hadapan Sasuke. Pemuda itu menolak ajakan Sakura untuk berbincang di beranda rumah dan memilih bicara di tempat mereka berdiri.

"Aku tahu rumahmu saat aku menemani Naruto ke sini. Dia tahu kau tidak di rumah, jadi kami pergi," jelas Sasuke tanpa diminta.

"Lalu, ada keperluan apa kau sampai ke sini malam-malam?" tanya Sakura.

"Aku hanya ingin memberimu suatu saran."

Sakura mengernyit tak paham.

"Untuk apa?" tanyanya.

Pemuda itu tak menjawabnya dengan perkataan, melainkan dengan sebuah benda kecil yang ia sodorkan. Benda itu adalah flash disc dan Sakura tak mengerti mengapa Sasuke memberikannya.

"Di dalamnya hanya ada dua video dewasa," katanya.

Wajah Sakura memanas, seakan habis ditampar keras. Rasa tersinggungnya nampak jelas dalam roman muka. Namun, sebelum ia menyatakannya dengan mungkin bentakan atau kata-kata kasar lain, Sasuke menahannya dengan mengangkat tangan.

"Satu video dewasa pasangan normal, satu lagi adalah video gay," katanya.

Tepat saat Sasuke tuntas mengatakan kata terakhir itu, Sakura terbelakak sebelum melayangkan tatapan tak percaya. Lebih tepatnya tatapan ngeri. Ia tak perlu mempertanyakan bagaimana Sasuke menyadari hal yang sama sebab jika ia yang baru mengenal Naruto hampir empat tahun dan menjalani hubungan selama lima bulan saja memiliki kecurigaan ini, apalagi Sasuke yang telah mengenal Naruto sejak sekolah.

"Kenapa ... kau membantuku?" tanyanya.

Alis Sasuke terangkat. "Ini semata karena aku ingin membantu temanku juga, tapi kurasa akan lebih tepat kalau kau yang melakukannya," jawabnya.

Keheningan yang tak singkat menggodok absennya kecepatan berpikir Sakura bersamaan dengan ketakutannya. Berbeda dengan Sasuke yang semakin memperdalam tangannya ke dalam saku, gadis itu nyaris lupa rasanya kedinginan.

"Apa yang harus kulakukan dengan ini?" tanyanya.

"Minta dia untuk melihat video-video itu. Barangkali kau akan menemukan jawaban yang kau cari," jawab Sasuke.

Sejurus kemudian, tatapan keduanya bertemu dan seakan terpatri. Sakura tak melihat adanya kesan meremehkan atau apa pun yang menyinggung. Yang ia lihat adalah bahwa pemuda itu memang peduli.

Tatapan mereka tak lama karena Sakura buru-buru berpaling demi lepas dari pandangan Sasuke yang entah mengapa seperti dapat menembus pintu jiwanya. Pemuda itu sudah cukup banyak membaca isi pikirannya. Sakura hanya tak ingin jika semua yang ada padanya diketahui oleh orang lain, apalagi oleh orang asing seaneh Sasuke.

Untuk pria yang katanya memiliki seorang kekasih seorang wanita malam, ia tak dekat dengan kata brengsek. Sungguh aneh bagaimana ketiga pemuda itu dapat bersahabat; tiga pemuda yang memiliki jalan hidup yang tak dapat habis ia nalar.

"Terima kasih," ujar Sakura lirih sebelum ia berbalik untuk memasuki pagar.

"Haruno," panggil Sasuke dan gadis itu kembali menatapnya. "Kadang ... ada kalanya tidak tahu apa-apa akan terasa jauh lebih menyakitkan ketimbang melihat apa yang sebenarnya ada."

Gadis itu tak diberi kesempatan untuk membalas ucapannya sebab ia langsung meninggalkan Sakura yang mematung di tempatnya berdiri. Tubuh Sasuke nampak kokoh, namun sejak ia melontarkan kalimat perpisahannya, Sakura merasa kalau ia melihat sesuatu yang pemuda itu sembunyikan di balik pundaknya. Ia masih tak mengerti mengapa Sasuke bertindak sejauh ini, paling tidak menurutnya sendiri.

Malam itu, repihan salju turun dari angkasa, menuruni pundakmu yang entah mengapa tampak rapuh.

Alangkah lucunya dirimu jika dalam keadaanmu sendiri kau mencoba menarik keluar keberanianku. Atau, kau justru hendak memberangusnya?

