Title : Trust Me.
Genre : Angst, Tragedy
Bagian : 1/3
Disc : Akatsuki no Yona milik Mizuho Kusanagi-sensei
Enjoy.
Chap.01
"Jaeha, jangan letakkan jaketmu disini."
Laki-laki tampan yang baru keluar dari kamar mandi itu terkejut mendengar omelan itu. Di ruang tamu, seorang remaja mungil itu memungut jaketnya dari sofa.
"Oh, Yoon, bagaimana les-mu?" tanya Jaeha dengan senyum ceria.
"Aku tidak akan pulang kalau ada apa-apa," sahut remaja itu, Yoon, ketus. Jaeha masih tersenyum, memandangi remaja itu membawa jaket dan tas besar—juga tergeletak di lantai—menuju kamar Jaeha. "Apa kau sudah makan?" tanyanya setengah berteriak.
"Tentu saja belum! Aku sengaja mengosongkan perutku untuk malam ini demi masakannya Yoon!" jawab laki-laki itu. Yoon mengeryitkan alisnya.
"Untuk apa kau melakukan itu? Dasar bodoh," ketusnya. "Tapi tidak apa-apa sih, daripada kau makan di luar melulu," sambungnya.
"Bukankah sudah seminggu aku tidak mencicipi masakanmu? Jadi kurasa ini normal," seru Jaeha, mengekori langkah Yoon ke dapur.
"Hentikan cengiranmu itu atau aku nggak jadi memasak!"
Walau diancam seperti itu, Jaeha tidak melepaskan senyumnya. Karena dia tahu Yoon menyukai senyumnya.
"Bagaimana sekolahmu, Yoon?" tanya Jaeha di tengah-tengah kegiatan makan malam mereka.
"Baik-baik saja," jawab Yoon cuek sambil asyik menikmati makannya.
"Kau baik-baik saja kan semingguan ini?" tanya Jaeha lagi. Yoon tersenyum lebar.
"Aku nggak akan mati hanya karena ditinggal olehmu selama satu minggu," katanya. "Sebaliknya, apa kau baik-baik saja tanpaku?" tanyanya balik.
"Hmm... sebetulnya keadaanku menyedihkan sih, karena aku tidak bisa melihat wajahmu selama itu..."
Yoon memberinya tatapan jijik. Jaeha menghentikan ocehannya dan memasang senyum innocent. Tapi Yoon segera tersenyum kembali melihat lawan bicaranya itu.
"Lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Yoon.
"Sepertinya aku tidak akan melakukan apa-apa sampai ada kerjaan baru," jawab Jaeha. Yoon mendecak.
"Dasar orang nggak berguna." Yoon menyuapkan nasinya lagi, dengan sengaja tidak menatap Jaeha. Walau begitu dia menyadari Jaeha yang tidak bergeming.
"Kalau begitu boleh aku memanjakanmu? Ayo lakukan semua yang ingin kamu lakukan."
Sebetulnya Yoon tidak butuh itu.
Pagi-pagi, Jaeha dibangunkan oleh e-mail yang masuk ke ponselnya.
Bayarannya sudah turun.
Sabtu depan ada meeting.
Walaupun sedang libur, tetap muncullah sesekali untuk berlatih.
Jaeha tersenyum membaca isi e-mail yang datang dari rekannya itu. Menyadari sinar matahari sudah cukup tinggi, Jaeha segera bangkit dari tempat tidurnya.
Kakinya melangkah ke kamar sebelah, membuka pintunya sedikit, dan menyadari kamar tersebut sudah rapi dan kosong. Empunya sudah pergi dari tadi. Jaeha balik menuju dapur, mendapati sepiring nasi goreng dengan secarik kertas disebelahnya.
Aku tidak akan membangunkanmu, jadi kalau nasi ini keburu dingin sebelum kau bangun, panaskan saja ya. Aku pergi ke sekolah – Yoon.
Kesekian kalinya, Jaeha tersenyum membaca kertas itu. Diangkatnya piring itu lalu membuang isinya ke tempat sampah.
