Bel tanda jam pelajaran berakhir baru saja berbunyi, namun sang guru belum juga beranjak dari hadapan papan tulis. Masih ada beberapa kalimat lagi yang harus ia tulis, ia sama sekali tidak suka menunda-nuda sesuatu. Apalagi, ulangan tengah semester kian dekat dan masih banyak materi yang belum tercapai.
"Catat hingga selesai," ucap Yagarai-sensei. Pria berkacamata itu langsung menatap muridnya yang duduk di ujung kelas, meja paling depan. "Dan kau, Slaine Troyard, tolong bantu aku membawa buku-buku ini."
Merasa namanya dipanggil, pikiran Slaine yang tadinya mengawang-awang di langit langsung turun kembali ke tempat yang semestinnya. "Baik, Yagarrai-sensei." Ah, mungkin gurunya itu tahu kalau sedari tadi Slaine sedang melamun dan hanya mencoret-coret asal buku catatannya.
.
Slaine jengah, Harklight mengikutinya dari belakang.
"Apa kau memikirkan si tuan putri lagi?" tanyanya sedikit meledek.
Slaine menghentikan langkahnya, dan menatap sang sahabat sinis. "Bukan urusanmu, dari pada terus meledek, lebih baik kau bantu aku membawa buku-buku ini. Mereka menghalangi pandanganku sampai-sampai aku kesulitan melihat jalan."
"Wow, sabar tuan muda…," Harklight menepuk pundak Slaine pelan. "Kau ingatkan hari ini aku punya janji dengan seseorang. Tujuan kita berbeda dan kita akan berpisah di persimpangan tangga nanti." Sebuah senyum tipis dikulum pria itu.
Hembusan napas dikeluarkan si blonde. Tak lama, Harlight memisahkan diri darinya setelah sebelumnya ia sempat berpamitan—bagaimana pun juga Harklight akan selalu bersikap sopan kepada Slaine karena ia memiliki banyak hutang budi kepada pemuda itu meskipun Slaine sama sekali tidak pernah mempermasalahkannya.
Slaine sampai di depan tangga. Ia benar-benar mengalami kesulitan saat ini. Pijakan tangga sama sekali tak terlihat oleh pandangannya yang tertutupi tumpukan buku. Sebenarnya banyak orang berlalu lalang yang melewati tempat itu. Tapi harga diri Slaine sama sekali tidak mengijinkannya untuk meminta bantuan. Padahal jarak dari kelasnya menuju ruang guru cukup jauh. Kelasnya berada di lantai empat, sementara ruang guru ada di lantai dasar dekat pintu masuk gym.
Mungkin nasib sial Slaine baru saja hinggap hari ini. Tepat saat ia menapaki langkah pertama menuruni tangga, keseimbanganannya terganggu karena salah ambil pijakan. Tubuhnya tertarik oleh gravitasi bumi. Slaine menutup matanya, takut akan apa yang terjadi selanjutnya. Ia mengira tubuhnya akan menubruk lantai yang keras dengan buku-buku yang sudah bersebaran.
Namun ternyata pemikirannya salah. Ia mendarat dengan selamat. Seperti jatuh di atas matras yang empuk.
Slaine mengerang perlahan dan mulai membuka matanya.
"OI INAHO!"
Teriakan dari seseorang mengembalikan penuh kesadarannya.
Manik biru-kehijauan milik Slaine terbelalak saat ia sadar bahwa dirinya sudah mendarat di atas tubuh orang lain yang kini tak sadarkan diri.
.
.
Blue Rose
© Hanyo4
Aldnoah Zero © Project A/Z, Olympus Knights, A-1 Pictures, Gen Urobuchi, Katsuhiko Takayama.
InaSure
Reinkarnasi!AU
Warn : Alternate Universe, Typo(s), OOC, Sho-ai.
.
.
Beruntung saat itu ada Calm Craftman—sahabat Inaho—yang mampu membopong tubuh Inaho sampai ke UKS. Merasa bersalah, Slaine mengikuti keduanya dari belakang. Calm bilang Slaine bisa saja pergi, karena Inaho sebenarnya baik-baik saja. Ia mungkin tak sadarkan diri karena akhir-akhir ini pemuda itu tidak istirahat dengan cukup.
