Kapal pesiar dengan ukuran cukup besar —meski tidak sebesar kapal Titanic — berdiri gagah di pelabuhan. Manik biru muda hanya mengamati beberapa orang yang mulai menapaki gangway. Dirinya masih terpaku, dan mungkin beberapa orang tak menyadari keberadaan dirinya yang sejak tadi terlewati begitu saja.
Handle travel bag ukuran sedang digenggam erat. Dirinya belum memiliki niat untuk mengikuti jejak yang lainnya.
"Bisakah kau menyingkir dan tidak menghalangi jalanku?" tubuhnya sempat tersentak pelan meski hanya sepersekian detik. Dirinya tak menyangka, akan ada seseorang yang menyadari keberadaannya. Mengingat hawa keberadaannya yang setipis benang.
Berbalik, pemuda dengan helaian serupa samudera di depannya sedikit menggeser tubuh setelah mengucapkan, "Maaf."
Pria dengan helaian scarlet yang tadi menegurnya hanya mendengus kemudian berjalan melewatinya. "Menghalangi jalan saja." ujarnya pelan, namun masih tertangkap pendengaran si biru.
Si pemilik permata biru yang bernama Kuroko Tetsuya itu menghela napas. Mengambil langkah dan mengikuti jejak si merah sebelumnya.
Tiga hari ke depan, dirinya akan berada di tengah lautan dengan takdir yang tidak akan pernah diduganya —menanti.
.
.
.
3 Days
Original story © NoVizH19
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
AkaKuro slight MayuAka, HayaMomo
Drama, Romance, Hurt/Comfort
Rate M for save
Warning; Titanic!AU (maybe), MalexMale, straight, rich!Hayama, boku!Akashi, OOC, Typo(s), etc.
Happy AkaKuro week ^^
#Challenge4Us #siucchi
.
.
.
Bagian depan kapal sudah dihias sedemikian rupa. Dekorasi serba putih yang dihiasi berbagai bunga warna-warni. Kursi-kursi ditata rapi, dihias kain putih yang menutupi.
Beberapa orang mengenakan pakaian terbaik mereka, sudah menduduki kursi yang disiapkan. Termasuk dirinya yang memilih duduk di kursi paling belakang. Namun tatapannya lurus tertuju ke depan sana. Dimana terdapat dua orang yang tengah mengucap janji sehidup semati di depan pendeta.
Dirinya mengulas senyum tipis, ikut berbahagia atas penyatuan dua belah pihak. Biru muda yang serupa dengan hamparan laut di sekelilingnya tak pernah lepas dari merah muda yang menguarkan kebahagiaan. Sahabatnya yang kini resmi menyandang nama Hayama di belakang namanya.
Semua orang bersorak, ketika pasangan merah muda dan kuning di depan altar saling mencumbu bibir. Sebagai tanda jika mereka resmi telah saling memiliki.
.
.
.
Pesta sudah di mulai, semua berbaur memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Setelahnya mulai menikmati pesta dengan berdansa atau sekedar mencicipi jamuan yang disediakan. Membentuk kelompok kecil dan mengobrol dengan topik tertentu.
Kuroko baru akan mengucapkan selamat pada sang sahabat yang mengundang. Namun dirinya harus terjebak dengan kelompok kecil yang merupakan para sahabat terdekat suami si merah jambu. Saling bercengkerama dengan berbagai macam topik.
Kuroko hanya menjadi pendengar setia, dirinya bahkan tidak yakin jika yang lain menyadari keberadaannya di sana. Mengingat eksistensinya yang sering terabaikan. Sesekali mengobrol dengan Momoi Satsuki yang sudah berganti nama menjadi Hayama Satsuki.
"Aku tidak melihat Akashi semenjak datang dan di pemberkatan pernikahan kalian." pemuda jangkung dengan helaian kelabu —yang Kuroko ketahui bernama Mayuzumi Chihiro— berujar dengan pandangan menyusuri ruangan pesta.
"Mayuzumi-san benar." pemuda lain dengan helaian raven sebahu menimpali. Ikut mengedarkan pandang ke penjuru. Sementara pemuda bertubuh besar dan kekar hanya menggumam dengan mulut yang penuh makanan.
Lelaki kemayu mengernyit jijik, melihat kelakuan rekan setim klub Basket di SMA dulu yang tak bisa berhenti makan. "Apa hanya makanan yang ada di otak bebalmu itu, Nebuya?" tanyanya menyerupai sebuah ejekan.
Nebuya mengangkat bahu tak peduli, melanjutkan makannya yang dihadiahi rotasian mata dari semua orang di sana.
"Gawat." si pirang berujar tiba-tiba. Kening yang tak bersalah ditepuk keras olehnya.
"Ada apa, Kotarou-kun?" sang istri yang berdiri di sebelahnya melemparkan tanya, mewakili kepala lain yang sama penasarannya.
"Aku lupa jika sudah tidak ada kabin yang tersisa."
Semua mata kini tertuju kepadanya, mengucapkan prihatin melalui tatapan.
"Jangan melihatku seperti itu!" Kotarou mendengus, memiliki teman tapi tak dapat membantu sama sekali. "Sekarang aku harus bagaimana menghadapi Akashi?"
"Kenapa kau harus menghadapiku, Kotarou?" emerald Kotarou membola, saat suara yang amat dikenalnya menyapa.
Meneguk salivanya sendiri susah payah, kepala pirangnya menoleh patah-patah. Tatapannya berubah semakin horor.
"A-Akashi." ucapnya terbata.
Akashi menaikan sebelah alis merahnya, bertanya melalui tatapan.
"E-etto ...," jari telunjuk menggaruk pipi untuk mengurangi gugup. "Sebenarnya ...," kalimatnya kembali terpotong. Tatapannya menjelajah menatap para sahabat —meminta bantuan. Namun yang ditatap mengalihkan pandangan, menolak untuk terlibat masalah.
Jahat.
Tatapannya kini tertuju pada sang istri, meminta sedikit dukungan yang langsung diberikan sepasang magenta kesukaannya. Tangan kecil wanita itu bahkan sudah menggenggam lembut tangannya. Menyalurkan dukungan lain melalui sentuhan.
Menghela napas. Iris emerald kini memberanikan diri menatap heterokrom di depannya. "Sudah tidak ada lagi kabin yang tersisa untukmu, Akashi," merah-emas menajam, emerald kembali menciut.
"Aku tidak mungkin kembali ke Kyoto saat kapal ini sudah berada di tengah laut, kan?" Kotarou menggelengkan kepala. "Atau kau ingin memutar kembali kapal ini ke Pelabuhan?"
