Di Penghujung Batas, a fanfiction
Ditulis oleh kuroakane
Hetalia: Axis Powers © Hidekaz Himaruya
Warning: Human Names / AU / OOC / Germancest / GerBel / Historical Fic
1
Jerman Barat, Januari 1975
Gumpalan salju yang turun dari langit menghiasi malam itu. Tidak banyak tanda kehidupan, kecuali tentara-tentara muda yang menjaga jarak masing-masingnya serenggang sepuluh meter, berdiri kelelahan hampir bersandar di tembok besar Berlin.
"Beilschmidt!"
Pria bertubuh besar dengan rambut pirang disisir ke belakang itu menoleh. Tatapan mata birunya yang tajam seakan menusuk lawan bicaranya. Tidak, tidak. Ludwig tidak bermaksud begitu. Hanya saja, ia tidak bisa mengatur bagaimana ia harus menatap orang lain dengan matanya. Karena itu, ia jadi terkenal sebagai prajurit dengan tampang tergalak di antara teman-temannya.
"Ja?" Ludwig menjawab singkat dengan suaranya yang rendah dan berat. Rekannya mendengus pelan, tidak tahan menatap mata biru milik Ludwig yang seorang Aryan. "Ah, untung saja kau tidak punya kumis persegi, Beilschmidt…"
Sekarang, Ludwig memutar bola matanya. "Oh, Edelstein, tolonglah."
"Bercanda. Sudah pukul 9 malam. Kau pulanglah. Biar aku yang menggantikanmu."
"Oh, Puji Tuhan."
Ludwig menyerahkan senapannya ke Roderich. Tubuhnya begitu lelah karena telah berjaga seharian di tembok yang tidak jelas itu, sambil berharap suatu saat tembok itu akan runtuh.
Kakinya berjalan beberapa langkah sebelum ia berbalik dan berteriak pada Roderich dari jarak sepuluh meter: "Hei, jangan lupa beli celana baru!"
Lalu Roderich menyinyir masam. Padahal, Ludwig hanya ingin membuktikan bahwa sebenarnya jauh di dalam sana, hatinya sangatlah lembut.
Ludwig menatapi sebuah foto. Hanya foto hitam putih yang ia dapatkan sewaktu membongkar-bongkar gudang rumah ibunya dua minggu lalu guna mencari senapan peninggalan ayahnya. Senapan tua keparat itu tidak ketemu, malahan foto penuh misteri yang sekarang memenuhi benaknya dan membuatnya acak-acakan.
Pria tiga puluh empat tahun itu duduk di samping tungku musim dinginnya. Matanya tak dapat berpaling dari foto sialan itu—yang hanya berisikan sebuah keluarga muda berfoto di tengah hiruk pikuk kota Berlin. Di ujung kanan foto itu, tertulis "18-01-1945".
Ludwig Beilschmidt mengernyitkan dahinya. Lagi-lagi, ia menatapi bocah lelaki itu. Seseorang yang nampak samar-samar ia ketahui di dalam ingatannya, seseorang yang sangat berharga.
Ya. Itu adalah kakaknya yang mati 28 tahun silam. Tiga setengah windu sesungguhnya cukup untuk sekadar melupakan seorang saudara yang telah mati, namun tidak bagi Ludwig. Di lubuk hatinya, ia berharap… Setidaknya kakaknya itu masih bernafas.
Berbagai skenario masa lalu berlalu-lalang di otaknya. Mulai dari bermain petak umpet bersama kakaknya, ketakutan di malam halloween, menunggu Sinterklas di malam natal… Semua kenangan manis itu terngiang olehnya, dan malah membuatnya sakit kepala.
"Meine Liebe, aku membuatkan secangkir teh hangat untukmu," ujar Emma, istrinya.
Malam musim dingin itu begitu mencekat jiwa Ludwig.
"Danke."
Rasanya ia ingin menumpahkan seluruh isi cangkir itu ke kepalanya.
"Aku tidur duluan, Ja?"
Sekarang tangisannya ingin meledak.
"Ja, tidurlah. Sudah malam."
Tetapi ia tak ingin menangis di depan istrinya.
"Selamat tidur."
Tiba-tiba, ia mencengkeram lengan istrinya yang hendak pergi.
"Jangan tinggalkan aku. Kumohon."
Istrinya berbalik dan berbisik lembut,
"Aku akan selalu ada untukmu."
Merekapun menghabisi malam berselimutkan pelukan, di samping hangat bara api dan di tengah-tengah dinginnya hujan salju.