XxX

Naruto tertegun ketika mendapati kekasihnya berdiri di depan pintu apartemennya, sementara kepalanya tertunduk dengan rambut yang menutupi wajah. Malam itu, Naruto baru saja kembali dari sekedar mengelilingi kota sambil merenungi hal-hal yang menjadi beban pikirannya berhari-hari. Tidak, mungkin sejak lama, terutama sejak kedatangan Sasuke yang membawa kabar tentang Gaara yang dipaksa menikahi seorang gadis. Ia tak mengerti mengapa ia merasa kacau.

Melihat Sakura di sana merupakan siksaan tak terjelaskan yang sekonyong-konyong datang. Namun, ada perasaan lega terselip di antara perasaan menyesakkan itu. Sesak, sebab tanpa ia tahu mengapa ia juga memiliki perasaan bersalah.

Dengan gamang, Naruto menghampiri sang kekasih dan terperangah saat dilihatnya pipi Sakura yang basah. Sebelum ia sempat bertanya apa-apa, Sakura langsung menghambur dan ia pun membalas pelukan kekasihnya. Tak ada isak, tapi Naruto tahu bahwa Sakura sedang berada dalam suasana hati yang bisa ia bilang sangat tidak baik. Tubuh gadis itu bergetar dan ada yang tak biasa dari pelukannya. Ia pun menuntun Sakura masuk ke apartemennya.

Segelas teh panas Naruto letakkan di atas meja, sedangkan Sakura masih bergeming.

"Bicaralah, Sakura! Supaya aku tahu apa yang sedang terjadi," lirih Naruto dengan suara seraknya yang khas.

Gadis itu mengangkat wajah, kemudian ia memandangi Naruto, seakan ia sedang menghapal setiap garis wajah sang kekasih. Seolah masa-masa seperti ini tak akan datang lagi padanya nanti.

Aku takut. Aku takut jika musim semi membuat semiotika palsu tentang cinta yang dari mula kurajut.

"Naruto."

"Ya?"

Tangan Sakura perlahan terulur sebelum berlabuh di pipi Naruto, di mana tanda lahir berupa tiga garis itu tertoreh. Ia berharap bahwa sentuhannya akan cukup untuk memberitahu sebesar apa rasa sayangnya.

"Hari ini saja ... maukah kau melakukan sesuatu untukku?" tanya Sakura.

"Baiklah," jawab Naruto sedikit ragu.

Tanpa mengulur waktu lagi, Sakura mengambil flash disc yang diberikan oleh Sasuke dari saku tasnya. Ia tak mengatakan apa pun, kecuali meminta Naruto untuk meminjamkannya laptop dan pemuda itu hanya menuruti meski ia tak mengerti mengapa membuka sebuah berkas dalam flash disc sepertinya menjadi hal yang sangat serius. Firasatnya mendadak tak enak begitu ia kembali dari kamar dengan membawa laptop yang Sakura butuhkan.

"Sebelum kita membukanya, aku ingin menawarkanmu sesuatu, Naruto. Kau ingin aku tetap di sini atau kau mau aku di luar saja, tapi ... aku berharap kalau kau tetap mengizinkanku di sini," ujar Sakura.

"Memang apa isinya?" Naruto keheranan.

Memang sial lidah kelunya! Tapi, gadis mana yang akan dengan mudah mengatakan bahwa isi dari benda itu adalah video dewasa? Sakura sempat kebingungan untuk memberitahunya sebelum ia kembali membulatkan tekadnya.

"Video dewasa," jawabnya lirih.

Naruto terbelalak. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, apalagi itu keluar dari mulut seorang gadis seperti Sakura. Ia mengenal betul siapa gadisnya sebab mereka selalu bersama meski sebagai kawan kala itu dan tak pernah sekali pun ia mendapati gadisnya berbuat sesuatu yang macam-macam.

Dalam pikirannya, Sakura sebagai wanita normal mungkin saja pernah menonton video semacam itu, tapi menonton dengan seorang pria? Naruto hampir tak mengenali Sakura yang sedang bersamanya sekarang.

"Kau ... ." Ia masih gagal menemukan kata-katanya.

Sakura memejamkan mata dengan erat sebelum membukanya. Ia tatap sang kekasih, berharap bahwa pemuda itu tahu betapa yakinnya ia akan keputusannya.