Beberapa gadis di kelas Yoon meributkan kisah seorang gadis kaya di kelasnya mengenai liburannya di Akita.
"Kami harus pulang lebih awal karena tempat ski-nya ditutup tiba-tiba," katanya.
"Kenapa?" desak gadis-gadis temannya.
"Entahlah, sepertinya ada kecelakaan atau gimana gitu," kata si gadis. "Ehm... ada juga kabar kalau terjadi pembunuhan..."
"Eeeh? Kok bisa sih?"
Mereka masih ribut dan sibuk sendiri. Sementara Yoon mencermati berita yang sedang dia nikmati di smartphone-nya. Tentang seorang peninggi perusahaan terkenal yang mati ditembak di wahana ski di Akita.
"Jaeha, jalan-jalan yuk!"
Hari Sabtu, Yoon langsung menubruk Jaeha yang sedang menikmati tivi pagi.
"Eh? Biasanya kau lebih memilih untuk belajar di hari Sabtu, Yoon?" tanya Jaeha.
"Huh, giliran diajak malah nggak mau! Mana janjimu mau menuruti kemauanku itu?!" rajuk Yoon. Agak surreal bagi Jaeha, Yoon sangat jarang merajuk atau bermanja-manja ke dia. Senyum lebar tidak bisa ditahannya. "Hentikan senyum menjijikkanmu itu!"
Jaeha menahan kepalan tangan Yoon yang akan mendarat ke kepalanya. "Oke, mau kemana?"
"Jalan-jalan saja dengan mobilmu. Mungkin kita akan sampai ke laut," kata Yoon semangat.
"Uh, laut sangat jauh dari sini..." gumam Jaeha, yang langsung disambut death-glare dari Yoon. "Oke, oke, kita pergi. Aku akan siap-siap dulu." Jaeha segera kabur secepat kilat.
Seperti yang dijelaskan tadi, semua ini agak aneh dari biasanya. Tapi Jaeha tidak bisa menghilangkan perasaan girangnya ini.
Berhentilah bermain-main dengan bonekamu itu.
Itu adalah sebaris e-mail yang sempat dibaca Yoon di ponsel Jaeha, ketika laki-laki itu melupakan ponselnya di sofa. Yoon menarik napas yang dirasanya berat seraya melirik Jaeha yang sedang menyetir disebelahnya.
Dasar konyol, harusnya Yoon tidak usah merasa terbebani dengan teks itu. Maksudnya, dia sudah mengerti dengan keberadaannya yang—mungkin memang—sebagai boneka milik Jaeha saja. Atau apapun sebutan kepemilikannya bagi Jaeha.
Untuk itu, Yoon sedang berusaha untuk memainkan peran boneka itu dengan sebaik-baiknya.
Selama tiga jam, mereka berdua menikmati perjalanan di mobil. Sesekali berhenti ketika ada sesuatu yang menarik perhatian Yoon. Berhubung pekerjaan Jaeha juga menuntut mobilitas tinggi, dia tidak merasa lelah. Malah senang rasanya melihat Yoon begitu lepas dan ceria, beda dengan dia yang biasanya kaku. Rasanya Jaeha mampu melakukan apapun demi bisa melihat Yoon yang seperti ini. Apapun.
Sebetulnya tidak masuk dalam rencana, tapi akhirnya mereka sampai di pantai. Hari mulai sore, dan udara musim gugur mulai menusuk. Tapi tidak menyurutkan semangat mereka untuk menyambut hamparan pantai di depan mereka.
"Jaeha, aku bikin beberapa snack tadi. Kau mau?" Yoon mengeluarkan beberapa tupperware.
"Nanti saja," kata Jaeha dengan senyumnya yang biasa.
"Kau belum makan dari tadi kan?" tanya Yoon. Jaeha menyapu rambut Yoon dengan telapak tangannya.
"Aku akan makan kalau Yoon juga makan. Tapi pasti kau ingin menikmati pantai ini dulu kan?" tanya Jaeha. Yoon mengeryitkan alisnya, seperti heran. "Silakan duluan."
