-Prolog-
Suasana komplek pemakaman sudah sepi kala itu, namun seorang namja dengan pakaian serba hitamnya masih tetap terdiam di depan sebuah gundukan yang masih terlihat baru. Tangannya menebarkan kelopak - kelopak bunga mawar hijau yang tumbuh dan memang sengaja ditanam oleh orang yang kini telah meninggalkan dunia.
Namja tersebut tersenyum miris, "Mawar hijau ini, kita tanam agar kita memiliki kehidupan baru yang lebih baik... Aku sudah meminta mu untuk terus sehat... " Namja itu akhirnya menangis, menangis dengan keras.
Kelopak - kelopak mawar hijau terlihat terbang terbawa angin dan berguguran disisi namja yang masih nampak menangis tak percaya jika seseorang yang ia sayang telah pergi meninggalkannya selama - lamanya. Ia menundukkan tubuhnya, menangis sembari memukul - mukul pelan gundukan yang masih terlihat basah.
Sebuah sentuhan lembut terasa di bahu namja tersebut, awalnya ia tidak memperdulikannya, namun, isakan yang sama seperti dirinya mulai terdengar. Namja itu perlahan mengangkat kepalanya dan menoleh ke belakang, menemukan seseorang yang juga tengah menangis sama sepertinya.
Mereka berdua saling berpandangan satu sama lain, berbagai perasaan nampak berkecamuk di dalam kedua mata berwarna hitam tersebut.
"Kembalikan dia..." Bisik namja yang lebih muda, Air mata kembali menetes membasahi pipinya, "Nae dongsaeng... Kembalikan dia padaku..." Ucapnya dengan mata yang menunjukkan kebencian, bibirnya bergetar menahan isakan, "KEMBALIKAN DIA, BRENGSEK!" Namja itu meraung marah dan memukul pria di sampingnya dengan keras. Nafasnya naik turun dengan cepat seirama emosinya yang telah meledak.
Beberapa hari ini ia sudah melakukan segalanya, ia sudah korbankan apa yang ia bisa, ia sudah berikan apa yang ia mampu. Tapi apa? Apa hasilnya? Semua seakan hilang, hilang tak berbekas karena kebodohan pria di hadapannya ini.
"Mianhae..." Jawab seseorang tersebut lirih. Perasaan menyesal tercetak jelas di ekspresi wajahnya.
"Aaaaaaaaaaaargghhhhhhh..." Teriakan namja berbaju hitam itu terdengar sangat memilukan. Menyayat hati siapapun yang mendengarnya di tempat pemakaman tersebut.
.
.
Family, A Hope From Green Roses
Story By : Kiyubby
Cast :
Cho Kyuhyun
Tan Hankyung
Park Jungsoo / Leeteuk
Kim Jongwoon / Yesung
.
Disclaimer : I have nothing except the plot
Cerita ini murni Brothership
.
.
Happy Reading
Chapter 1
.
.
.
Daegu, 3 Februari 1988
Kyongkuk University Hospital mendadak ramai malam itu. Rombongan perawat dan dokter terbaik berlarian menuju ruang gawat darurat. Seorang pasien yang di perkirakan siap melahirkan tengah di dorong menuju bagian khusus ruangan. Dibelakangnya mengekor pria paruh baya yang tergopoh - gopoh mengikuti laju ranjang dorong yang membawa sang istri diikuti oleh anak laki - lakinya.
"Dokter Kim, kau tahu kan apa yang harus di lakukan? Bonus besar akan menanti mu jika istri dan anakku lahir dengan selamat" Ucap si pria paruh baya, sedangkan dokter yang ia tarik mendekat tadi hanya mengangguk kecil.
"Berdoalah pada Tuhan, Presdir Cho, saya rasa ini akan jadi proses kelahiran yang cukup panjang mengingat kondisi istri anda yang sudah lemah sejak awal mengandung"
Wajah seseorang yang dipanggil Presdir Cho itu terlihat murka, "Apa katamu hah?! Kau adalah dokter terbaik di rumah sakit ini jadi kau harus berhasil, jika kau gagal kau pasti tahu apa akibatnya kan?"
"Saya akan berusaha yang terbaik, saya permisi"
Presdir Cho memperhatikan sekeliling ruangan, beberapa penjaga tampak berbaris rapi di sisi pintu.
"Abeoji, nae dongsaeng, akan lahir hari ini kan?" Seorang anak berusia empat tahun menarik narik celana sang ayah yang lebih tinggi darinya, wajah mungil nya nampak bersinar cerah.
Sang Ayah memperhatikan putra sulungnya dengan senyum diwajahnya, "Ne, adik mu akan segera lahir ke dunia, nanti, kau bisa bermain - main dengannya, bersama abeoji dan eomma"
"Ung, aku tidak sabar abeoji, adikku pasti sangat lucu dan tampan seperti ku"
"Hahaha... Kau bisa sekali memuji dirimu sendiri eoh, siapa yang mengajari nya?" Presdir Cho kini menggendong sang putra dan mengacak rambut anak kesayangannya dengan lembut.
Sementara di lain pihak seorang yeoja juga tengah dalam kondisi siap melahirkan. Sang suami terus saja merapalkan doa untuk hasil yang terbaik, ia sebenarnya sudah ingin sekali ambruk melihat darah yang begitu banyak keluar dari bagian bawah sang istri, namun ia tetap berusaha kuat. Apapun hasilnya nanti ia akan terima semua.
.
Waktu terus berlalu, operasi yang dilaksanakan istri pengusaha tekstil nomer satu di kota Daegu masih belum selesai. Presdir Cho nampak sudah mulai gusar karena sudah berjam - jam ia masih belum mendapatkan hasil mengenai anak dan istrinya.
Di tempat lain, tepatnya di ruang operasi yang berbeda, seorang dokter berjalan dan menghampiri wali pasien yang juga sedang menunggu kabar. Begitu melihat dokter yang mengoperasi istrinya keluar ia langsung menghampiri namja yang masih mengenakan baju operasi tersebut.
"Dokter, bagaimana anak kami?"
Dengan wajah sedih dan menyesal, sang dokter menggelengkan kepalanya, "Kami mohon maaf, tapi, bayi anda tidak bisa diselamatkan"
.
.
Presdir Cho langsung bergegas menghampiri dokter yang akhirnya keluar dari dalam ruang operasi.
"Bagaimana istri dan anak ku Dokter Kim?" Hankyung kecil ikut berdiri di sisi ayah nya, ingin tahu keadaan ibu dan adiknya.
Seorang perawat keluar sambil menggendong bayi laki - laki yang terlihat sehat dan sangat manis, pipinya begitu bulat dan nampak sangat kenyal. Hankyung tersenyum melihat sang adik yang akhirnya bisa dia lihat kehadirannya setelah menunggu berbulan - bulan.
"Selamat, bayi anda laki - laki Presdir Cho, kami akan membawanya keruang perawatan untuk mengetahui kondisinya lebih lanjut"
Presdir Cho tertawa bangga, ia menepuk - nepuk bahu sang Dokter yang meminta perawatnya membawa bayi yang baru lahir tersebut keruangan khusus. Tanpa mereka ketahui, Hankyung yang masih antusias langsung mengikuti si perawat tanpa megatakan apapun pada siapapun sambil membawa sebuah selimut yang sejak tadi ia pegang.
"Lalu..." Perhatian sang dokter teralih ketika Presdir Cho mulai berbicara, "Bagaimana dengan istriku?"
Seketika itu pula raut wajah dokter terbaik tersebut memucat. Ia tidak berani memandang orang berkuasa di hadapannya. Tangannya nampak bergerak - gerak gelisah.
"Kenapa kau diam? Aku bertanya bagaimana istriku?"
"A, Itu.. Presdir, istri anda, ka, kami.."
"Kau ini apa - apaan ha hu ha hu, cepat katakan, istriku bagaimana?"
Dokter tersebut langsung berlutut di depan Presdir Cho, membuat pria tiga puluh dua tahun itu mulai merasakan firasat buruk. Ia lalu menarik dokter di hadapannya kasar, mencengkeram kerah nya dengan kuat.
"Cepat bicara jika kau tidak ingin aku hancurkan karir mu" Mata Presdir Cho melotot marah, "CEPAT!"
"Ma, maafkan saya Presdir, istri anda... Istri anda tidak bisa diselamatkan... Istri anda... Meninggal setelah kami berhasil mengeluarkan bayinya"
"Mworago?" Presdir Cho menatap nyalang sang Dokter, wajahnya terlihat mengeras, ia menarik dokter itu semakin mendekat ke arahnya, "Katakan sekali lagi apa yang kau ucapkan barusan, CEPAT KATAKAN SEKALI LAGI!"
