Belaian jemari besar itu terus menyentuh setiap inchi tubuh mungil sosok di bawahnya. Nafasnya memburu menggelora seiring gejolak hasrat yang membuncah. Menulusuri tubuh di bawahnya yang sudah polos tak berdaya, dengan pakaiannya yang telah jatuh ke lantai, robek dan carut marut tak keruan.
"Hentikan! Cepat lepaskan aku, Bajingan!"
Perempuan malang itu berteriak-teriak hingga suaranya terdengar serak, tangan nya terikat di tiang ranjang dengan mata tertutup. Namun, pria di atasnya seolah tuli, terus-menrus memberikan rangsangan pada permpuan yang sudah berpenampilan mengenaskan. Bibirnya membengkak dengan darah mengalir akibat gigitan. Tubuh mulusnya sudah dipenuhi dengan bercak kemerahan dan peluh yang meluap dari pori-pori kulitnya. Tangannya memerah karena terus menggeliat dalam ikatannya, begitupula dengan surai merah jambu indahnya yang sudah kusut tak keruan.
"Arrggghhh!"
Dengan kasar pria yang menindihnya itu tiba-tiba saja menusukan bendanya di daerah selangkangannya dengan sekali sentak. Perempuan itu menjerit pilu, hatinya sakit begitu juga tubuh bagian bawahnya yang terasa terkoyak. Ia tak sanggup membayangkan dirinya yang sudah kotor dan hina. Kehormatannya sebagai wanita sudah terenggut begitu saja dengan cara menjijikan.
Dengan brutal pria itu terus memacu bendanya yang sudah sangat mengeras di daerah terintim sosok di bawahnya.
"Ku-kumohon hen-hentikan hiks… hiks…" sosok di bawah pria itu masih terus memohon dan meronta dengan berderai air mata. Suaranya serak akibat berteriak terus-menerus. Jiwa dan tubuhnya terluka. Waktu terasa berputar begitu lama menyiksanya. Tapi… tiba-tiba ia merasakan benda milik pria itu―yang masih terselubung di dalam dirinya―mulai menegang kencang. Sakura, wanita teraniaya itu seketika menjadi panik. Dan tanpa jeda lagi matanya terbelalak dibalik penutup mata hitam itu, ia merasakan─
"Tidaaak!"
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Behind The Truth © Achika Yue
Pairing : SasuSaku
Rate : M (For save)
Genre : Romance and Hurt/Comfort
Warning: AU, OOC, Typos (selalu nongol), dst.
.
.
.
Sakura terlonjak dari tidurnya, tubuh mungilnya yang terpaksa terduduk berguncang naik turun karena nafasnya yang memburu. Terbangun dengan kondisi bersimbah peluh dengan raut wajah seperti dikejar iblis, bukan kondisi bangun tidur yang baik. Tangannya mengusap kasar matanya yang basah, berusaha menormalkan kembali kesadarannya setelah tertidur. Mimpi buruk itu kembali terulang, selalu datang di setiap tidurnya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, lalu terisak dalam keheningan yang menyesakkan. Sakura lelah terus menangis, ia juga lelah merasakan perasaan ini, ketakutan, sesak dan sakit yang menghujam relung hatinya. Jiwanya bahkan sempat terguncang saat kejadian terburuk dalam hidupnya yang terjadi beberapa bulan lalu. Kilasan-kilasan kejadian buruk itu hingga saat ini terus menghantuinya.
Dengan mata setengah mengantuk karena terpaksa bangun, diliriknya jam di samping ranjang queensize-nya. Jam menunjukan pukul setengah lima pagi. Pantas rasanya di luar masih gelap, ternyata ini masih terlalu dini untuk bangun. Maka dengan tubuh yang masih terasa lemas ia beranjak dari tempat tidur, memaksakan diri untuk tetap terjaga. Walaupun sejujurnya ia masih mengantuk, tapi ia enggan untuk kembali tertidur. Toh akhir-akhir ini ia sudah terbiasa terbangun di tengah malam atau di pagi buta seperti ini.
