Disclaimer : Masashi Kishimoto
Keken Srikandi © Nuansa_Jingga (Wattpad)
Warning : AU (Setting Indonesia) Humor nista. OOC. KarinSaku. SasuSaku. REPUBLISH.
.
Note #Aslinya karakter cowoknya di fanfic ini Tobirama, Cuma setelah kubaca ulang fellnya nggak dapet, jadi kuubah ke Sasuke. :(
.
(Sakura POV)
Itu cewek sompret! Kenal juga kagak. Nggak ada angin-nggak ada ujan tiba-tiba dia datang ke rumah bareng ortunya, nangis lebay di depan Mama sama Papa, bilang kalau salah satu anak cowok Mama sama Papa sudah ngehamilin dia.
Ini anak salah rumah, atau lagi ngigo?
Jelas-jelas aku sama kakakku nggak kenal sama dia. Oke dia memang kuliah di kampus yang sama dengan Mbak Rin, tapi Mbak Rin berani bersumpah bahwa dia nggak pernah liat cewek itu. Begitupun aku yang sering nongkrong di parkiran Kampus Mbak Rin buat ngejemput, aku juga nggak pernah ngeliat muka dia sekalipun.
Yah, aku juga emang punya adik laki-laki yang namanya Itarama, tapi biar tuh cewek alay nangis darah sampai mau bunuh diripun, kami sekeluarga nggak akan percaya kalau Itarama Senju-Haruno, ngebuntingin dia. Masa iya anak umur tiga tahun bisa ngehamilin tante-tante lebay?
"Bagaimana ini Pak, Karin anak perempuan saya satu-satunya! Dan saya harap Bapak mau memaksa anak Bapak yang Brengsek itu untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya terhadap anak saya!" Om-Om kumis-botak Bapaknya Si Karin melotot garang ke aku sambil terus milin kumisnya.
Apaan coba?
"Dia harus segera menikahi anak saya!"
Papa menggaruk tengkuknya kikuk. Sepertinya tidak pernah membayangkan akan menghadapi situasi seperti ini.
"Enggg. Apa anak Bapak tidak salah orang? Maksud saya ... anak saya tidak mungkin membuat anak Bapak hamil," kata Papa dengan ekspresi bingung yang kentara.
"Saya nggak salah orang kok!" Si Lebay yang dari tadi ngeluarin air mata buaya di pelukan Emaknya, menyambar perkataan Papaku. "Anak Om yang udah ngehamilin saya!" Dia asal nuduh, kemudian kembali nyungsep di ketek si Emak.
Papa makin bingung. Satu persatu dia menatap wajah anak-anaknya yang duduk berderet di sofa panjang sebelah kiri, berhadapan dengan keluarganya Karin. Papa memandang wajah Mbak Rin, kemudian aku, lalu sedikit lebih lama di Itarama—yang berada di pangkuan Mama. Keningnya berkerut serius, seperti sedang memikirkan sesuatu yang ganjil, kemudian dia menggeleng kuat.
Pandangan Papa teralih padaku, "Saki," ucap Beliau dengan suara dalam yang serius.
"Yes, Pap."
"Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan?" Tatapan tajam dan nada seperti menuduh yang keluar dari mulut Beliau membuatku tersinggung.
"Nggak ada waktu buat ngelakuin hal yang aneh-aneh, Pa. Papa tahu sendiri kan, ngurus bahan-bahan administrasi buat daftar masuk jadi bintara TNI terlalu ribet dan makan waktu?!" Lha, aku malah curhat. Tapi emang benar kok! Riwayat Hidup yang perlu diisi banyak pisan, belum lagi harus nge-foto kopi rapor sama legalisi Ijazah SD, SMP, SMA. Foto kopi KTP orang tua, kartu keluarga, surat kelakuan baik dan blablablabla.
Oke Saki, lupain dulu rasa frustrasimu mengenai pendaftaran calon Bintara TNI yang akan dimulai beberapa hari lagi, sekarang fokus dulu sama masalah si Cewek lebay dan keluarganya.
"Jangan buat alasan! Usia kehamilan anak saya sudah tiga bulan, dan kamu sibuknya baru sekarang-sekarang!" Tahu aja si Om Kumis.
