"Hakata, itu kakakmu kan?"
Hakata benci jika teman-temannya bicara begitu: dengan nada yang sama seperti jika mereka mengangkat kaos kaki bau kecut dan bertanya, "hei, ini punyamu kan?!" hanya saja yang dibicarakan kali ini bukan kaos kaki tapi abangnya. Mereka semua menatap Hasebe dari mulut pintu gedung sekolah dengan pandangan was-was bercampur cemas. Beberapa anak berbisik-bisik, saling mengajak untuk lewat gerbang belakang. Hakata mengabaikan pertanyaan itu, buru-buru membuka payung dan berlari menembus hujan, menyeberangi halaman sekolah yang becek menuju abangnya yang berdiri menunggu di samping gapura dengan wajah sumringah.
"Hakata, ayo pulang bersama!" Sambut Hasebe begitu Hakata tiba di hadapannya. Ia mengenakan kemeja putih panjang, celana bahan hitam, dan sepatu pantofel kulit; tangan kanan membawa kresek supermarket dengan daun bawang segar menyembul seolah ingin kabur. Tidak ada yang ganjil, kecuali bahwa ia berdiri saja di situ tanpa memakai payung, membiarkan air hujan mengguyur sampai rambutnya lepek dan kain bajunya melekat semi-transparan.
Dan Hasebe tersenyum saja, terus berbicara seolah itu tidak mengganggunya. Empat orang anak laki-laki memutuskan untuk pulang melalui gerbang depan. Saat melewati Hasebe dan Hakata mereka melipir ke sisi lain—saling berhimpitan sambil melirik Hasebe dan cekikikan seolah sedang meledek. Hakata merasakan wajahnya memanas.
"Kenapa Kakak datang kemari?" Kenapa Kakak harus mempermalukanku seperti ini? Tatapan tajam dari anak-anak lain menusuk punggung Hakata seperti ratusan mata panah. Ia hampir bisa mendengar desis gunjing mereka:
Hei, itu Kuroda dari kelas 4-B kan?
Ya, lihat, dia sedang bersama kakaknya.
Kakaknya yang itu?
Iya. Kita pulang lewat gerbang belakang saja, yuk.
Sekloter anak kembali melewati mereka, kecipak air menandakan langkah-langkah kaki bersepatu boots yang dipercepat seperti sedang memintasi rumah pemelihara anjing galak. Harus segera menyingkir, sebelum si anjing mendengar keberadaan mereka dan mulai menyalak. Harus segera menjauh sebelum kakak Hakata berbuat tidak-tidak.
"Kakak sedang berbelanja untuk makan malam," Hasebe menjawab, mengangkat tas kresek untuk menegaskan poinnya. "Hari ini Kakak mendapat resep masakan Korea yang enak sekali! Dari acaranya Kanesada-sensei, kamu tahu, koki terkenal itu! Yang iklan TV-nya ada lagunya begini..." Ia mendendangkan lagu acara memasak itu sambil menggeleng ke kanan-kiri dan menggerak-gerakkan jari, macam guru TK yang berperan sebagai konduktor sederhana bagi murid-muridnya. Hakata menarik turun tangannya sebelum diperhatikan orang. Sepasang anak perempuan yang lewat di belakang Hasebe terkikik keras, suara mereka menembus desau hujan yang makin deras.
"...Atau kamu mau dibuatkan yang lain? Pumpung kita masih di sini, kita bisa balik ke supermarket! Jaraknya tidak jauh!" Hasebe masih mengoceh, nampak tidak peduli pada lingkungan sekitar. Hakata menggeleng putus asa.
"Tidak usah, Kak," desahnya, mengambil kantong dari tangan Hasebe dan menggantinya dengan payung, agar abangnya yang lebih tinggi bisa leluasa memayungi mereka berdua. "Ayo kita pulang saja. Kakak basah kuyup, nanti sakit." Ia menggandeng tangan sang abang dan menariknya cepat-cepat menuju gang sepi, sebuah jalan memutar yang hampir tidak pernah diambil anak-anak sekolahnya.