Dengan lesu ia menyeret tubuhnya melangkah menuju balkon kamarnya, dibukanya tirai gorden dan pintu keluar menuju balkon dengan bermodalkan piyama hangat yang masih membalut tubuhnya. Mata hijau beningnya menatap langit yang masih kelam dengan tatapan kosong. Kemudian ia berdiri di teras balkon sambil memejamkan matanya, merasakan hawa dingin di pagi hari yang bersinggungan dengan kulitnya, menghantarkan sensasi dingin dan sejuk yang masuk melalui pori-pori kulit.
Pikirannya kembali mengingat memori pahit yang tidak pernah ingin ia ingat seumur hidupnya. Beberapa bulan lalu dirinya mengalami hal yang ia yakin tak ada seorangpun yang menginginkannya. Ia tak tahu dosa apa yang membawa dirinya pada takdir yang sungguh keji menelannya di lubang kesengsaraan. Menorehkan luka terdalam yang mungkin tak akan pernah bisa terobati. Harga dirinya sudah tak tau pergi kemana, hidupnya hancur, masa depannya suram, dan ia bahkan tak sanggup membayangkan tekanan sosial yang akan ia hadapi nantinya. Bahkan imbas yang jauh lebih mengerikan sudah menantinya di jurang kehancuran. Tanpa sadar kedua tangan Sakura yang berada di sisi tubuhnya mengepal.
Tidak! Ia bukan wanita lemah, ia harus bangkit dan menghadapi semuanya. Ini bukan salahnya, dirinya hanyalah korban dari sebuah kebiadaban seseorang yang bahkan tak dikenalnya. Semua orang-orang terdekatnya sudah bersusah payah menyemangatinya, berusaha untuk tek henti-hentinya memberi dukungan moril padanya. Maka ia tidak bisa menyianyiakan semua atensi dan pengorbanan mereka. Sempat terlintas di pikirannya untuk mengakhiri hidupnya. Namun ia tersadar, tidakan seperti itu hanyalah tidakan pengecut yang tak akan menghasilkan perubahan yang berarti. Ia, Haruno Sakura, bukanlah seorang pengecut yang akan lari dari kenyataan dan meninggalakan orang-orang terkasihnya yang setia setiap waktu menghantarkan sugesti poistif padanya. Seburuk apapun hidupnya, setidaknya ia masih mempunyai orang-orang yang menyayanginya.
Sakura sudah membulatkan tekad, ia harus bangkit dan memulai menata kembali hidupnya. Membenahi satu persatu masalahnya, dan mencari jalan terbaik agar semua berjalan lebih baik dan tak ada lagi hal yang menyakitkan.
xxxxx
Sesosok wanita paruh baya menatap sosok lain yang hampir serupa dengannya―tengah mematut di depan cermin―dari balik celah pintu yang terbuka. Ia membuka pintu itu perlahan.
"Sakura…"
Sosok itu mengalihkan pandangan pada sumber suara yang memanggil namanya. Sakura mendapati sang ibu berdiri diambang pintu kamarnya, tersenyum lembut seperti biasa.
"Ibu… ada apa?"
Sosok yang dipanggil ibu olehnya itu berjalan mendekati Sakura, memasuki ruang kamarnya perlahan lalu duduk di tepi ranjang milik Sakura.
"Kau ingin pergi kemana?"
Sakura mengikuti sang ibu yang duduk di tepi ranjangnya. Menginterupsi kegiatannya yang sedang bersiap-siap untuk pergi ke luar rumah. "Aku akan pergi ke kampus, Bu."
"Kau yakin akan keputusamu?"
"Aku yakin, Bu." jawab Sakura mantap. Tak ada keraguan yang terdengar dari nada bicaranya. "Hari ini aku juga akan memberitahukan tentang hasil pemeriksaanku padanya." sambungnya menjelaskan.
"Apa?"
Raut wajah sang ibu langsung terkejut mendengar kata-kata Sakura. Namun sedetik kemudian nyonya Haruno ini menghela napas berat lalu berujar lirih. "Tapi memang, cepat atau lambat kau harus memberitahunya."
"Aku tidak ingin mengecewakannya. Dia pria yang baik. Aku siap dengan semua konsekuensinya."