Kotarou kembali menggeleng lebih cepat. "Kita bisa mencari solusinya, Akashi-kun." kali ini suara feminim yang menyahut. Disambut anggukan kepala dari beberapa orang.
Hening menjeda kemudian.
"Jadi?" pertanyaan itu sarat menuntut jawaban. Lima pasang mata saling pandang, menghindari heterokrom yang masih menuntut respon.
"Kenapa Akashi tidak satu kamar saja dengan Mayuzumi-san?" pertanyaan lainnya terlontar tanpa beban dari makhluk bertubuh besar. Disambut dua pasang mata yang melotot horor.
"TIDAK!" si pirang dan lelaki kemayu berseru heboh. Si tubuh kekar yang sering dijuluki gorila tersentak kaget hampir terjengkang. Mengolah kembali pertanyaan yang belum lama ia lontarkan. Menerka-nerka jika ada yang salah dengan pertanyaannya.
Nihil.
Si gorila —atau sebut saja Nebuya Eikichi— tak menemukan hal ganjil dari pertanyaan yang sebelumnya. Lalu apa yang membuat dua teman bertitel uncrowned kings itu berteriak dengan hebohnya?
Dua orang yang menjadi objek hanya melemparkan tatapan datar. Sudah terbiasa dengan kehebohan yang sering dibuat rekan satu tim basket semasa SMA.
"Kenapa?" pertanyaan polos kembali dilontarkan si gorila—Nebuya. Kedua alis bertaut. Menatap ekspresi teman sejawatnya yang berubah horor menatap ke arahnya. Seolah dirinya merupakan penampakan hantu paling menyeramkan.
"I-itu—" kalimat si pirang terputus hanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Tatapannya gusar. Melirik si jangkung kelabu melalui sudut mata. Tak berani menatap langsung bola mata yang terasa menghujam. Tatapan yang menjanjikan kesengsaraan dalam hidup.
Hey. Dia baru saja menikah dan baru menikmati rasanya memiliki pedamping hidup. Malam pertama saja belum, dia juga ingin merasakan kenikmatan surga dunia yang didambakan banyak orang. Karenanya ia tidak mau menjadi sasaran empuk pelampiasan sang senpai beraura suram itu.
"Itu akan jauh lebih buruk lagi, Nebuya." Mibuchi Reo melanjutkan, mewakili Hayama Kotaro yang seperti kehilangan kata-kata. Hayama mengangguk cepat membenarkan. Dalam hati memuja lelaki kemayu yang dia anggap sebagai penyelamat hidupnya.
Hiperbolis.
Tapi semua itu sah-sah saja bagi lelaki bergigi gingsul itu.
Yang diberi jawaban mengernyitkan dahi —masih belum mengerti. Kemudian mengangkat bahu memilih tak peduli.
Dua objek yang dimaksud mendengus.
Sementara dua orang lainnya hanya menatap tak mengerti. Seolah mereka berada di tempat yang teramat asing, dengan kelima orang di hadapan mereka sebagai alien.
Hening menjeda cukup lama. Kelompok kecil yang berkumpul di antara tamu lain —yang masih menikmati pesta— berkutat dalam pikiran masing-masing. Memecah solusi pembagian kabin untuk sang emperor si tamu agung yang terlupakan si tuan hajat.
"Kalian benar," Akashi kembali bersuara. Tatapannya tertuju pada sang mantan senpai di jaman SMA. "Akan lebih berbahaya jika aku tidur satu kamar dengan Chihiro." seringai ikut bertengger di wajahnya saat berhasil menemukan perubahan mimik di wajah yang jarang tersentuh ekspresi.
Semua mata dalam kelompok kecil itu tertuju pada dua orang yang bertarung sengit melalui tatapan. Percikan listrik imajiner terlihat dari dua pasang mata yang saling menghunus satu sama lain.
"Bilang saja kalau kau terlalu pengecut untuk menghadapiku saat kita hanya berdua dalam satu ruangan." seringai berpindah pada sosok jangkung kelabu. Terlebih lagi saat heterokromia di depannya semakin menajam, seolah mampu menyayat tubuh menjadi cacahan terkecil.
"Tarik kembali kata-katamu itu, Chihiro," tatapan yang mampu membuat semua lawan bertekuk lutut, sama sekali tidak berpengaruh bagi seorang Mayuzumi Chihiro. Alih-alih terintimidasi, Mayuzumi melebarkan seringai. "Atau aku akan membungkam mulutmu sekarang juga." ancaman dicetuskan. Sementara sang objek tak merasa gentar. Semakin tertarik untuk menggoda sang kouhai kesayangan.
"Dengan senang hati, Sei-chan," Mayuzumi masih menyulut api, masih enggan melakukan genjatan senjata. Dirinya terhibur oleh heterokromia yang berkilat-kilat penuh bara. "Kau boleh membungkam mulutku dengan mulutmu."
"Kau..." tersulut. Kerah jas abu-abu yang dikenakan si jangkung ditarik kasar. Jarak wajah keduanya kian menipis. Namun masih aman untuk saling menyentuh. Kedua pasang mata saling menghunus satu sama lain. Sama-sama enggan untuk mengaku kalah.
Udara di sekitar mereka terasa memberat. Beberapa orang dalam kumpulan kecil itu tanpa sadar menahan napas.
"Tetsu-kun," satu-satunya wanita dalam kelompok bersuara. Semua mata langsung tertuju pada wanita bergaun putih khas pengantin. Menjadi pusat perhatian memang sangat menyenangkan kecuali kau berada dalam situasi seperti saat ini. Dan hal itu yang harus Momoi Satsuki sang mempelai pengantin wanita rasakan saat ini.
Gugup membuat senyumnya tak melengkung sempurna.
Sadar kegugupan melanda sang istri yang baru ia nikahi beberapa jam yang lalu, punggung yang terbuka karena model gaun pengantin yang dikenakan diberi sapuan lembut. Mencoba menghilangkan kegugupan sang istri dengan menyalurkan dukungan berupa tindakan kecil. Senyum lembut dilengkungkan untuk Momoi Satsuki yang sudah berganti nama menjadi Hayama Satsuki. Bukan senyuman konyol atau apapun yang sering Hayama Kotaro sematkan.
Sapuan di punggung membuat iris magenta berpaling. Menatap Hayama yang juga tengah menatapnya disertai senyuman yang menghias wajahnya. Membuat Satsuki tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Mengucapkan terima kasih melalui tatapan.
Magenta kembali mengalihkan pandang. Menatap sosok biru muda yang sejak tadi terabaikan.
