Disclaimer: Vocaloid by Crypton Future Media, Inc. & Yamaha Corp.

Warning: Two-shot. Hints MikuoxRin(silahkan tekan tombol 'back' jika tidak berkenan :D)

Silahkan ingatkan author kalau ada yang salah ;) Arigatou!


.

.

Lelaki itu sesekali merenggangkan tangannya, kemudian kembali bergelung dalam selimut. Kadang ia pikir bahwa pagi di bulan Desember ini datang lebih cepat. Ia hanya ingin tidur—dan lupa bahwa masih ada hari esok yang terus menghantuinya.

Mikuo beranjak bangun, berjalan gontai dan membuat green tea. Matanya mengerling pada beberapa buku tebal dan berlembar-lembar kertas aritmatika di meja belajarnya. Mikuo memutar bola matanya.

Kepalanya sudah jenuh, mungkin. Ia sudah terbiasa dengan belajar tekun, mengikuti berbagai organisasi, mencari beasiswa… semuanya semata-mata untuk mengejar universitas impiannya di Kyoto. Namun Mikuo pikir, ini sudahlah titik puncaknya. Lagipula, tidak ada salahnya rehat sejenak bukan?

Mikuo merogoh poselnya, kemudian membalas beberapa surel. Salah satunya dari Miku, sepupunya.

Jangan lupa beli hadiah untuk si Kagamine ;)

Ia melirik kalender. 27 Desember. Oh, tidak. Hari ini tanggal 27 Desember. Hari ulang tahun si anak kembar Kagamine Rin dan Len.

Mikuo kembali mengetik. Aku tidak ingin datang..

Ayolah~ Lebih baik datang daripada menyesal, Mikuo :D

Lalu kenapa mengundangku?

Aku tidak tahu :/ Rin memaksa kita untuk datang :3

Kalau begitu temani aku beli hadiah

Tidak mau. Beli saja sendiri :P

Mikuo menggerutu pelan. Nah, apa hadiah yang pantas untuk mereka? Apalagi si gadis bodoh itu... Memangnya ia masih sanggup bertatap muka dengannya?

Sebelah tangan Mikuo menggapai selembar foto. Foto itu terselip secara rahasia di balik buku kimianya. Alasan untuk mengenangnya tidak dapat ia tahan lagi. Foto sepasang sahabat, Mikuo dan Rin, diambil sesaat sebelum Festival Musim Panas yang mereka ikuti dulu.

Musim Panas. Itulah Mikuo anggap ada padanya. Rambutnya yang pirang, kulit cerah, semangat menggebu, wangi jeruk dan senyum yang lebih merekah daripada bunga Matahari…

Andai saja Mikuo bisa kembali padanya. Kembali pada musim panas itu…

.

.

.

"Maaf aku telat, Mikuo-kun."

Mikuo menengadah. Menatap perempuan tomboy dengan warna rambut hijau segar andalannya. Ia membawa segelas kopi, uapnya mengepul, membaur dengan dinginnya udara. "Aku lapar, jadi aku beli sandwich sebentar."

Mikuo tersenyum sekilas. Mereka berjalan beriringan memasuki mal. Di antara mereka hanya ada suara seruputan kopi. Selebihnya diam.

Setelah setengah jam berkeliling, akhirnya Mikuo menyerah juga. Ia sama sekali tidak ada gambaran mengenai hadiah. Deretan pernak-pernik hadiah malah membuatnya makin ragu. Apa perlu dia membeli cake atau semacamnya? Hmm… Memikirkannya saja sudah bikin pusing sendiri.

Mikuo menghampiri Gumi. "Ada saran?"

"Mikuo lebih mudah menyelesaikan kalkulus daripada mencari hadiah, ya?" sela Gumi tertawa. Ia masih sibuk mengobrak-abrik tas diskon. "Lagipula, kamu tidak memberitahuku tentang siapa penerimanya. Jadi—"

"Aku mengajak senpai karena… senpai adalah perempuan."

Tawa Gumi makin menggelegar. "Jadi seorang gadis? Hahaha! Kau tahu sendiri aku terlalu tomboy untuk disebut sebagai perempuan."

Mikuo menimpali setengah berbisik. "Aku tidak mengerti gadis dan… uangku bulan ini tidak cukup untuk hadiah mahal, Gumi-senpai."