"Kenapa, Sakura?"

"Cinta," katanya, "aku mau tahu apa cinta yang kumaksud ada dalam hubungan kita."

"Dengan cara seperti ini?" Naruto tak percaya. "Kau tidak memercayaiku."

Gelengan Sakura cukup menjawab pernyataan akhir Naruto. Pemuda itu seharusnya tahu benar bahwa ia mencintainya.

"Aku memintamu menonton bukannya tanpa tujuan. Kau tahu ... ini juga semata kulakukan agar kau ... mengenali siapa dirimu sendiri," jawab Sakura.

"Apa maksudmu?"

Kata-kata telah terangkai sebelumnya, mengenai dari mana penjelasan ini harus dimulai. Tentang semua hal janggal yang Sakura temukan dalam sikap Naruto seiring bertambahnya usia hubungan mereka. Semua yang Sakura rumuskan merupakan hasil dari apa yang ia renungkan dan amati, termasuk pengalaman percintaan Naruto dan pengamatan subyektif Sakura pada cara Tenten dan Neji berinteraksi.

Hyuuga Neji yang mereka jumpai di pantai kala itu adalah pemuda yang selalu bersikap acuh tak acuh, namun perlakuannya terhadap Tenten mampu mengubah pandangan Sakura. Pemuda itu justru memperlihatkan dengan jelas bagaimana seharusnya emosi yang ditunjukkan seorang pria yang mencintai wanita. Lucunya, hal itu justru tak pernah Sakura lihat dalam diri Naruto, padahal ia adalah pria dengan sikap yang hangat.

Sakura memegangi tangan Naruto ketika kekasihnya itu hendak menampakkan kemarahan yang disebabkan oleh rasa tertuduh. Sikapnya tentu sangat bisa dipahami, tetapi bagi Sakura menemukan kebenaran lebih penting ketimbang membiarkan segalanya mengambang begitu saja. Setelah itu, Naruto menahan diri dan mulai merenung. Mungkin Sakura benar. Ia mengakui bahwa sikapnya langsung berubah tak hanya terhadap gadis itu, tapi juga dua mantan kekasihnya dulu, saat ia mengetahui ada sesuatu yang membuat Gaara dalam keadaan yang tidak menguntungkan.

Naruto takut. Sebagai pria yang hingga detik ini memercayai bahwa dirinya normal, ia takut jika apa yang menjadi dugaan kekasihnya benar. Tapi, ia sendiri sudah mencapai titik paling menyiksa semenjak ia tahu bahwa Gaara akan menikah.

"Kenapa kau melakukan ini? Apa ... kau berniat menjadikanku salah satu obyek penelitianmu?" tuduhnya.

"Kau tahu itu tidak benar," balas Sakura. "Bukankah pernah kubilang kalau aku ingin kau bahagia? Bagaimana bisa aku bahagia saat kau sendiri tidak merasakannya? Andai ... kau mau jujur, Naruto, kau tidak pernah benar-benar bersamaku sejak saat itu."

Tebakannya sama sekali tidak meleset sebab baru saja Naruto memikirkannya. Ia pun memandangi wajah lelah sang kekasih, di mana tak hanya keletihan yang ia yakin disebabkan oleh kurangnya jam tidur, tapi juga banyak permohonan yang saling bertentangan. Perasaan bersalah pun mulai merambati hatinya manakala ia mengingat bagaimana ia datang pada Sakura dan mengajaknya berkencan, lalu sekarang justru dirinya sendirilah yang menempatkan Sakura dalam situasi yang benar-benar membingungkan.

"Kenapa? Jika kau tidak yakin kalau aku mencintaimu, kenapa kau bertahan?" tanyanya.

"Karena inilah caraku memenuhi janjiku untuk tidak meninggalkanmu ... karena aku mencintaimu," jawab Sakura.

Rasanya dada Naruto seperti diinjak-injak selegiun tentara. Sakit, berat, dan ia menyerah.

"Bagaimana jika ... kecurigaan-"

"Untuk itulah kita harus mencari tahu," sela Sakura, lalu imbuhnya, "Jika kau tidak percaya padaku, maka percayalah pada perasaanku."

"Bagaimana kalau aku menyerangmu dan melakukan hal-hal yang ... ini video dewasa, Sakura!"