"Tetsu-kun," Satsuki menatap penuh harap. Sosok biru yang diketahui bernama Kuroko Tetsuya menahan diri untuk menghela napas. Tahu apa yang hendak diucapkan sang sahabat merah jambunya. "Tetsu-kun mau, kan, satu kamar dengan Akashi-kun?"
Kuroko Tetsuya terlalu lemah untuk menolak permintaan seorang perempuan. Karena selalu teringat petuah sang ibu untuk tidak membuat seorang wanita bersedih.
Menghela napas. Apa boleh buat.
Keputusan meski enggan harus diambilnya.
"Baiklah, Momoi-san, aku tidak keberatan berbagi kamar dengan Akashi-san." berujar datar. Bola biru bergulir, menatap datar dua orang yang masih bersitegang beradu tatapan.
Satsuki terpekik pelan, sisanya menghela napas lega — kecuali Nebuya yang memilih tidak peduli sedari awal. Dua orang yang hampir beradu jotos pun menghentikan perlawanan. Menoleh untuk menatap sosok biru yang bergeming di tempatnya.
Helaan napas keluar dari bibir Akashi. Tangan yang menyandera kerah jas Mayuzumi sudah melepaskan tawanan.
"Aku rasa itu jauh lebih baik dari pada harus satu kamar dengan Chihiro senpai." memberikan penekanan pada panggilan khas yang disematkan.
Mayuzumi menyadari jika Akashi masih enggan mengaku kalah. Namun dirinya enggan menyahuti karena tahu jika melayani seorang Akashi tidak akan pernah menemukan ujung. Dan Mayuzumi terlalu lelah untuk berdebat dengan sang emperor yang absolut itu.
"Baiklah," sang tuan hajat berseru girang sambil menepuk tangannya sekali. Meminta seluruh atensi kelompok untuk tertuju kepadanya. "Karena sudah tidak ada masalah mengenai pembagian kamar—" satu persatu wajah dalam kelompok kecil ditatap. "Mari kita lanjutkan pestanya, kawan-kawan."
Semua kepala mengangguk kecuali dua orang yang sempat bersitegang.
Akashi berbalik mengambil langkah, sebelum sebuah suara menginterupsi langkahnya.
"Sei-chan mau kemana?" pertanyaan itu meluncur dari sosok jangkung kemayu. Punggung Akashi menjadi pusat perhatian semua mata dalam kelompok itu.
Akashi hanya menoleh tanpa membalikkan tubuh. "Mau ke kamarku."
"Memangnya Akashi-san tahu, di mana letak kamarnya?" pertanyaan dengan intonasi monoton mengalun. Semuanya terdiam, bahkan sosok emperor pun ikut terdiam. Namun heterokromia miliknya berkilat menatap biru muda tanpa emosi. "Akashi-san juga tidak memegang kunci kamar, bukan?"
Heterokromia menajam, beralih menatap si pirang sang tuan hajat yang ketahuan menahan tawa. Sementara yang ditatap seperti itu menciut, bersembunyi di balik tubuh Mibuchi yang tersenyum kikuk.
"Kalau begitu, tunjukkan letaknya kepadaku." kalimatnya mengandung perintah yang mutlak. Namun Kuroko enggan melaksanakan dengan bergeming di tempatnya.
Akashi mengernyit. Membalikkan tubuh demi menatap sosok biru yang bergeming.
"Apa lagi yang kau tunggu?" Akashi Seijuuro bukan makhluk sabar. Dan dirinya terlalu lelah untuk bermain emosi dengan si biru keras kepala.
"Tetsu-kun," Satsuki bersuara, setelah sejak tadi hanya mampu menahan napas melihat tatapan Akashi yang ditujukan pada sahabatnya. Tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada sahabat biru kesayangannya.
Iris biru bersembunyi di balik kelopak pucat. Helaan napas keluar dari belah bibirnya.
"Aku mengerti, Momoi-san." senyuman coba ia sunggingkan untuk sang sahabat merah muda. Dibalas senyuman serupa yang mengartikan kelegaan dari sang sahabat.
Biru muda kini bergulir pada si merah yang berdiri bersidekap tak sabar.
"Akan aku tunjukkan letaknya, Akashi-san."
Kuroko melangkah, mendekati Akashi dan memimpin langkah di depan pria itu. Keduanya berjalan melewati para undangan. Dan menghilang dari kerumunan pesta.
.
.
.
Berjalan menyusuri koridor dalam keheningan. Keduanya terlalu larut dengan pikiran masing-masing. Sama sekali tidak ada niat di benak untuk mengakrabkan diri melalui sebuah obrolan. Bagi keduanya, mereka hanya dua orang asing yang baru dipertemukan siang tadi. Tak ada yang memiliki niat untuk menambah jumlah teman.
Bagi Akashi, si biru di depannya hanya sosok keras kepala —tipe pembangkang. Dan Akashi tidak berniat menjadikannya kawan, karena dirinya yang absolut.
Bagi Kuroko, si merah yang mengikutinya hanya sosok arogan yang selalu merasa dirinya paling benar. Dan Kuroko tak memiliki minat untuk menambah daftar temannya.
Akashi terus mengamati, pemuda yang masih setia memasang wajah datar sedatar jalan yang baru diperbaiki. Akashi memang tak berniat menjadikan pemuda itu sebagai kawan. Namun ada sesuatu yang entah apa dimiliki si biru yang membuat dirinya sedikit tertarik.
"Hey ...," serunya tiba-tiba memecah hening. Kuroko hanya melirik melalui bahu tanpa menghentikan langkahnya. "Siapa namamu?"
Kuroko mengernyit, sedikit terganggu dengan nada yang digunakan pemuda itu. "Apakah seperti itu, cara Akashi-san berkenalan?" Akashi menaikan sebelah alisnya saat mendapati suara datar yang mengalun. "Bukankah, Akashi-san sudah mendengar namaku dari Momoi-san?"
"Jadi kau ingin aku memanggilmu, Tetsu-kun, begitu?"
"Kuroko Tetsuya." Kuroko menyahut cepat, entah kenapa saat Akashi menyerukan namanya, terdengar mengganggu telinga.
Si merah hanya mengangguk samar sambil menggumam.
"Akashi-san tidak ingin memperkenalkan diri?"
Langkah Kuroko terhenti, tepat di sebuah pintu dengan angka 41 yang tertera di atasnya.
"Bukankah, kau sudah mendengar yang lain memanggil namaku?" Akashi menumpu punggung pada dinding di samping pintu. Menunggu Kuroko yang tengah membuka pintu dengan kunci di tangannya.
"Apa aku harus memanggilmu, Sei-chan?" Kuroko berujar polos dengan tatapan datar. Dihadiahi tatapan tajam dari iris heterokromia yang berkilat.