"Ma... Maafkan saya Presdir..." Dokter tersebut langsung terjatuh ketika Presdir Cho melepaskan cekalannya. Ia bersujud sambil memohon ampun.
"Kau tahu kan apa perintah ku pada mu tadi, kau tahu kan, kau, harus selamatkan istri dan anakku! BUKAN SALAH SATU DARI MEREKA!" Presdir Cho melupakan kemurkaannya.
"Je, jeoseonghamnida Presdir Cho, kami sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi, istri anda, jantung istri anda, tidak bisa bertahan lebih lama"
Presdir Cho mengepalkan kesepuluh jarinya erat – erat, wajahnya nampak sangat merah menahan amarah yang sangat besar, "Aku sudah katakan padanya agar menggugurkan saja bayi itu, tapi dia menolaknya…" Dokter Kim Jongwoon, atau lebih sering dipanggil Yesung menatap pria di hadapannya, "Jika istriku tidak bisa diselamatkan, maka, anak itupun tidak ada gunanya hidup di dunia ini" Mata Yesung seketika melebar mendengar kalimat tersebut.
"Presdir Cho…"
"Jika kau ingin aku maafkan dan menyelamatkan pekerjaan mu, lakukan perintah ku pada konferensi pers nanti. Putraku hanya satu seorang di dunia ini, hanya Cho Hankyung. Camkan itu Dokter Kim Jongwoon"
.
Hankyung kecil berjalan dengan riang mengikuti suster yang membawa sang adik ke box tempat bayi – bayi di letakkan setelah lahir. Senyum bahagia terus tersungging di bibir mungilnya.
"Nah, sekarang dongsaeng mu sudah nyaman tuan muda kecil, dia lebih hangat" Ucap sang suster setelah ia memasukkan putra kedua Presdir Cho ke dalam box bayi dan memasang papan nama orang tua si bayi ke tempatnya.
"Ajumma, bisakah aku melihat dongsaeng ku? Aku tidak bisa melihatnya dari sini" Hankyung merengut kesal karena box itu lebih tinggi dari tubuhnya, "Aku ingin melihat wajahnya ajumma, dan aku ingin memberikan selimut ini padanya, supaya dia jadi lebih hangat"
Suster tersebut tersenyum dan berjongkok, ia lalu mengangkat Hankyung dan menggendongnya, "Otte, jika begini anda bisa melihatnya kan?"
"Wah, ajumma, apa dia benar adikku? Dia manis sekali" Hankyung mengulurkan jari mungilnya, menyentuh pipi bulat sang adik ketika matanya melihat dengan jelas seperti apa wajah dongsaengnya.
"Tentu saja dia sangat manis dan juga sangat sehat, tapi, Tuan Muda, apakah anda sudah menyiapkan nama untuk dongsaeng kecil ini?" Tanya si suster, ia biarkan saja Hankyung memegang jari – jari bayi yang masih terlihat merah itu.
"Nama? Tentu saja aku sudah punya, tapi, aku akan menanyakannya dulu pada abeoji apakah abeoji bersedia memakai nama yang sudah aku siapkan, ini ajumma, ini, namanya sudah aku jahit di sini" Hankyung menunjukkan selimut kecil yang ia bawa sedari tadi. Sebuah selimut hasil kerja kerasnya dibantu oleh beberapa pegawai di perusahaan sang ayah. Hankyung begitu bangga bisa memberikan hadiah itu kepada dongsaengnya yang baru lahir. Hadiah yang ia buat sendiri dan tidak ada duanya di dunia, begitulah yang selalu ia katakan kepada semua orang di rumahnya dan di kantor sang ayah.
"Jinjayo? Siapa namanya?" Suster bername tag Hwang itu coba membaca jahitan yang tertera di selimut.
"Rahasia" Hankyung tersenyum usil sambil menarik lagi selimutnya, membuat Suster Hwang tertawa, "Ajumma nanti akan tahu kalau abeoji sudah melakukan konferensi pers pada wartawan" Hankyung tertawa senang, menampilkan deretan giginya yang masih belum tumbuh sempurna ketika berhasil mengusili suster cantik tersebut.
Hankyung lalu mendekatkan tubuhnya pada sang adik, coba mengalungkan kedua tangannya, memeluk adik laki – lakinya yang begitu manis, "Dia begitu hangat ajumma, dongsaeng –ah, annyeong, ini hyung, namaku Hankyung, aku adalah hyung mu yang tampan" Bisik Hankyung pelan, ia terkekeh geli ketika memuji dirinya sendiri. Hankyung kemudian melepaskan pelukannya dari sang adik dan beralih memegang jari – jari mungilnya, "Oh!" Hankyung tiba - tiba nampak terkejut.
"Waeyo?"
"Ajumma, dia memegang tanganku, lihatlah" Hankyung menunjukkan telunjuknya yang digenggam oleh jari – jari mungil sang adik, meski genggaman itu sangatlah lemah tapi Hankyung bisa merasakan kehangatan dari sana. Ia bisa merasakan batinnya mulai menyatu dengan dongsaengnya itu.
"Ommo, lihatlah Tuan Muda, dongsaeng anda memberi salam pada anda, dia menyapa anda yang adalah kakaknya, kalian pasti akur nanti, dia terlihat sangat menyayangi anda Tuan Muda" Wajah suster Hwang juga terlihat bahagia. Meski bayi yang baru lahir belum bisa membuka matanya, tapi mereka bisa merasakan sekitar, terlebih apakah yang berada di dekatnya adalah ayahnya, ibunya ataukah saudaranya.
Hankyung tersenyum semakin lebar, ia lalu mengulurkan tangan lainnya yang masih memegang selimut ikut menyentuh jari sang adik yang masih menggenggam telunjuknya. Hatinya terasa hangat, dia sangat menyayangi dongsaengnya ini. Sangat. Dan ia bertekad akan selalu melindunginya. Hankyung kembali memamerkan senyumnya kepada sang suster.
"Ah, ajumma, bisakah aku memotret adik ku? Aku ingin punya fotonya saat masih bayi, dia sangat menggemaskan, foto kami saat dia memegang tangan ku ini ajumma'" Pinta Hankyung.
"Oh benar sekali Tuan Muda, ini pasti akan jadi kenangan yang paling indah, baiklah, ah, Suster Jang, bisa aku minta tolong? Fotokan Tuan Muda, ada kamera Polaroid di laci mejaku, ambil saja" Suster Jang yang tiba – tiba masuk ke dalam ruangan langsung dipanggil oleh suster Hwang yang masih setia menggendong Hankyung.
Suster Jang mengangguk dan segera mengambil sebuah kamera Polaroid, ia langsung bergegas mendekati Suster Hwang yang merupakan seniornya di rumah sakit tersebut, "Baiklah, senyum Tuan Muda, saya akan mulai memotret ne, hana, dul, set" Ucap Suster Jang sambil membidikkan kamera Polaroid yang ia pegang.
Hankyung tersenyum lebar memandang sang adik yang terlihat nyaman dalam tidurnya. Fotopun diambil, suster Jang menunjukkan hasilnya kepada Hankyung.
"Wuah, ajumma Jang, ajumma benar – benar pandai mengambil foto, aku terlihat tampan dan adikku terlihat manis" Ucap Hankyung senang. Kedua orang dewasa yang ada di dalam ruangan itu tertawa mendengar kalimat penuh percaya diri dari putra pengusaha besar Daegu itu.
"Suster Hwang" Dokter Kim Jongwoon memanggil Suster Hwang yang masih berbincang – bincang kecil dengan Hankyung. Yeoja tersebut memandang Dokter yang merupakan sahabat karibnya itu. Ia merasakan sesuatu yang aneh dari raut wajah namja tersebut. Dan itu bukanlah sesuatu yang bagus. Pasti ada hubungannya dengan Presdir Cho. Dugaannya menjadi kenyataan ketika Dokter Kim menggeleng kan kepalanya pelan. Wajah Suster Hwang langsung pucat, ia mengerti arti gerakan tersebut.
"Tuan Muda, saya permisi dulu, sebaiknya anda juga kembali ke tempat ayah anda, beliau pasti khawatir karena tidak melihat anda, Suster Jang, tolong antar Tuan Muda" Suster Hwang tersenyum meminta maaf kepada Hankyung. Maaf karena mungkin mereka setelah ini akan menyakiti hati lembut namja berusia empat tahun tersebut.
