Disclaimer : Hetalia Axis Powers milik Hidekazu Himaruya
Ringkasan
Ini bukan tentang penculikan. Bukan tentang pembunuh bayaran. Bukan pula tentang hantu gentayangan. Ini hanya kisah Laura ketika ia melewatkan liburannya di rumah kakaknya. Fic horor anti-gantung, diusahakan hadir menemani pembaca tepat pada malam Jumat ini.
Catatan Penulis
Aman dibaca sendirian. Mohon maaf bila tak terlalu menyeramkan bagi Anda penggemar atau penulis kisah-kisah horor. Bila tak berkenan di hati, cukup kirim kritik membangun via review tanpa unsur-unsur flame.
Selamat Membaca!
-Sudut Pandang Laura-
Asyiknya! Akhirnya aku lulus SMA. Aku jenuh belajar terus-terusan, jadi aku memutuskan untuk istirahat setahun sebelum masuk kuliah. Tidak apa-apa kok! Lagipula aku sudah janji untuk kembali membuka buku-bukuku enam bulan sebelum aku mendaftar dan tes untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Daripada jalan-jalan tak jelas, aku telah merencanakan untuk berlibur di rumah salah satu dari dua kakakku yang sudah bekerja. Rumahnya tidak jauh, tetapi sudah masuk daerah negara lain. Dia tinggal di Amsterdam! Sejak pertama dan terakhir kali aku ke sana, aku selalu ingin mengunjunginya lagi. Kota Amsterdam yang anggun, aku suka sekali arsitektur bangunan-bangunan di sana.
Kurang lebih pada pukul tiga sore waktu Belanda, aku sudah ada di depan pintu rumah kakak.
"Oh, kamu."
Ketika aku memencet bel, sosok kakak yang sepertinya baru bangun tidur menyambutku sambil menguap. Aku mengganggu waktu tidur siangnya nih. Tanpa basa-basi aku memeluknya erat dengan ceria. Aku rindu sekali padanya. Sudah lama sekali sejak kami terpisah karena orang tua kami bercerai... aku tetap tinggal di Belgia bersama ibu sedangkan Kak Nether diambil ayah.
Kakakku yang satu lagi, Lux, entah kabur ke mana karena tidak tahan dengan situasi rumah yang penuh pertengkaran. Kukira aku akan menemuinya juga di rumah Kak Nether, tetapi ternyata tidak. Aku langsung tahu bahwa ia tak ada di sana.
"Kak Nether jangan jutek dong," aku membawa koperku masuk seiring kami memasuki rumahnya, "aku sangat kehilangan Kakak." Kami berdua duduk di sofanya yang empuk. Ia mempersilakan aku memakan kue-kue kecilnya yang ada di meja tamu.
"Kopermu kok cuma satu?"
Senyumku mengembang sambil membuka toples berisi kaastangel dan mengambil isinya, "Hanya pakaian secukupnya. Kurasa aku akan belanja bersama Kakak."
"Jangan sekarang, aku masih mengantuk," ia menguap lagi sambil bangkit dari sofa, "semalam pekerjaanku banyak. Ikut aku, biar kutunjukkan kamarmu."
Aku mengikutinya sambil membawa koperku. Sebenarnya aku sudah tahu kamar mana yang akan ia berikan padaku, tetapi aku senang jika ia mengantarku. Di rumah berukuran sedang ini ada tiga kamar, dua di lantai atas dan satu di lantai bawah. Oh, dan satu kamar lagi jika kau menghitung lotengnya. Namun, seingatku kakak menggunakan loteng itu sebagai gudang sehingga tak dihitung sebagai kamar.
Kami menaiki tangga kayunya yang masih bagus. Aku tahu, dia pasti akan meminjamkanku kamar atas. Dulu sekali ketika pertama aku mengunjunginya, ia akan membiarkanku tidur di kamar yang paling dekat dengan tangga. Jika aku melangkah keluar pintunya, aku akan berhadapan dengan pintu kamar lainnya. Jika aku bergeser beberapa langkah ke kanan dari pintuku, aku akan melihat piano kakak yang diletakkan dekat dinding.