Balas dendam, eh?
Pintu dibuka dan melangkahkan kakinya masuk. Kuroko mengabaikan Akashi yang terlihat menahan emosi.
"Akashi Seijuuro," si merah berujar di belakangnya. "Ketahui tempatmu, Tetsuya." pemuda itu berbisik sambil melewatinya begitu saja.
Kuroko tak ambil pusing, membiarkan Akashi menghilang di balik pintu lain —yang merupakan kamar mandi.
.
.
.
Kelopak mata dipaksa untuk terus tertutup. Menghitung domba dalam hati hanya untuk menjatuhkan diri ke dalam mimpi. Hitungan sudah mencapai seratus namun lelap enggan datang.
Suara-suara aneh terdengar semakin mengganggu usahanya untuk terlelap. Rona merah muda tipis menghiasi pipi putihnya. Saat tahu jenis suara yang menyusup ke telinga.
Tubuhnya terus ia posisikan berbaring memiring. Enggan berbalik karena terdapat entitas di lain sudut ranjangnya.
"Cukup sudah!" geraman itu keluar bukan dari bibirnya. Melainkan sosok lain yang sama-sama terganggu oleh suara-suara erotis dari kabin di sebelah.
Kuroko terlonjak. Bangkit dari posisinya dan menatap Akashi yang tengah mengenakan mantel dengan cepat.
"Akashi-san mau kemana?" pertanyaan monoton terucap dari bibirnya untuk sosok yang kini berdiri di ambang pintu.
"Memberi peringatan pada mereka yang sudah mengganggu waktu istirahatku." Akashi menjawab tanpa menoleh. Sementara si biru berjengit saat mendengar bunyi bedebam pintu yang cukup keras.
Gawat.
Kuroko beranjak dari tempat tidur secepat ia bisa. Bergegas menyusul Akashi yang tengah diliputi emosi.
Keluar dari kamar, dirinya menemukan Akashi yang tengah mengetuk pintu kabin sebelah tak sabaran.
"Kotarou!" Akashi berseru, dengan tangan yang terus mengetuk pintu keras-keras. Kuroko tanpa sadar menahan napas.
"Ada ... Hngh ... Apahh ... A—kashi?" suara di dalam kamar menyahuti. Akashi siap meledak, sementara Kuroko memerah sempurna.
"Hentikan suara-suara menjijikan itu sekarang juga!" Akashi kembali berseru, masih berusaha menahan emosi yang sudah naik ke ubun-ubun.
"Ma—af," desahan lain menyahuti semakin keras.
Dua orang di luar pintu sudah memerah dengan artian berbeda. Akashi yang menahan amarah dan Kuroko yang menahan malu karena suara di dalam sana.
Akashi mengangkat tangan, hendak kembali menggedor pintu lebih keras sebelum tangan lain menginterupsi.
"Akashi-san, cukup!"
Alis merah bertaut, menatap wajah datar yang dihiasi rona merah tipis.
Heterokromia dan biru samudera beradu pandang.
"Lebih baik kita pergi, daripada mengganggu mereka."
Tanpa menunggu jawaban si merah, Kuroko melangkah, menyeret Akashi bersamanya. Sempat meneriaki protes pada si biru namun diabaikan sang pelaku yang terus memacu langkahnya.
"Kau tidak perlu menyeretku seperti ini." genggaman tangan dihempas oleh Akashi. Langkah mereka terhenti tepat di pintu keluar. "Aku bisa berjalan sendiri."
Kuroko hanya menatap datar punggung Akashi yang perlahan menjauh.
Helaan napas lolos dari belah bibir. Kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti, mengikuti si merah yang terlebih dahulu keluar.
Biru muda mengedar pandang, menangkap sosok merah yang berdiri menumpu sikut pada pagar besi pembatas. Mengambil langkah perlahan, mendekati sosok yang berdiri khidmat menatap lautan dalam gelapnya malam.
Berdiri bersampingan dengan jarak rentangan tangan. Keduanya menikmati hening yang berkamuflase menjadi sekat. Membiarkan angin laut di malam hari bermain-main dengan helaian scarlet dan biru muda.
Tak ada yang berniat bersuara karena keduanya memang hanya orang asing yang tak sengaja dipertemukan di atas kapal pesiar. Kuroko mencintai ketenangan, begitu pun dengan Akashi.
Angin laut berhembus menghantarkan dingin. Tubuh ringkih yang hanya berbalut piyama mulai bergetar pelan.
Akashi melirik, menatap si biru yang menggigil memeluk tubuhnya sendiri.
"Kau kedinginan?" pertanyaan itu meluncur mulus dari belah bibir si merah.
"Sedikit." jawaban bernada monoton mengalun namun tak mampu menahan getaran. Kuroko mengeratkan pelukan pada tubuhnya sendiri, mencari secuil kehangatan untuk meminimalisir dingin yang semakin membekukan.
"Kembalilah ke kamar!" Akashi berujar tanpa menatap si biru. Pandangannya kembali tertuju pada hamparan biru yang berubah hitam.
"Akashi-san mengusirku?" biru muda mendelik tak suka meski raut wajah terkesan datar. Menatap si merah yang bergeming di tempat.
"Aku menyuruhmu kembali ke kamar, agar kau tidak menggigil seperti kucing yang baru masuk ke dalam bak mandi." heterokromia menatap bosan biru muda yang semakin mendelik.
"Aku bukan kucing, Akashi-san."
Heterokromia berotasi jengah, "Ya, terserah." enggan berdebat dan menyahut seperlunya.
Keduanya kembali terdiam. Kuroko mengeratkan pelukan, masih bertahan karena enggan mengaku kalah. Akashi diam-diam mencuri pandang pada sosok keras kepala dengan wajah datarnya. Namun tubuhnya terus menggigil setiap kali angin laut menerpanya.
Helaan napas lolos dari bibir Akashi. Mantel yang dikenakannya dilepas, dan melemparkan begitu saja pada sosok mungil di sampingnya.
Kuroko terkesiap, saat pandangannya tertutup fabrik marun. Hendak melemparkan protes namun terhenti saat suara Akashi kembali terdengar.
"Pakai dan jangan protes!" perintah itu mengalun mutlak. Kuroko dan sifat keras kepalanya hendak kembali protes sebelum kalimat lain keluar dari bibir Akashi. "Tubuh menggigilmu sangat mengganggu pemandangan."
Marah.
Seharusnya Kuroko merasa marah karena ucapan sarkas yang dilontarkan Akashi kepadanya. Namun rasa itu tak terbesit sedikit pun. Yang ada hanya rasa nyaman ketika aroma tubuh pria itu tercium dari mantel miliknya.