Sakura menggeleng. "Maka, itu keberuntunganku. Aku telah memikirkannya matang-matang. Jika aku ... ." Air matanya jatuh sebelum ia meneruskan, "... tidak beruntung, maka ... semua terserah padamu. Jadi, izinkan aku melakukannya!"

Naruto akhirnya setuju untuk mengikuti apa pun yang kekasihnya ingin lakukan padanya. Lagipula, tak ada alasan baginya untuk tidak memercayai gadis itu. Ia sangat tahu bahwa Sakura tidak akan punya hati untuk menyakiti siapa pun.

"Aku akan duduk di seberangmu dan pakailah headset!" ujar Sakura, "Putar dulu file pertama!"

"Aku mengerti," jawab Naruto.

Dengan gentar dan gamang, Naruto menyalakan laptop dan menyambungkannya dengan flash disc yang Sakura bawa. Sungguh tak tergambar bagaimana tegangnya mereka berdua saat video pertama yang merupakan video pasangan normal diputar. Sakura sampai harus menahan malu habis-habisan meski ia tak melihat secara langsung, sementara Naruto memusatkan perhatiannya pada video itu demi mengetahui tentang dirinya sendiri.

Video berdurasi lima belas menit itu pun usai. Keduanya sama-sama kikuk, namun Sakura tak menghiraukan perasaannya lagi dan mulai memutar video ke dua. Video itu, bagi Sakura, tak ubahnya seperti algojo yang siap mencabut nyawanya.

Sakura tak pernah tahu bagaimana isi video yang memperlihatkan hubungan seksual antara dua pria. Ia hanya menyibukkan diri pada pengamatannya sendiri. Posisinya memang membuatnya lebih leluasa untuk mengobservasi setiap gerak dan perubahan mimik Naruto. Dan, alangkah takutnya Sakura saat mendapati wajah Naruto yang memerah hebat, yang sama sekali tak bisa dibandingkan dengan saat pemuda itu menonton video pertama.

Mungkin seperti inilah rasanya saat tubuh seseorang terhempas ombak besar sebelum terlempar, terlesat ke dasar jurang. Perasaannya, harapannya ... semua berjatuhan ketika Naruto menatapnya ngeri begitu video kedua selesai diputar.

"Tetaplah di tempatmu!" desis Naruto ketika Sakura berniat menghampirinya.

Perintahnya bagai mantra yang membuat tubuh Sakura mematung. Ia hanya mampu menyaksikan bagaimana Naruto memalingkan wajah, namun ia sempat melihat dua bulir air mata pemuda itu jatuh.

Naruto telah menemukan kebenaran tentang dirinya sendiri, yang mana ia dapat begitu ia merasakan gelora dan gejolak menggila selama menonton video kedua. Ia sakit ditampar sebuah kesadaran bahwa ketika dulu ia bercinta dengan dua mantan kekasihnya yang merupakan perempuan, ia tak pernah melihat mereka dalam bayangannya. Libido yang ia rasakan kala itu tak lebih dari hasil fantasinya mengenai obyek seksual: sensasi fisik dan posisi seks sesuai yang pernah ia lihat dalam video dewasa pasangan normal yang pernah ia tonton saat sekolah. Bukan dengan siapa ia bercinta. Itu mengapa ia tak pernah merasakan getaran terhadap mereka. Betapa besar rasa berdosanya saat ia mengingat bahwa ia mencium gadisnya berdasarkan apa yang pernah ia alami, tapi getaran itu tak jua datang terhadap Sakura yang sangat ia sayang.

Lalu, rasa sayang macam apa yang ia punya untuk gadisnya?

Sakura merasa tak berdaya melihat Naruto yang tampak begitu rapuh, seakan sekelebat angin saja mampu melantakkan seluruh keberadaannya. Kini, ia tak peduli lagi andai Naruto menolak kehadiran atau pelukannya. Sakura tak ingin kekasihnya terus-terusan menjambaki rambut sambil menangis dalam kesakitan batin yang luar biasa. Ia ingin tetap mendekap Naruto.

"Cukup, Naruto!" lirih Sakura sambil menahan tangan Naruto.

"Pergilah! Menjauhlah dari pria menjijikkan sepertiku!" seru Naruto.

Tanpa memedulikan teriakan pemuda itu, Sakura merengkuh tubuhnya. Ia tak pernah membayangkan bahwa seseorang seceria Naruto akan merasakan kengerian sedemikian rupa. Tubuh pemuda itu bergoncang dalam tangis tertahan.