Wajah Hankyung terlihat bingung, ia bergantian memandang Dokter dan suster yang ada di dekatnya, nalurinya pun mengatakan ada sesuatu yang aneh, tapi ia tidak bisa mengatakan apapun. Anak kecil itu hanya mengangguk dan memperhatikan sang adik yang tertidur pulas. Ia lalu perlahan melepaskan genggaman sang dongsaeng pada jarinya dan memasangkan selimutnya ke atas tubuh bayi mungil tersebut.
"Hyung janji, setelah ini hyung akan kembali dan menjemputmu dongsaeng, karena itu, jadilah anak yang baik dan tidur yang nyenyak ne, hyung sayang padamu, pegang kata – kata hyung, hyung akan kembali lagi, hyung pasti akan menemuimu lagi" Hankyung mendekatkan tubuhnya ke arah sang adik dan mengecup lembut dan sangat hati – hati kening dongsaengnya itu. Seolah bisa mendengar suara Hankyung, bayi mungil itu terlihat menggeliat pelan seakan – akan menerima janji yang Hankyung ucapkan. Suster Hwang coba menahan perasaannya saat mendengar kalimat tulus Hankyung. Bisakah anak ini bertemu dengan adiknya lagi setelah ini?
Suster Hwang lalu menurunkan Hankyung dari gendongannya dan menatap nama orang tua yang terpasang di box bayi milik putra Presdir Cho. Haruskah ia melakukan ini? Bisakah ia? Tegakah ia? Ia yakin, ibu sang bayi pasti sangat sedih walaupun ia telah tidak ada lagi di dunia ini. Suster Hwang kemudian memandang Yesung yang masih berdiri di dekatnya, melihat Yesung mengangguk kecil membuat Suster Hwang memejamkan matanya. Setidaknya, ini lebih baik dari pada membunuh bayi yang tidak bersalah bukan?
.
.
Di tempat lain, Tuan Park, namja yang baru saja kehilangan anaknya duduk merenung di depan ruang rawat sang istri, apa yang harus ia katakan pada yeoja yang sangat ia cintai itu? bagaimana bisa ia tega mengatakan jika anak mereka tidak bisa diselamatkan? Ia tidak mau istrinya sedih. Tuan Park mengusap wajahnya kasar. Ia menyesal tidak menjaga istrinya dengan baik, padahal bayi itu sangat diharapkan oleh keduanya yang sudah lama menikah namun belum dikaruniai seorang anak.
Tuan Park berdiri dari duduknya dan berjalan gontai, ia berjalan dan terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Tidak tahu kemana ia harus melangkah, ia hanya membiarkan kakinya berjalan kemanapun ia mau.
Mungkin ini adalah takdir, cerita dari Tuhan kepada hambanya yang tidak bisa ditebak oleh siapapun. Ketika kau kehilangan sesuatu maka Tuhan akan menggantinya. Entah dengan cara apa semua terserah Tuhan. Kita hanya bisa menerima dan menjalaninya saja.
Langkah kaki Tuan Park terhenti ketika ia berada di depan ruang dimana bayi – bayi yang baru lahir di rawat dengan baik. Pria berusia tiga puluh lima tahun itu perlahan mengangkat kepalanya yang sejak tadi terkulai. Ia memandang deretan box – box bayi tersebut dengan mata yang berkaca – kaca. Ia ingin menangis, menangis sekeras – kerasnya dan berharap Tuhan mengembalikan anaknya yang telah tiada, tapi ia tidak bisa, mana mungkin yang sudah meninggal bisa hidup kembali?
Tuan Park berjalan masuk ke dalam ruangan tersebut dengan pelan, hatinya terasa sesak melihat bayi – bayi dengan nama orang tua mereka terpasang di tiap – tiap box. Seharusnya jika anaknya bisa diselamatkan, namanya dan sang istri juga pasti bisa berada di sini. Tuan Park berpegangan pada sebuah box ketika ia merasa kakinya melemas. Hatinya terlalu sedih, ia masih sangat terpukul mengingat kenyataan yang baru saja ia alami. Air matanya akhirnya menetes ketika melihat bayinya untuk yang pertama dan terakhir kalinya tadi. Pria tersebut jatuh terduduk dan mengeluarkan isakannya yang terasa sangat menyakitkan hati.
Tiba – tiba terdengar tangisan dari dalam sebuah box. Seorang bayi terlihat sedang menangis, entah karena ia mendengar suara tangisan Tuan Park ataukah karena perasaannya yang lembut bisa merasakan kesedihan seseorang yanga sedang mencoba menerima kenyataan.
Tuan Park mengangkat kepalanya perlahan, ia nampak bingung, coba mencari sumber tangisan bayi itu berasal. Hati Tuan Park langsung terenyuh ketika ia melihat bayi yang berada pas didepannya tengah menangis dengan keras. Pria tersebut berdiri dengan pelan sambil menoleh ke sana kemari apakah ada suster yang sedang berjaga. Namun tidak ada satupun yang berada diruangan tersebut.
Tuan Park akhirnya berjalan mendekati bayi yang terlihat baru saja lahir itu dengan sedih, "Ommo, jangan menangis sayang, uljima, kenapa kau menangis eum" Tanpa ragu Tuan Park langsung mengangkat bayi mungil tersebut ke dalam gendongannya dan anehnya tangisan sang bayi langsung terhenti begitu ia merasakan kehangatan di sekitarnya. Tuan Park pun terkejut, mendadak ia merasakan ada satu hal aneh di hatinya, seperti ini kah rasanya menjadi seorang ayah? Menggendong bayi yang merupakan darah daging nya? Tuan Park memandang lekat wajah manis bayi laki – laki tersebut, anak ini pasti akan menjadi anak yang baik jika ia rawat bersama sang istri. Namun sesaat kemudian Tuan Park tersadar, bayi ini bukanlah anaknya, kenapa ia bisa berfikir seperti itu? Pria tersebut kemudian meletakkan lagi bayi itu ke dalam box nya, namun suara tangisan mulai terdengar, Tuan Park merasa heran, kenapa bayi ini menangis lagi. Ia kembali membawa anak tersebut ke dalam gendongannya dan lagi – lagi tangisan bayi itu terhenti.
Tuan Park memandang lekat bayi yang kini ada di dekapannya, sejujurnya ia langsung merasa jatuh hati pada bayi ini saat pertama kali menggendongnya dan berharap bisa menjadi ayahnya. Tapi ia pun juga sadar jika bayi ini bukanlah anaknya, orang tuanya pasti tidak mau menyerahkan bayi ini padanya. Tuan Park membelai dengan sayang bayi laki – laki tersebut, "Mianhae, aku bukan ayahmu, kau pasti akan lebih disayang oleh ayahmu dari pada ajussi, jadi jangan menangis ya, ajussi akan mengembalikanmu lagi ke box mu supaya tidur mu lebih nyenyak" Tuan Park dengan hati - hati meletakkan lagi bayi itu ke tempatnya dan bayi itupun nampak menurut dengan perkataan Tuan Park, sesuatu yang lagi – lagi membuat pria tersebut heran, namun sebuah suara mengejutkan pria tiga puluh lima tahun tersebut.
"Apa yang sedang anda lakukan di sana?" Tuan Park langsung menoleh ke sumber suara dan nampak kebingungan.
"Ah tidak, hanya saja, bayi ini tadi menangis ketika saya masuk ke sini" Terang Tuan Park pelan, "Saya tidak bermaksud apa – apa, hanya berusaha mendiamkan tangisannya, itu saja"
Suster yang ternyata adalah suster Hwang tersebut hanya mengangguk pelan, "Baiklah, tapi saya harap, anda tidak melakukannya lagi, bisa – bisa terjadi kesalahpahaman nanti"
"Saya mengerti" Suster Hwang sudah akan pergi ketika Tuan Park memanggilnya, "Ah maaf, tapi, bolehkah saya bertanya satu hal?" Suster Hwang berbalik dan memandang Tuan Park, ia mengangguk mengijinkan setelah terdiam cukup lama, "Siapa… orang tua bayi ini?" Suster Hwang tampak terkejut dengan pertanyaan mendadak dari Tuan Park, "A, maksudku, mereka pasti sangat beruntung memiliki anak semanis dan sepenurut ini" Lanjutnya.
Suster Hwang terdiam, beruntung? Benarkah anak itu beruntung? Suster Hwang tidak menjawab, ia hanya tersenyum tipis.
"Orang tua anak itu sudah meninggal"
Bukan hanya Suster Hwang, namun Tuan Park pun ikut terkejut ketika Yesung tiba – tiba berdiri di dekat mereka. Suster Hwang memandang tajam Yesung.
"Me, meninggal?"