Mendengus, "Bagaimana dengan Akashi-san sendiri?" Kuroko yakin melihat seringai yang terukir di wajah Akashi meski sekilas.
"Aku tidak akan menggigil hanya karena angin laut seperti ini." ujarnya jumawa.
Biru dan merah-emas beradu tatap. Mantel besar tersampir di bahu, mengurangi sensasi dingin yang masih setia diumbar sang angin malam.
"Arigatou, Akashi-san." meski enggan kalimat itu terucap dari bibir si biru. Menghargai niat baik Akashi yang meminjamkan kehangatan padanya.
"Tak masalah." Akashi menggedik bahu, kembali menatap lautan biru yang diselimuti kegelapan. Kuroko melengkungkan senyum tipis, ikut menatap pemandangan di depan sana.
Keduanya kembali terdiam dan menikmati kesunyian. Membiarkan angin bermain-main, menggoyangkan mahkota biru muda dan merah seirama.
Terbuai belaian angin dan kesunyian. Kuroko sesekali menguap saat kantuk mulai menyerang. Tingkah si biru itu pun tak luput dari sepasang heterokrom yang diam-diam memerhatikan.
"Kembalilah ke kamar." Akashi bersuara setelah sekian lama terdiam. Kuroko tak menyahut, hanya menolehkan kepala sebagai respon.
"Aku rasa mereka sudah selesai dengan kegiatannya." Akashi melanjutkan, tatapannya kini tertuju lurus pada si biru. Menyeringai saat menemukan rona merah tipis di pipi putih si biru.
"Akashi-san tidak ingin kembali ke kamar?" Kuroko bertanya, menahan kuapan yang siap lolos dari belah bibirnya.
"Aku masih belum mengantuk," Akashi mengulas senyum samar saat satu kuapan lolos dari si biru. Wajah mengantuk si biru entah mengapa terlihat menggemaskan di mata Akashi.
"Kembalilah dan segera tidur, Tetsuya." Akashi melanjutkan, masih setia menatap wajah menahan kantuk si biru.
Kuroko hanya mengangguk, satu kuapan kembali lolos disertai bulir bening di sudut mata. Jemarinya terangkat, menghapus setitik likuid di pelupuk.
"Aku duluan, Akashi-san." Kuroko berbalik, mengambil langkah dan mulai meninggalkan Akashi. Dirinya sudah sangat mengantuk dan merindukan belaian empuk si ranjang yang nyaman. Sambil berharap tak ada lagi suara aneh yang akan mengganggu.
"Tetsuya!" seruan Akashi menginterupsi langkahnya. Kuroko menghentikan langkah, berbalik, dan menatap Akashi dengan alis bertaut bingung. "Kau tidak perlu memanggilku seformal itu."
Hening menjeda, sebelum Kuroko menarik sudut bibir. "Ya ..." Kuroko menjeda tanpa melepaskan pandang pada Akashi. "Akashi-kun." senyumnya mengembang meski tak sampai menyentuh mata. Akashi tak kuasa untuk tak membalas senyuman si biru meski terlampau tipis.
Kuroko melanjutkan langkah, kembali berjalan menuju bagan kapal. Akashi setia menatap punggung hingga menghilang di balik pintu.
Senyum di wajah Akashi memudar. Kembali berbalik menatap pemandangan yang didominasi hitam. Membiarkan angin menggodanya, membelai tubuh, menghantarkan rasa dingin yang mulai terasa semenjak kepergian si biru.
"Kau kedinginan." suara bariton menyapa pendengarannya, cukup dekat. Disertai sepasang tangan yang mulai melingkari pinggang hingga perutnya. "Seharusnya kau datang kepadaku," tangan yang melingkari pinggangnya mengerat. "Dengan senang hati, aku akan menghangatkanmu."
"Tanpa aku datang kepadamu, kau akan datang dengan sendirinya kepadaku." Akashi menyahuti, membiarkan seseorang di belakangnya menyalurkan secuil kehangatan untuknya melalui sebuah dekapan.
"Hentikan, Chihiro!" kalimat mutlaknya mengalun, saat seseorang yang ia panggil Chihiro mendaratkan kecupan-kecupan kecil di leher putihnya. Namun tangannya bergeming, tak berniat melepaskan pelukan si jangkung kelabu.
"Apa tidak ada kesempatan lagi untukku, Sei?" Chihiro berbisik tepat di telinga Akashi, membubuhkan kecupan di cuping.
Akashi berdiri tenang. "Semua sudah berakhir, Chihiro," tangannya bergerak, mengurai tangan yang melingkari perut. "Kesempatan itu sudah tidak ada lagi." Akashi melepaskan pelukan, berbalik, mengambil satu langkah mundur, untuk memberi spasi antara dirinya dan si kelabu. "Karena kau sudah menyia-nyiakannya." lanjut Akashi, melipat kedua tangannya, dan menyandarkan punggung pada besi pembatas.
Menyeringai, saat melihat binar kekecewaan tersirat jelas pada langit kelabu di depannya.
"Kau masih belum mau memaafkanku?" berujar datar, namun tak dapat menutupi nada ironi di dalamnya.
Akashi tak memudarkan seringai, tatapannya masih tertuju lurus pada kelabu hampa yang menyiratkan berbagai emosi.
Helaan napas keluar dari bibirnya. "Aku sudah memaafkanmu," berbalik memunggungi Mayuzumi. Entah kenapa pemandangan laut yang gelap gulita menjadi jauh lebih menarik.
Hening menjeda. Cukup lama membuat udara di sekitar mereka terasa memberat. Angin malam yang dingin dihiraukan, tubuh dibuat sekuat mungkin untuk tidak menggigil. Keduanya menahan diri untuk menjejaki jarak dan berbagi kehangatan.
Mayuzumi bukannya tidak ingin, ia hanya tidak mau mengecewakan Akashi untuk ke sekian kalinya.
"Cukup sampai di situ, Chihiro!" Akashi berujar tanpa menoleh. Mayuzumi menghentikan langkah yang belum sempat diambil.
"Kenapa?" .
Akashi tak menjawab, tetap berada di posisinya tanpa niat untuk berbalik, dan bertemu pandang dengan Mayuzumi.
"Apa semua ini karena bocah biru itu?" kalimat yang meluncur dengan nada dingin itu berhasil membuat atensi Akashi teralihkan. Pemuda itu berbalik, menatap Mayuzumi dengan alis bertaut.
"Jangan membawa Tetsuya dalam pembicaraan konyol ini."
Mayuzumi terdiam, masih menampilkan ekspresi datar andalannya.