"Oh ya, benar!" Hasebe menepuk jidat keras-keras sampai terdengar bunyi 'ceplak!' lalu tertawa terkekeh-kekeh. "Kakak lupa bilang. Waktu sedang belanja tadi tiba-tiba hujan, Kakak tidak bawa payung. Lalu Kakak pikir, 'hei, supermarket ini kan dekat sekolahnya Hakata! Pulang bareng dia saja, pasti Hakata bawa payung!' jadi Kakak ke sini deh. Tebakan Kakak tidak salah, kan?"
Hakata hanya tersenyum hambar dan mengangguk sekenanya, merasa sia-sia jika harus bertanya kenapa Hasebe tidak berpikir untuk beli payung saja di supermarket.
O
..ooOoo..
..
LITHIUM
.
touken ranbu fanfiction by psycheros
touken ranbu (c) nitro++ and dmm, all right reserved
r-15 / portrayal of mental illness / suicide attempt / medications and side effects
..
..ooOoo..
O
Susah menjadi seorang Hakata Kuroda. Umurnya sepuluh tahun, sedang merasakan cinta pertama bertepuk sebelah tangan pada sahabatnya. Orangtuanya meninggal sejak lama, kini ia diasuh oleh kedua abang yang masih sama-sama muda. Salah satu dari dua abang itu divonis gila.
Gila sungguhan, bukan "gila" ungkapan kagum yang menggantikan kata "keren" atau "nekat" atau "hardcore". Gilanya Rumah Sakit Jiwa.
Bayangkan betapa janggalnya. Semula Hakata merasa keluarganya adalah keluarga normal—orang-orang yang cukup sejahtera untuk hidup di perkotaan, tapi tidak akan dimuat di majalah sebagai orang kaya baru. Kelak mereka bertiga akan menikah: pertama Nihongou, lalu Hasebe, lalu Hakata; foto pernikahan akan berderet di dinding rumah masa kecil dan mereka akan berkunjung setiap tahun membawa anak-anak. Ayah dan ibu akan meninggal di usia senja, ketika Hakata sudah menginsyafi siklus kehidupan dan memandang kematian sebagai suatu proses yang memang harus ada.
Namun ternyata tidak demikian. Suatu pagi Hakata mencium pipi Ibu yang akan menemani Ayah mengunjungi saudara di desa dan malamnya Nihongou membangunkannya untuk ke Rumah Sakit menjemput jenazah mereka. Umurnya waktu itu baru enam jalan tujuh, mobil Ayah tertabrak truk yang remnya blong saat melintasi turunan berkelok. Rumah mereka dijual, Hakata dikirim ke tempat kerabat di Ōita, Nihongou bergumul dengan karirnya sebagai pegawai baru sementara Hasebe belingsatan mengejar gelar strata satu. Dua tahun kemudian barulah Hakata bertemu kedua abangnya lagi, pindah ke distrik apartemen di pinggir kota Tokyo dan berjuang mengembalikan keakraban mereka yang dulu.
Itu adalah proses adaptasi yang sulit. Awalnya Nihongou dan Hasebe selalu bertengkar karena hal-hal remeh, keduanya lelah bekerja dan tidak ada yang melayani begitu tiba di rumah. Hakata sulit bergaul dengan anak-anak baru, mereka geli mendengar dialeknya yang agak "kampungan". Apartemen mereka kecil, tidak ada koridor untuk berlari-lari; setiap hari cuma makan mie instan sampai Hasebe terserang gangguan asam lambung.
Namun sedikit demi sedikit kehidupan mulai mengendap ke tempo semula: tenang dan mengalir, tanpa peristiwa luar biasa yang terlalu cepat untuk diproses otak muda Hakata. Penghasilan Nihongou naik. Hasebe mendapat pekerjaan sebagai penerjemah lepas, bisa bekerja sambil tetap mengurus rumah. Hakata, pintar Matematika dan bahasa asing, mendapat penghargaan khusus di sekolah. Apartemen mereka kecil, Hakata harus berbagi kamar dengan Hasebe; tapi mereka menatanya dengan kreatif seperti artikel di majalah furnitur dan teman-teman barunya (dari kelas lain tapi bisa menerima kekentalan lidah Kyushu) sangat betah mampir untuk melihat lanskap kota dari lantai lima belas. Di hari Sabtu mereka bertiga jalan-jalan untuk nonton festival film, tiga bulan sekali mereka menyempatkan diri berziarah ke makam.
