disclaimer: i own nothing, but this plot.
prolog
"Putri Perdana Menteri ORB Menghilang!"
Hilangnya putri Perdana Menteri ORB, Uzumi Nara Athha (49) telah diakui setelah kabar simpang siur selama tiga hari belakangan ini mampu menghebohkan seluruh penjuru negeri. Masih belum diketahui apa penyebab hilangnya sang Putri, Cagalli Yula Athha (19). Spekulasi yang berkembang menyatakan bahwa ia melarikan diri karena tidak menyetujui tentang pencalonan penerus Athha di kursi politik ORB. Namun, kabar burung yang lebih kuat beranggapan bahwa satu-satunya putri Uzumi tersebut telah diculik, menyusul peristiwa surat kaleng yang dikirim kepadanya saat awal Juli lalu.
Patrick Zala (51), selaku pimpinan tertinggi kemiliteran dan kesatuan kepolisian negara mengutarakan bahwa terkait dengan hilangnya sang Putri, ia akan mengerahkan pasukan khusus untuk menyelidiki lebih lanjut tentang kasus ini. Sedangkan Perdana Menteri yang juga merupakan kawan lama Uzumi, Ezaria Jule berkomentar, "Hilangnya Putri ORB tidak berkaitan dengan isu penundukan terhadap negeri ini. Kita semua tahu, dan akan terus berharap agar Putri dapat kembali dengan selamat dan akan bercengkerama kembali dengan ayahnya. Cagalli adalah gadis yang kuat." (selengkapnya hal. 7)
Pria berperawakan sedang itu melemparkan tabloid yang baru saja ia baca ke atas meja kaca. Benda itu bergabung dengan berpuluh-puluh surat kabar berbeda menghadirkan info terbaru yang sama. Membuat sang pria muak. Apalagi headline tabloid khusus dengan pembahasan seputar politik itu seakan menatapnya marah dengan tulisan besar dan tebal yang sengaja disuguhkan untuk pembaca seperti dirinya. Tapi tidak, justru saat ini pria itulah yang diliput dengan gelombang kemurkaan yang bergejolak di dadanya akibat berita tersebut.
"Sial!"
Ia sangat ingin mencabik-cabik kumpulan kertas itu. Api akan membakarnya, mengubah mereka menjadi asap kelabu yang akan mengudara. Ia meyakinkan tak akan tersisa satu abu pun yang akan ditinggalkan surat kabar dengan berbagai foto seorang gadis berambut pirang sebagai berita utama mereka itu. Karena benda itu semata-mata hanyalah piece of shits baginya.
"Aku tahu kau sedang tidak enak hati," pria kedua yang berdiri di sudut lain dalam ruangan yang sama berbicara. Ia menyesap liquid merah pada gelas berkaki yang ia bawa dengan gaya elegan untuk memberikan jeda sejenak atas kalimat yang ia utarakan selanjutnya, "dan rencanamu untuk membawa sang Putri gagal."
Satu dengusan.
Pria itu memakai jas yang sama sekali tak memperlihatkan satupun lipitan. Celana yang lurus dengan potongan sesuai dengan badan. Hitam dan semua rapi. Dengan manner yang berimpresi kepada lawan bicaranya, mereka pasti mengiranya bahwa ia adalah seorang bangsawan dengan segudang uang. Tangan yang bersarung tangan itu meletakkan gelas kaca berkakinya dengan hati-hati. "Tapi-" Pria itu melangkah menuju cermin satu badan beberapa langkah dari posisi semula. Lalu mengamati seseorang di sana yang sedang merasa ketakutan lewat bayangan cermin.
"Eksekusi. Bukankah perjanjian awal kita demikian?" suara merdu seorang gadis memotong pembicaraan sang pria. Senyuman mengembang di wajahnya yang ayu. Matanya berbinar-binar seperti anak kecil yang menemukan seekor anak anjing yang sudah lama ingin dipelihara. Ia nampak seperti seorang gadis yang polos. Dress selutut yang ia pakai memperlihatkan kakinya yang tanpa cela, kemeja dengan aksen V neck yang ia pakai pun memperlihatkan lekukan di area dada. Memang tidak dipungkiri, gadis itu satu-satunya yang membawa warna di antara laki-laki di sana.
Dan ia, yang sedang berdiri di hadapan meja kaca, merasakan tubuhnya semakin gemetaran. Rasanya ingin segera lari dari ruangan itu, tidak ingin mendengar apa yang mereka bicarakan tentang nasibnya ke depan. Mukanya berubah pucat.
