VENGEANCE
Pandora Hearts © Jun Mochizuki-sensei
Rated: T
Genre: Romance, Horror
Warning(s): OOC, typos, aneh, membingungkan, mengandung kata-kata kasar (maybe), etc.
Summary: Akan kubalas semua rasa sakitku. Akan kubalas semua penderitaanku. Akan kubalas harga diriku yang jatuh. Kalian… tidak pantas hidup di dunia ini. Semua manusia itu gila.
Don't like, don't read!
Fanfic special request.
Enjoy! ^^
.
.
.
Chapter 1: Zai and Cecile
CTAR! ZRASHH!
Hujan deras sedang melanda Kota Sabrie pada tengah malam ini.
"Hah… Hah… Hah…"
"Cepat makan ini!"
"Aku tidak mau! Lepaskan aku!"
PLAK!
"Cepat makan ini! Kau tidak dengar, huh? Kau itu tidak berguna, bersyukurlah karena aku bersedia memungutmu!"
Kapsul berwarna putih itu akhirnya masuk ke dalam mulut gadis itu.
"Cepat telan! Aku ingin tahu reaksinya bagaimana!"
GLEK!
"Bagus!"
Tubuh gadis itu melemas. Matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa berat. Seketika kesadarannya menghilang.
TOK! TOK!
"Profesor? Kau masih di dalam?" tanya seorang wanita di balik pintu ruangan yang gelap itu.
"Iya, Sayang," jawab pria yang berada di ruangan itu sambil memperhatikan tabung reaksinya.
"Ini sudah larut malam. Istirahatlah, Profesorku."
KRIEEET!
Wanita itu masuk ke dalam ruangan itu. Sekilas ia melirik gadis yang tergeletak tak berdaya di dekat suaminya itu.
"Apa yang terjadi dengannya, Profesor?"
"Jangan memanggilku Profesor. Aku ini suamimu, Cecile. Kau tidak perlu mengkhawatirkan kondisi gadis itu."
"Aku tidak pernah mengkhawatirkannya," ujar wanita itu.
Wanita itu melirik gadis yang tak berdaya itu dengan tatapan merendahkan.
"Aku bahkan sempat berpikir, kapan dia akan mati?" lanjutnya.
"Haha… Kau kejam sekali, Cecile. Kalau dia mati, tidak ada lagi yang bisa kujadikan sebagai kelinci percobaan," balas suaminya.
"Kau bisa memungut yang lain, Zai."
"Hmm, kau benar juga. Tenanglah, cepat atau lambat gadis ini akan mati," kata pria itu sambil menyeringai.
"Ya, kau benar. Karena orang kelas 3 lebih pantas musnah dari bumi ini."
"Hihi… Kau kejam sekali."
Wanita itu hanya menyeringai.
"Bagaimana dengan Oz?" tanya pria itu.
"Oz? Tenang saja, dia tidak akan tahu bahwa ayahnya adalah seorang peneliti keji."
"Ya. Tetap jaga rahasia ini, jangan sampai dia tahu ada gadis di sini yang menjadi kelinci percobaanku."
"Baiklah."
"Hn, bagus. Kalau Oz tahu tentang ini, semua akan menjadi kacau."
"Tentu saja. Karena Oz, anak kita, adalah anak yang berjiwa baik."
Pria itu hanya menghembuskan nafas kecil. "Aku tidak bisa menaruh harapan pada anak seperti itu."
Istrinya hanya memandangnya datar. "Cepatlah tidur. Kau sudah lelah," kata istrinya kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.
Tanpa mereka sadari, kesadaran gadis yang tak berdaya itu mulai berdatangan kembali. Ia bergumam pelan, "Anak mereka… Oz?"
Pria itu melepas jas putihnya dan menggantungnya di ruangan itu. Kemudian dia meninggalkan ruangan dan gadis itu.
"Dasar orang licik. Biadab," gumam gadis itu.
Tidak lama kemudian, gadis itu merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Jantungnya berdetak sangat cepat dan nafasnya berderu. Tubuhnya mengejang dan perlahan-lahan penglihatannya mulai mengabur.
Beberapa detik berselang, tubuhnya melemas. Nafas derunya berkurang dan jantungnya perlahan-lahan semakin lambat berdetak. Dengan pelan, kelopak mata gadis itu menutupi bola mata violetnya. Gadis itu bergumam, "Akan kubalas." Hingga akhirnya jantung gadis itu berhenti berdetak…
…di tengah malam hujan yang lebat.
ZRASHH! CTAR! CTAR!
Pagi itu pagi yang cerah. Suara burung-burung pipit terdengar sangat merdu, membuat orang-orang bersemangat untuk melaksanakan kewajibannya. Wanita itu, Cecile Vessalius, sambil membawa nampan yang terdapat sedikit makanan dan minuman, masuk ke ruangan yang tadi malam ia datangi.