"Ne, Ibu anak ini… meninggal setelah melahirkannya, sementara ayahnya sudah lebih dulu tiada, jadi bisa dibilang dia adalah anak yatim piatu" Yesung tidak sepenuhnya berbohong, kenyataannya memanglah demikian, meski sang ayah masih hidup tapi ia sudah dianggap mati olehnya. Ayah yang membuang anaknya sendiri hanya karena dianggap penyebab kematian sang istri tidaklah pantas disebut seorang ayah.
"Kasian sekali dia" Tuan Park memandang sedih bayi yang tadi sempat mencuri perhatiannya tersebut. Ternyata ia adalah yatim piatu.
Sementara itu Suster Hwang masih belum bisa melepaskan perhatiannya dari Yesung, jika sahabatnya saja bisa berbuat tega seperti ini, apakah ia juga harus melakukan hal yang sama?
"Mm, maaf, jika bayi ini yatim piatu, berarti, saya bisa mengadopsi nya kan?" Ucap Tuan Park tiba – tiba. Baik Yesung maupun Suster Hwang sama – sama diam, mereka saling berpandangan satu sama lain, "Saya berjanji, saya akan merawatnya dengan baik seperti anak kandung sendiri, terlebih, saya tidak ingin melihat istri saya sedih. Jika ini memang adalah berkah dari Tuhan saya pasti tidak akan menyia – nyiakannya" Lanjut Tuan Park.
Yesung memandang lekat pria dihadapannya, dari melihat sekilas saja ia tahu namja ini adalah orang baik, dan ia yakin, bayi tersebut akan dirawat dengan baik. Daripada membuangnya atau menaruhnya di panti asuhan. Setidaknya, ia berharap anak ini tidak tahu jika ia tidak diinginkan oleh ayahnya sendiri.
"Baiklah, jika memang itu yang anda mau, anda bisa langsung menghubungi pihak manajemen rumah sakit untuk mengurus semuanya" Ucap Yesung.
"Benarkah? Terima kasih Dokter, terima kasih banyak, Ya Tuhan, terima kasih banyak, dengan begini istriku tidak akan sedih, terima kasih atas kebahagiaan yang Engaku berikan" Tuan Park terlihat sangat bahagia. Setidaknya itulah yang dilihat oleh Yesung dan Suster Hwang. Mereka tidak perlu merasa menyesal telah berusaha dengan keras agar bayi itu tetap hidup setelah dilahirkan.
Tuan Park lalu membelai tangan bayi mungil yang tertutup selimut itu dengan lembut dan berbisik lirih, "Hei, maafkan perkataan ajussi yang tadi ne, karena, mulai sekarang, aku adalah ayahmu, kau, adalah anakku, ayah berjanji akan selalu menjagamu dengan baik"
"Tapi, ada satu hal yang harus saya katakan pada anda tentang bayi ini" Ucap Yesung serius.
.
.
Puluhan wartawan telah berkumpul di aula Kyongkuk Hospital, mereka nampak menunggu berita mengenai kelahiran anak kedua Presdir Cho, pengusaha tekstil terbaik di kota Daegu yang kini mulai menjadi perusahaan tekstil nomer satu di Korea. Kicauan demi kicauan mengenai jenis kelamin sang bayi pun terus terlontar sembari mengisi waktu menunggu kedatangan pria yang sukses di usia muda tersebut.
Tak lama kemudian orang yang ditunggu – tunggu pun datang, Presdir Cho berjalan di depan diikuti oleh Yesung dibelakangnya dan beberapa bodyguard. Suara jepretan kamera dan lampu flash langsung memenuhi ruangan, deretan pertanyaan yang terlontar dari bibir para wartawan ikut merambah riuhnya suara di dalam aula.
Presdir Cho kemudian duduk diikuti oleh Yesung di sisinya, raut wajah Dokter terbaik tersebut nampak sangat sulit dibaca. Tidak ada satupun yang tahu apa yang ada di dalam fikirannya saat ini. Yesung terus saja meremas – remas kesepuluh jarinya sejak tadi. Ia sudah berada sejauh ini, tidak mungkin ia bisa kembali apalagi menarik kata – katanya. Terlebih, karir yang ia bangun sejak dulu tidak mungkin bisa ia hancurkan. Menjadi Dokter adalah hidupnya.
"Presdir Cho, bagaimana kelahiran anak anda? Apa jenis kelaminnya? Apakah dia sehat?" Deretan pertanyaan demi pertanyaan terus terlontar tanpa henti. Presdir Cho yang ingin segera menyudahi acara konferensi pers ini dan mengurus pemakaman istrinya akhirnya berdehem, menyadarkan Yesung dari lamunannya.
Yesung menoleh ke samping, ia melihat Presdir Cho menunjuk ke depan dengan dagunya, meminta supaya ia segera bicara. Yesung dengan ragu meraih mic yang ada di depannya. Ia mulai membuka bibirnya susah payah. Entah mengapa ia merasa begitu berat melakukan semua ini.
"Selamat malam" Ucap Yesung akhirnya, ia menggenggam mic dengan sangat erat, coba mengurangi getaran yang mendadak mulai terasa di seluruh tubuhnya, "Saya, Dokter Kim Jongwoon, yang melakukan proses operasi melahirkan istri Presdir Cho" Yesung berhenti sejenak, ia coba mengatur nafasnya, namja itu bahkan tidak berani memandang ke depan, ke arah para wartawan, ia terlalu takut mengatakan kebohongan besar ini, "Di sini, saya ingin menyampaikan kepada kalian semua bahwa, operasi Nyonya Cho…" Yesung menoleh ke samping, Presdir Cho hanya diam dengan raut wajah yang masih tidak ada tanda – tanda untuk menghentikan kalimatnya, "Operasi Nyonya Cho… Gagal…" Yesung mengatakan satu kata tersebut dengan mata terpejam.
Di sisi lain, Suster Hwang nampak menggigit bibirnya kuat – kuat, ia beserta seluruh tim yang membantu operasi melahirkan Nyonya Cho sudah diancam untuk menutup mulutnya selama – lamanya mengenai kejadian yang sebenarnya. Wanita itu sama sekali tidak mengerti. Apakah ada seorang ayah yang tega membuang anaknya begitu saja? Bukankah bayi itu adalah anak yang sangat dipertahankan oleh Nyonya Cho? Yeoja berhati lembut itupun terus berusaha keras menjaga kandungannya selama Sembilan bulan ini. Ia tahu semuanya, karena ialah yang selalu menemani Yesung setiap kali wanita itu memeriksakan kandungannya.
Suster Hwang teringat bagaimana bahagianya wajah Nyonya Cho ketika mengetahui anaknya terlihat sehat di dalam kandungan, bahkan wanita itu masih tersenyum dengan begitu tulus saat Yesung mengatakan kemungkinan terburuk saat ia melakukan persalinan. Suster Hwang masih bisa mengingat dengan jelas apa perkataan Nyonya Cho saat itu.
"Alasan kenapa aku tetap mempertahankan anak ini meski kondisiku tidak memungkinkan adalah, karena aku adalah seorang Ibu, tidak ada satupun Ibu yang tega melihatnya anaknya menderita, apalagi dia masih ada di dalam kandungan. Tuhan telah memberiku anugerah yang sangat indah, karena itu, aku tidak menyesal jika aku harus mati saat melahirkannya. Karena, bagi seorang Ibu, tangis pertama anak yang baru lahir adalah harta yang paling indah di dunia ini, harta yang tak akan bisa digantikan oleh apapun dan siapapun, setidaknya, aku tidak akan menyesal pergi meninggalkan dunia ini asal aku bisa mendengar tangisan pertamanya"
Suster Hwang tidak mampu lagi menahan air matanya ketika keinginan yeoja cantik tersebut terkabul. Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah tangisan anak keduanya terdengar di ruang operasi kala itu. Nyonya Cho sudah cukup bahagia saat mengatakan kalimat tersebut, ia tidak meminta lebih kepad Tuhan karena ia sadar seperti apa kondisinya.
"Apa maksud anda dengan gagal?"
Pertanyaan salah seorang wartawan kembali mengembalikan fikiran Suster Hwang dari lamunan, ia sadar konferensi pers masih berlangsung. Yeoja tersebut kembali memfokuskan dirinya pada Yesung, namun mendandak matanya melebar ketika ia melihat Hankyung tengah berjalan masuk. Anak itu tidak boleh mendengar ucapan Yesung, ia tidak boleh tahu jika ayahnya membuang adiknya. Namun, kadang kala, keinginan tidak lah selalu menjadi kenyataan, sekaras apapun Suster Hwang coba merubah takdir yang sudah terlukis itu tidak akan terjadi. Seorang anak yang masih berusia empat tahun harus menerima kenyataan pahit yang seharusnya tidak ia dengarkan.