Akan tetapi, kali ini kakak tidak meminjamiku kamar itu.
"Kamarmu yang dekat balkon," katanya sambil menarik tanganku sebelum aku masuk ke kamar dekat tangga.
"Kenapa Kak?"
Kakakku mengambil koperku dan memasukkannya ke dalam kamar bernuansa oranye itu. Dari dua jendelanya aku bisa melihat ke utara dan barat. Aku mendudukkan diri di atas tempat tidur berseprai putihnya. Dingin. Bau debu tercium tipis. Kamar ini pasti hampir tidak pernah ditempati.
"Kupikir kau akan lebih menyukai kamar ini," ia mengangkat bahu, "kau bisa mendapatkan cahaya matahari yang cukup, pemandangan jalan, dan tentu saja –nuansa timnas kesayanganku."
"Apaan sih, Kak," aku tertawa. Sebelum meninggalkanku di kamar, ia mengatakan bahwa kamarnya ada di bawah dan aku boleh memasak apapun yang ada di lemari esnya, asal tak mengganggunya yang sedang tidur.
Berbeda dengan dulu, kini ia memintaku untuk tidak memasuki kamar di sebelah tangga. Ketika aku hendak bertanya kenapa, ia pergi turun ke kamarnya –hendak tidur lagi. Tidak apa-apa deh. Mungkin sudah jadi ruang rahasianya atau malah gudang juga.
Sambil membereskan isi koperku, aku menguap. Oh ya. Aku ke sini naik kereta api lho. Karena pemandangannya bagus, aku tak kunjung tidur. Setelah pakaianku tersusun rapi di lemari kosong kamar itu, aku membaringkan tubuhku di tempat tidur dengan maksud beristirahat. Kurasa aku sedikit mengantuk... saat aku hampir menutup mataku, ponselku bergetar. Antonio meneleponku.
'Laura? Kau di mana?'
"Oh, hai Antonio!" aku menjawabnya dengan senang hati, "aku sedang di Amsterdam nih, ada apa?"
'Hah?! Amsterdam?!'
Lalu panggilan terputus. Berani taruhan, dia pasti khawatir dengan jumlah pulsanya. Kasihan! Aku tertawa kecil, berbaring sambil mengetikkan pesan langsung untuknya yang kukirim lewat jejaring sosial Twister. Kuberitahu dia bahwa aku akan berlibur di Amsterdam selama beberapa hari...
...dan aku mengantuk sekali.
Ponselku tergeletak lemah di dekatku sebelum aku mengirim pesan itu. Mataku enggan kembali membuka. Aku terlelap, nyaris tak terbangun lagi malam itu.
Nyaris. Aku terbangun karena ada suara yang cukup nyaring. Suara yang serupa siulan itu adalah suara air yang dididihkan dalam cerek. Aku malas turun dan menutup telingaku dengan bantal. Akan tetapi, suara itu semakin keras. Aku heran -kenapa kakak tidak bangun?!
"Duh, berisik..." aku akhirnya menyerah. Kupakai sandal tidurku yang kuletakkan di bawah tempat tidur. Sambil menguap, aku berjalan keluar dari kamar pelan-pelan setengah terhuyung. Aku menuruni tangga hati-hati sekali karena dalam keadaan begini, aku gampang jatuh.
Rumah kakak terlihat berbeda jika lampunya mati. Lampu temaram di tengah ruangan tak bisa menerangi dapur dan ruang makan dengan baik. Langkahku terhenti di tangga ketiga terbawah. Dapurnya gelap. Aku tak bawa senter. Aku terlalu kesal pada orang gila yang memasak air di malam buta, lalu meninggalkannya.
Butuh waktu lima belas detik bagiku untuk menghilangkan rasa takutku, lari ke dapur, menyalakan lampunya, dan menghampiri kompornya.
Tidak ada cerek. Panci lain pun tidak. Kompor itu tak menyala, bahkan temperatur dapur normal. Tidak ada yang memasak air.