"Aku di sini, aku di sini," bisik Sakura.

Naruto kalah oleh kebutuhannya untuk membalas pekukan sang gadis. Keduanya menangis, membuang semua kesesakan yang merampas semua hari indah yang pernah mereka lalui bersama. Mereka saling mengeratkan pelukan tanpa peduli apakah mereka akan meremukkan tulang rusuk sebab kesakitan yang mereka rasakan tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan itu.

"Maaf," ujar Naruto dalam tangisnya, "maaf ... maaf ... maaf karena keadaanku seperti ini. Aku sungguh tidak tahu."

Sakura melepaskan pelukan mereka sebelum keduanya saling menyandarkan kening. Tangannya tetap setia berada di kedua sisi rahang Naruto ketika tangis pilunya belum tamat. Baginya, Naruto sama sekali tak bersalah sebab pemuda itu bahkan baru menyadari orientasi seksualnya sendiri hari ini.

"Aku ingin mencintaimu, Sakura," isak Naruto, "aku ingin mencintaimu seperti yang kau mau! Aku ... sungguh minta maaf."

Sakura menggeleng, masih belum dapat menghentikan sedu-sedannya. Ia menyadari bahwa ia tak mampu mencintai pria itu tanpa pamrih dan ia sakit hati karena harapannya sendiri.

Dengan sengaja, Sakura memagut bibir Naruto. Bibirnya berdiam di sana, semata untuk mengungkapkan perasaannya yang begitu egois. Ciuman putus asa tanpa balasan, kecuali bahwa ia merasakan bibir Naruto bergetar dan terasa asin karena air mata.

Andai aku bisa membaca cinta dengan titik saja ... .

Setelah merasa cukup, Sakura menarik diri dan memandangi kekasihnya yang menunduk, masih menangis. Ia membelai wajah pria itu.

"Kupikir dengan ini aku sudah mencintaimu dengan tulus, tapi aku salah ... . Nyatanya aku masih menginginkanmu agar tetap di sampingku untuk waktu yang lama," ujar Sakura. "Aku ingin memilikimu, Naruto, tapi apa yang bisa kuperbuat jika cinta yang kumaksud tidak akan pernah ada di hatimu?"

Mata Naruto terkatup sangat erat, sementara tangisnya terlalu deras untuk dihentikan.

"Jadi ... inikah sebabnya aku selalu ... merasa tidak bisa membahagiakan wanita yang kukencani?" tanya Naruto, lalu katanya, "Aku tidak bisa ... meski aku ingin."

"Termasuk aku," gurau Sakura sambil terisak.

"Terutama kau!" seru Naruto. "Jika mereka, aku tak akan setersiksa ini, kau tahu! Kau ... yang paling dekat dengan keinginanku untuk membahagiakan wanita, tapi terhadapmu juga keyakinanku makin menciut ... karena kau baik, terlalu baik. Lalu, bagaimana sebenarnya hatiku ini dan apa yang harus kulakukan?"

Seruan dan ucapan frustrasinya serasa meremukkan hati Sakura hingga ia tak ingin berhenti membelai pipi pemuda itu. Kepiluan yang hari ini mereka rasakan benar-benar di luar jangkauan kekuatan mereka. Keduanya tak lagi peduli jika suara tangis mereka terdengar sampai ke luar; mereka hanya ingin semua kesesakan ini lebur.

Naruto kehilangan nyali untuk sekedar menatap Sakura. Ia masih tertunduk dengan bahu yang terguncang sambil menahan keinginan untuk merengkuh gadis yang telah ia kecewakan. Maka, ia hanya menggenggam tangan Sakura yang berada di pipinya.

"Kurasa kau menyukai Gaara, itu kenapa kau sangat gelisah," ucap Sakura. "Aku hanya ... menyimpulkannya setelah memerhatikan semua sikapmu."

Di saat itu juga, wajah Naruto terangkat. Mungkin ... mungkin kesimpulan Sakura benar sebab apa yang ia rasakan setelah mengetahui kabar pernikahan itu memberinya perasaan marah dan tak rela. Bahwa ia ingin Gaara tetap menyukainya seperti apa yang sahabatnya itu racaukan dalam keadaan mabuk dulu.

"Tapi ... tidak, aku tidak mungkin ...! Aku memilikimu; kau kekasihku ... aku tidak mungkin ...," lirihnya tanpa menamatkan kalimat, lalu ia menyeka air mata dengan punggung tangan.