"Nyonya Cho, meninggal dunia…" Yesung kembali berbicara, tanpa tahu Hankyung kecil mendengar suaranya, "Begitupun dengan… Bayinya. Putra kedua Presdir Cho… Juga meninggal"
Ruangan mendadak langsung hening begitu Yesung menyelesaikan kalimatnya. Tidak ada satupun yang berbicara apalagi memotret, semua masih terpaku dengan satu kalimat yang nampak mengejutkan itu.
Suster Hwang memejamkan matanya, begitupun dengan Yesung. Ia sudah melakukan sebuah kebohongan kepada public.
"BOHONG!"
Hankyung kecil tiba – tiba berteriak, mengejutkan semua orang yang ada di dalam ruangan, termasuk Presdir Cho, pria tersebut tidak menyangka jika anak sulungnya berada di sana.
"Adikku masih hidup! Adikku tidak meninggal! Ia sehat!" Wajah Hankyung memerah, ia memandang Suster Hwang dan Yesung bergantian, "Ajumma, bukankah tadi ajumma mengatakan adikku sehat? Bukankah ajumma tadi menggendongku melihat adikku?" Ucap Hankyung, suaranya nampak bergetar. Suster Hwang terlihat kebingungan, ia tidak tahu harus berbuat apa, yeoja itu hanya diam, "Ajumma katakan sesuatu! Kenapa ajussi itu bilang adikku sudah meninggal? Adikku masih hidup, ajummaaa" Air mata mulai mengalir di pipi Hankyung. Kenapa Dokter itu harus berbohong? Terlebih ketika ia telah mengetahui kenyataan jika ternyata ibunya tak bisa diselamatkan. Hati Hankyung sudah hancur saat ini, bagaimana bisa orang dewasa di hadapannya ini mengatakan hal tidak masuk akal? Inikah perasaan tidak enak yang ia rasakan tadi?
Wartawan mulai bereaksi dengan perkataan Hankyung, mereka kembali menanyakan kebenaran berita yang sebenarnya pada dua orang yang ada di hadapan mereka saat ini. Melihat keadaan mulai tak terkendali, Presdir Cho tiba – tiba berdiri dan berjalan mendekati Hankyung. Pria tersebut langsung memeluk anaknya yang menangis dengan keras mengatakan "kalian bohong" "Kalian tidak boleh berbohong". Presdir Cho membelai lembut punggung Hankyung dan menggendongnya.
"Hankyung –ah, tidak ada yang berbohong sayang, semuanya kenyataan, Ibu mu, adik mu, mereka telah dipanggil Tuhan" Ucap Presdir Cho sengaja ia keraskan agar terdengar oleh para wartawan di dalam ruangan, "Mianhae, dia masih terlalu kecil untuk menerima kenyataan, dia sangat bahagia ketika tahu akan memiliki adik, tapi ternyata, kenyataan berkata lain, jadi, tolong jangan bertanya lagi" Presdir Cho nampak terlihat sedih, entahlah apakah itu hanya pura – pura atau kenyataan hanya dia dan Tuhan yang tahu, "Dia kehilangan ibu dan adik di saat bersamaan, begitupun dengan saya yang harus menghadapi kenyataan kehilangan istri dan anak, jadi saya mohon, jangan bertanya apapun lagi, biarkan kami menerima semua ini" Presdir Cho membungkuk seakan memohon kepada para wartawan agar tidak mengatakan apapun lagi.
Namun Hankyung yang mendengar semua kalimat ayahnya justru berontak dengan keras dalam gendongan, ia berteriak minta diturunkan, Presdir Cho berusaha keras agar Hankyung tidak jatuh.
"Abeoji turunkan aku! Turunkan aku! Adikku masih hidup, aku akan tunjukkan pada abeoji dan semua orang, adikku masih hidup"
Yesung nampak kasihan melihat Hankyung yang begitu marah saat dikatakan adiknya telah meninggal. Tapi ia tidak bisa berbuat apa – apa.
"Baiklah, jika kau memang ingin membuktikannya, buktikan saja Hankyung –ah, tapi abeoji berharap kau tidak melakukan itu, kau pasti akan sangat terluka, abeoji tidak mau itu" Ucap Presdir Cho dan menurunkan Hankyung.
Begitu terlepas dari gendongan, Hankyung langsung berlari, beberapa wartawan pun ikut mengejar anak kecil itu, begitupun dengan Suster Hwang dan Yesung yang juga berlari. Presdir Cho sendiri hanya berjalan santai mengikuti di belakang karena ia yakin, tidak ada yang bisa dibuktikan oleh putra sulungnya itu saat tiba di sana.
Hankyung langsung memasuki ruang perawatan bayi dan berlari menuju box tempat sang adik berada, ia mengambil sebuah kursi dan menaikinya, coba melihat dengan matanya sendiri jika sang adik memang hidup dan tidak meninggal seperti yang dikatakan Yesung tadi.
Kedua mata Hankyung terbuka lebar dengan raut wajah yang begitu terkejut ketika ia tidak menemukan adiknya di dalam box. Ia yakin, ini adalah tempat sang adik, ia hafal posisi dan bentuk box nya yang memang lain daripada yang lain. Matanya menyusuri seluruh tempat dan coba mencari keberadaan adiknya tapi tidak ada. Hilang. Kenapa adiknya bisa hilang? Bukankah tadi dia masih ada di sini dan tertidur dengan nyenyak? Hankyung turun dari kursi dan melihat ke arah papan tempat nama orang tua bayi berada, namun lagi – lagi satu kenyataan mengerikan menghantamnya begitu keras. Tidak ada. Papan itu pun tidak ada. Papan yang menunjukkan nama ayah dan ibunya tidak ada.
Hankyung terduduk lemas, ia tidak mengerti ia tidak mengerti apa yang terjadi saat ini. Adiknya, adik yang ia sayangi kemana perginya? Apakah, dia benar – benar telah pergi?
"Ajumma…" Hankyung memandang Suster Hwang dengan matanya yang begitu terlihat ketakutan, para wartawan telah berkumpul disekitar anak itu, "Ajumma tadi, bukankah tadi ajumma bilang adikku sangat sehat? Adikku manis bukan?" Suster Hwang nampak terkejut, ia berusaha keras menahan perasaannya, "Ajumma, kenapa ajumma diam saja, katakan, katakan pada mereka jika adikku masih hidup!" Teriak Hankyung.
Suster Hwang menahan air matanya, ia memandang Hankyung sedih, matanya melirik Yesung yang ada di sampingnya, "Maafkan saya Tuan Muda, saya…" Suster Hwang berhenti, ia tidak sanggup melihat kehancuran namja empat tahun di depannya, "Adik anda, memang telah tiada Tuan Muda. Adik anda… saya berbohong ketika mengatakan adik anda sehat… Maafkan saya"
Tangis Hankyung langsung pecah saat itu juga.
.
.
Senyum tak pernah lepas dari bibir Tuan Park sejak membawa bayi laki – laki itu keluar dari ruang perawatan. Pria itu begitu bahagia, bahagia karena bisa memberikan pengganti bagi anak mereka yang telah tiada. Meski ia harus berbohong, Tuan Park tidak perduli, ia tidak ingin istrinya sedih, terlebih, ia tidak mencuri anak orang lain bukan? Anak ini sebatang kara, daripada ia berada di panti asuhan lebih baik ia yang merawatnya. Anak ini akan mendapatkan kasih sayang orang tua yang lengkap. Namun Tuan Park tidak menyadari, jika senyum bahagia di bibirnya adalah air mata bagi seorang Kakak yang harus rela kehilangan adiknya karena kebohongan dan keegoisan orang dewasa.
Tuan Park memasuki kamar rawat sang istri sambil menggendong bayi yang tertutupi selimut berwarna baby blue itu.
"Lihat yeobo, ini putra kita, anak kita, dia sangat manis kan?" Tuan Park menunjukkan bayi yang ia pegang kepada sang istri.
"Jinjjayo? Ommo, bayi ku… benar sayang, dia manis sekali, ah lihatlah, hidungnya, terlihat seperti hidungmu" Ucap Nyonya Park dengan senyum di bibirnya.
Tuan Park hanya bisa mengangguk kecil, ia juga tidak tahu, kenapa wajah bayi ini cukup mirip dengannya, apakah ini takdir dari Tuhan? Ataukah hanya kebetulan saja.
"Yeobo, apakah kau sudah menemukan nama untuk anak kita?" Tanya Nyonya Park, ia terus saja tersenyum memandang bayi mungil yang kini ada di gendongannya.
Tuan Park terdiam, ia terlihat menimbang, apakah ia harus menggunakan nama itu? Sebuah nama yang ia temukan di sisi selimut bayi yang dikenakan bayi tersebut. Mungkin, selimut itu adalah hadiah terakhir dari orang tuanya. Ya, mungkin begitu.