Untuk sesaat Hakata mengira mereka akan kembali menjadi orang biasa. Harusnya ia tahu kehidupan masih betah mengecohnya.
Bipolar I Disorder. Sebelum kakaknya sendiri divonis dengan gangguan itu, Hakata hanya mengetahui nama "bipolar" saja dan tidak bisa membedakannya dengan "dissosiative personality disorder"—kepribadian ganda (dikiranya bipolar adalah istilah untuk penderita DID yang hanya punya dua karakter). Bagi Hakata, gangguan mental itu bagaikan pembunuh bayaran para yakuza: sungguh ada, tapi lebih terasa riil di film-film daripada di kehidupan nyata (dan tentu saja keluarganya tidak akan pernah berurusan dengan ranah itu). Hasebe mungkin bisa terserang maag parah sampai harus rawat inap selama tiga hari. Hakata mungkin diejek cara bicaranya di kelas olahraga paralel sampai ingin menangis, kemudian dibela oleh Atsu yang mengancam akan menonjok hidung siapa pun yang masih berani menjahilinya. Nihongou mungkin mendapat mukjiat kecil dengan kepindahan bos lamanya yang tukang cari kesalahan; Ayah dan Ibu ternyata bisa saja meninggal dalam kecelakaan tragis. Tapi punya anggota keluarga yang gila? Kemungkinannya hampir tidak ada.
(pelajaran yang didapat Hakata: adalah benar bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini—dalam konteks baik maupun buruk).
Lebih absurd karena Hasebe tidak didiagnosis gila karena dia bertingkah seperti orang gila. Sebaliknya, ia terlihat begitu penuh semangat dan bahagia—siapa yang tidak? Keluar dari pekerjaan sebagai akuntan publik yang menuntut banting tulang seperti kuda, lalu segera mendapat kontrak dengan penerbit luar negeri sebagai penerjemah buku-buku Jepang dengan penghasilan yang bahkan lebih besar dari pekerjaan kantor sebelumnya. Hasebe dan Nihongou akhirnya rujuk setelah lama berseteru (Hakata baru tahu kalau kedua abangnya sempat bertengkar hebat masalah keputusan menjual rumah), dan dia baru saja jadian dengan Mitsutada-san (atau Shokkun, dia ingin dipanggil), mantan koleganya yang super baik dan pintar memasak. Seperti Hakata, Hasebe sedang dalam perjalanan menuju hidup yang sempurna, dan bukankah wajar jika ia selalu merayakan kebahagiannya setiap hari?
Hanya saja ternyata kegembiraannya itu sudah melebihi batas wajar (kini Hakata mengenalnya sebagai episode mania, di mana penderita bipolar menjadi over-optimis, agresif, dan merasa di puncak dunia). Semenjak kepergian orangtua mereka, Hasebe memang memiliki jadwal konsultasi rutin ke layanan psikolog gratis dari Dinas Sosial—dulu untuk membantu menghadapi rasa dukanya, sekarang karena kebiasaan saja. Namun psikolognya (Kogi-san, seorang dokter tua nyentrik berambut panjang ubanan), melihat ada yang berlebihan dari suasana hati Hasebe yang membuncah-buncah, maka ia merujuknya ke seorang psikiater, Munechika-san, untuk diperiksa lebih jauh.
Dari Munechika-san lah Hasebe akhirnya tahu bahwa perasaan positif yang menyelubunginya itu bukan sesuatu yang positif. Dari Munechika-san juga, Hasebe mendapat saran agar ia mengajak kedua saudaranya yang masih sama-sama tidak paham untuk diberi ceramah singkat tentang Jenis-jenis Gangguan Mental dan Apa yang Harus Kau Lakukan Jika Salah Satu Anggota Keluargamu Mengidapnya. Hakata tidak ingat banyak penjelasan dari dokter lansia berparas remaja itu—ia terlalu sibuk ternganga dan terguncang, yakin bahwa Munechika-san salah diagnosis. Hasebe baik-baik saja! Lihat betapa tenangnya dia menerima berita itu—dia tidak terlihat sakit, tidak lari-lari di jalan tanpa busana, tidak berbicara sendiri. Bagaimana mungkin ada yang salah?