KRIEEET!
"KYAAAA!"
BRUK! PRANG!
"Ada apa, Cecile? Mengapa kau menjatuhkan nampan seperti itu?" Suaminya langsung datang dengan panik setelah mendengar suara piring dan gelas yang pecah.
"Gadis ini… mati."
"Ha?"
Pria itu melangkah mendekati Sang Gadis. Istrinya yang berada di belakang sedikit gemetaran karena baru pertama kali melihat orang meninggal.
Pria itu mencoba mencari detak jantung di nadi gadis tersebut. Hasilnya…
Tidak ditemukan sama sekali.
"Aku tidak menyangka dia mati lebih cepat dari yang kukira," ujar pria itu.
"Cepat bawa dia pergi dari sini dan kubur dia jauh-jauh dari sini sebelum Oz bangun," kata istrinya.
"Ya, kau tenang saja."
Mereka berdua dengan perlahan-lahan membopong gadis itu keluar dari ruangan itu. Terlihat jauh di belakang mereka sosok seorang gadis berkulit pucat dan berambut brunette panjang dengan mata violetnya menatap sepasang suami istri itu dengan penuh kebencian.
"Kau… dan seluruh keluargamu akan mati.
Kalian… tidak pantas hidup di dunia ini."
Perlahan-lahan sosok itu menghilang dan melayang-layang di muka bumi ini.
KRIIING! KRIIING! KRIIIIING!
"Engh…"
Mata emerald itu perlahan-lahan membuka, suara bising dari jam bekernya membuatnya terpaksa untuk bangun pagi ini.
"Aku tidak ingin terlambat lagi," gumamnya.
Dia menyingkap selimutnya dan bergegas menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Pada akhirnya dia menyadari, "Tou-san dan Kaa-san mana, ya?"
Setelah menyiapkan diri remaja laki-laki itu turun ke lantai bawah menuju ruang makan sambil membawa tas sekolahnya. Dia mengharapkan ada Kaa-san-nya di sana.
"Tidak ada juga?"
Remaja laki-laki itu berpikir sejenak. "Mungkin mereka sedang menghadiri rapat antar peneliti di Sabrie."
Dia tersenyum tipis kemudian menyambar roti panggang yang ada di meja makan.
"Aku berangkat!" serunya entah pada siapa.
Remaja itu berjalan menuju garasi dan mendapati mobil pribadinya di sana. Dia menghidupkan mesin mobilnya kemudian mengendarai mobil tersebut menuju sekolahnya, Pandora Gakuen. Butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai di sekolahnya itu. Jika dia telah sampai, remaja itu akan segera memarkirkan mobilnya di tempat yang telah disediakan oleh sekolah.
"Tumben kau tidak terlambat hari ini, Oz!" seru temannya, Gilbert Nightray.
"Iya, dong! Masa aku mau terlambat setiap hari?"
Di tempat lain…
"Tolong makamkan gadis ini, Pak," pinta pria itu.
"Eh? Mengapa mendadak begi—"
"Tolong kasihani gadis ini, Pak! Hidupnya sungguh berat! Kami menemukannya disiksa oleh orang tuanya hingga dia tewas," ujar wanita itu berbohong dengan wajah memelas.
Sejenak, orang tua yang mereka minta untuk memakamkan gadis itu berpikir sejenak. "Baiklah," katanya.
"Ah, terima kasih banyak, Pak! Terima kasih," kata wanita itu.
"Ini balasan untuk Anda. Kami berdua sibuk, jadi mohon bantuannya," kata pria itu sambil menyelipkan amplop di kantong baju orang tua itu.
"Ya, sama-sama Tuan dan Nyonya."
Wanita itu pura-pura menangis dengan mengelap air mata buayanya sampai akhirnya sepasang suami istri itu masuk ke mobil mereka.
"Fyuh! Akhirnya urusan gadis itu selesai sampai di sini," kata wanita itu.
"Ya, kau benar. Kini saatnya aku mencari kelinci yang baru," ujar pria di sebelahnya.
"Haha, kau benar. Hmm, apa Oz sudah bangun, ya?"
"Dia kan sudah besar. Dia sudah bisa pergi ke sekolah sendiri, kita tidak perlu mengkhawatirkannya."
"Hn, ya." Wanita itu tersenyum lebar.
Mobil yang mereka berdua kendarai berjalan dengan cepat. Mereka memakamkan gadis malang itu di tempat yang jauh dari rumah mereka –tempat di pinggiran kota yang begitu sepi. Wajar saja jika dalam perjalanan pulang, mereka hanya melihat pepohonan dan pasir yang menyelimuti hampir tiga-perempat kawasan di sana.
Tapi karena hari itu baru pagi, tidak akan terlalu mengerikan, bukan?