"Kau pikir siapa yang sudah terlebih dahulu menjadi pengkhianat di sini?" Akashi menyeringai saat wajah datar di hadapannya mengeras.
Kemudian berlalu, meninggalkan Mayuzumi yang bergeming di tempatnya. Meninggalkan pria yang pernah mengisi hatinya dengan gejolak emosi tak terbaca.
"Kalau begitu, biarkan aku sendiri yang menciptakan kesempatan itu untukku." kalimat si kelabu menyerupai desauan angin yang tak pernah tersampaikan pada sosok yang telah menghilang di balik pintu.
.
.
.
Kuroko terbangun, setelah dirinya terpaksa tidur melewati tengah malam. Melirik ke sisi lain tempat tidurnya yang kosong —yang seharusnya terdapat seseorang di sana.
"Apa Akashi-kun tidak kembali ke kamar semalam?" Kuroko bergumam, bermonolog pada diri sendiri.
Mantel merah yang masih melekat di tubuh tertangkap iris azurenya. Sepertinya ia lupa melepaskan mantel yang dipinjamkan Akashi semalam, dan langsung tertidur begitu saja.
Sudut bibir melengkungkan senyum tipis. Sepertinya, rekan satu kamarnya tidak seburuk yang dikiranya.
Mengangkat bahu dan hendak beranjak dari tempat tidur, sebelum pintu lain dalam ruangan tersebut terbuka. Kepala merah menyembul, kemudian mempertontonkan tubuh telanjang yang hanya ditutupi sehelai handuk di pinggang hingga lutut.
Rona merah tipis bertengger manis saat biru mudanya bertubrukan dengan dada bidang dan perut kotak-kotak yang diidam-idamkan olehnya.
Ugh.
Kuroko Tetsuya benar-benar iri dan ingin memiliki bentuk tubuh seperti pria di hadapannya sekarang.
"Suka dengan apa yang kaulihat, Tetsuya?" Akashi menyeringai, saat mendapati azure yang terpaku pada tubuh terawatnya.
Kuroko sempat tersentak, namun berhasil ia sembunyikan di balik wajah datarnya. Biru muda bergulir naik, menatap merah-emas yang mengerling ke arahnya. "Tidak." jawabnya singkat dan monoton.
Akashi menggedik bahu, hendak membuka handuk yang dikenakan sebelum suara lantang Kuroko terdengar.
"Tunggu!"
Alis merah terangkat naik, gerakan tangan Akashi terhenti di lipatan handuk. Heterokromnya menyiratkan tanya tanpa suara.
"Akashi-kun mau berganti pakaian di depanku?" pertanyaan disuarakan Kuroko tanpa mampu menutupi rona di pipinya.
"Tentu saja," jawab Akashi dengan alis merah bertautan. "Memangnya apa lagi?"
"Apa Akashi-kun tidak malu?" wajah yang masih dihiasi rona dipalingkan. Enggan menatap pemuda yang sudah menanggalkan handuknya.
"Kenapa harus malu? Kita sama-sama lelaki, Tetsuya." Akashi menjawab sambil mengenakan pakaiannya satu persatu. Dan Kuroko masih berpaling —enggan melihat.
"Tetap saja, Akashi-kun," Kuroko bergumam menyerupai bisikan, namun masih sampai di telinga Akashi.
"Jangan bilang jika kau—" Akashi menjeda kalimat, melangkah maju mendekati Kuroko yang sudah balas menatapnya. Mengikis jarak, Akashi mencondongkan tubuh, mempertemukan heterokrom dengan azure yang tengah berusaha menutupi gugup. "—tertarik pada tubuhku?" Akashi melanjutkan, menyeringai saat raut datar itu berubah gugup.
Kuroko menelan saliva, menahan napas saat wajah Akashi begitu dekat dengannya. Napas Akashi menerpa wajah, hidung mereka bahkan hampir bersentuhan. Kuroko merasa jantungnya berdetak di luar batas normalnya.
"Akashi-kun ...," Kuroko mencicit, hampir menutup kelopak pucatnya namun ia bertahan untuk menatap heterokromia berbinar jenaka. "Terlalu dekat."
Tawa meledak dari bibir si merah. Kuroko diam-diam menghela napas, lega dengan jarak yang kembali tercipta.
Biru muda menatap datar, Akashi yang masih tertawa —puas sekali.
"Lihat wajahmu, Tetsuya," ujar Akashi di sela tawanya. "Benar-benar lucu." lanjutnya kembali tertawa.
Kuroko menatap datar.
Marah?
Tentu saja.
Dirinya tak terima dipermainkan oleh seseorang yang bahkan belum 24 jam dikenalnya.
Beranjak dari tempat tidur yang didudukinya. Kuroko berlalu, melewati Akashi —yang masih tertawa— begitu saja. Menuju pintu yang sama dan merupakan kamar mandi dalam kabin yang mereka tempati.
Pintu ditutup kasar hingga menimbulkan bedebam. Tawa Akashi semakin meledak, puas menggoda si biru, dan melihat ekspresi lain di wajah yang terbiasa datar.
.
.
.
Restoran dalam kapal cukup ramai oleh beberapa orang yang tengah mengisi perut yang lapar. Tujuannya menginjakkan kaki ke tempat ini, tak berbeda jauh dengan yang lain. Perut yang kosong minta diisi demi menambah energi.
Biru muda bergulir, menjelajah ruangan yang tak lebih luas dari kantin di kantor tempatnya bekerja. Mencari meja kosong untuk dirinya menyantap makanan. Jumlah meja bundar yang tak begitu banyak sudah penuh disesaki mereka yang sama laparnya.
Kuroko hampir menyerah menemukan meja kosong sebelum lambaian tangan mengarah kepadanya.
"Tetsu-kun!" seruan khas itu terdengar bersamaan isyarat tangan untuknya mendekat. Senyum cerah di wajah cantik itu membuat dirinya tak kuasa untuk menolak.
Melangkah menuju meja yang sudah diisi beberapa orang namun masih menyisakan kursi kosong. Kuroko berjalan dengan baki berisi makanan di tangan.
Letaknya berada paling pojok dekat jendela besar yang menampilkan pemandangan luar di sisi kapal. Tempat yang strategis dan cukup nyaman.
Baki di tangan diletakkan di atas meja persegi yang cukup panjang dan mampu menampung sekitar delapan orang. Kuroko menduduki kursi yang masih kosong, berhadapan langsung dengan wanita merah jambu yang setia mengulas senyum.
"Ohayou, minna." sapanya datar. Menatap satu persatu empat orang yang sudah menduduki kursi di meja tersebut.