"Kecuali sudah kronis, gangguan mental memang sulit dilihat dengan mata telanjang," jelas Munechika-san sabar, sebisa mungkin merendahkan bahasanya ke level yang dapat diterima bocah yang bahkan belum belajar aljabar. "Tetapi dari tes-tes kepribadian dan wawancara khusus, kita dapat menarik kesimpulan. Kalau Hakata ingin tahu lebih lanjut, Dokter ada buku yang bisa membantumu."
Malam itu Hakata membuka internet, mencari buku yang direkomendasikan oleh Munechika-san. Diagnostic and Statistical Manual for Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision; gampangnya disingkat sebagai DSM-IV-TR. Itu mirip katalog mobil dengan spesifikasi detail mengenai setiap tipe yang ditawarkan—bedanya tidak ada yang dijual di situ dan keterangan dalam nomor-nomor adalah ciri-ciri setiap gangguan mental. Hakata membaca bagian bipolar dan mencocokkan setiap gejala dengan tingkah polah abangnya, sementara Hasebe sendiri sedang mengobrol seru dengan Nihongou (lebih tepatnya: ia menggonggong penuh semangat sementara Nihongou tidak diberi kesempatan merespons) tentang rencananya mengambil tawaran menerjemahkan buku ke Bahasa Perancis.
Bipolar I Disorder. Gangguan mental Bipolar, spektrum I—penderita akan mengalami fase mania dan depresi secara silih berganti, seperti roda yang berputar. Seumur hidup. Tidak ada kata sembuh, hanya terkontrol—selamanya si penderita akan ketergantungan pada kombinasi obat-obatan untuk menyeimbangkan produksi hormon di otaknya. Tanpa perawatan, tingkat bunuh diri dan/atau percobaan bunuh diri sangat tinggi, terutama dalam fase depresi.
Daftar orang terkenal yang menderita bipolar: Kurt Cobain, Ernest Hemmingway, Vincent van Gogh, Marilyn Monroe, Axl Rose.
Daftar orang terkenal yang menderita bipolar dan mati bunuh diri: Kurt Cobain, Ernest Hemmingway, Vincent van Gogh, Marilyn Monroe.
Susah menjadi seorang Hakata Kuroda. Umurnya sepuluh tahun, sedang merasakan cinta pertama bertepuk sebelah tangan pada Atsu, satu-satunya anak yang mau menjadi sahabatnya (dan mungkin akan menjauh jika tahu kakak Hakata tidak waras). Sambil membaca tulisan di komputer, semakin lama perut Hakata semakin mual, seperti dibetot kuat-kuat. Di ruang tengah, Hasebe tertawa begitu keras, entah karena apa—tidak sadar bahwa kini ia masuk dalam golongan orang-orang dengan tingkat kematian satu dari lima.
Hakata merasa begitu pedih sampai ingin menangis.
..ooOoo..
"Kami pulang!" Seru Hasebe saat membuka pintu, meski tahu di dalam tidak ada siapa-siapa. Ia menahan pintu untuk Hakata seperti seorang gentleman dan tersenyum hangat saat sang adik menggumamkan terima kasih secara refleks.
"Ayo kita langsung memasak!" Ajak Hasebe menggebu-gebu, segera setelah melepas sepatu dan menyandarkannya berdiri pada rak untuk mengentaskan air yang membasahinya. "Supaya kalau Niho pulang nanti, semua sudah matang!"
"Sebaiknya Kakak mandi dulu," Hakata menyarankan, menunjuk baju Hasebe yang kuyup. "Nanti bisa pilek, Kak."
"Oh, tapi Kakak tidak apa-apa!" Hasebe menebahkan tangan seperti mengusir lalat, menggelengkan kepala dengan cepat agar air di rambutnya menyiprat ke mana-mana macam anjing sedang mengeringkan diri. Ketika Hakata mengerjap oleh air yang mengenai kacamatanya, Hasebe tertawa. "Kakak ini kuat, Hakata! Kalau cuma begini saja sih, tidak akan sakit!"
Ciri-ciri episode mania:
1. Rasa harga diri meningkat atau kebesaran.
"Tidak ada salahnya, Kak. Mencegah lebih baik daripada mengobati," Hakata berusaha menyalurkan logikanya, "lagipula, kalau tidak ganti baju nanti kemeja Kakak bisa rusak."