Tuan Park kemudian memegang tangan bayi laki – laki yang ada di dekapan sang istri, "Kyuhyun… Namanya adalah Park Kyuhyun, bagaimana menurutumu?"
Nyonya Park tersenyum cerah, ia nampak setuju dengan nama yang dipilihkan suaminya itu, "Annyeong Kyuhyunie, ini eomma sayang… kau harus jadi anak yang sehat ne, terima kasih sudah mau hidup dan bertahan, eomma janji, eomma akan menjaga dan menyayangimu dengan baik" Tuan Park tersenyum kecil, dalam hati ia meminta maaf telah berbohong pada sang istri, tapi, jika kebohongannya ini bisa memberikan kebahagiaan pada orang yang dicintainya itu, ia rela menanggung seluruh dosanya seumur hidup.
.
.
Upacara pemakaman Istri dan anak pengusaha tekstil terkenal Korea terlihat cukup ramai kala itu. orang – orang dari berbagai kalangan menyempatkan diri hadir demi memberikan ucapan belasungkawa. Terlihat di antara mereka Yesung dan Suster Hwang yang berdiri cukup jauh dari kerumunan. Keduanya akhirnya memutuskan untuk melepaskan kehidupan mereka sebagai Dokter dan Perawat di rumah sakit tersebut. menjauhkan diri demi menebus dosa yang telah mereka perbuat. Namun, keduanya pun tidak mengatakan hal yang sebenarnya kepada Presdir Cho. Perintah pria tersebut yang menyuruh nya membunuh bayi itu tidak lah mereka lakukan. Dan keduanya pun memutuskan untuk mengunci mulut mereka rapat – rapat akan kenyataan ini.
Hankyung nampak begitu terpukul, ia hanya diam sambil memandang telunjuknya yang sempat digenggam oleh sang adik. Hangat. Kala itu ia sangat yakin genggaman itu terasa hangat, bukan genggaman seseorang yang sakit apalagi hampir meninggal. Hankyung tidak mengerti kenapa semua bisa terjadi. Meski ia bukan seorang dokter sekalipun atau meski ia hanya anak kecil ia pun tahu, jika adiknya itu tidaklah sakit, adiknya saat itu sehat. Air mata kembali menetes membasahi pipi anak itu, ia lalu mengeluarkan foto yang sejak tadi ia simpan. Foto pertama dan mungkin jadi yang terakhir kalinya bersama dengan sang adik.
Tangan Hankyung sedikit bergetar ketika menulis sebuah kalimat di bagian bawah foto, Aku dan adikku, 3 Februari 1988, Cho Hankyung dan Cho Kyuhyun.
Hankyung mendekap erat – erat foto itu di dadanya, "Hyung janji akan segera menemuimu dongsaeng, hyung janji akan terus mencarimu, karena hyung tahu, kau tidak akan pergi meninggalkan hyung, kau janji akan menunggu hyung bukan, hyung percaya kau masih hidup dongsaeng, bersabarlah, hyung akan mencari tahu kebenarannya, bersabarlah hingga hyung bisa menemui mu lagi dongsaeng ku"
.
.
26 Tahun kemudian, Bandara International Incheon.
Para penumpang dari Amerika nampak berjalan keluar melalui gate nomer sepuluh, raut lelah masih terlihat dari wajah – wajah mereka yang telah melakukan penerbangan panjang.
Nampak diantara kerumunan tersebut seorang namja yang masih terlihat ceria dengan senyum yang terus merekah di bibirnya pandangannya ia arahkan ke seluruh bagian bandara, sudah lama sekali sejak ia meninggalkan Korea, mungkin sepuluh tahun? Negaranya sudah berubah terutama bandara ini.
Sedangkan di sisi lain, beberapa langkah di depan namja tersebut terlihat juga seorang namja yang berjalan dengan tenang dan penuh wibawa, kacamata hitam bertengger manis menutupi matanya. Setelan jas yang ia kenakan pun masih nampak rapi meski ia duduk di dalam pesawat selama berjam – jam.
"Teuki hyung!"
Sebuah suara menghentikan langkah namja tersebut. Ia terdiam, perasaannya mendadak begitu aneh. Suara itu bukanlah suara orang yang ia kenal dan bukanlah memanggil namanya, tapi kenapa ia menghentikan langkahnya?
Belum lagi ia menoleh ingin memastikan seseorang yang berteriak tadi sesosok namja menyenggol bahunya dan tanpa sadar jari – jari namja muda itu menyentuh telunjuknya, hampir seperti menggenggam. Cho Hankyung, namja dengan kaca mata hitam itu langsung terdiam dan jantungnya langsung berdegup dengan kencang kala sentuhan dari sebuah tangan terasa di kulitnya. Satu perasaan yang tidak akan pernah bisa ia hilangkan meski tahun sudah berlalu berapa lamanya.
Sentuhan itu hanya sekilas terasa di jarinya, namun ia seperti sudah lama mengenali sentuhan itu. Hankyung mematung di tempatnya masih dengan jantung yang berdegup dengan kencang. Waktu di sekitarnya seakan berhenti. Rasa ini, rasa sentuhan ini, sama seperti saat itu. Saat pertama kali jarinya digenggam oleh adiknya. Dan ia tidak akan pernah melupakan rasa itu, hingga saat ini.
"Jeoseonghamnida, saya tidak sengaja" Namja muda yang menabrak Hankyung membungkuk meminta maaf dan kembali berlari, menuju satu orang yang setia menunggunya di depan sana.
"Kyuhyunie!" Seseorang yang dipanggil Teuki hyung tadi berteriak memanggil namja tersebut sambil melambaikan tangannya.
Hankyung masih terdiam, ia tidak bereaksi apapun, matanya menatap lurus sosok manis namja tadi. Kenapa? Kenapa Hankyung merasa jika ia memiliki satu perasaan dekat dengan namja tadi? Ia tidak mengenalnya bukan?
Mendadak kenyataan menghampiri Hankyung, namja itu melepas kacamatanya dan memandang sekeliling, coba mencari. Nama itu. Kyuhyunie? Kyuhyun? Bukankah, bukankah itu nama yang ingin ia berikan kepada adiknya? Nama yang ia sulam di selimut berwarna baby blue yang ia berikan kepada sang adik.
Hankyung terus berlari dan berlari, mencari sosok yang telah hilang dari hidupanya dua puluh enam tahun ini. Namun semua nihil. Hankyung tidak menemukan namja itu dimanapun. Langkah nya terhenti. Benarkah? Benarkah anak tadi adalah adiknya? Apakah ia yakin? Selama ini ia berusaha keras mencari petunjuk namun semuanya tidak ada hasilnya. Tapi, sentuhan tadi, sentuhan yang terasa tidak asing baginya.
"Kyuhyun… Nae dongsaeng…. Kaukah itu?"
.
.
Di dalam sebuah mobil Kyuhyun terlihat mengerucutkan bibirnya, ia merasa kesal karena lagi – lagi harus duduk di belakang sementara sang hyung menyetir di dean.
"Teuki hyung, apa hyung tidak suka aku duduk di depan? Kau itu hyung ku bukan supirku, kanapa selalu saja memaksaku duduk di belakang" Omel Kyuhyun sebal.
Leeteuk yang fokus menyetir hanya tersenyum, kalimat itu tidak pernah berubah, selalu saja diucapkan Kyuhyun ketika ia mengantar atau menjemput anak itu.
"Ne, itu benar, tapi aku hanyalah anak angkat di keluarga Park, Kyuhyunie, tentu saja aku tetap harus menghormatimu meski dalam status aku lebih tua darimu" Ucap Leeteuk lembut.
Kyuhyun kembali berdecak, ia tidak suka jika Leetuk sudah membawa – bawa soal anak angkat. Memang, ia yang meminta kedua orang tuanya untuk mengadopsi Leeteuk karena ia iri dengan teman – temannya yang punya seorang kakak. Tapi, Kyuhyun tidak pernah menganggap Leeteuk hanya anak adopsi. Ia benar – benar menyayangi hyung nya itu dengan tulus seolah ia memang kakak kandungnya.
"Ish, aku benci padamu hyung"
"Tapi hyung sayang padamu, Kyu" Balas Leeteuk dengan senyum malaikatnya.
Leeteuk memang sangat baik dan menjadi sosok hyung yang Kyuhyun inginkan, tapi tetap saja, Kyuhyun merasa ada tembok yang membatasi keduanya, yang seolah – olah dibangun Leeteuk. Sudah berpuluh – puluh tahun mereka hidup bersama tapi Leeteuk selalu menganggapnya sebagai tuan muda, bukanlah sepertinya yang menganggap Leeteuk hyung kandungnya.