Gurat kelelahan nampak tergambar begitu kentara di wajah Sakura. Hari-hari yang dilalui putrinya tidaklah mudah. Nyonya Haruno begitu bahagia melihat putrinya sudah kembali dari keterpurukannya walau sedikit demi sedikit.
"Ya, Ibu mengerti."
Ibundanya mengusap lembut rambut merah jambu putrinya. Tersenyum tulus pada putri satu-satunya. Lalu menggenggam jemari Sakura. Wanita paruh baya ini begitu menyayangi sosok di hadapannya. Ia tahu betul beban yang tengah ditanggung oleh putrinya.
"Ibu bangga padamu. Kau sudah mau mempertahakannya saja ibu sangat bersyukur."
"Tentu. Karena kelak aku juga ingin seperti Ibu, aku… tidak ingin menyesal nantinya." ujar Sakura balas mengenggam jemari ibunya yang menghangatkan sampai ke relung hati.
xxxxx
"Kau ingin keluar?"
"Ya sensei, aku kemari untuk mengundurkan diri."
Tsunade duduk di balik meja kerjanya, wanita paruh baya yang masih terlihat muda itu menyatukan jari-jemarinya untuk menopang dagunya. Mata colat madu Tsunade memperhatikan ekspresi tegas perempuan muda yang duduk persis di depannya.
"Kau yakin?" tanya Tsunade lagi, ia sepertinya masih meragukan keinginan yang diutarakan perempuan cantik berambut pink ini.
"Iya, sensei. Keputusan saya sudah bulat, saya mengundurkan diri dari Kampus ini." jawab perempuan itu begitu tegas, lagi-lagi tak ada keraguan dalam kalimatnya.
"Bisa kau jelaskan alasanmu keluar dan meninggalkan prestasimu di sini," Tsunade masih belum puas dengan jawaban mahasiswinya. Sebab tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba mahasisiwi kesayangannya ini datang menghadapnya dan mengutarakan bahwa ia ingin keluar. Padahal jika di lihat dari sudut akademisi, mahasiswinya ini tergolong mahasiswi berprestasi, mahasiswi kebanggaannya yang selalu meraih prestasi. Dan jika alasan keluarnya karena kekurangan biaya, sudah jelas itu tidak mungkin, karena ia tahu perempuan berumur sembilan belas tahun di depannya ini merupakan putri dari pengusaha terkenel yang sukses. Jadi jelas masalahnya juga bukan dari segi ekonomi.
"Maaf sensei, saya tidak bisa memberi tahu alasannya. Tapi yang jelas saya sangat senang pernah menuntut ilmu di sini."
Tsunade menghela napas panjang, sepertinya percuma saja mempertahankan muridnya ini yang bertekad kuat tetap ingin mengundurkan diri. "Baiklah, aku tidak bisa berbuat apa-apa, jika itu sudah keputusan finalmu."
"Arigatou sensei. Kalau begitu saya permisi." Sakura berdiri lalu membungkuk sopan, kemudian melangkah keluar meninggalkan Tsunade, sang pimpinan fakultas kedokteran di Universitas Konoha.
Sakura berjalan lemas di lorong gedung fakultas kedokteran. Wajah cerianya kini sirna entah kemana tergantikan dengan raut wajah datar dan muram. Ia tak menyangka dirinya akan meninggalkan semua harapan dan cita-citany di sini. Dulu ia menaruh harapan besar di kampus tercintanya. Ia berharap di sini, ia bisa menggapai impiannya kelak, sehingga bisa membanggakan kedua orang tuanya. Namun setelah peristiwa naas itu terjadi, ia harus mengubur semua impiannya dalam-dalam. Melepaskan semua ini memang berat. Tapi ini semua demi keluarganya, ia tidak mau membuat malu kedua orang tuanya. Sebagai putri tunggal keluarga bangsawan ia tidak boleh mencoreng nama baik keluarganya, keluarga Haruno.
"Sakura!"
Sakura menoleh pada suara yang menyerukan namanya. Dilihatnya seorang gadis berambut blonde berlari ke arahnya dengan seorang gadis berambut merah berkacamata. Sakura tersenyum memandang dua gadis yang sudah sejak lama menjadi sahabatnya tengah berlari menuju ke arahnya.