Sumpah, aku benar-benar mendengar suara itu tadi. Karena masih setengah sadar, aku berpikir bahwa mungkin aku hanya salah dengar. Atau itu suara dari dapur orang lain, ya? Akan tetapi jarak antar rumah di sini cukup jauh karena luas halaman masing-masing!
"Kok aneh, sih..." gumamku sendiri sambil duduk di kursi ruang makan. Kakiku seolah melangkah sendiri keluar dari dapur.
Hal yang nyaris luput dari pikiranku adalah, di dapur kakak tadi mendadak merebak harum melati. Bau bunga melati putih yang pernah kakak kirimkan padaku lewat surat. Kulitku mulai merinding meski aku tak merasa terlalu takut dengan harum bunga itu. Aku hanya merasa heran, bukan takut.
Mataku melirik rak gelas dan piring di konter serta kulkas di sebelahnya.
Kurasa aku butuh segelas air dingin untuk menyadarkanku sepenuhnya. Kuambil gelas kaca transparan berukuran sedang lalu kutuangkan air dingin dari kulkas ke dalamnya. Aku kembali duduk di kursi sebelum minum. Tidak sehat minum sambil berdiri.
Akan tetapi bukannya bangkit dari kantukku, air dingin itu malah membuatku semakin mengantuk. Kuletakkan gelas itu di pinggir meja setelah meminum airnya. Aku tertidur lagi di ruang makan, dengan kepala terkulai di atas kedua tanganku yang terlipat.
Ketika aku terbangun, posisi dan tempat aku tidur berubah. Aku sudah ada di kamar lagi. Bajuku masih sama seperti yang kemarin kupakai. Seseorang memakaikan aku selimut dan menutup korden kedua jendela. Kakak... aku yakin, pasti kakak yang menggendongku ke atas. Baik sekali. Terkikik pelan, aku meregangkan tanganku dan menguap lebar.
"Ponselku... hmm?"
Lagi-lagi hidungku dapat menangkap aroma melati putih. Mataku melirik ke segala arah, mencari bunga putih itu sepintas. Aku tidak melihat satu pun melati di sini –baik tertempel di dinding, tergantung di hanger belakang pintu, terletak di tempat tidur, atau diletakkan di meja.
Hasilnya nihil. Mungkin hanya perasaanku saja, batinku menenangkan diri. Aku teringat dengan cerita kakak bahwa di salah satu negara Asia Tenggara, bunga melati kadang identik dengan hal-hal mistis. Tidak, tidak mungkin ada di sini. Setahuku tanaman itu takkan tumbuh di negara subtropis seperti ini. Belanda negara subtropis, 'kan? Apa aku salah?
Ponselku ada di atas meja di samping tempat tidurku. Ah, ada pita merahku di sebelahnya -mungkin kakak melepasnya agar tidak kusut karena kupakai tidur. Di bawahnya ada kertas catatan yang ditujukan oleh kakak kepadaku.
'Laura, makan pagi bikin sendiri ya. Jaga rumah, kalau bisa tolong mengepel lantai, menyiram taman, cucikan piring dan pakaianku yang kotor. Nether.'
Kakak jahat. Mentang-mentang aku liburan di sini malah dijadikan pembantu. Aku tahu dia pergi kerja pagi-pagi sekali, tetapi itu bukan alasannya menghancurkan liburanku, 'kan.
"Baru jam sembilan lewat..." gumamku sambil menatap layar ponselku.
Akan tetapi kalau kupikir-pikir, tak ada salahnya membantu kakak. Semasa aku sekolah dulu, jika aku tak ada uang maka aku akan menghubungi Kak Nether. Aku tahu bahwa ibu tak mungkin dimintai uang dan kakakku yang satu lagi, Lux, tak pernah bisa dikontak.
Ketika aku mematikan ponsel dan mengisi baterainya, terdengar suara derit pintu kamar di depanku terbuka. Rupanya kakak belum pergi kerja! Aku melangkah turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamarku untuk berterima kasih.
"Kakak! Belum berangkat...?"