"Ohayou, Tetsu-kun." wanita di seberangnya menyahut penuh semangat seperti biasa. Sementara yang lain menyahut sekadarnya.
"Bagaimana tidurmu semalam, Tet-chan?" Mibuchi Reo yang duduk di sebelah Hayama Kotarou bersuara. Menatap Kuroko dengan tatapan penuh minat.
Kuroko mengernyit, sedikit terganggu dengan panggilan yang diberikan Mibuchi kepadanya. Namun dirinya tak berniat melayangkan protes sama sekali.
"Apa kau tidur nyenyak?" Mibuchi melanjutkan, mengedipkan sebelah mata dengan gestur menggoda.
Kuroko tak langsung menjawab, tatapannya tertuju pada pasangan pengantin baru yang terlihat gugup di depannya. Rona merah bahkan sudah menghiasi pipi putih Momoi Satsuki yang juga enggan menatap ke arahnya.
"Apa Sei-chan melakukan sesuatu padamu, Tet-chan?"
Semua mata kini tertuju pada Kuroko. Kotarou dan Satsuki yang sejak tadi menghindari pun, kini menatapnya penuh selidik. Seolah dirinya makhluk asing yang tengah diuji oleh para ilmuwan.
"Memangnya apa yang aku lakukan pada bocah ini, Reo?" suara lain menyahuti, kursi kosong di samping kiri Kuroko kini terisi.
"B-bukan apa-apa, Sei-chan," jawab Mibuchi sedikit gugup. Tak menduga akan kedatangan yang dimaksud secara tiba-tiba. "Aku hanya berpikir, apa semalam kalian tidur dengan nyenyak?"
"Kenapa kau tidak tanyakan pada pasangan baru kita yang menyebarkan polusi suara?" sepasang heterokromia kini beralih pada Kotarou yang duduk di depannya. Pria yang belum lama berstatus suami itu kembali terlihat gugup. Mencoba menghidari tiga pasang mata yang tertuju padanya. Sementara Satsuki mengalihkan atensinya pada salad yang menjadi menu sarapannya. Melahapnya khidmat sebagai pengalihan meski wajah semerah tomat yang tengah dikunyah.
Obsidian Mibuchi memicing, menghujam emerald Kotarou —meminta penjelasan.
"Ma-maaf," tengkuk yang tidak gatal digaruk karena gugup. "Kalian, kan tahu kalau kami masih pengantin baru." pasangan pengantin baru itu sama-sama merona. "Jadi wajar, jika kami melakukan itu." lanjutnya menampilkan cengiran khasnya.
Yang lain hanya mendengus sebagai respon. Kecuali Nebuya Eikichi yang fokus menghabiskan sarapannya yang entah untuk ke berapa kali.
"Dimana Mayuzumi-san? Aku belum melihatnya dari tadi." Kotarou bertanya sebagai pengalihan.
Mibuchi menggedik bahu, "Entahlah." jawabnya terkesan tak peduli.
Semuanya kembali melanjutkan acara santap menyantap sarapan di pagi hari yang cerah di tengah samudera. Sesekali mengobrol ringan meski di dominasi oleh celotehan Hayama Kotarou yang ditimpali oleh Mibuchi.
.
.
.
Tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan di atas kapal pesiar yang mampu menampung seratus orang. Selain menikmati pemandangan birunya samudera dengan beberapa pulau kecil tak berpenghuni. Sejuknya angin laut, dan teriknya matahari di kala siang.
Jika kau beruntung, kau akan menyaksikan atraksi sekelompok lumba-lumba yang berlompatan seperti tengah bermain.
Beberapa orang mungkin memilih berkumpul, memanfaatkan fasilitas yang disediakan seperti kolam renang untuk bersenang-senang. Berjemur di bawah sinar matahari, dan lainnya.
Namun tidak bagi Kuroko Tetsuya yang memilih menyendiri. Mencari sudut bagian kapal yang terlindung dari teriknya matahari.
Duduk berselonjor pada dek tanpa takut pakaian terkena kotoran. Novel di tangan menjadi pusat atensi. Menikmati kesunyian dengan buku yang menerbangkan dirinya dalam imajinasi.
Hembusan angin yang menyejukkan sebagai pemanis suasana.
Terlalu larut dengan bacaannya. Kuroko tak menyadari langkah kaki yang mendekat ke arahnya.
"Apa yang kaulakukan di sini?" suara bariton yang menyusup di telinga membuat Kuroko mengalihkan atensinya.
Biru muda merangkak naik, menemukan siluet merah yang berdiri menjulang di depannya.
"Akashi-kun?"
Akashi tak menyahut, mengambil duduk di samping kiri Kuroko. Sementara si biru mengamati setiap pergerakan Akashi.
"Kau tidak berkumpul dengan yang lain?" Akashi bertanya tanpa balas menatap Kuroko.
"Akashi-kun sendiri?" pertanyaan lain menimpali. Akashi mengernyit, menoleh, balas menatap Kuroko yang memasang ekspresi datar di wajahnya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Tetsuya?"
Kuroko menggedik bahu menunjuk buku di tangan. "Aku sedang membaca, Akashi-kun." ujarnya datar. "Dan aku perlu ketenangan untuk membaca."
Kuroko kembali membuka buku, membaca kembali halaman yang sempat tertunda karena kedatangan si merah di sampingnya.
"Aku juga tidak suka keramaian," Akashi menyahut, Kuroko masih setia dengan bacaannya. "Dan aku juga sedang menghindari seseorang." gumaman lirih itu masih terdengar di telinga Kuroko, mengingat jarak mereka yang cukup dekat.
"Mayuzumi-san?" nama itu lolos dari belah bibir Kuroko. Terucap tanpa nada, saat pandangan si biru masih tertuju pada deretan huruf di lembaran kertas.
Akashi mendelik, menatap lekat Kuroko yang tak memiliki niat untuk membalas tatapannya. "Kau seorang cenayang?"
Kuroko menahan diri untuk mendengus. Tatapannya pun teralihkan pada Akashi yang masih setia menatapnya dengan sepasang heterokromia yang berkilat.
"Terlihat jelas dari cara Mayuzumi-san menatap Akashi-kun." Kuroko menjeda kalimat demi menikmati hamparan biru di depannya. "Kalian memiliki hubungan yang cukup dekat dibanding yang lain."
Akashi mendengus. Membaringkan tubuhnya dan menjadikan paha Kuroko sebagai bantalan kepala.
"Diamlah!"
Kuroko menelan kembali protesnya saat Akashi berujar mutlak, tak ingin dibantah.
Mengalah sesekali tidak apa-apa, kan?