"Sakura apa benar soal itu, maksudku soal umh…" gadis berambut blonde itu mengantungkan kalimatnya, bingung untuk melanjutkannya.
"Ya, aku sudah keluar dari kampus ini, Ino." jawab Sakura cepat, paham kalau sahabatnya ini sungkan untuk mengatakan kalau ia akan keluar.
"Sudah? Maksudmu?" Ino mengernyit menatap Sakura yang menganggukan kepalanya. "Aku tadi baru saja mengundurkan diri, menemui Tsunade-sensei."
"Ta-tapi kenapa Sakura? Kau tentu masih bisa melanjutkan semuanya seperti sebelumnya," timpal gadis tadi yang diketahui bernama Ino atau lebih lengkapnya Yamanaka Ino.
"Ino benar, kau pasti bisa melaluinya tanpa harus keluar dari sini, Sakura." si gadis berkacamata ikut mendukung ucapan Ino.
Sakura tersenyum hambar, memandang ke arah kedua gadis itu. "Tidak, aku tidak bisa. Ino, Karin, aku tahu apa yang harus aku lakukan, aku harap kalian bisa mengerti. Dan terimakasih sudah mau menghawatirkanku,"
Gadis berambut merah―Karin―itu bergerak memeluk Sakura. Ia memeluk erat Sakura seiring sudut matanya mengeluarkan cairan asin yang perlahan mulai membasahi pipinya.
"Kami akan hiks… sangat hiks… merindukanmu, Sakura," ucapnya sesenggukan.
Tersenyum sendu, Ino juga akhirnya bergerak memeluk kedua sahabatnya ini. "Ya kami akan selalu merindukanmu."
Sakura memejamkan matanya, membalas pelukan kedua sahabatnya. Hangat. Itu yang ia rasakan. Sahabat-sahabatnya merupakan sebagian dari orang-orang yang berarti dalam hidupnya yang telah memberinya semangat untuk terus menjalani hidup.
"Sudah-sudah, kalian kenapa jadi melankolis begini. Jangan bersikap seolah-olah kalian tidak bisa bertemu denganku lagi," Sakura melepaskan pelukan mereka.
Karin menghapus genangan air matanya dan berusaha menampilkan cengirannya pada Sakura. "Hehehe kau benar. kalau begitu aku akan sering-sering menjengukmu."
"Aku juga akan sering-sering menemuimu untuk memberitahumu gosip-gosip terhangat di kampus, bagaimana?" disusul dengan Ino yang berujar sambil tersenyum sumringah.
"Kurasa, itu bukan ide yang buruk. Biarpun kalian pasti akan banyak menghabiskan camilanku." balas Sakura seraya tersenyum menanggapi ucapan Ino dan Karin.
Setidaknya sahabat-sahabatnya juga masih setia berada di sisinya. Menghiburnya dan sedikit mengurangi kesedihannya.
"Tapi sebelum kau pergi bagaimana kalau kita sedikit menghabiskan waktu di kantin?" tawar Ino pada kedua sahabatnya. "Kali ini aku yang teraktir. Bagaimana?" lanjutnya lagi.
Sakura dan Karin hanya bertukar pandang lalu sedetik kemudian dengan kompak menganggukan kepalanya dan terseyum ke arah Ino.
Tidak butuh waktu lama mereka sekarang sudah berada di Kantin Universitas Konoha. Duduk di sudut kantin menyisihkan diri dari keramaian kantin yang sesak di penuhi mahasiswa dan mahasisiwi yang tengah sibuk melahap santapan mereka atau hanya sekedar memesan minuman sambil berbincang bersama kawanannya.
Sakura mengaduk jus jeruk yang ia pesan tadi diselingi dengan matanya yang bergerak menelusuri tiap sudut kantin. Salah satu tempat yang mungkin akan ia rindukan kelak.
"Bagaimana rencanamu selanjutnya?" Karin bertanya lalu menenggak minuman yang ia pesan.
"Entahlah tapi ada yang harus aku lakukan setelah ini." jawab Sakura datar.