Namun ternyata tak ada siapa-siapa di luar. Pintu itu masih tertutup. Begitu pula pintu kamar mandi. Aku yakin, aku mendengar suara pintu terbuka. Perlahan aku melangkah ke arah balkon. Pintu besarnya juga tidak terbuka, hanya korden jala putih yang menutup jendela besarnya yang bergerak pelan.
Mungkin kakak ada di bawah, pikirku sambil menuruni tangga. Akan tetapi keadaan semua ruangan di bawah sama. Garasi, kamar mandi, kamar kakak, pintu depan dan, pintu belakang... semua tertutup. Pintu mana yang berderit? Atau mungkin hanya perasaanku saja, ya?
"Kali saja aku kelaparan," gumamku sendiri sambil mencari mangkuk dan sereal kakak di konter. Malas memasak, ah. Di kulkas kakak masih ada susu kotak vanilla, bisa dimakan dengan sereal. Aku makan di sofa ruang tengah sambil menonton televisi.
Acaranya gosip selebriti semua. Membosankan. Serealku bahkan habis cepat sekali, biasanya makanku lama bila aku makan sambil menonton televisi. Saat aku memandang mangkuk kosongku, aku jadi teringat dengan kakak yang memintaku membersihkan rumahnya. Ah, tak kusangka kakak tega membiarkan aku sendirian begini, disuruh mengerjakan berbagai pekerjaan rumah pula.
Nanti bajunya kucuci di binatu saja deh, sekalian jalan-jalan. Usai makan aku mematikan televisi dan mencuci mangkukku. Lantai satu itu kubersihkan dengan penyedot debu yang kuambil dari garasi. Bersenandung pelan, aku naik ke kamarku dan mengambil handuk, sikat gigi, dan pakaian ganti. Rencanaku sih, seusai mandi, aku akan memasukkan baju kotor kakak ke dalam plastik besar lalu membawanya ke binatu.
Yang membuatku heran sekaligus takut adalah ketika aku siap masuk ke dalam kamar mandi, aku mendengar suara air dari shower yang membasahi badan seseorang, diikuti senandung sayup-sayup dalam bahasa asing. Suara itu mengalun lembut. Percik air yang dapat kudengar terus mengiringi nyanyian misterius itu.
"Si... siapa...?" aku melangkah mundur. Ngeri. Aku sudah memastikan bahwa di rumah ini hanya ada aku! Kuberanikan diri untuk mengetuk pintu itu. Tanganku mulai gemetar –suara senandung dan percik air itu terhenti.
Tanpa aku menyentuh kenopnya, pintu kamar mandi terbuka perlahan tiba-tiba. Kutarik tanganku kembali sambil memandang takut pintu yang masih bergerak sendiri itu. Aku berani sumpah, ia terbuka sendiri, aku bahkan belum mengetuknya. Setelah terbuka cukup lebar, pintu berhenti dan aku tersentak memandang ke dalam.
Tidak ada siapa-siapa. Lantai kering. Tak ada bau sabun atau sampo, apalagi manusia yang membasahi tubuhnya. Kamar mandi itu kosong seolah tak ada siapapun yang baru menggunakannya.
Aku jadi tak mau mandi di sini. Rasa takutku muncul kembali. Aku tak berani memandang cermin di dalamnya, jangan-jangan ada bayangan orang lain di dekatku. Berjalan cepat, aku menuruni tangga dan masuk ke kamar mandi di lantai satu.
Untung kosong. Penyakit paranoidku kambuh. Aku mandi secara kilat, lalu masuk ke kamar kakak untuk mengambil pakaian kotornya. Ketika aku naik ke kamarku, kuusahakan untuk lewat agak jauh dari kamar mandi itu. Kuambil ponsel dan dompetku, kemudian kuturuni tangga dengan buru-buru. Aku merasa aneh. Seperti ada yang mengawasi gerak-gerikku entah dari mana. Kupanggil taksi via telepon untuk mengantarku ke binatu sekaligus berkeliling. Gara-gara suara di kamar mandi tadi, aku jadi tidak ingin berdiam diri di rumah kakak sendirian. Setelah mengunci pintu dengan kunci yang kakak gantungkan di balik pintu depan, aku naik ke taksi dan melaju ke binatu terdekat.