"Katakanlah aku hanya penyampai pesan untukmu ...," jawab Sakura dalam kekehnya yang perih. Gadis itu kembali menampakkan wajah bersedih dan ia menangkup wajah Naruto untuk kesekian kali. "Mungkin aku akan menangisimu berhari-hari atau berbulan-bulan, tapi pergilah padanya! Kalau dia menolakmu, anggap saja itu karma karena kau sudah mematahkan hatiku," candanya.

Sontak, Naruto menghambur ke arah Sakura. Entah siapa gadis itu baginya; kawan atau masih kekasih, tapi kekasih kadang tak sesempit konsep yang dibuat oleh para pendahulu. Sakura adalah kekasih hati yang tanpa membuatnya merasakan getar hasrat akan adanya penyatuan seutuhnya. Tak akan ada yang bisa memahami perasaannya itu. Orang-orang yang melihat dunia ini hanya sebatas hitam dan putih pasti akan gagal mengerti.

Entah bagaimana, kau tetaplah belahan jiwaku, tapi dia adalah jantung hatiku.

"Bertahanlah, Naruto-ku yang kuat!" bisik Sakura.

XxX

Dua tahun setelah kelulusan kuliah, Sakura tak pernah melihat Naruto, bahkan kabar dalam bentuk lain pun tidak. Pemuda itu meninggalkan Osaka, menghilang, dan tinggal entah di mana ketika pada akhirnya Gaara menikah dengan wanita yang dipilihkan orang tuanya. Namun, bukan itu alasan utama yang membuat Naruto pergi, melainkan karena Gaara memutuskan untuk mengakhiri hidup setelah setahun pernikahannya. Naruto hancur seketika saat seutas tali merenggut nyawa pria yang ternyata ia sukai itu.

Mejadi kaum homoseksual mengharuskan mereka siap untuk melawan dunia dengan segala sentimen dan mungkin dampak negatifnya. Depresi, kecemasan, dan bentuk penganiayaan batin lain, adalah hadiah yang Gaara terima. Pria itu tak mampu mencintai sang istri dan ia tak tahu bahwa Naruto sudah berpisah dengan Sakura. Mantan kekasih Sakura itu tak pernah mengungkapkan perasaannya sebab ia tak ingin mengacaukan pernikahan Gaara.

Puncaknya adalah saat wanita itu menuntut hubungan suami-istri yang hampir tak pernah Gaara berikan. Hanya dua kali dalam setahun, itu mengapa ia mengadu pada ayah Gaara dan pria itu pun semakin mendapat tekanan, juga kata-kata penghinaan yang kian lama kian menyakitkan. Gaara sudah mencapai titik nadirnya.

Kini, di dalam ruang praktik konseling di mana Sakura bekerja, ia tenggelam dalam lautan ingatan masa lalu. Sakura membuka laci dan mengambil dua carik surat yang Naruto kirim sebulan setelah kematian Gaara. Air matanya mulai sering mangkir untuk turun sebab waktu telah membuatnya terbiasa bergelut dengan luka. Ia pun mulai membaca surat-surat itu demi mengusir rindu yang entah bagaimana belum sirna sepenuhnya.

'Sakura,

Hingga saat ini aku masih tak punya keberanian untuk kembali menangis di hadapanmu. Aku ingin kau mengingatku sebagai pria yang kuat. Untuk itu, izinkan aku mejadi kuat tanpa merengek padamu. O, ya, aku titip surat Gaara sebab jika aku menyimpan itu, aku akan terus membacanya. Siapa tahu suratnya akan lebih berguna untukmu. Jika ada nasib, kita akan bertemu lagi, tapi kumohon berbahagialah dan temukan seseorang yang kau cintai melebihi cintamu padaku; seseorang yang mencintaimu dan yang tak akan sanggup hidup tanpamu.

Naruto.

P.S: Hey ... Aku menyayangimu.'

Sakura tersenyum, lalu ia selipkan surat itu di bawah surat terakhir Gaara. Tulisan Gaara sangat rapi, berbeda dengan tulisan Naruto yang berantakan. Entah mengapa justru surat itu yang masih membuat air matanya merebak. Ia mengerti sekarang mengapa Naruto tidak mau menyimpannya.