"Apa itu?" Ino ikut bertanya bergabung dalam perbincangan Karin dan Sakura.
"Sesuatu yang penting. Nanti aku beri tahu, tapi tidak sekarang."
Seorang pelayan datang meghampiri ketiganya membawakan beberapa makanan yang sebelumnya telah mereka pesan. Pelayan itu dengan cekatan meangsurkan makanan-makanan itu di meja Sakura dan kedua sahabatnya.
"Oh, ya! Kau sudah tahu berita soal Gaara? Ku dengar ia sekarang kembali ke Suna." Ino dengan suara nyaringnya sukses mengalihkan perhatian Sakura dan Karin.
"Aku tidak tahu, aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya." Sakura menjawab lirih dengan tatapan kosong matanya tertuju pada meja yang sudah tersaji dengan berbagai makanan yang masih nampak hangat, sedang pikirannya sudah jelas melayang entah kemana.
Karin melotot ke arah Ino, seolah berkata 'lihat apa yang kau katakan'. Karin tahu, membahas soal pria Sabaku itu bukanlah hal yang bagus untuk di perbincangkan di depan Sakura. Mengingat hubungan cinta mereka yang tidak pernah bisa bersatu. Malang bagi Sakura, karena ketika laki-laki yang sudah lama dicintainya menyatakan persaan kepadanya, ia mau tidak mau harus menolak dan mengabaikan perasaanya sendiri demi kebahagiaan orang yang dicintainya.
Dengan canggung Karin berusaha mengalihkan pembicaraanya. "Ah, makanannya lebih baik segera di santap nanti kalau dingin kan tidak enak," ia memamerkan cengirannya berusaha mencairkan suasana.
"Benar juga. Tumben kau pintar, biasanya lambat." Ino dengan tanpa dosa mengabaikan deathglare Karin padanya, meraih sendok lalu segera menyantap makanan.
Dikatakan seperti itu Karin mendelik menatap Ino. "Bukankah kau lebih lambat dariku. Setahuku kau hanya pintar mendandani wajah."
"Uhuk! Hei! Enak saja, aku lebih pintar darimu mata empat." sahut Ino tidak terima dikatakan 'lebih lambat' oleh Karin.
Karin dan Ino memulai pertengkaran sengit mereka yang tidak penting. Dan seperti biasa Sakura akan melerai dua orang berisik yang tidak akan mau mengalah satu sama lain ini. Kemudian setelahnya, mereka sudah tertawa lepas dan memulai kembali perbincangan hangat yang diselingi tawa renyah ketiganya. Namun satu hal yang pasti untuk Sakura, saat-saat seperti ini juga sudah barang tentu akan ia rindukan nantinya.
Terlintas satu pertanyaan yang sebenarnya sudah sedari tadi ingin Karin tanyakan pada Sakura. Saat kembali melintas di otaknya Karin buru-buru bertanya. "Umh.. kalau dengan hasil pemeriksaanmu kemarin, bagaimana?"
Sakura terlihat sedikit menegang saat Karin bertanya prihal pemeriksaan yang dilakukannya kemarin di rumah sakit. Setelah beberapa hari ia merasa dirinya tidak merasa baik-baik saja, ia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter.
"Aku… positif."
Karin dan Ino membelalakan matanya. Jika saja mereka berdua sedang makan atau minum mungkin mereka sudah tersedak mendengar jawaban Sakura. Karin menutup mulutnya menatap tak percaya Sakura, sedangkan Ino, matanya sudah berkilat marah.
"Berengsek! Ini benar-benar keterlaluan!" Ino mengumpat dengan sedikit menggebrak meja, menumpahkan emosinya.
Karin menatap sendu sahabatnya yang tidak dapat menyembunyikan ekspresi tertekan karena beban berat yang menimpanya. "Sakura… apa tidak sebaiknya kau mencari tahu lagi―"
"Tidak." potong Sakura cepat. "Aku tidak mau mengingat atau mengetahui apapun yang berkaitan dengan itu semua."
"Tapi manusia biadab itu harus mendapat hukuman yang setimpal, Sakura!" Ino segera menyahut ucapan Sakura.