Usai menyelesaikan urusanku dengan baju-baju kakak, aku kembali ke rumahnya. Karena sudah terlalu sore, aku terpaksa membatalkan niatku untuk belanja. Aku terlalu asyik berkeliling Amsterdam yang memiliki bangunan-bangunan anggun. Sudah pukul enam sore ketika aku sampai di rumah. Dari depan pintu aku bisa mendengar suara denting piano di lantai dua. Rupanya kakak sudah pulang. Tanganku mencoba membuka pintu itu –yang ternyata terkunci.
"Kenapa masih dikunci?"
Menurutku kakak tak mau nada-nada indahnya diinterupsi olehku. Aku membuka pintu itu dengan kunci yang kubawa. Ruang tamu gelap. Korden masih terikat. Lampu ruang tengah tidak menyala. Tidak ada sepatu kakak yang biasa diletakkannya di rak. Rumah kakak masih sama keadaannya seperti yang kutinggalkan tadi pagi. Hanya suara piano itu masih terdengar hingga ke lantai satu, mengalun lembut memainkan lagu yang sepertinya pernah kudengar.
Ini 'kan lagu yang liriknya menggunakan bahasa Indonesia. Kalau tak salah, judulnya 'Sepasang Mata Bola'. Bagus juga kalau dimainkan dengan piano tanpa dinyanyikan.
"Lindungi aku pahlawan," aku bersenandung pelan tetapi tak begitu hapal liriknya sehingga lebih sering diam, "daripada si Angkara Murka."
Kakak mengaransir lagu itu dengan sangat baik. Aku jadi tidak mau mengganggunya. Tersenyum kecil, aku mulai menutup korden jendela-jendela lantai satu. Meski kakak mengulang lagu itu hingga sekian kali, aku tak kunjung bosan mendengarnya. Kunyalakan lampu-lampu seperlunya. Setelah meletakkan pakaian-pakaian kakak di lemarinya, aku menaiki tangga pelan-pelan. Akhirnya kakak mengakhiri permainannya.
Ketika aku memijak anak tangga ketiga teratas, lampu di lantai dua juga mati. Sama gelapnya dengan lantai satu tadi. Aneh, bagaimana kakak bisa menekan tuts-tuts piano itu tanpa kesalahan? Apakah dia sempat kursus? Sampai di atas, aku meraba-raba dinding di sebelahku mencari stopkontak. Ruangan itu kembali terang. Mataku segera mengarah pada piano hitam di samping jendela besar menuju balkon.
Bukan kakak yang memainkan piano. Lebih tepatnya, tak ada. Tak ada yang duduk di kursi hitam itu. Piano itu diam, terlihat dingin dan kaku seolah jarang disentuh.
"Tidak ada... siapapun," gumamku ngeri sambil melangkah pelan ke kamarku dengan kakiku yang mulai lemas, "di -di rumah ini... hanya ada –aku..."
Aku berjalan agak merapat pada dinding kamar kosong di dekat tangga, sudut antara kamar tersebut dan toilet, dinding toilet, hingga dinding kamarku. Aku berusaha jauh dari piano itu. Ketika tanganku nyaris membuka pintu kamarku, aku menyadari satu hal mengenai kamar kosong yang pintunya ada tepat di seberang pintu kamarku. Dari kaca-kaca jendela ventilasi memanjang di bagian atas dinding kamar tersebut, aku bisa melihat cahaya lampu. Ketakutanku semakin menjadi -aku tak menyalakan lampu kamar itu! Sebelum aku pergi, lampunya mati... Bukankah kamar itu -kamar itu- seharusnya gelap sama seperti ruangan lainnya?!