"Iya saya sibuknya memang baru sekarang, Om." Si Om kumis mendelik mendengar jawabanku, serius deh, kalau melotot lagi ta' tempeleng tuh Om-Om! Dosa tanggung belakangan. "Tapi serius, saya nggak kenal anak Om!"
"HUAAA! KAMU TEGAAAAA!"
Nah lho? Si cewek lebay yang namanya Karin bangkit dari sofa yang dia duduki, menghampiriku, lalu memukul-mukulku menggunakan tas hermes kw-nya. Ealah.
"Apaan sih?" Aku mencoba menahan pukulan Karin, sembari melotot ke arahnya. Dia pikir dipukul-pukul gitu enak? Sakit tahu!
"Hiks. Saki tega sama Karin!"
Idiiih, najong banget deh.
"Kita pernah ketemu!" Dia cemberut sambil menangis sesengukan. Pukulan gaje tidak bertenanganya berhenti.
Sebelah alisku terangkat tinggi memperhatikan wajah Karin. Memang sih kelihatan nggak asing, tapi emang muka nih cewek pasaran juga kok.
"Kita pernah ketemu dimana ya?" tanyaku bingung. Sumpah, lama-lama ngumpul sama nih cewek dan keluarganya aku bisa gila. Mana aku harus pergi ke SMP-ku yang dulu, buat legalisi ijazah sama legalisi fotokopi rapor.
"Tiga bulan yang lalu, di gang dekat kampus." Alisku bertaut mencoba mengingat. "Waktu itu aku yang mau pulang ke Kos dihadang beberapa orang berandalan," Karin bercerita dengan gaya yang membuat perutku mules, tapi heran Orang tuanya, Papa, Mama, Mbak Rin, dan bahkan si kecil Itarama memperhatikan dia dengan serius. "Mereka gangguin aku. Dan ... kamu ...," dia melirikku malu-malu, membuatku meringis ngeri dan merapatkan dudukku pada Mbak Rin, "Saki dengan gagahnya nolongin aku, ngehajar preman-preman itu sampai babak belur dan kabur."
Aku terdiam, memutar memori, mencari serpihan ingatan seperti kejadian yang diceritakan Karin tadi. Dan ...
Tiga bulan lalu, diwaktu siang yang terik. Mbak Rin, kakak sulungku yang bawel, minta dijemput di kos-kosan temannya yang ada disekitar Kampus. Tak peduli padaku yang lagi capek karena baru pulang latihan taekwondo, Si Mbak tetap memaksaku untuk pergi menjemputnya.
Akhirnya dengan terpaksa aku pergi dengan si Markus (nama motor sport-ku, dan jangan protes soal itu!).untuk menjemput Mbak Rin.
Saat sedang asik nyasar mencari alamat kos-kosan teman Kakakku yang rese' itu, aku ngeliat seorang cewek yang pakaiannya ngalahin Syahrini—atau memang dia Syahrini kw, dikerubungin empat preman pasar. Mereka mau berbuat 'kurang ajar' sama si Syahrini kw. Merasa kasihan akhirnya akupun menolongnya—menghajar semua preman-preman pasar itu dengan kemampuan bela diriku yang mumpuni.
Dan setelah itu ... seingatku ... aku meninggalkan si Syahrini kw, tak mempedulikan rengekan dan sapaan manjanya.
Ternyata si Syahrini kw itu Karin toh. Pantes mukanya kelihatan nggak asing.
"Dan ... setelah itu kami pergi ke kos-kosanku!"
WAIT! Karin melanjutkan cerita mengarang bebasnya yang memojokanku. Dusta banget tuh!
"Kemudian kejadian yang membuat dedek bayi tercipta, terjadi."
APAAN DAH?! Aku melotot ngeri ke arah Karin, yang dibalasnya dengan kerlingan malu-malu ke arahku.
Kulirik Mama yang melongo syok, Mbak Rin yang megap-megap geli kayak ikan koi, dan Papa yang ... well, sepertinya memikirkan perihal bagaimana terciptanya dedek bayi dalam perut Karin.
"Jangan bohong kamu!" Aku mendesis bangun dari kursi, menyipitkan mataku menatap si Syahrini kw yang nyengir tak tahu malu.