Jaeha menyilahkan Yoon untuk berjalan di depannya. Yoon tidak menatap wajah Jaeha dan berjalan pelan mendahului laki-laki itu.
Tidak disangka-sangka, suasana menjadi hening. Rasanya berbeda dari 3 jam yang lalu. Apa karena suasana pantai yang tenang, atau mereka memang perang diam? Tapi Jaeha tidak merasa mereka sedang marahan. Setidaknya Jaeha hanya paham kalau mood Yoon sedang kacau, sampai di situ saja.
Apakah baik untuk menanyai remaja itu?
"Yoon, apa kau marah?"
Tidak ada jawaban. Jaeha harap Yoon menjawabnya dengan gaya ketusnya yang biasa.
"Jaeha, berjalanlah di depanku," Yoon bersuara, tapi pelan. Terdengar seperti berbisik.
"Hah?" tanya Jaeha. Yoon menghentikan langkahnya tiba-tiba, hampir membuat Jaeha menabraknya.
"AKU BILANG, BERJALANLAH DI DEPANKU."
Yoon berteriak, seperti menggunakan seluruh napasnya untuk itu. Dia terengah-engah, menciptakan uap dingin dari napasnya. Jaeha, dengan tampang bingung, melewati Yoon yang tertunduk, sesekali melirik sambil kembali melangkah.
Jaeha berjalan pelan dengan langkah kecil-kecil, terlihat seperti putri kerajaan. Matanya sesekali melirik ke belakang, memeriksa Yoon yang masih menunduk. Jaeha menghela napas. Baru saja dia mau berhenti melangkah, tiba-tiba Yoon menubruknya dari belakang.
"Yoon – "
"Kenapa kau tiba-tiba tegang?" tanya Yoon cepat. Jaeha menyadari tangannya yang mengepal dan kakinya yang dia pijak kuat-kuat ke tanah. Sementara itu dia menyadari adanya lengan kecil yang melingkar di pinggangnya.
Pelan-pelan Jaeha merilekskan tubuhnya sendiri, lalu berbalik menghadap Yoon yang masih saja menunduk. Yoon segera mengubur wajahnya ke dada Jaeha.
"Kenapa kamu tidak memakan snack yang aku buat?" akhirnya Yoon melontarkan pertanyaan.
"Aku akan makan kalau Yoon juga makan, aku bilang kan?" jawab Jaeha dengan suara lembut.
"BOHONG!" salak remaja itu tiba-tiba. Rasanya Jaeha seperti tersetrum, diteriaki tepat di depan jantungnya seperti itu. "Jaeha, kamu nggak percaya sama aku kan?"
"Kamu ngomong apa sih?"
"SELAMA INI KAMU NGGAK PERNAH PERCAYA SAMA AKU KAN?!" teriaknya lagi. Jaeha bukan orang yang sabar.
"Apa yang bikin kamu berpikir seperti itu?" tanya Jaeha, sedikit kesal. Akhirnya Yoon mengangkat wajahnya dan menatap Jaeha.
"Nggak usah berpura-pura. Aku bukan anak kecil yang bodoh. Aku nggak pernah menjadi anak kecil bodoh yang kamu pikirkan!" seru Yoon. Oh, Jaeha menyadari ada api di mata remaja ini. "Kamu nggak pernah makan masakanku kalau aku nggak masak dihadapanmu, kamu nggak pernah membiarkan aku membersihkan—masuk—ke kamarmu padahal kamu punya kunci duplikat ke kamarku, kamu selalu berjalan di belakangku... kamu selalu merasa bersalah setiap melihatku!"
Omelan—Jaeha lebih suka menyebutnya begitu—itu nampak seperti luapan yang telah ditahan Yoon entah sejak kapan. Jaeha hanya terdiam—kaget sekaligus bingung.
"Kamu tahu... apa yang aku lakukan?" suara Jaeha parau.