Memang, selama dua puluh enam tahun ia hidup ia selalu mendapatkan semua kasih sayang yang ia mau, orang tuanya begitu perhatian dan sayang padanya, begitupun dengan Leeteuk, namun Kyuhyun selalu saja merasa ada yang kurang dan ia tidak tahu apa itu. Ia hanya merasa ada sesuatu yang tidak lengkap dalam hidupnya.
Kyuhyun lalu tanpa sadar melihat jari – jari tangannya yang tadi sempat bersentuhan dengan seorang namja di bandara. Ia merasa heran, kenapa sampai sekarang jantungnya masih berdetak begitu kencang? Ia sudah meminum obatnya tadi dan seharusnya tidak ada masalah bukan? Tapi kenapa, ia seperti merasakan sebuah kerinduan yang besar di hatinya. Terlebih, wajah namja yang tertutup kacamata itu, dan juga, bibirnya yang tertutup itu, entah mengapa ia ingin mendengar suara itu.
Selama ini Kyuhyun selalu bermimpi, mimpi yang tidak pernah ia katakan pada siapapun, mimpi dimana hanya ada suara yang selalu berkata padanya untuk menunggunya. Suara yang berjanji akan segera menemuinya. Namun Kyuhyun tidak tahu siapa orang itu.
"Nie… Kyuhyunie"
Panggilan Leeteuk menyadarkan Kyuhyun, "Ah ne hyung, waeyo?"
"Kenapa kau melamun hum? Apa kau sakit?"
Kyuhyun memaksakan sebuah senyuman, "Aku tidak apa – apa, hanya, sedang memikirkan sesuatu" Jawab Kyuhyun pelan.
Leeteuk mengangguk kecil dan membelokkan mobilnya menuju sebuah rumah yang terlihat begitu mewah. Beberapa pelayan berbaris rapi di pintu masuk, semuanya membungkuk memberi hormat ketika seorang namja yang terlihat manis turun dari dalam mobil.
"Selamat datang Tuan Muda Kyuhyun" Ucap seluruh pelayan dengan sopan. Kyuhyun hanya mendesah melihat itu semua, ia tidak suka diperlakukan seperti ini. Namja itu hanya berdecak dan berjalan cuek melewati para pelayan, dibelakangnya Leeteuk mengikuti sang adik angkat.
"Selamat datang sayang, bagaimana pernerbangan mu?" Nyonya Park yang terlihat sangat cantik meski telah berusia lebih dari lima puluh tahun memeluk putra nya dengan erat.
"Eomma, aku pulang" Ucap Kyuhyun sambil balas memeluk sang Ibu.
"Aigoo anak ayah sudah pulang tapi hanya memeluk ibunya saja" Suara yang terdengar berwibawa terdengar di telinga Kyuhyun, "Apa jagoan ku ini tidak rindu pada ayahnya eum?"
Kyuhyun tersenyum sambil menggaruk – garuk kepalanya, ayahnya ini selalu saja seperti itu, "Abeoji, mana mungkin aku melupakan abeoji, abeoji lebih cerewet daripada eomma selama aku di Amerika" Kyuhyun lalu memeluk ayahnya dengan erat. Sang ayah menepuk – nepuk bangga punggung putranya itu.
"Kau pasti lelah, mandi dan istirahatlah dulu, nanti abeoji akan memanggilmu jika makan malam sudah siap " Ucap Tuan Park.
"Ne abeoji" Kyuhyun memberi hormat kepada kedua orang tuanya sebelum berjalan ke atas, menuju kamar yang sudah ia tinggalkan belasan tahun lamanya.
Dari jauh, Tuan Park memandang Kyuhyun dengan penuh arti, ia tersenyum melihat putranya itu tumbuh menjadi anak yang ceria dan sangat baik, "Siapapun kalian orang tua kandung Kyuhyun, ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk menggambarkan kebahagiaanku saat ini" Ucap Tuan Park dalam hati, "Lihatlah, anak kalian tumbuh menjadi anak yang baik".
.
.
Di tempat lain, di sebuah rumah yang juga nampak sama mewahnya dengan rumah keluarga Park seorang namja berjalan pelan memasuki rumah. Suasana yang berbanding terbalik dengan suasan keluarga Park, suasana rumah keluarga Cho yang namapk megah di kota Daegu itu terlihat begitu dingin dan sepi. Seolah tidak ada kehangatan sama sekali di dalamnya. Suasanya yang sama sejak dua puluh enam tahun lalu. Hankyung berjalan menuju sebuah ruangan yang berada di ujung. Sebuah ruang kerja milik seorang pengusaha besar Korea.
Tok Tok Tok
Hankyung mengetuk pintu kayu mahoni itu dengan sopan. Ia lalu membukanya setelah terdengar suara dari dalam.
"Aku pulang, abeoji…" Ucap Hankyung pelan. Ia menganggukkan kepalanya, memberi hormat kepada sang ayah. Tidak ada pelukan sayang atau apapun itu yang ia terima.
"Oh kau sudah pulang, bagaimana bisnis kita di sana? Apakah sudah kau bereskan?" Tuan Cho tidak memandang sedikitpun putranya yang terpisah dengannya lima tahun belakangan karena sibuk mengurus bisnis mereka di Amerika.
"Ne semua sudah beres, maafkan aku karena ternyata lebih lama dari perkiraan" Ucap Hankyung.
"Tidak masalah, yang penting semua sudah beres, jika hanya itu yang ingin kau ucapkan kau boleh pergi, kau pasti lelah karena sudah melakukan penerbangan panjang" Tuan Cho masih belum memandang Hankyung.
"Ne, abeoji" Hankyung pun nampak tidak perduli. Sejak ibunya meninggal, ayahnya berubah total, tidak ada kasih sayang yang ia terima lagi sejak saat itu. ia tahu ayahnya sangat mencintai ibunya dan masih terpukul dengan kepergiannya. Tapi tidakkah ayahnya menyadari jika ia juga masih ingin mendapatkan kasih sayang ayahnya sama seperti dulu?
"Tunggu"
Hankyung menghentikan langkahnya saat suara sang ayah kembali terdengar, namja itu membalikkan badannya, memandang sang abeoji.
"Hentikan saja usahamu itu" Kali ini Tuan Cho menatap sang putra, "Adikmu sudah meninggal, untuk apa mencari anak yang bahkan mengajak ibunya pergi dari dunia ini?"
Tangan Hankyung reflek mengepal dengan erat, selama ini ia memang tidak pernah lelah mencari keberadaan sang adik yang ia yakini belum meninggal.
"Adikku… masih hidup abeoji, aku pasti menemukannya, dia tidak bersalah, eomma tidak menyesal mengandung nya, meski harus meninggal tapi eomma sangat sayang pada adikku, kenapa fikiran abeoji begitu sempit dan picik dengan membenci bayi yang bahkan tidak tahu apa – apa?"
Prang. Sebuah benda nampak melayang tepat di sisi wajah Hankyung dan membentur tembok hingga pecah berkeping – keping. Tuan Cho nampak begitu murka.
"Tahu apa kau huh? Tidak bersalah? Anak itu, adik mu itu, jika ia digugurkan saat itu, kau masih bisa bersama dengan ibumu! Apa kau tahu itu!"
Hankyung menahan amarahnya, kenapa, kenapa ayahnya selalu saja menyalahkan adiknya, adiknya hanyalah seorang anak yang tidak tahu apa – apa.
"Cari saja sesukamu, cari saja selamanya, kau hanya akan membuang – buang waktu dan tenaga saja, seseorang yang sudah mati tidak akan mungkin ada di dunia ini"
Hankyung menghela nafasnya, berusaha keras menahan emosi yang sudah meluap. Namja itu lalu tanpa kata – kata keluar dari dalam ruangan. Selalu seperti ini, ayahnya selalu bersikap seperti ini saat bertemu dengannya. Kenapa ayahnya begitu membenci anak yang tidak bersalah?
Hankyung berhenti di depan pintu setelah berada di luar ruangan kerja sang ayah, ia mengambil sebuah foto dari dalam saku jasnya dan memandangnya lekat, namja itu kemudian membayangkan wajah seseorang yang tadi menabraknya di bandara. Seperti apa wajah adiknya ya saat ia tumbuh dewasa? Apakah sama seperti namja tadi?
.
.
"Kenapa kau justru ingin jadi pegawai sementara kau bisa memimpin hotel kita di Daegu, Kyuhyunie?" Acara makan malam keluarga Park nampak hangat seperti biasa.