Hari itu hari Minggu, Ludwig tidak usah berepot-repot berjaga di sepanjang tembok tidak jelas itu. Jadi, ia cukup berdiam diri di rumahnya yang hangat.
Ya, walau hanya ada dua orang di rumah itu, mereka merasa sangat nyaman.
"Meine Liebe," panggil Emma pada suaminya.
"Aku… Aku…" bibir Emma bergetar nampak tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
"Apa yang terjadi, Liebe?" Wajah Ludwig penuh tanda tanya.
"A… Ah, kemarin brüder menghubungiku. Katanya, ia ingin bertemu denganmu."
Ludwig sedikit terkejut. Tak biasanya kakak iparnya itu mau bertemu dengannya. Hubungan mereka bisa dikatakan tak begitu baik, mengingat hubungan mereka berdua dengan semua orang juga tak begitu baik.
"Ada masalah apa dia ingin menemuiku?" tanya Ludwig pada Emma. Wanita dua puluh delapan tahun itu terdiam... Mungkin, sedang memikirkan jawaban untuk dilontarkan pada suaminya yang penasaran.
"Tidak... Ia tidak bilang apa-apa padaku selain ingin bertemu denganmu, "
"Begitu?"
"Ya..."
"Kapan ia ingin menemuiku?"
"Besok…"
Ludwig berbalik, lalu berkata: "Baiklah."
Emma mencegah suaminya untuk pergi. "Kita… Akan punya anak, meine Liebe."
Mata Ludwig terbelalak. "Ma… Maksudmu…?" ucapnya, lalu menatap mata Emma dalam-dalam. "Ya, aku hamil. Lima hari yang lalu aku diajak Elizaveta ke ginekolog, katanya hanya ingin memastikan… Namun ternyata, aku sudah mengandung selama dua minggu terakhir."
Sebuah senyuman samar terpancar dari wajah muram Ludwig. "Sungguh? Kenapa kau tak memberitahuku dari kemarin?"
Pria itu memeluk Emma dengan hangat.
"Bukannya kenapa-kenapa… Aku hanya takut mengganggu pekerjaanmu, meine Liebe," kata Emma yang melingkarkan lengannya pada tengkuk Ludwig.
"Kau tahu? Aku sangat senang, rumah ini akan dipenuhi sambutan hangat anak kecil ketika aku pulang dari tembok," ucap Ludwig senang.
"Terima kasih, sayang."
"Tidak, tidak. Akulah yang harusnya berterimakasih padamu, Emma."
Mereka berdua mengeratkan pelukan masing-masing. Tidak ada suara lagi terucap dari mulut mereka berdua. Hanya kebahagiaan yang sekarang membungkus mereka berdua.
Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari pintu utama. Ludwig perlahan melepaskan dekapannya dari Emma.
Emma bertanya-tanya, "siapa yang datang pagi-pagi hari Minggu begini? Mengganggu saja."
"Ah, palingan misionaris-misionaris jualan agama," jawab Ludwig yang sebenarnya hanya menduga-duga. Ia berjalan ke arah pintu, memutar kunci, lalu membuka pintunya.
Ternyata dugaannya sama sekali salah.
To Be Continued
Privyet! Saya kuroakane, author fanfic yang masih pemula hehehehew. Sebenernya jarang bikin fanfic, tapi sekalinya bikin, biasanya… discontinued.
Y h a.
(DOAIN AJA FANFIC INI BISA COMPLETED YA)
(SAYA MOHON)
(DENGAN SANGAT)
Untuk kali ini, saya membuat fanfic yang agak sensitif karena topiknya mostly sejarah dan politik. Bias politik saya ke kiri (sebenernya kalian peduli nggak sih sama yang kayak gini-gini) jadi kalau ada yang merasa offended karena konten fanfic ini, saya mohon maaf. Atau mungkin ada historical stuff yang kurang tepat mohon dibenarkan di kolom review.
(Sebenernya modus supaya ada yang nge-review. hehehehe.)
Btw, makasih banyak buat my lovely emak Miyucchi sang Cappuccino, teman sebangku yang selalu mendengarkan bacotan saya di kala menulis fanfic di sekolah :'D
(Ketauan banget dua anak ini suka nyolong-nyolong main laptop pas jam pelajaran)
Sekian pesan-pesan dari saya, terima kasih sudah membaca!
Laff laff laff laff laff
-kuroakane yang sedang merana karena menatapi nasib jomblonya