"Jangan bohong," ucapnya. "Semua orang tahu kau adalah anak direktur perusahaan otomotif Hatsu. Dari warna rambutmu saja sudah ketahuan."

Mikuo melengos. Ia beralih dari Gumi, tak sengaja ia memperhatikan pantulannya sendiri di cermin. Jarinya menggosok rambutnya sebentar. Apakah harus mengganti warna rambutnya dengan hitam? Mikuo merasa rambutnya mencolok sekali. Semua orang menganggapnya sebagai anak orang kaya, kecuali…

"Lihat ini!" seru Gumi. "Bagaimana, tas yang bagus bukan?"

Mikuo memperhatikan tas di lengan Gumi. Tas jinjing itu tampak cantik dengan rajutan dan beberapa motif bunga. Warnanya kuning secerah mentari dan motif bunga matahari. Cocok untuk menggambarkan tentang dirinya…

Mikuo menggeleng. "Jelek."

"A-Apa?!" seru Gumi tidak terima. "Tas ini bagus, kok! Memangnya kau beli untuk siapa?"

Mikuo gelagapan. "Err… Kagamine—"

"Aah. Kagamine Len?" seru Gumi lagi, terkejut. "Dia memang shota. Tapi, oh, astaga, tak kusangka seleramu seperti dia, Mikuo-kyun…"

Mikuo melotot. Memangnya aku mau apa dengan si pendek itu. Begitulah kondisi psikis senpainya. Dia otaku ngelantur dan hard fujoshi. Seharusnya ia ajak Yukari-chan atau Kiyoteru-sensei saja untuk menemaninya.

"Kagamine Rin dan Len," ralat Mikuo. "Mereka berdua ulang tahun hari ini."

"Jadi hadiah untuk dua orang, ya?" tebak Gumi. Ia mencoba mengingat-ingat. Sepertinya ada familiar dengan nama itu. Gumi mulai berpikir. Hmm… bukankah rambut mereka terkenal blonde? Mendadak Gumi mendapat ide.

"Bagaimana dengan aksesoris rambut?"

Gumi menarik Mikuo pada rak mini berisi aneka aksesoris rambut perempuan. Melihat banyaknya aksesoris, Mikuo jadi bingung sendiri. Jadi itu toh, alasan perempuan berlama-lama di mal.

"Ambil salah satu yang sesuai dengan karakter mereka."

Sesuai karakter? Mikuo meneliti kembali, kemudian mengambil beberapa bungkus aksesori. "Aku pilih ini."

.

.

.

Ia berjalan dengan gigi gemeletuk dan kaki yang lebih kaku daripada es. Mikuo menggenggam kopi instantnya seerat mungkin, tubuhnya tergantung pada kehangatan kopi itu.

Mikuo berjalan tanpa ada niat. Kakinya bergesek dengan salju, memperlambat langkah lemasnya. Ia hanya ingin pulang ke rumah, menyalakan penghangat, dan belajar. Bukannya ke rumah Kagamine Rin.

Cih. Mikuo menepiskan pikirannya. Mengapa bayang gadis itu selalu ada?

Selalu saja, kepingan memori tentang Rin menyiksa hatinya. Tanpa sadar, Mikuo memejamkan matanya sejenak. Wajah ceria itu melemparkannya kembali pada masa lalu. Masa saat pertamakali bertemu dengannya…

/ flashback /

Saat itu musim panas. Langit membentang cantik, begitu biru. Namun sinar matahari itu dirasa terlalu terik bagi Mikuo. Ia berdoa agar hujan deras melanda secepatnya dan membanjiri sekolah, tapi toh itu nyaris mustahil. Sungguh, Mikuo hanya merasa kesepian. Sebagai anak baru, ia ingin kembali ke Sapporo. Mikuo rasa Tokyo tidak cocok untuknya.

Lelaki bersurai toska itu memperlambat gerak lari. Badannya terasa pening. Ia keluar dari lajur lari, mengatakan menyerah dan duduk di tepi lapangan. Baru tiga kali berlari keliling lapangan, ia sudah letih begini. Mikuo bergidik, memandang setengah iri teman-temannya. Bagaimana mereka kuat berlari di hari sepanas ini?

Mikuo merebahkan badan, meluruskan kakinya yang sedari tadi minta istirahat. Mikuo bersandar pada pohon sakura dan memejamkan mata. Ia mulai hanyut dalam kantuk, ia merasa nyaman.