Namun Slaine menolaknya dan bersikeras ingin meminta maaf kepada Inaho ketika ia bangun nanti. Mau tidak mau, Calm terpaksa menurut. Ia meninggalkan keduanya tak lama setelah Inaho dibaringkan di atas ranjang. Pemuda dengan wajah berbintik itu bilang, ada rapat penting yang tak boleh terlewatkan.
"Aw…" Inaho mengerang pelan saat ia membuka matanya. Kepalanya terasa sedikit pusing hingga apa yang ia lihat serasa berputar.
Slaine panik. Kepalanya menoleh kanan-kiri mencari perawat yang berjaga, namun nihil. Jujur saja ia takut ada luka dalam pada Inaho sekalipun mereka hanya terjatuh dari beberapa anak tangga. "Kau tidak apa-apa? Ada yang sakit?" tanyanya khawatir.
Inaho menggeleng. "Tidak apa. Aku baik-baik saja," Mata Inaho menyipit ketika ia menyadari bahwa sosok yang duduk di samping ranjangnya adalah orang asing yang tak ia kenal. Terlebih lagi orang itu memakai dasi seragam berwarna hijau—yang artinya murid tingkat akhir. "Senpai sendiri?"
Wajah Slaine tertunduk. Rasa bersalah menyelimuti dirinya "Maaf karena telah menimpamu tadi, kalau ada apa-apa aku akan bertanggung jawab, tenang saja!"
Kening Inaho mengkerut. Kenapa orang ini sangat ingin bertanggung jawab? Bertanggung jawab atas apa? Memangnya dia menghamili kakaknya?
"Tidak apa, Senp—" tangan kanan Inaho menggantung di udara. Padahal niatnya, tadi ia ingin menepuk pundak Slaine dan berkata semuanya baik-baik saja. Tapi sekarang ia dapat merasa nyeri yang amat sangat di pergelangan tangannya. Dasar, niatnya mau berlagak keren tapi ternyata malah kesakitan seperti ini.
Mendengar sang lawan tak kunjung menyelesaikan kata-katanya, Slaine memberanikan diri untuk mendongkak.
"Baiklah," Inaho berucap dengan nada serius. "Kurasa senpai memang harus bertanggung jawab." Manik merah itu sama sekali tak melepaskan tatapannya dari sepasang kelereng biru-kehijauan, walau hanya sedetik.
.
.
Slaine menggutuki dirinya berkali-kali. Bagaimana bisa ia tidak menyadari bahwa orang yang ditimpanya saat jatuh dari tangga tadi adalah ketua osis yang baru terpilih kemarin?
Keduanya kini berada di ruangan osis—yang untungnya kosong melompong karena hari sudah sangat sore. Ruangan itu terasa hening, sampai-sampai suara goresan pena mampu mengetuk gendang telinga Slaine.
Inaho sedang sibuk menandatangani berkas-berkas penting dengan tangan kirinya—dan Slaine mengutuk kenapa Inaho membutuhkan bantuan darinya sementara ia bisa melakukannya sendiri.
"—pai… Senpai… Senpai!" Inaho meninggikan nadanya.
Slaine tersentak. "Ah ya, ada apa, kaichou?" rupanya ia melamun lagi. Ah, kenapa akhir-akhir ini pikirannya mudah sekali untuk teralihkan?
"Berhenti memanggilku, kaichou, senpai."
Sambil membelakangi lawannya, Slaine membereskan kertas-kertas milik osis yang berserakan. "Kau juga, berhenti memanggilku senpai. Entah kenapa rasanya aneh, aku tak terbiasa."
"Tapi kau kan setahun lebih tua dari padaku. Dan kau pun tentu tahu siapa namaku sesungguhnya—bukannya sombong, tapi aku ini kan ketua osis, pasti kau pernah mendengar namaku sekali dua kali." Ucap Inaho datar namun memberi kesan pamer.
Salah satu alis Slaine berkedut, ia membalik tubuhnya agar dapat berhadapan langsung dengan Inaho. "Maaf saja ya bukannya aku ingin menjatuhkanmu atau apa, tapi jujur saja aku tidak tahu siapa namamu. Ingatanku agak jelek, apalagi kalau dipakai untuk mengingat nama orang asing."
Merasa kalah dalam debat, Inaho terpaksa mengalah. Apalagi kalau lawannya adalah orang keras kepalanya yang sebelas-duabelas dengan wanita. "Kaizuka Inaho kelas 2-C nomor abse—"
"Namamu saja cukup," potong Slaine cepat. "Aku tidak butuh nomor absen ataupun posisi dudukmu," Pemuda pirang itu berjalan mendekati meja Inaho, kemudian menaruh lembaran kertas di atas meja. "Sudah selesaikan? Aku akan pulang sekarang. sebentar lagi jemputanku datang." Slaine berbalik lagi dan berjalan menuju pintu keluar.