Hasebe mengerjap menatapnya seakan hal itu tidak terpikir olehnya sebelumnya. "Hm, benar juga sih," ia menunduk memandang kemeja putih bermerk-nya. "Tapi, kebetulan aku juga sudah mulai bosan dengan kemeja ini. Menurutmu aku harus beli baru?"
7. Keterlibatan berlebihan dalam aktivitas-aktivitas menyenangkan di mana berpotensi menimbulkan konsekuensi menyakitkan (mis: kesenangan tak tertahankan untuk belanja, perilaku seksual yang takabur, atau penanaman modal tanpa perhitungan).
"Tidak usah, Kak." Hasebe sudah menghabiskan hampir separuh gajinya bulan ini untuk membeli berbagai merk kemeja putih, hanya berbeda di jenis kerah dan kancingnya. Alasan? Karena dia terlihat berwibawa dalam warna itu! "Yang ini masih bagus. Merk mahal begini tahan lama, kok. Dicuci saja."
Setelah saling lempar argumen (beberapa kali Hasebe salah fokus ke mana-mana—ciri mania kelima, distraksibilitas), akhirnya pria dua puluh lima tahun itu bersedia mengikuti anjuran adiknya. Hakata menghela napas lega, membawa kantong belanja ke dapur untuk memenuhi janjinya memotong sayur dan daging sementara Hasebe masuk kamar mandi, menyiulkan lagu acara Kanesada-sensei.
Seperti apartemen pada umumnya, "dapur" bagi keluarga Kuroda hanyalah deretan konter berwarna senada dengan sebuah lemari es dan wastafel ber-bak kecil yang bakal penuh dengan piring-piring bekas makan malam saja. Hakata mulai membongkar belanjaan di meja makan, memisah antara sayur, bumbu, dan daging; membuka plastik kedap udara dan mencari pisau di lemari konter (ia masih harus menggeret kursi sebagai pijakan. Kapan sih dia bakal setinggi Nihongou?).
Jarang masak, perabot makan mereka pun tidak banyak—hanya beberapa piring dan mangkuk, beberapa set sendok-garpu. Hanya ada satu set cangkir teh bagus, dipakai khusus untuk tamu. Hakata mencari-cari sampai kepalanya masuk dalam lemari, dan barulah ia menemukan gelas wadah pisau di belakang jajaran mug yang mulai berdebu. Hatinya mencelos melihat mug bergambar rusa-rusa berhidung merah sedang menarik kereta salju. Itu adalah hadiah tukar kado Natal dari Atsu.
Atsu, sahabat pertamanya, meminta tisu pada anak-anak perempuan lalu mengelap airmata Hakata yang jengkel diolok-olok.
Atsu, yang semenjak itu selalu datang ke apartemennya setiap pagi untuk mengajak berangkat bersama.
Atsu yang memperkenalkan Hakata pada Sayo dan teman-teman lain; mengajaknya nonton kembang api di festival musim panas. Merangkul leher Hakata dan memanggilnya "sobatku sayang"; membuat pipi Hakata memerah canggung di balik kacamata yang sama merahnya.
Hakata menghembus napas sedih. Sudah lama sekali ia tidak ngobrol dengan Atsu atau berpacu sepeda dengannya—cowok itu berhenti datang setelah Hakata menolak berangkat bersama dua minggu berturut-turut. Di kelas olahraga paralel Hakata berhenti bergabung dengan gengnya; memilih memojok sendirian dan berpura-pura sibuk memikirkan pelajaran selanjutnya.
Bagaimana mungkin ia boleh bergaul dengan Atsu dan yang lain sekarang? Hakata sungguh sudah tidak punya muka.
..ooOoo..
Semula gosip itu hanya terdengar seperti isapan jempol belaka.
"Ada pria hiperseks yang suka tiba-tiba mengajak orang ciuman di minimarket."
Hampir mirip cerita-cerita eksibisionis yang doyan pamer penis pada siswi-siswi SMP, tapi entah kenapa kisah pria ini terdengar lebih menggairahkan. Mungkin karena jenis ceritanya baru. Mungkin karena "mengajak ciuman" terdengar lebih romantis daripada "pamer penis". Anak-anak perempuan di kelas begitu gencar membicarakan perkembangan kasusnya, merinding jijik sekaligus takut tapi juga penasaran.