"Aku tahu. Tapi lebih baik… aku tidak tahu sama sekali dan berharap Tuhan yang menghukumnya."
Kebisuan menyelimuti diantara ketiganya. Keriuhan suasana kantin tidak dapat mengusir pikiran masing-masing ketiga perempuan ini yang berputar pada persepsinya masing-masing. Tapi dengan kata-kata yang baru saja Sakura katakan keduanya paham kalau Sakura tidak ingin kembali membuka ruang untuk memori buruk yang berusah diredamnya. Walau ia tidak mungkin kembali seperti Sakura yang dulu lagi, tapi kedua perempuan ini begitu salut pada wanita setegar sahabatnya yang masih mampu menutupi diri dengan topeng tegarnya setelah mendapati semua kenyataan yang bisa saja membuat sebagian orang―yang mengalaminya―yang tidak kuat mental menjadi gila.
Sesama perempuan mereka sadar, jika hati perempuan lebih sensitif daripada laki-laki. Mak dari itu sebaiknya mereka tidak perlu lagi menyinggung hal yang memang lebih baik tidak perlu diperdebatkan untuk saat ini.
xxxxx
Gaara menatap sendu sebuah pigura yang menampilkan foto dirinya bersama seorang gadis berambut merah jambu yang tergerai indah hingga sebatas punggung. Wajah ia dan gadis di sebelahnya terlihat bahagia di foto itu. Berbeda dengan kenyataan yang sekarang harus diterimanya saat ini. Ia harus menelan kekecewaan setelah gadis pujaannya―yang sudah lama berteman dengannya―menolak cintanya.
Bisikan-bisikan kabar yang berkumandang di telinganya mengatakan bahwa gadis yang dicintainya memiliki perasaan yang sama dengannya. Bahkan sahabat gadis itu sendiri mengatakan bahwa gadis itu juga mencintainya. Hatinya tak dapat dipungkiri merasa bahagia. Berharap kisah cintanya akan berjalan mulus.
Namun setelah keberaniannya sudah terkumpul untuk meminta gadis itu menjalin hubungan yang lebih konkrit dengannya. Hubungan yang lebih dari sekedar teman―yang sudah dijalin bertahun-tahun lamanya. Gaara menerima kenyataan pahit yang keluar dari bibir gadis itu langsung bahwa ia tidak memilik perasaan yang sama dengannya dan tidak bisa menerima tawarannya untuk menjalin hubungan yang lebih lagi.
Gadis itu, Sakura, adalah gadis yang sudah sejak lama menarik perhatiannya sekaligus gadis yang telah membuat harapannya pupus sudah. Sakura juga begitu memperhatikannya, sehingga mungkin saja selama ini ia telah menyalahartikan perhatian gadis itu padanya.
"Gaara, ayah sudah menunggumu di bawah."
Suara seseorang memecahkan lamunannya.
"Ya, aku akan segera kesana."
Gaara meletakan pigura yang sempat dipegagnnya beberapa saat lalu. Menaruhnya kembali di meja yang berada sisi ranjang kamarnya. Ia berbalik berniat menemui ayahnya yang sudah menunggunya seperti yang dikatakan orang yang saat ini masih berdiri di pintu masuk kamarnya.
"Berhentilah memikirkan gadis itu,"
Gaara menghentikan langkahnya sejenak tepat di samping orang yang sejak kecil ia sebut kakak. Mencerna ucapannya. Namun tanpa tanpa kata-kata balasan Gaara memutuskan melangkah meninggalkan kakaknya yang masih berdiri menatap punggungnya yang semakin menjauh.
xxxxx
Setelah meninggalkan kampus tercintanya yang sudah benar-benar ia tinggalkan, Sakura segera menuju sebuah café yang berada tepat di pusat kota, untuk menemui seseorang. Ia mengeratkan mantelnya karena udara yang kian mendingin di musim gugur. Kaki jenjangnya terus melangkah melewati deretan pertokoan dan beberapa restoran yang berjejer di pinggiran jalan kota Konoha. Butuh waktu hampir satu jam untuknya sampai di tempat tujuan. Saat ini ia tengah berdiri di sebuah café bergaya eropa yang di sebutkan oleh orang yang akan ia temui saat ia membuat janji bertemu dengan orang itu. Ketika langkahnya sudah memasuki café Sakura dengan segera mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru café, mencari orang yang sudah berjanji untuk bertemu dengannya di tempat ini. Akhirnya pandangannya jatuh pada meja di sudut café yang menghadap langsung kearah jendela yang menampilakan lalu-lalang jalanan.