Kuroko terdiam. Membiarkan Akashi menyamankan diri di pangkuannya. Menyembunyikan heterokromia di balik kelopaknya. Sebenarnya dirinya cukup risih dengan posisi mereka saat ini.
Tapi—
Helaan napas lolos dari belah bibirnya. Bola biru mengamati wajah aristokrat yang selalu terlihat arogan, absolut, dan selalu mendominasi. Wajah itu kini terlihat lelah, gusar dan tidak setenang biasanya.
"Apa kalian sedang bermasalah?" Kuroko bersuara, mencoba memecahkan hening. "Mayuzumi-san akan salah paham jika melihat posisi kita saat ini." ujarnya lagi saat melihat Akashi yang enggan membuka suara.
Heterokromia kembali dari persembunyiannya. Menghujam langsung langit biru di atasnya. "Semua sudah berakhir." ujarnya sebelum kembali menutup mata.
Kuroko membiarkan Akashi, tak ingin mengusik pria itu dengan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya. Buku yang sempat ia abaikan kembali menjadi minatnya. Membacanya dalam keheningan yang cukup memakan waktu. Keheningan dan sejuknya angin yang berhembus membuat matanya terasa berat. Tak mampu menahan mimpi yang membuainya untuk terlelap.
Biru muda tersembunyi sempurna di balik kelopak pucat. Helaan napas yang teratur memastikan dirinya yang sudah terlelap.
Heterokromia menampakkan diri. Menatap lekat wajah lelap si biru. Dengusan lolos darinya, saat mengingat kembali sosok yang memasang wajah polos di hadapannya ini, adalah sosok keras kepala dan pembangkang —menurutnya. Bukan tipe orang yang disukainya —seharusnya.
Namun entah mengapa, pemuda itu seperti memiliki magnet yang selalu mampu menariknya untuk mendekat. Akashi tidak tahu, dan ia tidak akan berhenti untuk mencari tahu.
"Oyasumi, Tetsuya."
.
.
.
Berdiri di sudut sepi, dirinya tak memiliki niat untuk bergabung dan berpesta dengan yang lain. Cukup mengamati, dan menikmati pesta dari kejauhan. Dirinya akan ikut tersenyum, saat orang terdekatnya mengumbar tawa di sana. Saat semua orang larut dalam kebahagiaan.
Seperti saat ini. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya saat sang sahabat merah jambu —yang kini menyandang nama Hayama itu— tengah tersenyum bahagia. Melakukan adegan layaknya Jack dan Rose pada film Titanic. Mereka terlihat bahagia, serasa memiliki dunia ini.
"Kekanakan." Kuroko hampir terlonjak saat suara datar menyapa telinganya.
"Mayuzumi-san?" Kuroko hampir mengelus dada saat mendapat sosok jangkung kelabu di sampingnya. "Sejak kapan Mayuzumi-san berdiri di sini?"
Langit kelabu menatap datar. "Sejak kau tersenyum tak jelas seperti orang bodoh." jawabnya sarkas yang dihadiahi tatapan datar dari si biru.
Keduanya terdiam. Kuroko tak berniat membuka obrolan, karena baginya mereka berdua hanyalah orang asing.
"Kau tidak bersama Akashi?" Kuroko menoleh tanpa ekspresi berarti. "Kalian selalu terlihat bersama sebelumnya." lanjut Mayuzumi saat Kuroko tak langsung menjawab.
"Kami bersama hanya karena sebuah kebetulan."
Benarkah?
"Apa yang kau miliki sampai membuat Akashi begitu tertarik?"
"Maaf?" ujar Kuroko cepat, menatap lekat langit mendung yang terlihat hampa. Dahi Kuroko mengernyit saat melihat pemuda jangkung itu menyeringai.
"Bukan apa-apa." ujarnya berlalu begitu saja. Meninggalkan berbagai pertanyaan di benak si biru.
"Tetsu-kun."
Terlalu terpaku pada punggung lebar yang kian menyempit karena semakin menjauh dari pandangan. Membuat Kuroko tak menyadari wanita berstatus istri dari Hayama Kotarou sudah berdiri di depannya.
Biru muda bertemu dengan magenta di balik redupnya pencahayaan. "Momoi-san?"
Satsuki mengulas senyum. "Sepertinya Tetsu-kun lupa kalau aku sudah menikah dengan Kotarou-kun." ujarnya lembut, menyembunyikan kekehan yang lolos dari belah bibirnya.
"Maaf, aku masih belum terbiasa dan tidak tahu mau memanggil Momoi-san apa."
Satsuki mengerucutkan bibir. "Mou ... Tetsu-kun bisa memanggilku Satsuki, kan?" ujarnya sedikit merajuk.
"Baiklah, Satsuki-san." ujar Kuroko dengan dahi mengernyit, sedikit mengganjal saat lidahnya menyerukan panggilan baru untuk si merah muda.
Satsuki memekik senang, berhambur memeluk Kuroko —yang merupakan kebiasaan si merah muda. Senyum tipis terulas di wajah Kuroko, dirinya pasti akan merindukan pelukan maut sang sahabat.
"Nee ...," Satsuki berujar, melepaskan pelukannya. "Kenapa Tetsu-kun tidak bergabung dengan yang lain?" magenta menatap lekat azure tanpa emosi. Meminta penjelasan pada si biru yang memilih menyendiri di pestanya.
"Aku tidak terlalu suka keramaian, Satsuki-san." Kuroko berujar datar, sementara Satsuki kembali merajuk.
"Tapi ini pestaku, Tetsu-kun, dan aku ingin Tetsu-kun juga bersenang-senang."
Kuroko mengulas senyum, "Melihat kalian bersenang-senang saja, aku sudah merasa senang." helaian serupa kelopak Sakura diacak gemas. Terkadang Satsuki terlihat seperti layaknya seorang adik, baginya.
"Tetap saja, Tetsu-kun harus bergabung dengan yang lain."
Kuroko pasrah, saat Satsuki menyeretnya untuk bergabung dengan yang lain. Di depan sana, Kotarou, Mibuchi dan Nebuya — yang tengah sibuk melahap makanan— sudah menunggu.
Kuroko tak bisa menolak keinginan sang sahabat sejak Sekolah menengah pertama, terlebih lagi di momen-momen kebahagiaannya. Mana tega dirinya melunturkan senyuman di wajah cantik itu.
.
.
.
.
.
Bersambung ke part 2
.
.
.
A/n: seharusnya ini OS tapi berhubung batas waktu yang sempit /salah authornya/ ff ini dibagi dua :'(
Hampura ae atuhlah, siucchi :'((
Sebenarnya ga tau juga mau ngomong apa, intinya mah, Viz malu sama diri sendiri :'(((((
Mind to review?
