Disclamer Mashashi Kishimoto

I'm Yours

.

.

.


Sakura POV.

Hai, aku Haruno Sakura, panggil saja Sakura.

Sunagakure High School adalah tempatku menganyam pendidikan. Teman-temanku mengatakan―aku bahkan tak menganggap mereka teman karena ya, memang aku tak memiliki teman sama sekali di sekolahku―aku orang yang cupu, culun dan selalu dibully dan dijadikan bahan lelucon.

Jangan tanya dengan penampilanku, tentu saja mereka menganggapku culun dan cupu itu apa seperti yang kalian bayangkan bukan, dengan kacamata bulat dan rambut yang dikuncir dua. Benar, begitulah penampilanku.

Aku memang tidak memiliki teman, apalagi jika aku berjalan sendirian ke perpustakaan atau ke kantin mereka pasti memandangku aneh dan terlihat menjijikan. Yang bisa kulakukan hanyalah menunduk saat berjalan.

Aku tak menghiraukan mereka yang menjahili atau membullyku, aku memang risih dengan mereka, tapi apa yang harus kuperbuat, membalas mereka? Tentu saja tidak itu bukan diriku.

Saat aku berjalan ingin menuruni tangga dengan membawa tumpukan kertas yang memang saat itu aku sedang terburu-buru karena panggilan dari Iruka-sensei, anak-anak yang berjalan berlawanan arah denganku dengan sengaja memasang kakinya saat aku ingin melangkah menuruni tangga, itu membuatku terjatuh dan tumpukan kertas yang kubawa jatuh berserakan di lantai.

Mereka menertawaiku. Apa mereka senang dengan melakukan itu padaku? Tentu saja iya, jangan bertanya.

Sungguh, jatuh dari tangga tidak seenak jatuh di atas kasur, dengan posisiku yang jatuh terkurap di atas lantai membuatku merasakan sakit yang luar biasa. Untung saja undakan tangga tidak terlalu banyak. Tapi tetap saja rasanya menyakitkan. Mau coba? Silahkan saja, aku tak ingin lagi.

Aku bertahan dengan posisi tengkurap selama beberapa menit, anggap saja aku sedang merasakan nikmatnya terjun bebas dari langit. Oh Tuhan, ini sangat menyakitkan sekaligus malu.

"Kau menikmatinya dengan posisi seperti itu?" sahut salah satu dari mereka padaku.

Mereka tidak berhenti menertawaiku, bahkan sampai mereka pergi suara tawanya masih terdengar jelas di telingaku.

Aku terbangun dari alam sadarku, membereskan kertas-kertas yang berserakan. Bahkan anak-anak yang lewat di depanku yang sempat melihat kejadian tadi menertawaiku. Jangan tertawa, bantu aku memungut kertas-kertas ini.

Aku berdiri sembari merapihkan pakaian dan penampilanku melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda. Oke, jangan hiraukan mereka Sakura, anggap saja mereka lalat yang terus mengganggumu. Menyemangati diri sendiri. Menyedihkan.

"Sakura, apa kau baik-baik saja? Kau terlihat sedikit tidak baik," Iruka-sensei bertanya padaku.

"Um... yah tadi ada sedikit masalah, saya jatuh dari tangga. Tapi aku baik-baik saja sensei."

"Apa yang kau lakukan sampai terjatuh dari tangga?"

Aku hanya diam, bingung apa yang harus kujawab.

"Apa mereka mengganggumu lagi?" Tanya Iruka-sensei lagi saat aku tak menjawab pertanyaannya yang lalu.

Iruka-sensei memang tahu kalau aku sering dibully oleh mereka. Bahkan Iruka-sensei pernah menegur siswa yang mengerjaiku dengan sengaja. Tapi yang di lakukan Iruka-sensei tidak membuat mereka jera, bahkan sensei sendiri lelah menegur mereka.

"Ah... tidak sensei, ini mungkin karena saya tidak fokus saat berjalan, hehe," jawabku dengan gugup, bahkan aku sampai tertawa sendiri agar sensei tidak curiga padaku.

"Apa kau berbohong?"

Dan aku terdiam lagi.

"Dengar, Sakura, aku tidak tahu mereka melakukan itu padamu dengan alasan apa, apa itu karena penampilanmu? Apa yang salah dengan penampilamu, itu tidak terlihat aneh sama sekali. Tapi Sakura setidaknya kau harus melawan mereka, melawan dalam artian baik tentunya." Nasehat Iruka-sensei.

Beliau memang sering mengatakan hal itu padaku berkali-kali saat aku lepas dijahili oleh mereka. Tapi yang kulakukan hanya diam, nasehat dari sensei dianggap sebagai angin lalu saja. Maafkan aku sensei.

"Baik, sensei, saya akan mencobanya,"

"Selalu sepeti itu yang kau katakan,"

"Hehe," aku terkekeh.

"Baiklah, kau bisa keluar sekarang,"

"Terima kasih sensei atas nasehat anda,"

"Ya," sahut sensei sambil mengangguk.

Baru beberapa langkah aku berjalan, tiba-tiba saja Iruka-sensei memanggilku lagi.