'Aku telah hidup sebagai manusia tertolak di bumi. Aku lelah. Andai mereka tahu bahwa aku tak pernah memilih terlahir dengan membawa kutukan semacam ini. Mungkin kau juga jijik, tapi aku tak pernah menyesal karena menyukaimu, Naruto.

Kepergianku ini agar aku bisa bertemu dengan Tuhan. Jika aku diizinkan. Aku tak akan protes andai aku berakhir di neraka, atau jika aku sedikit beruntung, aku pasrah dilahirkan kembali sebagai binatang atau makhluk paling hina. Tapi, jika Dia bermurah hati dan memberiku kesempatan lahir kembali ke dunia sebagai pria, maka aku akan meminta agar Ia menganugerahiku dengan kenormalan. Aku ingin terlahir normal dan mencintai wanita, sama sepertimu yang mencintai gadis bernama Sakura itu.

Gaara.'

Surat-surat itu masih berada dalam genggaman tangan Sakura sebelum ia dekatkan ke dadanya. Meski ia belum pernah bertemu dengan Gaara, ia merasa seperti sudah lama mengenal pria itu. Cerita demi cerita yang bergulir di minggu-minggu terakhir hubungannya dengan Naruto hingga pada saat mantan kekasihnya itu meninggalkan Osaka begitu mengalir. Cara Naruto menceritakan siapa Gaara memberi kesan kalau pemuda yang berakhir tragis itu seakan berada di antara mereka, setia mendengarkan.

Andai pemuda itu tak keburu mencabut nyawanya sendiri, Sakura ingin setidaknya sekali saja bertemu untuk kemudian menyampaikan bahwa Naruto juga memiliki perasaan yang sama. Walau terlambat disadari.

Dan, demikianlah cinta meletakkanmu di antara batas tipis kebahagiaan dan penderitaan.

"Sakura," panggil Ino sebelum wanita itu mengela napas saat ia mendapati sahabatnya menyeka air mata.

Sakura melipat kedua surat itu dan memasukkannya dalam laci meja kerjanya. Kemudian, Ino menghapiri dan mengusap-usap pundaknya. Wanita itu tahu bahwa sampai sekarang Sakura masih terkenang akan kisah Naruto dan pria bernama Gaara itu. Sebagai sahabat, Ino hanya bisa memahaminya, tapi sesekali ia akan mengingatkan Sakura bahwa hidup masih harus berlanjut.

"Kita jadi ngopi, kan?" tanya Ino.

Sakura mengangguk sebelum kedua wanita itu meninggalkan tempat konseling. Sudah sejak pagi mereka berencana menghabiskan sore bersama dengan Tenten di kedai kopi milik Uchiha Itachi, kedai yang dulu biasa Sakura kunjungi bersama Naruto. Seperti tentang surat pria itu, kedai kopi milik kenalan Naruto sudah tak meninggalkan sakit yang berlebihan.

Suasananya kini berbeda. Pemiliknya telah mendekorasi ulang kedai itu, juga dengan tata ruangnya. Semua sudah berbeda, kecuali rasa kopi dan pembuatnya. Atau mungkin tidak, sebab secara mengejutkan, Sakura melihat Sasuke sedang berdiri di balik meja barista, sedangkan Itachi berdiri membelakangi sang adik. Setelah Sasuke menyerahkan flash disc itu, mereka masih sempat bertemu saat ia mendatangi Sakura untuk menyampaikan surat Naruto dan si pria berambut merah.

Sore itu, untuk pertama kalinya setelah satu setengah tahun dari kemunculan Sasuke yang terkahir, Sakura berjumpa dengannya lagi. Kalau dipikir-pikir, saat itu juga sedang musim dingin ketika mereka pertama kali mengenal.

Sebuah pertanyaan melintas di benak ketika Sakura ingat tentang kisah cinta pria itu. Ia bertanya-tanya apakah Sasuke masih bersama dengan pacar wanita malam yang diceritakan oleh Naruto. Namun, tanpa menghiraukan pemikirannya lagi, Sakura mendekati meja barista dan memandangi Sasuke tanpa menyapa sampai pria itu menyadari kehadirannya.

Senyum tipisnya tersungging.

"Aku tidak akan memberitahu di mana Naruto," ujarnya.

"Kau masih tak bisa sedikit saja berbasa-basi," balas Sakura.