"Maaf membuatmu menunggu," ujar Sakura pada sesosok pria berambut sekelam jelaga yang duduk di meja yang ia hampiri. Sorot matanya tajam mengawasi setiap pergerakan Sakura.
"Hn, tak apa."
Sakura menarik kursi di hadapan pria itu dan mendudukkan dirinya. "Kau sudah memesan makanan?"
"Belum, aku menunggumu saja," jawab pria itu datar, wajahnya tak menampakan ekspresi yang berarti.
Sakura tersenyum. Pria yang lebih tua beberapa tahun darinya ini, selalu saja bersabar menunggunya, apapun itu. "Padahal kau bisa langsung memesannya tanpa harus menungguku terlebih dahulu, Sasuke."
Sakura segera melambai pada pelayan yang siap bertugas melayani para tamu. Dengan sigap pelayan itu menghampiri meja Sakura.
"Silakan Nona, ingin pesan apa?" tanya si pelayan sopan sambil bersiap mencatat pesanan.
"Aku pesan jus strawberry dan lasagna," jawab Sakura pada pelayan itu, matanya lalu mengarah pada Sasuke. Mengerti akan hal itu Sasuke segera buka suara."Aku sama denganmu. Tapi minumannya jus tomat."
Sakura mengangguk paham. "Kalau begitu aku pesan lasagna dua, jus strawberry satu, dan satu jus tomat." terangnya pada si pelayan yang langsung mencatat di buku catatannya.
Setelah sebelumnya mengulang kembali ucapan Sakura, si pelayan mengatakan kalau pesanan akan segera diantar lima belas menit lagi. Dan ia memohon untuk kesedian menunggu, lalu kembali ke tempatnya semula.
"Bagaimana di kampus?" tanya Sasuke, sosok yang sejak tadi menunggu Sakura.
Sakura menatap kerah Sasuke sesaat lalu mengalihkan pandangannya pada jalanan yang terpampang di balik jendela kaca. "Semua berjalan dengan lancar, aku sudah mengatakan pada Tsunade-sensei."
"Hn, syukurlah."
Hening beberapa saat.
Sakura kembali menatap Sasuke. Pandangannya kali ini tersirat begitu serius. Ia menatap intens pria yang begitu tampan dan terkesan dingin di sebrang tempat duduknya. Jika orang lain yang sama sekali belum mengenal Uchiha Sasuke sudah jelas akan berpikir pria ini adalah pria tampan yang angkuh dan sombong. Begitulah pandangan orang-orang pada umumnya, hanya melihat sesuatu dari tampilan luarnya saja. Tapi kenyataanya Sasuke adalah pria baik hati yang sangat peduli pada orang-orang di sekitarnya. Walaupun Sakura juga tidak menepis fakta Sasuke memang pribadi yang dingin dan angkuh. Tapi setiap orang punya caranya sendiri untuk menunjukan sisi positifnya.
"Sasuke,"
"Hn?"
"Kau sudah tahu kan mengapa aku memintamu kemari?" menutupi kegugupannya sendiri. Sakura memilih untuk bertanya meyakinkan Sasuke.
"Ya, dan aku sudah siap mendengarkannya." sahut Sasuke yang juga menatap balik mata emerald Sakura.
Sakura mengambil jeda sejenak untuk menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia harus menyiapkan segumpal keberanian untuk datang ketempat ini bertemu dengan pria yang bersamanya saat ini dan yang terpenting membicarakan masalah yang sangat serius antara dirinya dan pria ini. "Aku akan memberi tahu suatu kenyataan yang jauh lebih buruk dari apa yang kau tahu selama ini. Jadi, setelah ini aku siap jika kau akan menjauhiku, mengangapku hina, atau bahkan tidak mau mengenalku la―"
"Bisa langsung kau beri tahu saja semuanya? Jangan mempersepsikan sesuatu yang belum pasti." potong Sasuke cepat. Ia terlihat tidak suka saat Sakura mulai mengeluarkan pendapat sepihak.