"Sakura,"

"Ya sensei," jawabku sambil berbalik.

"Berjuanglah!" ujar beliau dengan menampakkan senyum lima jarinya.

Yang bisa kulakukan hanyalah mengangguk dan tersenyum. Baik hati sekali ya Iruka-sensei.

.


"Aku pulang," teriakku sembari membuka pintu dan berjalan lunglai menuju sofa ruang tengah.

Melelahkan sekali rasanya.

Ibu keluar menyambutku. "Ah.. selamat datang sayang,"

"Hari yang panjang?" ujar ibu.

"Yah, begitulah,"

Jujur saja, aku begitu berbeda seratus delapan puluh derajat saat di rumah. Aku memang pendiam saat di sekolah, karena aku memang susah sekali untuk bergaul, dan orangtuaku mengetahui ini. Tapi pada saat aku di rumah aku banyak sekali berbicara dengan orangtuaku, ya karena begitulah. Susah sekali aku menjelaskannya. Jadi pahami sendiri saja ya, hehe.

"Pergilah ke kamarmu, istirahat sayang,"

"Apa ayah belum pulang?"

"Belum. Paling ia akan pulang saat akan menjelang makan malam, katanya ada hal yang harus diselesaikan,"

"Apa itu mengenai pekerjaan ayah?"

"Sepertinya begitu,"

"Baiklah, aku akan ke kamar dan beristirahat," aku beranjak dan mencium pipi ibu. Aku memang sangat manja pada ayah dan ibu. Ketahuilah itu.

Setibanya di kamar aku membaringkan tubuhku di atas ranjang. Menaruh kacamata di nakas tempat tidur. Menerawang langit-langit kamar sambil merenungkan nasibku di sekolah. Rasanya lelah sekali diperlakukan seperti itu oleh mereka. Inginku mengubah nasib menjadi lebih baik, tapi apa daya aku belum siap. Baiklah, aku memang terlalu mendramatisir suasana.

Lupakan. Pikirkan itu nanti Sakura. Akhirnya, aku memejamkan mata dan bermimpi bertemu pangeran yang tampan.

.


Tok tok tok.

"Sakura," panggil ibu. Aku hanya menggeliat saat mendengar panggilan ibu.

Ceklek.

Terdengar suara pintu terbuka, aku hanya mengerjapkan mata karena masih mengantuk.

Ibu duduk di samping ranjang dan mengelus kepalaku. "Ayo bangun, mandi dan bersiap makan malam. Ayah akan tiba sebentar lagi,"

"Mmm…" aku hanya bergumam.

"Ayo Sakura," bujuk ibu.

"Rasanya, aku tak ingin move on dari kasur ibu,"

"Baiklah, ibu tunggu di ruang makan," ibu beranjak lalu pergi keluar kamar.

Aku bangun dengan malas menuju kamar mandi.

.

"Ayah," seruku saat melihat ayah di ruang tengah menonton acara komedi. Aku memeluknya dari belakang.

"Oh, anak ayah yang manja sudah keluar. Ayo makan, ayah sangat lapar sekali,"

"Hehe.. maaf membuat ayah menunggu,"

"Tak apa sayang," sahut ayah. Aku menggandeng ayah menuju ruang makan.

"Kalian lama sekali," ujar ibu setelah kami tiba.

Aku hanya terkekeh menjawab pertanyaan ibu.

"Ittadakimasu."

Makan malam yang nikmat, masakan ibu benar-benar lezat. Ibu adalah chef terbaik di dunia. Sembari menikmati makan malam, kami membahas beberapa hal saat di meja makan, termasuk pekerjaan ayah.

"Apa kau sudah menyelesaikan urusanmu ayah?" Tanya ibu kepada ayah.

"Iya begitulah, kurasa kita bisa pindah minggu depan," jawab ayah.

Aku tersedak mendengar jawaban ayah. Aku kaget. Mengambil air minum lalu meneguknya. "Heh? Apa maksudmu ayah?"

"Ya Sakura, kita akan pindah tidak tinggal di sini lagi."

"Kenapa?"

"Pimpinan ayah memindahkan ayah ke kantor Departemen Imigrasi kota lain."

"Kenapa?"

"Mungkin di sana kekurangan pegawai,"

"Mendadak sekali,"

"Apa yang bisa ayah perbuat?"

"Kita akan pindah kemana?"

"Ke Konoha,"

"Itu berarti aku akan pindah sekolah?"

"Tentu saja sayang. Kau akan pindah sekolah, apa kau keberatan?" jawab ibu.

"Tentu saja tidak. Tapi aku akan memikirkannya,"

"Memikirkan apa?" sahut ayah.

"Sekolahku yang baru."

"Oh baiklah, itu terserah kau," jawab ayah.

"Sakura, coba pikirkan untuk merubah penampilanmu saat di sekolah dan bergaul lah dengan teman-teman, siapa tahu kau akan punya pacar," goda ibu.

"Ibuuu…" aku menjawab dengan kesal. Memalukan sekali. Dan mereka tertawa dengan sikapku ini.


TBC


Hello. Aku Newbie di sini, mohon bantuannya yaa. Terima kasih ^^