"Aku hanya ingin seperti abeoji, aku ingin tahu seperti apa hotel kita dan orang – orang yang bekerja bersama kita untuk memajukan hotel" Ucap Kyuhyun menjawab pertanyaan ayahnya.
"Tapi sayang, bagaimana jika mereka membully mu nanti?" Kali ini sang ibu yang bertanya, "Mereka tidak tahu jika kau anak pemilik hotel, lagipula, Jungsoo pasti akan membantumu menjalankan bisnis di sana bukan?"
"Eomma, hotel di Daegu akan aku pimpin suatu hari nanti kan? Jadi aku tidak mau langsung instan menjabat di sana, aku ingin mengenal mereka yang selama ini sudah bekerja untuk perusahaan, jika memang ada orang – orang yang suka membully karyawan baru, aku akan belajar menghadapi itu agar kedepannya tidak ada pembulian di perusahaan ku" Jawab Kyuhyun bijak.
Tuan Park tak kuasa menahan tawanya mendengar kalimat Kyuhyun, sementara Nyonya Park hanya melongo mendengar jawaban putranya, Leeteuk sendiri hanya tersenyum tipis. Sejak kapan adiknya yang doyan main game daripada belajar itu jadi begitu bijak begini?
"Wae? Kenapa kalian malah tertawa? Hey, aku bukanlah Park Kyuhyun yang dulu, aku sudah sadar kalau aku punya tanggung jawab, ish, abeoji, eomma, hyung! berhenti tertawa!" Kyuhyun kembali mempoutkan bibirnya dengan imut. Membuat suasana semakin hangat di meja makan tersebut.
.
.
Dua hari kemudian.
Kyuhyun berdecak kesal, sudah berapa kali ia bolak balik hanya untuk membuang sampah, namja itu merutuki setiap nama pegawai yang memerintah nya seakan mereka bos di hotel ini. Namja manis itu mengusap keringatnya yang mengalir deras.
"Ah obatku, aku lupa meminumnya siang ini, aigoo ini semua gara – gara mereka, ish" Kyuhyun melempar kantung sampah yang ia pegang begitu saja dan berniat kembali ke dalam hotel, namun ia mengurungkan niatnya, tidak masalah kan kalau ia bolos? Toh ia anak pemilik hotel. Oh ayolah Park Kyuhyun, kemana yang katanya kau sadar akan tanggung jawab mu itu?
Udara Daegu cukup segar siang itu, matahari tidak bersinar terlalu terik, dua hari di kota ini sudah membuat Kyuhyun jatuh cinta, aneh memang, karena ia adalah tipe orang yang sedikit sulit beradaptasi dengan tempat baru, namun ketika pertama kali menginjakkan kaki di kota ini Kyuhyun merasa begitu tenang, seolah temat ini adalah tempat kelahirannya. Tapi memang kota ini adalah tempat kelahirannya, dia memang lahir di Daegu meski dibesarkan di Seoul.
Kyuhyun merentangkan tangannya lebar – lebar kesamping ketika menyusuri sungai Geumho, udara yang begitu segar dan hamparan bunga – bunga yang mekar dengan indah di sisi kiri dan kanannya membuat Kyuhyun merasa nyaman. Ia bernyanyi – nyanyi kecil menyusuri jalanan yang berada di sisi jalan raya. Matanya memandang ke segala arah.
Mendadak Kyuhyun berhenti, ia memegangi dadanya yang mulai terasa menusuk, namja itu sedikit kesulitan bernafas, tubuhnya pun mendadak lemas, Kyuhyun segera bersandar di sebuah pohon besar yang ada di dekatnya.
"Sial kenapa harus kambuh seperti sekarang" Batin Kyuhyun, "Aku tidak mungkin kembali ke hotel, jaraknya terlalu jauh, ah Teuki hyung" Kyuhyun langsung mengeluarkan ponselnya dan menguhubungi sang kakak.
"Yeoboseyo" Suara Leeteuk terdengar di seberang,
"Hyung… hh… hh.." Kyuhyun mulai merasa nafasnya terputus – putus.
"Kyuhyunie? Gwaenchana? Apa sakit mu kambuh lagi?" Suara Leeteuk terdengar panik.
"Hyung… hh.. hh… obatku… tolong bawakan obatku… aku…hh… aku di… hh… depan minimarket Daegu"
"Arasseo, arasseo, kau di sana saja dan jangan kemana – mana, oke, tunggu hyung, hyung akan segera kesana"
Kyuhyun kemudian memasukkan ponselnya dan sekuat tenaga melangkahkan kakinya menyeberangi jalan raya menuju sebuah minimarket yang ada di seberang. Rasa sakit itu terus menghujam jantungnya. Kyuhyun terus menekan dadanya, berharap rasa sakit itu bisa berkurang sedikit saja.
Sementara itu, sebuah mobil mewah nampak berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. Hankyung, namja yang duduk di belakang memandang lekat foto yang selama ini menjadi temannya, foto yang ia harapkan akan bertambah, bukan hanya satu. Semilir angin nampak keluar masuk ke dalam mobil melalui jendela yang memang sengaja ia buka. Hankyung tidak sadar jika Kyuhyun, namja yang sejak dua hari lalu memenuhi pikirannya berjalan tepat di depan mobilnya, melewati mobil itu begitu saja. Tidak ada satupun dari keduanya yang sadar jika jawaban dari pertanyaan mereka masing – masing ada di hadapan saat ini.
Namun, meski manusia tidak sadar akan kenyataan, Tuhan tetaplah selalu memberi jawaban akan pertanyaan mereka.
Tiba – tiba angin kencang menerbangkan foto yang sedari tadi Hankyung pegang, menerbangkan kertas putih itu dan melayang terus melayang.
Hankyung melebarkan matanya, terkejut ketika foto satu – satunya dengan sang adik mendadak terbang terbawa angin, ia bahkan tidak perduli mobil yang mulai berjalan, dengan segera Hankyung membuka pintu, coba mengejar foto tersebut.
"Tuan Muda!" Supir pribadi Hankyung terkejut ketika melihat majikannya tiba – tiba membuka pintu, unutung saja ia baru sedikit menginjak gas.
Hankyung tidak perduli, ia terus mengejar foto yang seakan – akan sedang mempermainkannya itu.
Sedangkan Kyuhyun yang kini mulai tiba di depan minimarket merasa seluruh tenaganya hilang tak berbekas, tubuhnya seakan melayang, ia bahkan tidak lagi merasakan sakit di dadanya. Namja itu pasrah saja ketika tubuhnya langsung ambruk tak sadarkan diri di depan minimarket.
Bertepatan dengan jatuhnya tubuh Kyuhyun, foto yang sedari tadi terbang terbawa angin perlahan jatuh dan berada tepat di atas tubuh namja manis itu, tepat berada di dadanya.
"Kyuhyun… Nae dongsaeng…" Ucap Hankyung ketika akhirnya ia menemukan fotonya tidak lagi tertiup angin. Namun, langkahnya terhenti, dan matanya terbuka lebar saat menyadari dimana foto itu berada. Seorang namja tengah tergeletak tak sadarkan diri, seorang namja yang beberapa hari ini memenuhi pikirannya.
Hankyung terdiam, angin yang berhembus, lalu, posisi jatuh foto itu, benarkah? Apakah ini tanda? Namja itu terduduk, ia memperhatikan Kyuhyun yang masih tak sadarkan diri. Jantungnya berdetak dengan kencang, tangannya bahkan bergetar ketika ia coba mengangkat kepala namja manis itu, "Kaukah ini… Dongsaeng…"
"Park Kyuhyun!" Leeteuk nampak tergopoh – gopoh berlari dan duduk di arah berlawanan dengan Hankyung.
"Kyuhyun? Namanya… benar – benar Kyuhyun?" Ucap Hankyung tanpa sadar, ia bahkan melupakan foto miliknya yang kini kembali tertiup angin namun kali ini jatuh tepat di dalam genggaman tangan Kyuhyun.
Leeteuk memandang heran namja yang ada di hadapannya.
"Kau… Mengenal dongsaeng ku?" Tanya Leeteuk.
-Tbc-
Segala hal yang hilang, pasti akan kembali ke tempatnya semula, meski kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi
Annyeong~~ bby kembali dengan cerita baru, mianhae Forgive Me belum bisa dilanjutkan karena lagi stuck di tengah jalan #bow
Apakah kalian suka? Mianhae jika chap satu nya terlalu panjang, karena jujur bby ga tau harus motong di mana jadi akhirnya tetep bby putusin publish semua,
bagaimana menurut kalian ceritanya? berikan komentarnya di kolom review ne #puppyeyes
Kiyubby
11-12-16