Mata Sakura lagi dialihkannya pada pemandangan di balik jendela. Ia tidak sanggup menatap pria yang duduk berdampingan dengannya.
"Kemarin aku sudah mengambil hasil tesku di Rumah Sakit," Sakura menjeda kalimatnya berusaha menguatkan diri agar tidak terbawa emosi. "Dan hasilnya―"
Sasuke menajamkan pendengarannya.
"―aku… positif hamil."
Sakura tak sanggup lagi, ia memalingkan wajahnya untuk menyembunyikannya yang sudah tak kuasa menahan tangis. Matanya yang mulai memburam, tergenang kandungan air yang memaksa keluar menuruni pipi mulusnya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap tenang, tapi sulit baginya membendung rasa sesak di dada. Sepahit apapun itu ia harus siap menerima semuanya. Ia sudah pernah mengalami hal buruk sebelumnya, jadi jika ia harus mendapatkan lagi hal yang menyakitkan ia sudah siap. Lagipula jika tanggapan menyakitkan yang akan diterimanya, ia rela. Demi kebaikan orang di hadapannya ini.
"Keputusanku sudah bulat. Aku tetap akan menikahimu."
Sakura tersentak dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Sasuke. Matanya membulat sempurna memandang pria tak berekspresi dan dingin di depannya. Rasanya pendengarannya tidak bermasalah, tapi mengapa ia masih tidak percaya Sasuke berujar seperti itu.
"Kau… apa kau sadar dengan ucapanmu, Sasuke?"
"Hn, aku tidak akan mengubah keputusanku."
Wajah Sasuke tetap terlihat datar walaupun Sakura sempat menangkap raut keterkejutan di wajahnya.
"Tapi aku… aku tidak ingin kau menyesal di kemudian hari, kau masih bisa membatalkannya, Sasuke,"
Di dalam hati Sakura ada sebongkah perasaan bahagia ketika Sasuke tetap berpendirian teguh ingin menikahinya, namun di sudut hatinya ada perasaan lain yang menyadarkan ia bahwa ia tidak bisa melibatkan Sasuke dalam kehidupannya yang pelik. Cukup dirinya saja yang menghadapi semuanya. Ia tahu Sasuke adalah pria baik hati yang tulus mencintainya. Biarpun Sakura belum lama mengenal Sasuke, tapi pria itu dengan sungguh-sungguh mengutarakan perasaannya yang tulus dan bersungguh-sungguh untuk membahagiakannya. Karena itu ia tidak mau mengecewakannya. Sasuke tidak pantas mendapatkan perempuan seperti dirinya.
"Kenapa?" kata-kata itu yang keluar dari bibirnya diiringi isak tangisnya yang akhirnya pecah.
Sasuke memandang lembut Sakura. Tangannya terulur meyentuh pipi halus Sakura dan menghapus jejak tangis Sakura dengan ibu jarinya.
"Aku tidak perduli bagaimanapun dirimu. Karena, aku sungguh mencintaimu."
.
.
TBC
.
.
Omg! Tulisan apa ini?#guling"
Saya gag tahu kenapa malah bikin fic baru yang abal bin gaje kayak gini. Rate M dan multichapter pula, hadeuh! Saya cuma coba numpahin ide gila saya di fic ini yang mudah-mudahan dapet respon positif#ngarep.
Saya pengen buat cerita yang sedikit bergenre hurt dan angst, apa berhasil? saya juga gag tahu. Rencananya mungkin nanti saya juga ingin kasih flash back gimana tuh SasuSaku bisa ketemu di chap depan. Tapi semua itu, tergantung review dari para readers sekalian yang sudi singgah kemari. Kalau responsnya negatif saya akan langsung hapus fic ini.
Maka dari itu buat readers sekalian yang tampan" dan cantik" saya harap reviewnya yaaa… give me some clue for this fic, would be kept or delete?
So RnrR pleaseee^^.