Nyaman…

Mikuo kembali membuka mata. Tangannya terasa dingin, ia merubah posisinya menjadi duduk. Ada sekaleng jus jeruk di genggaman Mikuo. Dari siapa?

Tidak sulit untuk menemukan jawabannya. Mikuo mendapati seorang gadis duduk tepat di sebelahnya, bersandarkan pohon sakura. Matanya yang biru memikat Mikuo…

"Sudah bangun?" kata gadis itu ramah. "Aku disuruh Shion-sensei untuk membelikanmu minuman. Dia khawatir kau dehidrasi."

Oh. Mikuo mengangguk saja. Tangannya membuka tutup kaleng dan menengguknya pelan. Kening Mikuo berkerut. Asam.

"Itu pulpy orange," katanya. "Kau tidak suka?"

"Aku lebih suka air mineral."

Si gadis tersenyum. Mikuo mengabaikannya. Kemudian kembali meminumnua. Ajaib. Setelah beberapa teguk, ia merasa lebih lega. Kesegaran jeruk mengisi semangat Mikuo kembali.

Sesekali matanya memperhatikan gadis itu. Rambutnya pirang, terikat pita putih yang membuatnya terlihat… manis? Samar-samar Mikuo pernah melihatnya.

Merasa diperhatikan, sang gadis memulai pembicaraan. "Kita sekelas bukan? Tapi aku lupa namamu. Namaku Kagamine Rin. Kamu?"

Mikuo keberatan menjawabnya. "Hatsune Mikuo."

"Hatsune… Keluarga terpandang itu?"

Itulah Mikuo sesali dari nama marganya. Anggota keluarga Hatsune sangatlah terkenal. Ayahnya adalah direktur, ibunya pemilik butik ternama, sepupunya, Miku, adalah diva yang sedang naik daun. Sedangkan Mikuo sendiri… ia sangatlah pintar dan sering memenangkan olimpiade sains.

"Ya."

"Oh, begitu."

Mikuo mengerutkan alis. Hanya begitu? Padahal reaksi orang kebanyakan akan bersemangat dan bertanya lebih jauh lagi. Tapi gadis ini berbeda. Gadis ini bisa menganggapnya sebagai… teman.

Hatsune Mikuo ingin sekali mendekati gadis ini…

Prriiiiiit. Terdengar peluit yang ditiup panjang. Rin bilang itu tanda untuk berkumpul di lapangan. Akan ada penilaian untuk tes lari selanjutnya. Ada pemanasan terlebih dahulu, jadi Mikuo bisa bernapas lega.

Mikuo dan Rin berjalan ke tepi lapangan. Rin menantangnya untuk adu cepat. Mikuo mengangguk setuju.

Mereka berdua mengambil posisi, dan mereka mulai berlari. Sesaat Mikuo mampu menandingi Rin, namun lambat laun kecepatan gadis itu bertambah. Rin mencapai garis finish dengan kegirangan.

"Apa yang…" gumam Mikuo keheranan. Mikuo tertatih mengikuti lari Rin yang cepat. Ternyata gadis mungil ini jago lari ya.

Beberapa putaran kemudian, Mikuo mulai berjalan lambat. Napasnya habis. Ulu hatinya mulai sakit. Kakinya terasa mau patah. Rin memberhentikan langkahnya dan menghampiri Mikuo. "Ada apa?" katanya cemas.

"Hosh… aku… hosh... nggak kuat lari," ujar Mikuo terbata. Rin menyunggingkan senyumnya.

"Pertama, kita lari pelan dulu…" Rin berlari pelan disampingnya. "Biasakan napasmu teratur. Kosentrasi pada kakimu."

Mikuo mengikuti perintah Rin. Langkahnya semakin cepat dan teratur. Kian lama rasa sesak di dadanya berangsur hilang…

"Nah, kalau sudah biasa, angkat kakimu dan… kejar aku!" Rin tertawa mengejek dan lari meninggalkan Mikuo. Mikuo mengumpat beberapa kali. Ia berusaha mengejarnya sekuat mungkin, sekuat apa yang ia bisa…

Grep!

Rin terhenti. Lengan bajunya tertangkap oleh Mikuo. Rin tersenyum lebar. "Kau hebat!"

