Merah senja itu adalah sayangku
Dan aku kekasih hatinya yang satu
Saat fajar kau menceritakan kaidah cinta
Sesejuk adzan pada panggilan salat kita
Disclaimmer
Kuroko no Basuke/黒子のバスケ© Fujimaki Tadatoshi
AKAD © Kina
ATTENTION : This story are purely fictitious. All characters appearing in this story are Fujimaki Tadatoshi (where some places and incidents either are products of the author's imagination or are used fictitious). Any resemblance to real persons, living or dead, is purely coincidental.
Dia tidak tahu dengan benar definisi cinta, tetapi ...
.
.
"Ahad, 31 Januari 20xx. Pernikahanmu akan berlangsung."
Pertama kali dalam hidupnya ia menyadari bahwa dongeng picisan; dari seorang putri yang pada akhirnya berbahagia telah dimenangkan hatinya oleh seorang pangeran berkuda, adalah bentuk dari fitnah dunia terkejam dalam bentuk romantisme yang berlebih; tidak realistis.
Kerudungnya telah ternoda air mata, bahasanya tak mengalun untuk terucap, namun bagi Tetsuya kabar itu terdengar sempurna—seharusnya..
Sepasang tangan keriput akibat termakan usia itu membungkus lembut pada kedua tangan Tetsuya yang terpangku.
"Ibu tahu ini terlalu cepat, tapi bukankah sesuatu yang baik itu seharusnya disegerakan?"
Tangan lain dari seseorang di sana turut memberi kenyamanan pada usapan lembut di kedua pipi Tetsuya.
"Apa kami terlalu memaksamu untuk menyetujui ta'aruf yang diajukan ustad Niji sepekan lalu?"
Tetsuya menggeleng pelan seraya memandang wajah kedua orangtuanya secara bergantian.
"InshaAllah, aku ikhlas menerimanya sebagai calon imamku, hanya saja ..."
Mendengar jawaban Tetsuya, kedua orangtuanya menangkap sirat bingung yang tidak ditutupi. Namun dengan segera akan dimakluminya. Mereka tidak akan ambil masalah, karena tahu bahwa semua orang mempunyai kode bahasa sendiri; termasuk putri semata wayangnya itu.
"Tetsuya.. tidak ada nilai keikhlasan jika masih ada sarat pengandaian di sana." Nadanya begitu pelan, dengan bijak ayahnya melanjutkan.
"Seperti surah Al-Ikhlas, apa kau temukan kata 'ikhlas' di sana?"
Yang ditanya hanya menggeleng kepala.
Senyum keibuan itu kembali terbit, seraya menerusi perkataan suaminya. "Begitulah ikhlas, cukup diyakini dan rasakan, tak perlu diucapkan."
Kata demi kata yang tersusun membentuk kalimat petuah itu kembali Tetsuya resapi maknanya.
"lakukan istikharah. Jika kamu merasa sulit untuk mengatakannya pada kami, setidaknya sampaikanlah semua itu dalam sujudmu kepadaNya."
Tetsuya menunduk semakin dalam, dan mereka tahu itu adalah cara putrinya untuk menyembunyikan emosinya yang tumpah.
Dan betapa seketika rasa aman ini dirasa ketika mereka saling merapatkan diri dalam sebuah pelukan.
.
.
Seijūrō pernah bermimpi tentang jendela kecil berkain tipis putih. Di balik sana, ia temukan sesosok wanita muslimah yang akan melengkapi hidup sekaligus penyempurna ibadahnya.
Pada sepertiga malam yang lain, ia terbangun dari mimpi yang sama. Sajadahnya sedikit bergeser lantaran Seijūrō jatuh tertidur dalam posisi sujud beberapa menit yang lalu.
Kedua tangannya yang terengadah, kemudian tertangkup dalam gerak halus mengelus wajah. Selesai memanjatkan doa, tiba-tiba Seijūrō merasakan sebuah tepukan lembut pada sebelah pundaknya.
"Percayalah nak, Tuhan selalu memberikan apa yang hambaNya butuhkan."
Lelaki paruh baya itu lalu duduk bersilang; mengikuti posisi sang anak. Di atas sajadah yang sama, mereka saling berdiskusi, dengan pembahasan yang berulang.
"Ingatlah ini baik-baik. Menikah itu sama dengan bunuh diri,"
Satu mengerut kening, yang lain melengkung bibir.
Masaomi melanjutkan. "Maksudnya, kau akan (atau harus) membunuh ego dalam diri. Segala keburukan sifat yang ada dalam diri seseorang niscaya akan meluruh jika sudah memasuki fase ini."
Seijūrō mengangguk, membenarkan apa yang diucapkan sang ayah.
Menikah. Merealisasikannya memang tidak semudah menulisnya dalam tujuh huruf dan melafalkan fonemnya dengan dialek apapun.
Dibutuhkan suatu ketenangan untuk membuatmu yakin; bahwa dialah orangnya.
Seijūrō menarik napas panjang. Perutnya masih belum meregang. Ia tidak berhenti meyakinkan dirinya sendiri bahwa sama sekali tidak ada temali yang melilit di sana. Pemikiran itu merupakan mantra, sekaligus sugesti yang menguatkannya selama beberapa minggu terakhir ini.
Beberapa minggu, bahkan bulan, yang melelahkan.
Menyenangkan.
Namun juga mendebarkan.
Yang akan berakhir bila bulan purnama di atas itu mengganti jadwal panggungnya dengan sang matahari.
Hitungan jam.
Ia ingin, sedikit saja, mengetahui apakah orang itu pun turut mengalami sensasi yang sama.
"Bisakah ayah percayakan pilihan calon mantuku padamu, nak?"
"InshaAllah, bisa." Tegas, mantap jawabannya diiringi anggukan kepala.
Peci yang menutup sebagian surai merah Seijūrō dielus pada satu tangan Masaomi yang menangkup. Wajah senja itu terhiasi kembali oleh senyuman. Ada suatu rasa kebanggaan yang tidak bisa ia utarakan secara verbal pada pewaris Akashi satu-satunya di sana.
Dan bagi Seijūrō itu adalah awalan yang sempurna untuk memulai kehidupannya yang baru.
.
Bersama dia, si wanita bermata biru.
.
.
Kamu dan aku hanya berjarak satu helaan napas
Ketika aku menyapamu dalam doa
.
.
.
—AKAD—
[Tangerang, 7/15/2018]
a.n : Moody to write Straight. nuhun nu geus maca
.
.
-Kin