"Sejak delapan tahun yang lalu aku melihatmu, aku sangat tahu apa yang terjadi," jawab Yoon dengan tegas. "Karena itu, kalau selama ini kau nggak pernah percaya padaku, kenapa saat itu kau membawaku? Kenapa kamu berada disisiku saat itu? Kamu mau pastikan aku nggak akan balas dendam padamu? Apa setelah ini kau akan membunuhku juga?"
Jaeha langsung menarik dagu Yoon, membuat remaja itu tersentak.
"Aku nggak akan melakukan itu!" geram Jaeha, yang akhirnya kalap. Matanya mencelat marah.
"Apa aku sebuah trofi bagimu?"
Untuk sesaat, deburan ombak menjadi jawaban untuk Yoon. Jaeha menyentak tubuh Yoon menjauh darinya.
"Kita pulang. Kau harus les malam ini." Yoon menatap punggung Jaeha yang menjauh. "Dari semua orang, aku paling nggak ingin mendengar kata itu darimu."
"Semua itu memang nggak cocok buat kita, Jaeha."
Jaeha mengangkat wajahnya dari pisau yang dimainkan darinya. Seorang laki-laki tampan berdiri dihadapannya.
"Hak," Jaeha tersenyum melihat rekannya, atau orang paling dekat untuk disebutnya sahabat itu. Hak duduk disebelah Jaeha dan merebut pisau itu darinya.
"Memiliki seseorang itu hanya membuat beban untuk kita," kata Hak. "Apalagi kalau kasusnya sepertimu." Jaeha hanya diam.
"Serius, kalau kau tidak berniat menghabisinya, kenapa tidak kau lepas saja? Atau pertanyaanku sebenarnya, kenapa kamu memungutnya?" tanya Hak.
"Yah, ketika melihatnya dulu, kupikir dia akan jadi pengantin yang cantik..."
Mata Hak memandang jijik pada Jaeha. Jaeha tertawa kecil.
"Maaf, aku tidak suka suasana serius. Aku harus membuat lelucon," Jaeha masih tertawa terputus-putus yang terhenti ketika kepalan tangan Hak menghampiri rusuknya.
"Lalu?" tanya Hak dengan wajah stoic miliknya. Mengabaikan aduhan dari Jaeha.
"Aku tidak tahu. Aku sudah menghancurkan banyak keluarga sebelumnya, bahkan merengutnya dihadapan anak-anak mereka sendiri. Tapi Yoon..." Jaeha menghela napas. "Dia melihatku mengambil nyawa orang tuanya, tapi dia hanya diam. Dia tidak panik, menangis atau marah. Anak kecil itu hanya menatapku dengan tatapan—apa ya? Heran? Aku juga tidak mengerti. Mungkin untuk beberapa detik, ada rasa kemanusiaan yang hadir di diriku. Aku hanya berpikir kasihan kalau dia ditinggalkan. Makanya aku bawa saja, sekalian ternyata dia menurut padaku..."
Hak memandang Jaeha yang, entah laki-laki itu sadar atau tidak, matanya menerawang sendu. Lalu Jaeha menarik napas.
"Yah, salah satu alasan juga karena dia memiliki wajah yang manis. Begitulah," Jaeha menyengir.
"Dongeng yang bagus, om homo sekaligus pedofil," Hak bertepuk tangan. Sementara Jaeha langsung shock mendengar julukan itu. Walau dia tahu, memang itu kenyataannya.
Hak berdiri. "Tapi aku kesini bukan untuk mendengarkan dongengmu. Ada pekerjaan." Hak melemparkan sebuah map coklat ke pangkuan Jaeha. Jaeha mengangguk.
"...Jaeha, kupikir seberapa keras kau mencoba, kau dan Yoon tidak akan sampai ke tahap pengantin. Kau nggak akan pernah bisa percaya padanya, dan Yoon akan terlibat masalah kalau terus bersamamu."
Oh, Hak. Jaeha sudah sadar dengan kenyataan itu.
Chap.01 : END
Halo Author datang dengan cerita geje, maaf nyampah di fandom ini yah XD
(dan maaf juga sudah menghancurkan beberapa karakter disini wkwkw)
Selamat menikmati ^_^/
~Keep^^Writing~