"Bagaimana dengan nomor ponselku, apakah senpai juga butuh? Kau bilangkan akan bertanggung jawab sepenuhnya?" Di balik wajah datarnya, Inaho tersenyum sinis penuh kemenangan. Apalagi setelah melihat pemuda itu yang menghentikan langkahnya tepat di bibir pintu. "Kau tidak akan lari dari tanggung jawabkan, Slaine Troyard-senpai?"
Slaine menoleh. "Ara, ternyata kau tahu namaku tanpa perlu kusebutkan. Tenang saja, aku tidak akan lari dari tanggung jawab. Dan maaf, aku sama sekali tidak butuh nomor ponselmu—sekalipun kau memberikannya, aku takkan menghubunginya atau memberikan kau nomorku." Tangan kanannya membuka kenop, Slaine berjalan kemudian punggungnya hilang ketika pintu mulai tertutup kembali dengan sendirinya.
Sudut bibir Inaho tertarik hingga menciptakan lengkungan indah yang jarang sekali dilihat orang. "Slaine Troyard, anak angkat pemilik yayasan. Bagaimana mungkin aku bisa tidak mengenali orang sepenting itu?"
.
.
"Kau lama sekali, Slaine." Keluh Harklight yang duduk di kursi kemudi.
Slaine membuang tas sekolahnya ke jok belakang dan menarik sabuk pengaman. "Ada sedikit masalah saat kau pergi tadi." Ucapnya acuh. Tangan kanannya langsung meraup ponsel di saku celana.
Pedal gas diinjak, sedan metalik itu keluar dari parkiran khusus yang disediakan oleh pihak sekolah. "Masalah? Dengan Yagarai-sensei?"
"Bukan, dengan ketua osis yang baru." Jawab Slaine malas.
"Kenapa?" tanya Harklight yang makin penasaran.
"Saat aku tersandung di tangga tadi, aku mendarat di matras darurat yang ternyata tubuh si ketua osis. Tenang saja Harklight, kau tidak perlu menceritakan hal ini kepada Otou-sama karena aku baik-baik saja."
Walaupun sedikit khawatir, Harklight mengangguk. "Ya, lagi pula kau terlihat seperti tidak terluka sedikitpun," kecepatan mobil diturunkan begitu mereka sampai di area pemukiman. "Lalu? Apa yang terjadi setelah itu?"
Slaine menghembuskan napas lelah kemudian ia mengalihkan pandangannya dari ponselnya. "Tangannya terkilir, mau tidak mau aku harus bertanggung jawab."
"Membayar biaya pengobatan?" tebak Harklight.
"Tidak, ia menolak hal itu. katanya uang sama sekali bukan jalan keluar. Ia memintaku untuk membantu mengurusi perkara osis."
Harklight mati-matian menahan tawanya, namun tetap saja ada yang lolos.
Muka Slaine kini semerah udang rebus. "Berisik! Jangan tertawa, ini sama sekali tidak lucu!"
"Astaga Slaine, kau saja dari dulu malas mengikuti ekskul apapun, sekarang malah disuruh jadi tenaga sukarelawan?"
Mobil metalik itu memasuki perkarangan rumah megah. Kemudian berhenti di depan pintu utama.
"Ini juga karena terpaksa!" Slaine melepaskan sabuk pengamannya dan langsung keluar setelah membuka pintu mobil.
"Oi… Slaine-sama, tas mu tertinggal nih…" ledek Harklight.
Dengan bibir mengkerucut, Slaine berbalik, membuka pintu belakang mobil, mengambil tasnya, dan berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Harklight tak bisa menahan tawanya lagi, begitu melihat kelakuan tuan mudanya yang polos itu.
.
.
Keringat bercucuran di kening Slaine.
Selalu seperti ini.
Tangan kanan mencengkram selimut yang ada di depan dada.
Berkali-kali ia selalu melihat mimpi yang sama. Mimpi di mana ia diikat dan dicambuk bak penghianat yang sedang diinterogasi.
Tubuh Slaine gemetar, matanya masih terpejam kuat-kuat.
