AIKOTOBA

Chapter 1

A Vampire Knight Fanfiction


Aku mengintip keluar jendela dari tempatku berdiri, menangkap silaunya matahari yang menyusup lewat sela sela gordeng kain tua yang menutup kusen seluruhnya. Jalan di depan gerbang terbuka lebar, seperti akan digelar karpet merah ditengahnya. Sedangkan di sisi kanan kirinya terdapat puluhan gadis menunggu—seperti lautan manusia.

Lalu suara teriakkan para fangirls pun mulai merayap ke dalam telingaku.

Mereka—berisik—sekali.

Namun aku yakin para guardian di akademi ini pun takkan mampu menutup mulut mereka.

Tak apa sih. Lagipula, bukankah itu menyenangkan untuk wajah mereka yang berteriak histeris ke arah kami, mengagumi kecantikkan dan ketampanan dari siswa siswi elite night class yang menghuni asrama ini, dengan binar mata yang sebegitu gerlapnya menghiasi setiap langkah kami berjalan.

Kurasa aku akan tertawa memikirkan itu.

Karena mereka sungguh tampak lemah.

Tetapi di samping itu juga, aku senang melihat fansku yang berkilauan, melambai ke arahku, memberiku hadiah. Aah—kau tahu itu. Aku merasakannya, gejolak yang membuat seberkas api tersulut dalam diri ini.

Tak ada yang lebih cantik daripada seorang wanita yang tersenyum ke arah orang yang ia sukai.

Kau setuju?

Begitu gerbang dibuka, kami para murid night class langsung melangkah maju mengikuti pemimpin kami, si presiden asrama bulan, Kuran Kaname yang dengan gagah, berkarisma berjalan melewati garis gerbang yang memisahkan antara dunia luar dengan dorm kami.

Aku sungguh tak tahan! Ingin sekali menyapa kalian, wahai bidadari ceria yang tak hentinya berkerling ke arahku! Mulutku langsung terbuka, mengeluarkan sapaan yang membuat mereka makin terpesona.

"Konnichiwa—! Meski sudah sore kalian para gadis masih bersemangat sekali ya!"

Dalam waktu singkat mereka membalas—berteriak.

"KYAAA! KONNICHIWA, IDOL-SENPAI!"

Dan dalam waktu singkat pula aku mendengos meremehkan dengan tampang like-a-boss.

Sementara yang lain hanya tetap berjalan.

Menyapa sih iya—tanpa ada kesan excited sama sekali. Mereka hanya tersenyum kecil. Di barisan kanan ada Takuma Ichijou—wakil dari Kaname-sama yang tampak berbunga-bunga. Di sisiku Akatsuki—sepupuku dengan tampang tak peduli melewati para gadis yang berusaha menyapanya. Sedangkan, di belakang ada orang-orang cuek yang tetap berjalan, bahkan tanpa senyum sekalipun.

Oh ayolah, hal seperti ini tak mampu kau nikmati saat tua!

Aku melirik dua orang dengan tampang mencolok—berusaha mengendalikan kegilaan para fans yang hendak menerobos ke garis depan. Mereka adalahYuuki Cross dan Zero Kiryu yang keduanya dipungut dari luar lingkungan sekolah. Mereka punya masa lalu tersendiri, dan keduanya memiliki masalah dengan Kaname-sama.

Aku tahu—

Tapi tak persis tahu.

Yang hanya kupikirkan adalah Yuuki-chan menyimpan rasa terhadap Kaname-sama sedangkan si rambut kelabu Kiryu itu membencinya.

Kurasa mereka bertiga terlibat cinta segitiga—dan kuyakin Kaname-sama keluar sebagai pemenangnya. Aku mendukung sekali itu! Aku mendukung Yuuki-chan berada di pihak kami dan melihat Kaname-sama tersenyum penuh kemenangan.

Segalanya demi Kaname-sama.