Mikuo tertawa, belum pernah ia tertawa selega itu. Sambil mengatur nafas dan debar jantungnya yang memburu, ia perhatikan senyum Rin. Mikuo sangat menyukai senyumnya. Sangat suka…

/

Tali hubungan mereka semakin dekat. Dekat. Dekat… Mereka menjalin hubungan sebagai sahabat akrab. Dua tahun bersama di SMP Tokyo itu membuat Mikuo terhanyut pada perasaannya. Perasaan untuk memiliki Rin. Seutuhnya.

Sampai suatu hari di musim gugur, hari yang berangin, dan ujian untuk masuk ke sekolah menengah akan dimulai…

Ia menutup wajah dengan lengan kanannya. Pipinya penuh dengan bulir air mata, ia menggigit bibir menahan suara. Rin melewati Mikuo dengan kepala tertunduk. Seketika itu Mikuo mengejar Rin.

"Rin, tunggu!"

"Berisik!"

"Aku ingin bicara—"

"Diam!"

"Maaf…"

Rin terhenyak. Mereka berdua diam. Ia bisa melihat wajah Mikuo yang begitu khawatir. Tapi air matanya tak dapat terbendung lagi. Rin mulai sengugukan.

"Aku tak menyangka kau menghina saudara kembarku sendiri.…"

Napas Mikuo tertahan pada saat itu juga. Mendadak pikirannya hilang dan tak bersisa. Kepalanya bahkan tak mampu untuk melihat Rin. Lidahnya kelu. Ia tidak bisa menyangkal. Mikuo sang Ketua OSIS dengan sengaja menjatuhkan Len—bukan, lebih halusnya, menggeser posisi Len dari klub bisbol.

Bukan hanya itu. Mikuo melakukan apapun untuk mendapatkan Rin. Termasuk… menyebarkan gosip jelek tentang hubungan mereka berdua—

"…dan menuduh Len menyukaiku."

—gosip kagamincest.

"Maafkan aku…" kata Mikuo, suaranya mulai serak.

"Tapi kenapa, Mikuo?" ujar Rin pelan.

Pertanyaan itu terlalu sederhana, tapi mampu membuat Mikuo goyah. Matanya berkabut akan argumennya sendiri. Apakah Mikuo harus bilang bahwa ia iri pada Len? Apakah Mikuo harus bilang bahwa ia ingin di samping Rin selamanya? Apakah Mikuo harus…

"Tinggalkan aku…" ucap Rin lirih. Gadis itu membalik badan dan akan beralih pergi.

Bisakah aku mengejarnya? Mikuo mendekatinya, menarik lengan Rin, dan memeluknya. Mikuo merengkuh badan kecil itu. Ia nikmati wangi rambut Rin, kehangatan tubuh Rin… Mikuo tahu tindakannya ini adalah benar. Ia tidak ingin melepaskan Kagamine Rin. Sama sekali tidak ingin…

"Itu karena… aku menyukaimu," bisiknya pelan. Tangannya kembali mengerat, seakan tidak ingin orang yang ia cintai ini hancur.

Tiba-tiba Rin mendorong badan Mikuo, meronta dan mundur beberapa langkah. Ah, ada apa? Mikuo mengharapkan sebuah jawaban. Apakah ia menerimanya? Menolaknya? Mikuo menunggu…

Tapi yang dikeluarkan dari gadis itu adalah air mata. Mengalir dan mengalir melewati pipi. Oh, tidak. Melihat Rin menangis membuat mata Mikuo berair.

"Maaf, aku tidak bisa, Mikuo…"

Rin berlari meninggalkannya. Mikuo menatapnya kosong, memandang punggung itu semakin menghilang. Apakah itu jawabannya?

Badan Mikuo terasa kaku, setiap sel syarafnya menjerit, meminta untuk mengejarnya sekali lagi. Tapi hatinya menolak. Tungkainya sama sekali tak bergerak. Napasnya sesak. Ada sebulir air mata jatuh dari mata Mikuo.

Apakah itu jawabannya?

Sungguh, ia ingin menyerah dan menangis seperti bayi.

/ flashback end /

.

.


= To Be Continued =


(A/N): Haaaii, lama nggak jumpa :3 Kangen sama aku nggak? Aku kangen kalian lho! Muach muach muaach :* (dijitak Reader-sama). Aku kanggeeenn banget sama FVI xD ehehehe. Btw, selamat ulang tahun untuk Kagamine Rin dan Len. Maaf hari ini aku nggak kasih hadiah apa-apa :'( Tahun berikutnya aku bikin fanfict tentang kalian deh ;) lol