Hmm, apakah kau yakin?
'Akan kubalas semua rasa sakitku.'
'Akan kubalas semua penderitaanku.'
'Akan kubalas harga diriku yang jatuh.'
Ketika mobil itu melaju dengan sangat cepat, tiba-tiba angin bertiup sangat cepat dan halilintar mulai menyambar-nyambar.
CTAR! CTAR! CTAAAAR!
.
.
.
"He? Halilintar? Pagi-pagi begini?" gumam Gilbert.
"…"
.
.
.
"Apakah akan turun hujan?"
"Sepertinya begitu, Cecile."
.
.
.
'Akan kubalas.'
.
.
.
CTAR! CTAR!
.
.
.
"KYAAAA! ZAI! GADIS ITU!"
"Ti… Tidak mungkin!"
Gadis berkulit pucat dan berambut brunette panjang dengan mata violetnya.
'Khikhikhikhi…'
"Tidak mungkin! Ini pasti halusinasi! HALUSINASI!"
Gadis itu melayang-layang di udara dan mendekati mobil yang sedang melaju itu. Hingga jarak mereka semakin sempit…
"KYAAAAA!"
"Kalian… tidak pantas hidup di dunia ini."
Seketika, mata gadis itu membesar sambil menatap tajam sepasang suami istri itu.
"KYAAAAA!"
CKIIIITT!
"AAAKHH!"
Sebuah pisau yang asalnya entah dari mana menancap dengan sempurna di jantung pria itu.
"TIDAAAAK!"
Mobil itupun hilang kendali...
.
.
.
DEG!
"Ada apa Oz?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya mempunyai feeling yang buruk."
Pemuda raven itu hanya menaikkan sebelah alisnya.
.
.
.
…hingga menabrak sebatang pohon yang besar.
CKIIIIT! BRUUK! DUAAAAAR!
Darah segar mengalir membasahi wajah wanita itu.
"Kalian… tidak pantas hidup di dunia ini."
Gadis brunette itu tersenyum tipis sambil memperhatikan mayat-mayat di hadapannya. Kemudian sosoknya kembali menghilang dan melayang-layang.
.
.
.
TET! TET! TEEEEET!
Bel sekolahpun berbunyi. Hujan deras seketika mengguyur Kota Sabrie.
ZRAAASH!
DEG! DEG! DEG!
'Tou-san… Kaa-san… Kalian di mana? Mengapa… aku jadi begitu memikirkan kalian? Perasaan buruk apa ini?'
"Ayo, Oz! Kau lama sekali! Bel sudah berbunyi dan hujan turun dengan deras! Kau mau terlambat dan sakit secara bersamaan, huh?" teriak Gilbert.
"Iya, iya!"
ZRASSH!
Mereka berlari menembus hujan menuju kelas mereka. Mereka berlari terengah-engah hingga sampai di depan kelas. Dengan terburu-buru Oz membuka pintu kelasnya, dan terlihatlah Sang Guru yang telah berada di depan kelas.
"Ma-Maaf, saya terlambat. Sebenarnya saya sudah datang sebelum bel berbunyi, tapi—"
"Oz." Perkataan Oz terpotong. Sang Guru hanya menghembuskan nafas prihatin.
"Oz, Gilbert, duduklah."
Dengan penuh rasa kebingungan, Oz dan Gilbert berjalan menuju bangku mereka dan segera duduk.
Lagi-lagi, Sang Guru menghembuskan nafas.
"Ada berita duka yang ingin saya sampaikan pada kalian." Sang Guru menatap Oz dengan tatapan sayu.
"Oz, dengarkan baik-baik," kata guru itu. Oz terkesiap.
"Zai Vessalius dan Rachel Cecile, atau yang biasa kita kenal adalah orang tua dari teman kita, Oz Vessalius… ditemukan tewas di kawasan pinggir Sabrie." Guru itu menghembuskan nafas panjang.
"A…Apa?" Mata Oz terbelalak. Jantungnya berpacu dengan cepat. Bahkan tubuhnya serasa kaku untuk digerakkan. "Ba…Bagaimana bisa?" Suaranya bergetar.
"Entahlah. Tiba-tiba di jantung ayahmu telah tertancap pisau tepat di jantungnya dan ibumu… diselimuti oleh darah," kata Sang Guru.
"Apakah ini pembunuhan? Se…Sekarang mereka ada di mana?"
"Entahlah, Oz. Sekarang, jasad mereka ada di RS. Sabrie."
Dengan cepat, Oz segera berlari ke luar kelas menuju mobilnya. Tak dihiraukannya lagi hujan deras dan petir yang menggelegar. Dengan perasaan kacau dan air mata yang mulai membasahi pipinya, dia melaju dengan cepat menuju rumah sakit, tempat jasad orang tuanya saat ini.