Ini terjadi pada temannya teman tetanggaku. Katanya dia sedang ke toko dua puluh empat jam dan pria ini mendatanginya, langsung merenggut kerah lalu menciumnya! Di mulut!
Sudah tahu cerita di stasiun? Katanya dia mengajak berhubungan seks di toilet. Tertangkap kamera! Sekarang videonya menyebar di internet!
Katanya dia juga mengincar anak-anak sekolah. Ih!
Ibuku bilang, sekarang kita jangan pulang sendirian. Bahaya kalau sampai ketemu dia, bisa-bisa kita diculik, lalu diperkosa. Seram!
Ah, tapi kata kakakku—dia pernah lihat orangnya langsung di kafe dekat kampusnya—orangnya lumayan ganteng...
Hakata tidak terlalu memperhatikan kasak-kusuk itu—satu karena itu pembicaraan anak-anak perempuan, dua karena dia tidak merasa ada urusan. Ia hanya menangkap sepatah-sepatah, selentingan yang mencolot ke telinganya saat ia melewati kumpulan anak-anak perempuan untuk bertemu Atsu atau Sayo. Tidak ada hubungannya denganku, pikirnya, itu masalah anak perempuan.
Sampai kemudian ia melihat sendiri pria mesum itu.
Kejadiannya sepulang sekolah. Atsu dan Sayo menemaninya membeli komik di toko buku langganan, di distrik pertokoan di bawah jembatan penyeberangan. Waktu itu toko sepi, hanya ada anak-anak sekolah dasar yang mampir untuk numpang baca komik—itu adalah salah satu toko tradisional yang masih memberi satu buku sampel terbuka bagi calon pembeli. Anak-anak yang pernah menggencet Hakata juga ada di sana, menatap namun tidak mengganggu saat ia dan kedua sahabat barunya masuk, langsung menuju rak belakang di mana serial komik olahraga favorit Hakata dipajang. Ketiganya lalu berjongkok dengan asyik di pojokan, diam-diam membaca komik serial baru sampai habis (prinsip Hakata yang cuma dijatahi enam ratus yen sebulan: kalau sudah suka ceritanya, baru beli!).
Mendadak terdengar kasak-kusuk dan cekikikan di lorong rak depan mereka. Awalnya mereka bertiga tidak menggubris, namun makin lama suara-suara itu makin berisik hingga Sayo gatal juga. Bocah ceking itu bangkit, mengintip, lalu melapor pada dua temannya dengan nada heran,
"Semua anak bersembunyi di situ. Sepertinya sedang mengintip sesuatu."
Tentu saja, sewajarnya anak-anak, Atsu dan Hakata juga jadi penasaran dan ikut-ikutan mengintip.
"Ada apa?" Atsu mencolek punggung seorang anak, berusaha melongok dari balik rak. Anak itu, bocah berambut tebal seperti permen kapas, menempelkan telunjuk ke bibir menyuruh mereka diam.
"Tuh, Si Mesum sedang di sini. Dia sedang ciuman dengan penjaga toko."
Pernyataan kontroversial yang membuat mereka bertiga makin jumpalitan. Hakata, lebih mungil daripada kedua temannya, berhasil merangsek ke jajaran pengintip depan dan menyaksikan momen itu lebih jelas. Benar saja. Di konter kasir ada seorang pria, hanya nampak punggungnya saja. Dari postur tubuhnya yang condong ke depan, jelas sekali ia sedang melakukan sesuatu yang tidak pantas—terlebih didukung suara-suara kecup dan desah yang bikin menggelinjang. Anak-anak saling senggol, malu tapi ingin tahu; cengar-cengir bodoh layaknya bocah yang bersekongkol nonton film biru.
Namun Hakata tidak menikmati pengalaman itu.
Tidak, sebab jantungnya merucut ke perut dan seluruh tubuhnya terasa dingin kaku. Punggung berbalut kemeja itu dia tahu, begitu juga rambut cepak yang disemir cokelat susu. Sementara anak-anak saling sikut berebut tempat, ia berharap Atsu dan Sayo tidak terlalu tertarik menonton.
Harapannya sia-sia. Mendadak saja Atsu sudah tiarap di sisi kanannya, Sayo di sisi kiri. Atsu menyeringai padanya dengan kilau nakal di mata, ekspresi yang sama jika ia mengajak Hakata melakukan sesuatu yang usil tapi seru; tapi Hakata tidak kuasa untuk sekedar berpura-pura nyengir.