Kutarik pegangan pintuku dan setelah pintu terbuka, aku langsung berlari masuk ke kamarku. Segera kututup pintuku kembali dengan keras, lalu kukunci. Kunyalakan lampu kamarku sebelum melompat ke atas tempat tidur. Napasku mulai semakin cepat. Mataku menangkap sesuatu yang membuatku tersentak. Dari lubang ventilasi di atas pintuku, aku bisa melihat bahwa lampu di kamar itu masih menyala.
Perasaanku tidak enak. Kupandang nanar seluruh kamar. Aku merasa diikuti! Dingin, angin dingin yang berhembus semakin memperburuk suasana hatiku. Salah satu jendelaku terbuka -bukankah tadi kututup sebelum pergi? Kututup segera jendela itu beserta kordennya. Tanganku yang gemetar pelan meraih ponsel dalam sakuku dan headphone-ku yang kuletakkan di sisi tempat tidur. Menyudut di atas tempat tidur, kupeluk kedua lututku sambil mendengarkan lagu-lagu di ponselku.
Ingatanku memutar kembali hal-hal aneh yang kudapat selama menginap di sini. Mulai dari suara air mendidih, lalu aroma melati, derit pintu, percik air dan senandung di kamar mandi... ya Tuhan, aku baru sadar bahwa senandung itu menyuarakan lagu yang sama dengan piano tadi! Kubesarkan volume ponselku agar aku lupa dengan kejadian mengerikan tadi. Berusaha kutanamkan asumsiku bahwa aku hanya salah dengar.
Aku hanya bisa berharap kakak segera pulang. Perutku mulai terasa lapar, tetapi aku tak mau turun ke dapur. Paranoid. Yah, paranoidku kambuh lagi. Aku takut pada hal yang aku sendiri tak tahu apa. Takut kesendirian? Bukan, aku tak pernah begini sebelumnya! Kejadian-kejadian itu membuatku merasa terteror sekaligus berpikir negatif. Keringat dinginku mengalir di leher, kepalaku pusing, jantungku berdebar kencang.
Ponselku bergetar. Kakak mengirimiku pesan singkat. Jari-jariku sulit digerakkan karena aku belum bisa menghentikan ketakutanku.
'Kunciku terbawa temanku di kantor. Kau di rumah, 'kan? Bukakan pintu, dong!'
Kumatikan pemutar musik ponselku ketika ia memutarkan musik klasik. Musik klasik malah akan membuatku semakin merasa ngeri. Bagaimana ini -kakak memintaku membukakan pintu, sedangkan aku... aku tak berani keluar apalagi melewati piano dan kamar itu. Kulepas headphone-ku dan kubiarkan menggantung di leher. Kutarik napas dalam-dalam berkali-kali dengan harapan akan memperoleh energi positif. Dapat kudengar kakak memencet bel dan mengetuk pintu beberapa kali. Setelah merasa lebih tenang, aku beringsut ke sisi tempat tidur dan menurunkan kakiku satu per satu untuk memakai sandal tidurku.
Saat aku sudah siap turun ke bawah, terdengar olehku suara tombol lampu yang ditekan dengan kasar. Berikutnya suara derit dan debam pintu ruangan di depanku. Terakhir, tangga kayu dipijak seseorang yang turun perlahan. Aku nyaris menjerit hingga suara ketukan pintu berubah jadi gedoran.
Di bawah, kakak 'mengetuk' pintu lebih keras. Ia bahkan meneleponku, tetapi tak kuangkat. Setelah mengakhiri panggilannya tanpa kujawab, telepon rumah di lantai satu berdering. Aku menelan ludah. Kakiku lemas kembali. Itu pasti kakak, ya, dia tak sabar ingin masuk. Aku tidak boleh takut. Aku tahu bahwa tak ada siapa-siapa di sini kecuali aku. Oh, ada Tuhan. Kalaupun ada roh halus, mereka tak bisa apa-apa... aku berusaha mengalahkan rasa takutku dalam pikiranku sendiri. Tanganku meraih salib kecilku yang tergantung di leherku, terhalang oleh kemejaku. Kukeluarkan dia, kupegang seiring aku berjalan keluar dan menuruni tangga. Sengaja aku memandang lantai saat melewati kamar itu dan piano.