Teman-teman sekelas Oz masih terhenyak dan berduka atas meninggalnya kedua orang tua Oz. Suasana kelas itu hening, hanya ada beberapa orang yang berbicara –itupun hanya berbisik. Gilbert Nightray -sahabat Oz- merasakan duka yang begitu dalam, sama seperti Oz.
Dalam keheningan itu, sosok gadis berambut brunette kembali muncul. Ia berdiri di sudut ruang kelas dengan rambut panjangnya yang menutupi wajahnya. Ia tersenyum licik sambil bergumam, "Oz Vessalius… kau akan menyusul orang tuamu. Tapi…
Dengan cara yang berbeda."
Sosok gadis itupun kembali melayang-layang hingga akhirnya menghilang dari ruang kelas itu disertai tiupan angin yang semakin mendinginkan ruangan tersebut.
Mobil yang dikendarai Oz melaju dengan sangat cepat hingga dia sampai di rumah sakit tidak dengan waktu yang lama. Dengan terburu-buru dan perasaan yang masih kacau, dia segera masuk ke ruang mayat. Terlihatlah dua orang manusia yang telah ditutupi dengan kain. Dengan pelan-pelan, Oz mendekati kedua mayat itu. Dan dengan pelan-pelan pula, Oz mulai membuka kain yang menutupi wajah kedua mayat itu. Hingga tiba-tiba…
PLAK!
Ada yang menepuk pundak Oz.
DEG!
Dengan cepat, Oz segera membalikkan badannya. Dan yang dia temukan adalah…
"Paman Oscar?"
"Oz…"
Pamannya itu menatap Oz dengan sendu.
"Oz, kau datang lebih dulu dibandingkan aku."
"…"
Oz melanjutkan membuka kain yang menutupi wajah kedua mayat itu. Dan yang dia lihat adalah wajah dari kedua orang tuanya. Air matanya mulai memberontak untuk keluar. Oz tak bisa menahannya lagi, hingga dia menangis terisak-isak di sana. Dia menggenggam tangan ibunya dan otaknya kembali berputar mengingat memorinya bersama kedua orang tuanya.
"Oz…" Paman Oscar hanya menatap Oz. Keponakan tersayangnya itu kini hanyalah sebatang kara.
Oz menghapus air matanya dan menatap pamannya. Matanya, hidungnya, dan mulutnya masih memerah karena menangis sejadi-jadinya.
"Oz, kau tinggal di rumah paman, ya. Paman akan mengurusmu, kau tidak perlu takut."
"…"
"Oz, kau tidak sendirian," kata pamannya.
Dengan terpaksa, Oz tersenyum. Dilihatnya lagi mayat kedua orang tuanya, kemudian dia berbisik, "Semoga bahagia di sana… Tou-san… Kaa-san."
Dengan langkah kaki yang berat, Oz meninggalkan jasad kedua orang tuanya. Dia tertunduk, otaknya tak mampu untuk berpikir saat ini. Di luar masih hujan sangat deras. Dan petir masih juga menggelegar. Entah sampai kapan cuaca seperti ini akan berlangsung.
Di tengah-tengah hujan deras itu, sesosok gadis brunette kembali muncul bertepatan saat Oz dan Paman Oscar keluar dari rumah sakit.
Gadis itu bergumam, "Ya. Kau tidak sendirian, Oz. Aku akan menemanimu."
Dan lagi, sosok itu menghilang, melayang-layang tak tentu arah di muka bumi ini.
"Khikhikhikhi… Tunggulah, Oz. Aku akan menemanimu sampai kau menyusul kedua orang tuamu."
"HAHAHAHA!"
TBC
.
.
.
Pertama-tama, saya ingin mengucapkan, "Selamat Idul Fitri bagi yang merayakan, mohon maaf lahir dan batin." XD
Oke, lalu… fict ini aneh. (y)
Fict ini adalah fict horror pertama saya, yang malah sepertinya tidak terkesan horror sama sekali. Malah lebih cocok jadi fict abal-abal. (T_T)
Saya mendapat ide untuk fict ini setelah memutar otak 2 hari 1 malam *halah* dengan pada saat pengetikan "dipaksakan" suasana di sekitar saya menjadi horror. *orang aneh*
Saya tidak tahu apakah fict ini bagus, jelek, atau aneh. Tapi saya harap, Irene-chan (yang memberi request) menyukai fict ini. (^_^) Maaf kalau tidak memuaskan. =="
Yap. Fict ini hanya twoshoot. Saya akan coba untuk update fast. \(^o^)/
Oh, ya, untuk nama ibunya Oz saya masih bingung. Bagi yang tahu, tolong beritahu saya, ya, supaya saya bisa memperbaikinya. :D
Last, minta REVIEW-nya, Minna? =D