"Hakata, kamu tidak apa-apa? Wajahmu pucat," celetuk Sayo, menilik kritis ke tumpukan anak-anak di atas mereka. Mungkin ia mengira Hakata sumpek dan tidak kebagian napas, karena selanjutnya ia membentuk isyarat mengusir dengan tangannya. "Jangan mepet-mepet, dong! Sesak nih!"
Namun suara kecilnya kalah oleh gumam-gumam bersemangat yang seketika meningkat intesitasnya. "Mereka sudah selesai," cuap seorang anak, macam narator di acara infotainment. Di kasir, kedua orang itu memang nampak menyudahi percumbuan. Hakata ingin mengeduk tanah dan mengubur diri selamanya saat "Si Mesum" menegakkan badan lalu berbalik, keluar dari toko. Semua anak melihat profil wajahnya sejelas kutil di atas jidat, mata ungunya yang langka dan hidungnya yang lurus panjang—keturunan Ayah. Hakata yakin Atsu dan Sayo menahan napas karena kaget.
7. Keterlibatan berlebihan dalam aktivitas-aktivitas menyenangkan di mana berpotensi menimbulkan konsekuensi menyakitkan—perilaku seksual yang takabur.
Setelah itu, entah bagaimana, identitas Si Mesum ketahuan sebagai Kakaknya Kuroda Kelas 4-B. Hakata tidak mau repot-repot mengusut siapa yang menyebarkan fakta itu—bahkan untuk beberapa hari pertama ia menipu diri bahwa desas-desus itu tidak nyata, bahwa ia hanya paranoid saja; sampai kemudian seorang anak brengsek mendekatinya dan bertanya frontal:
"Hei, apa benar abangmu ditangkap polisi karena tidur dengan wanita bersuami?"
Kalau Hakata adalah Atsu, hidung bocah itu bakal sudah patah. Kalau Hakata adalah Sayo, anak itu tidak akan berani ngomong macam-macam—takut dikeluarkan dari sekolah. Tapi dia cuma anak lemah cupu yang bahkan tidak tega mengonfrontasi abangnya perihal aib itu (tentunya, tentunya itu bukan kemauan Hasebe, kan? Sesuatu terjadi di otaknya yang memutuskan urat malu dan mematikan persepsi moralnya). Hasebe tentu akan merasa sangat bersalah kalau tahu adiknya jadi bahan bulan-bulanan karena dia, dan kalau dia stres—siapa yang tahu Hasebe akan melakukan apa? Bisa saja dia malah datang ke sekolah dan menyuruh semua anak untuk saling bersalaman, berbaik-baikan! Dengan tingkah Hasebe yang di luar prediksi, Hakata bisa apa?
(dia menjawab pertanyaan itu sendiri: menjauh dari semua orang, agar ia tidak semakin malu dan sakit hati).
..ooOoo..
Hasebe keluar dari kamar mandi dengan pipi merah, segar habis disiram air panas. Aroma manis sabun susu menggantikan amis hujan, rambutnya tidak lagi terlihat seperti tikus tercebur kolam melainkan jabrik macam anak ayam. Lengkung bibirnya hangat, nada bicaranya halus saat menyapa Hakata, tidak ada gilap asing di matanya yang membuatmu tahu ada sesuatu yang tidak beres. Pada saat-saat seperti ini, Hakata merasa bersalah telah merutukinya dalam hati.
"Hei, sudah sampai mana masaknya?" Hasebe mengelus rambutnya dengan sayang, menjajarinya di samping meja makan dan menarik talenan plastik untuk merajang bawang bombay. Hakata mengangkat bahu.
"Baru selesai mengiris daging, Kak. Setelah ini diapakan? Diperam bumbu? Bumbunya apa saja?"
"Hm, biar Kakak saja yang meracik bumbunya. Kamu potong-potong sayur, ya." Ia menyodorkan lobak dan mentimun kyuri. "Potong panjang-panjang saja, biar nanti gampang disumpit."