"Ma -malam, Kakak!"
Aku terengah-engah menyapanya di depan pintu. Di tangga dan lantai satu, aku berlari langsung ke pintu. Masalahnya, aku mendengar suara air yang matang lagi seperti semalam. Akan tetapi, kakak mengira aku baru selesai mandi atau bangun tidur sehingga terburu-buru membuka pintu tanpa menjawab panggilannya. Aku hanya tertawa saat ia menanyakan asumsinya tersebut padaku sembari melepas sepatunya. Suara cerek itu tak terdengar lagi.
"Aku bawakan makan malam," katanya sambil mengajakku ke ruang makan dan meletakkan kantong kertas di meja, "kupikir baik kau atau aku akan malas memasak hari ini."
"Terima kasih Kak," aku duduk di salah satu kursi makan dan mengambil sesuatu di dalam kantong itu. Oh, hamburger keju. Sebenarnya aku sedang menghindari junkfood, tetapi kali ini tidak. Aku merasa ngeri masuk dapur. Tanpa sadar, aku melamun sambil memandang hamburger kejuku dalam diam.
Tiba-tiba, aroma melati putih mengudara kembali di ruang makan. Mataku membulat sejenak, hatiku berdebar takut. Lagi-lagi bau ini... aku melirik kakakku yang tengah meneguk air mineralnya sendiri. Ia tak bereaksi, seakan tak menyadari keberadaan harum bunga itu. Aneh! Padahal aromanya begitu kuat -apakah kakak sedang kena flu atau memang sudah terbiasa?
"Kak," kataku pelan sambil meletakkan hamburger kejuku di meja dengan lemas, "apa Kakak tidak merasakan hal yang aneh?"
"Tidak tuh."
Kakak benar-benar bersikap seperti biasa. Aku tak menangkap kebohongan dalam gerak-geriknya. Ia meletakkan gelas kosongnya di atas meja, bersendawa pelan, dan melangkah masuk ke kamarnya.
Aku tidak mau ditinggal sendirian di sini. Napasku mulai sesak karena harum melati itu serasa memenuhi hidungku, mengikat oksigen dalam paru-paruku. Ketika aku terbatuk pelan, kakak membuka kembali pintu kamarnya dan bicara padaku dari sana.
"Kamu sakit?"
"Tidak," aku menggeleng, "Kakak tidak makan bersamaku?"
"Aku sudah makan di luar," ia melepas dasinya dan menutup pintu perlahan, "sudah ya, Kakak mau tidur. Jangan diganggu."
Tidak tahan dengan atmosfir ruang makan yang semakin terasa menyeramkan, kubawa hamburger keju dan gelasku sendiri naik ke kamarku. Setelah lampu ruang makan kumatikan, aku berlari di tangga dan membuka pintu kamarku dengan kakiku -kedua tanganku memegang barang, soalnya. Buru-buru aku masuk, meletakkan makan malamku di meja, dan menutup kembali pintu saat mataku melihat bahwa lampu kamar kosong itu telah mati.
Tak seorang pun dari aku atau kakak yang naik ke atas tadi. Siapa yang mematikan lampu? Yang menyalakan juga? Bagaimana dengan langkah di tangga tadi? Piano? Senandung dan percik air...
"Apa yang terjadi, sih?" Aku sempat bertanya-tanya sendiri sambil memakan hamburger kejuku di tempat tidur. Setelah habis, kuremas pembungkusnya dan kubuang ke tempat sampah di sudut ruangan. Aku tidak banyak meminum air di gelas. Kalau habis, aku tidak berani turun ke bawah untuk mengambil air lagi.
Meski aku merasa bahwa tidurku takkan tenang malam ini, aku tetap berusaha tidur. Kubaringkan diriku di tempat tidurku dengan berbagai pertanyaan mengenai rumah kakak, tentang semua kejadian yang kualami hari ini. Semoga besok tidak menjadi lebih buruk.
Akhir dari Sendiri di Rumah Kakak, Hari Pertama