Sasuke tak membalas dan malah terus sibuk dengan mesin pembuat kopinya. Tampaknya, ia sudah terampil dalam membuat kopi sebelum ia berada di sini. Tangannya bekerja dengan begitu cepat membuat secangkir kopi hitam dan segelas pumpkin spice latte.

Sakura mengangkat alis.

"Naruto masih membicarakanmu dan aku tahu darinya kalau kau suka kopi ini saat musim dingin. Duduklah di mana pun yang kau mau!" kata Sasuke.

Karena mengetahui bahwa Sakura akan berbincang dengan pria itu, Ino dan Tenten menyuruhnya untuk duduk di meja yang berbeda. Maka, ia pun duduk agak jauh dari kedua temannya sebelum Sasuke menyusul. Pemuda itu duduk di seberangnya sambil meletakkan secangkir kopi hitam di atas meja.

Lama tak bersua, mata Sasuke masih saja membuat Sakura tak nyaman, lebih tepatnya salah tingkah. Tatapan pria itu justru semakin tajam saja meski ia tak bermaksud menelanjangi jiwa Sakura dan itulah yang ia lakukan saat ini. Sakura mengalihkan pandangan ke mana pun asal itu tak tertuju pada Sasuke.

"Aku tak akan berbasa-basi-"

"Rasanya aku pernah mendengar kalimat itu," gumam Sakura memotong perkataan Sasuke.

Pria itu mendengus.

"Dia selalu mengkhawatirkanmu dan ingin kau membuka hatimu," katanya.

Sakura terperangah, tapi selanjutnya ia hanya mengangkat alis. Ia heran apakah pria itu memiliki bahan pembicaraan lain sebab sekarang Sasuke sedang membicarakan hal yang mirip dengan apa yang mereka bicarakan saat pertama kali mereka kenal. Tapi, pembicaraan macam apa yang mungkin bisa mereka lakukan? Pria itu seperti lebih suka berbicara dengan alam semesta melalui bahasa kalbu dibandingkan dengan orang lain.

"Suruh dia mengatakannya sendiri!" balas Sakura.

"Apa kau sedang bermimpi?"

Sakura memicing. Selain tak punya basa-basi, Sasuke tak bisa berbicara yang tidak membuat orang lain kesal, tapi di lain waktu ia bisa melontarkan kata-kata yang filosofis dan mengena. Sakura masih ingat dengan ucapan semacam itu, yang mana Sasuke lontarkan di malam ia memberikan flash disc berisi dua video dewasa dulu. Entah belajar dari mana ia sehingga ia mendapatkan kemampuan seperti itu.

"Hatiku mungkin sudah tertutup," jawab Sakura.

Dengusan yang terkesan meremehkan dari Sasuke membuat Sakura melengos. Ia lebih kesal dengan pria itu dibandingkan sebelumnya, namun anehnya ia jadi dibuat tersentak oleh getar asing yang tak biasa. Tak urung, hal itu membuatnya semakin jengah pada dirinya sendiri.

"Ya, aku ... harus jatuh cinta untuk membuka hatiku, bukan?" ujar Sakura, namun pandangannya tertuju ke luar jendela.

Ini adalah pernyataan tidak konsisten yang membuat si pelontar malu sendiri. Ia lebih malu lagi saat Sasuke memberi tatapan datar; tatapan yang masih lurus tertuju pada wanita itu. Sakura mengeluh dalam hati dan berharap bahwa Sasuke akan sedikit saja merasakan kecanggungan. Sedikit saja.

"Dia masih ingin aku menjagamu. Lagipula, hubunganku dengan mantan kekasihku sudah lama berakhir, jadi ... bagaimana kalau kau jatuh cinta padaku saja?" ujar Sasuke.

Saat itu juga, Sakura menoleh. Keduanya beradu pandang, membentrokkan sisi lain dalam diri Sasuke dengan sesuatu yang dulu pernah membuatnya sempat termangu sesaat. Mata hijau bening Sakura. Sementara, wanita itu juga sama kuatnya berkemauan untuk meladeni tatapan Sasuke.

Di kedai kopi sore itu, ingin rasanya mereka tertawa pada permainan takdir lain yang sepertinya memerangkap mereka.

o

o

o

o

o

SELESAI

A/N: Terima kasih kalau kalian membaca cerita ini sampai tuntas. Nah, maaf kalau eksplorasi tokoh dan tahap konfliknya terasa cepat. This is oneshot, what do you expect? Hahaha.