"—menaruh kepercayaan pada sampah kotor sepertimu, dan pada akhirnya kehilangan nyawanya…"
Siapa? Siapa yang kehilangan nyawanya? Dan Siapa itu sampah kotor?
Slaine berusaha menajamkan pengeliatannya, namun semakin ia berusaha, pemandangan yang ia dapat semakin kabur.
Tali cambuk menampar punggung, Slaine dapat merasakan sakit yang luar biasa. Ia ingin berteriak keras, namun tenggorokannya sangat kering. Dan suaranya sama sekali tidak keluar.
Ketika orang yang mencambuknya berbicara dengan sosok lain—yang sialnya tak dapat Slaine lihat, Slaine dapat merasakan sebuah tawa remeh keluar dari mulutnya sendiri.
Orang itu menanyakan beberapa hal kepadanya, namun Slaine tidak dapat mendengarnya dengan jelas. Ia sendiri juga tidak tahu mengapa mulutnya seolah berbicara sekalipun ia sendiri tak tahu sedang berbicara apa.
Oh Tuhan, apa tubuhnya yang sekarang bukan miliknya sendiri?
Slaine merasa kepalanya dicengkram dengan sangat kuat. Wajahnya berhadapan langsung dengan wajah sang pelaku. Namun anehnya, Slaine tidak dapat melihatnya dengan jelas, ia seperti rabun.
"Jawablah sampah! Kenapa kau tertawa?"
Kenapa? Kenapa ia tertawa?
Slaine sendiri tidak tahu apa jawabannya.
Ia terbangun dari tidurnya setelah lawannya meninju wajahnya dengan kekuatan penuh.
Slaine baru sadar bahwa itu semua mimpi ketika ia melihat pemandangan sekelilingnya. Napasnya terengah-engah, piyamanya basah kuyup karena keringat dingin. Matanya melirik jam weker yang ada di atas nakas samping tempat tidur.
Tepat pukul tiga dini hari.
Sama seperti sebelum-sebelumnya.
Setelah menormalkan kembali napasnya—dengan mensugestikan bahwa dirinya baik-baik saja, Slaine turun dari ranjangnya dan berjalan menuju kamar mandi.
Namun di tengah jalan, kepalanya seperti dihantam palu.
"Bunuh aku, Orenjii."
Entah mengapa ia dapat melihat sosok Kaizuka Inaho yang sedang menodongkan pistol tepat ke arahnya.
Tubuh Slaine ambruk di tengah perjalanannya menuju kamar mandi.
.
.
Inaho berjalan menuju kelas Slaine yang ada di lantai teratas.
"Maaf, apa ada Slaine Troyard-senpai?" tanyanya sopan ke salah satu murid perempuan yang ada sekelas dengan orang yang sedang dicarinya.
"Slaine sedang tidak masuk hari ini, katanya sih sedang demam." Jawab siswi itu.
Kening Inaho mengkerut. Demam? Bukankah kemarin sehat-sehat saja?
Inaho lantas melirik pergelangan tangan kanannya yang masih berbungkuskan kain perban.
"Err… apa ada hal lain lagi yang kau cari?"
Inaho menggeleng. "Tidak ada, terima kasih, senpai." Dengan sopan, Inaho berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dasar, katanya tak mau lari dari tanggung jawab, tapi sekarang batang hidungnya pun tak nampak.
Sambil menggerutu dalam hati, Inaho melangkah menuruni tangga. Namun sebuah tangan menepuk pundaknya.
Dirinya berbalik dan menemukan pemuda berambut hitam yang berdiri di satu anak tangga di atasnya.
"Apa kau Kaizuka Inaho? Sang ketua osis?"
"Ya, ada apa?" wajah datarnya menyiratkan ekspresi bingung.
Pemuda itu tersenyum, "Saya Harklight, untuk sementara saya akan membantu anda, menggantikan tanggung jawab Slaine."
.
.
To be Continued...
holla!
well, ff ini terinspirasi dari dj yang pernah saya baca (saya lupa judulnya) /dibuang ke mars/ saya sebenarnya sudah lama cinta InaSure tapi baru singgah akhir-akhir ini. maafkan atas diksi saya yang buruk (maap udah lama ga nulis hehehe) dan juga ke-OOC-an ini wwww xD /dirajam Slaine/
Blue Rose adalah ff pertama saya di fandom ini. semoga bisa saya tamatkan sampai akhir, amin. /dilindes Deucalion/
Terima kasih telah membaca! Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
sign,
Hanyo4