"Haro! Haro!"
"Kau gagal."
Sebuah pernyataan.
Salah satu orang dari berpasang-pasang mata di sana memicingkan mata. Melirik ke arah si pria gagal. Suaranya yang dalam, namun sama sekali tidak ada nada di dalamnya, tidak rendah dan tidak tinggi bergaung. Hanya datar. Ekspresinya bahkan tak terbaca. "Tapi aku rasa ini bukan masalah besar." Sebuah pena silver menari-nari di atas jemarinya yang ramping dan panjang.
Lalu wajah itu berubah. Dari kesal, ketakutan, kini sedikit lega. Tapi tubuhnya yang sedari awal menahan amarah tidak bisa berhenti bergetar, tapi kali ini karena ketakutan. Hawa intimidasi begitu kuat di dalam sana. Ditambah lagi ruang tak cukup cahaya yang memperburuk aura yang ditimbulkan dari mereka berdelapan. Semua tirai dari jendela tinggi tertutup, menyembunyikan sebagian besar wajah-wajah familier itu di balik bayangan hitam. Seperti saat mereka memutuskan untuk mencapai satu tujuan. Cahaya dan warna tak akan ada lagi di kamus hidup mereka.
"Ya," si pria elegan menjawab. "Bukankah ini justru menguntungkan kita?"
"Tidak sepenuhnya."
"Tapi cukup untuk membuat si Uzumi-brengsek itu ketakutan, ya kan?" seorang pemuda yang membawa sebuah pisau lipat membuka mulutnya. Setelah beberapa waktu hanya mengamati diskusi di antara orang yang membawa kartu AS dari kelompok mereka. Pemuda itu kemudian menyeringai kejam saat kilauan cahaya dari pisau nampak kemudian memantul pada kedua iris mata milik pemuda itu, menunjukkan bahwa apa yang ia bawa benar-benar senjata tajam yang dapat mengiris kulit hanya dengan sedikit tekanan dan gesekan.
"Hmm..." sang gadis mengangguk dengan wajah tak berdosa.
"A-aku,"
Belum sempat si pria di depan meja kaca selesai mengucap, sebuah pintu mahogani di sudut utara terbuka dengan suara yang membahana. Membawa kumpulan cahaya masuk ke dalam ruangan besar itu. Perlahan, bayangan mulai tersingkap satu per satu di antara mereka. Memberikan pengelihatan yang lebih jelas akan siapa mereka sebenarnya. Tapi tidak untuk pendatang baru yang masuk.
Cahaya terblokade oleh tubuh tegap berkharisma itu. "Kalian,"
Satu-sang pria elegan yang berdiri di hadapan cermin. Dua-pria berkacamata yang sama sekali tidak menghiraukan apapun yang sedang terjadi di sana. Tiga-sang gadis bertepuk tangan melihat siapa orang baru tersebut. Empat-seorang pemuda yang setengah berbaring di atas sofa mewah bewarna merah yang tampak bosan. Lima-pria paruh baya bertubuh tambun dan memiliki berbagai aksesoris mahal yang bahkan tak pantas dipakainya. Enam-seorang pendiam yang bahkan sama sekali enggan membuka mulut mengomentari hal yang menurutnya tidak penting. Tujuh-remaja paling muda di antara mereka, menjulurkan lidah, mencecap rasa metalik dingin yang berkilauan, benda tajam yang siap merobek daging segar manusia.
"Rencana kita mungkin melenceng sedikit. Tapi tujuan kita tetaplah sama. Negeri ini..."
Delapan-sang orang baru.
Duduk dalam sebuah etika seorang raja.
Siap menghakimi siapapun yang berada diluar garis yang telah ia tentukan.
Menggenggam sebuah aturan tak tertulis bahwa semua harus tunduk padanya.
"Baik."
Bara api telah dinyalakan. Kini perapian siap digunakan.
"Tapi Shani, kau harus tetap dihukum."
Sembilan-pria itu melebarkan mata, sang pemimpi yang garisnya berakhir.
tbc
hello. lama ga main ke sini. semakin sepi kayaknya /dzig. o ya, penname saya ganti, Shuuta Hikaru sudah tidak ada. semoga dengan penname baru ini bisa lebih aktif. oh ya, saya butuh teman bicara tentang fic ini, ada yang berminat? pm ya. :D
terimakasih sudah membaca.