"Anak saya nggak pernah bohong!" Si Om kumis bangun dari kursi menghampiri kami, menarik anaknya, lalu berdiri berhadap-hadapan denganku.
Yaelah Om! Udah jelas-jelas anak Om Bohong! Dia ngepitnah aku!
"Pokoknya kamu harus tanggung jawab! Nikahi anak saya!"
Hastagahhhh. Masa iya aku harus nikah sama Karin?! NOOO!
Papa menghela napas, memijat pelipisnya frustrasi. "Saya yakin ada kesalahan Pak," katanya sembari bangun dari kursi, berusaha melerai perkelahian yang mungkin akan terjadi antara aku dan si Om kumis nyebelin.
Om Kumis mendelik garang ke arah Papa. Kurang ajar banget! Minta ditempeleng nih Om-Om.
"Berhenti membela anak Bapak yang Brengsek ini! Sudah jelas-jelas anak Bapak salah!"
Papa mendesah. Dia melirik ke arahku, memperhatikan penampilanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Aku mengenakan celana kargo berwarna cream, kaos putih yang agak kebesaran, baju hem lengan panjang motif kotak-kotak Jokowi, dan topi baseball berwarna putih. Berantakan dan tidak ada yang istimewa memang.
"Tapi ..."
"Saya memberi jangka waktu selama satu minggu. Pokoknya anak Bapak harus menikahi anak saya, Karin," cerocos si Om memotong perkataan Papa.
"Tapi ..."
"Kalau tidak, saya akan melaporkan hal ini kepada pihak yang berwajib. Anak Bapak akan ditangkap dan dipenjara."
"Tapi ..."
"TIDAK ADA TAPI-TAPIAN!" Si Om melirik sinis ke arahku. "Ayo kita pulang Karin!" Dia menyeret Karin dan isterinya untuk angkat kaki dari rumah kami. Sebelum pergi, si Syahrini kw masih sempat-sempatnya ngelempar senyum dan kedipan genit ke arahku. HUEEEK!
Suasana di rumah masih hening setelah orang-orang aneh itu pergi. Yang terdengar hanya suara celotehan lucu si kecil Itarama. Keluargaku masih syok dengan tuduhan dari keluarga Syahrini kw yang dialamatkan padaku.
"Saki ..."
Aku menoleh dan mendengus mendengar suara lirih Mama yang memanggil namaku. Matanya berkaca-kaca. Oh ya ampun. Tepok jidat dah.
"Mama nggak nyangka kalau kamu ...," suara beliau tercekat.
Aku mendengus. "Jangan mulai gila kayak orang-orang itu deh, Ma." Aku memutar mata.
"Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan,Sak?"
Ya ampun, Papaku juga ikutan.
"Jangan ikut-ikutan nuduh Saki ngehamilin kuntilanak alay itu deh Pa, gila banget!" Ketus ku.
"Kamu ... ," Papa tampak ragu, "nggak ngelakuin operasi transgender kan?"
HADEUUHH! Tepok jidat lebih keras dengar tuduhan Papa.
"Ya ampun Pa! Aku emang tomboy, tapi aku masih normal!" Masih suka laki-laki.
"Trus kenapa tuh anak orang bisa hamil?"
Yaelah Mbak Rin juga. Ayo kamu juga Itarama, sekalian ikutan 'ngeroyok' Mbak Saki dengan tuduhan konyol itu!
"Nggak tahu! Lagian mana bisa sih perempuan bikin perempuan hamil. Itu konyol!"
Iya konyol ketika seorang Senju-Haruno Sakura dituduh menghamili anak orang. Aku perempuan normal, walau tomboy aku masih punya ketertarikan sama lawan jenis, dan bahkan aku sudah punya beberapa mantan sejak SMA. Ya Tuhan, ini aku yang kebanyakan dosa, atau tuh cewek yang namanya Karin yang emang gila?
"Mungkin tuh anak otaknya geser," kata Papaku frustrasi.
"Bisa jadi, kayaknya Bapaknya juga otaknya geser sampai nggak ngedengar penjelasan orang lain," tambahku.
Ya Tuhan, kenapa cobaan seperti ini harus datang disaat aku tinggal selangkah lagi meraih cita-citaku sebagai seorang tentara wanita (kowad).
.
.