Mereka bekerja dalam keheningan yang nyaman, hanya suara pisau bertemu permukaan talenan dan bahan-bahan makanan menyerah pada ketajamannya menjadi musik pengiring kegiatan. Hujan sudah lama berhenti. Senja mulai meraup langit, sinar matahari tua menubruk kaca pintu teras membentuk spot panjang di lantai. Suara kendaraan di jalan raya seperti berasal dari dunia lain, teredam oleh dinding dan ketinggian.
"Hakata," Hasebe memanggil halus setelah beberapa saat, ketika bumbu jahe merah sudah meresap dalam daging dan kini sedang dikukus hingga empuk.
"Hm?" Menata potongan sayur di mangkok saji besar bermotif bonsai dan angsa; wortel, lobak, dan mentimun berselingan dengan kubis dan selada. Di tengah-tengah adalah cawan kecil berisi saus tomat-madu-cuka.
"Hm, Kakak berpikir mungkin Kakak salah menjemputmu tadi." Pengakuan itu begitu kalem hingga sang adik mendongak, terheran-heran. Bibir Hasebe tetap tertarik pada senyumannya yang biasa, seolah kontur wajahnya memang diciptakan demikian. "Teman-temanmu jadi menganggap kita aneh—"
"Sama sekali tidak, Kak," Hakata menyahut secepat refleks. Di sinilah lucunya. Ia selalu membenci Hasebe yang seolah tidak berusaha menutupi penyakitnya, yang seperti tidak ada usaha untuk bertindak sedikit waras; tapi ketika Hasebe sendiri mengakui hal itu, Hakata merasa perih.
"Tadi teman-temanmu menertawakanmu." Rupanya dia sadar.
"Mereka cuma anak yang kebetulan satu sekolah denganku. Aku tidak peduli."
Dia peduli, tapi melihat kakaknya menyalahkan diri sendiri jauh lebih menyakitkan.
Hasebe menepuk-nepuk dan mencubit pipinya seolah Hakata masih balita. Bocah itu mengerutkan hidung tanda protes, tapi mulutnya hanya tertawa. Sang kakak menelengkan kepala, sorot hangat terpancar di mata ungunya.
"Lain kali Kakak akan berpikir dulu sebelum bertindak." Sebuah permintaan maaf dalam kalimat lain. Hakata mengangguk, menatap kakaknya dalam-dalam agar ia tahu bahwa Hakata tidak (bisa) marah padanya.
"Terima kasih, Kak."
Apalah yang dapat ditawarkan Hasebe, kecuali janji yang mungkin kosong tapi tetap memberi harapan?
Apalah yang dapat dilakukan Hakata, kecuali memaklumi kakaknya?
..ooOoo..
Malam itu mereka duduk melingkar di meja makan: Nihongou, Hasebe, Hakata. Hasebe berceloteh dari ujung ke ujung, tentang pekerjaannya, resep barunya, kenangan masa lalu dan kelezatan masakan Ibu. Daging ayam Korea dengan bumbu jahe bertabur wijen itu ternyata boleh juga, Nihongou memuji dan Hasebe jadi makin bersemangat mendongeng tentang bagaimana ia mendapatkan resepnya. Abang dan adiknya mengangguk-angguk mengiyakan, tidak mampu menandingi kecepatan produksi katanya yang setara senapan otomatis.
Lalu mereka duduk-duduk di ruang televisi, menonton sebentar acara komedi sebelum berangkat tidur. Hakata membaringkan kepala di paha Nihongou, Hasebe memilih duduk di karpet dengan punggung bersandar di kaki sofa. Mereka bertiga tergelak saat komedian mengucapkan punchline yang konyol. Nihongou, selalu pandai menirukan logat dan gelagat, mereka ulang adegan itu dengan versinya sendiri sampai kedua adiknya terpingkal-pingkal. Perut Hakata nyeri saking banyaknya tertawa.
Pukul sepuluh semua menyarang ke kamar masing-masing: Nihongou di kamar utama yang merangkap ruang kerja, Hasebe dan Hakata berdua di ranjang tingkat—kakak di bawah adik di atas. Lampu dimatikan, hiasan bintang menyala dalam gelap, pendar fosfornya hijau seperti plankton laut dalam.
"Selamat malam Haka-chan," goda Hasebe, memanggilnya dengan nama kecil dan mengetuk ranjangnya. "Mimpi indah."
"Mimpi indah juga, Kak."
Semoga besok pun kita dapat menipu diri, bahwa kita ini normal, normal, normal.