"Hanabusa, bisa tidak kau berhenti seperti itu? Kelamaan tingkahmu membuatku gila," sambil berjalan, Akatsuki menyenggol lenganku. Aku hanya melirik ke arahnya, "Kau tak mengerti, ini semua perlu dinikmati, Akatsuki!" balasku—bangga.

"Terserah kau, lah," ia pun mengalah.

Sampai beberapa menit kami berjalan, teriakkan mereka sudah mulai teredam oleh pepohonan rimbun yang membatasi pinggir jalan setapak.

Akatsuki tampak menghela nafas—membuatku penasaran.

"Kenapa kau?" tanyaku, tak bisa menahan rasa untuk ingin tahu. Entah mungkin saja jawabannya sepele.

"Bebas. Aku lelah tiap hari berhubungan dengan gadis gadis gila itu," mengerutkan dahi tampak pasrah, Akatsuki berjalan mendahuluiku.

"Eeh?! Kau tak bisa bicara seenaknya begitu mengenai mereka!" merasa tak terima, aku mulai membalap langkahnya yang terasa semakin cepat. "Kita harus menghormati mereka!"

Baru saja lawan bicaraku itu angkat mulut untuk membalas, kami terpotong oleh Takuma yang mencoba melerai. Ia menepuk bahuku dari belakang, spontan membuatku tertarik.

"Kalian… tampak seperti ingin bertengkar, hm?" ujarnya setengah membisik. Takuma tersenyum diatas mata emerald-nya yang tertimpa remang sinar matahari. Aku hanya mengibaskan tangan, "Tak mungkin! Iya, kan, Akatsuki? Hanya sedikit perbedaan pendapat!"

Akatsuki mengangguk, lalu menarikku untuk berjalan di sampingnya.

"Ya, kau tahu kita sudah seperti kembar," Akatsuki melengos.

"Akatsuki, kau pengertian sekali!"

Lalu selanjutnya yang terdengar hanyalah tawa kecil kami berdua.


Malam sudah sepenuhnya memakan langit yang semula terang. Bulan sabit sudah menggantung menggantikan matahari yang telah kembali ke peraduannya.

Aku hanya duduk terdiam sambil membolak balikkan helai kertas dalam buku tua yang tak jelas apa isinya—merasa bosan. Pelajaran tak kunjung mulai, dan itu membuat dahagaku semakin menjadi-jadi. Andai saja tak ada peraturan untuk meminum darah manusia di akademi ini…

Bokongku terasa kram untuk duduk berlama-lama di kursi ini.

"Akatsuki, temani aku yuk," aku berjalan ke arah Akatsuki—cepat, menepuk punggungnya dengan cukup keras. Ia takkan menolak dan aku tahu itu.

"Kemana?" tanyanya setelah menolehkan kepalanya ke arahku di sampingnya, dengan mata berbinar, penuh harap. "Keluar. Bosan sekali disini, mau mati rasanya," kugerakkan tanganku—mengibaskannya.

Apa kataku? Ia takkan menolak, kan? Tanpa bicara sepatah kata lebih banyak, Akatsuki ikut berdiri, berjalan keluar bersamaku. Menghabiskan waktu bersama sahabat itu memang takkan pernah terasa.

Sambil melewati koridor yang sepi, mendengarkan derap sepatu kami berbenturan dengan lantai kayu, aku mulai membuka pembicaraan dengannya. Bukan pembicaraan yang wajar sih…

Tapi setidaknya menghibur, bukankah begitu?

"Ne, Akatsuki, kau pernah merasakan darah pureblood?"

Rangkaian pertanyaan yang terlempar dari lidahku seketika membuat ekspresinya berubah—kaku. Ia menatapku dengan tatapan tak wajar, seperti terkesan kenapa-tiba-tiba-kau-tanyakan-itu-padaku. Dan jawaban yang kudengar hanyalah, "Kau gila, tentu saja tidak," yang diucapkan olehnya dengan nada datar, namun sedikit berteriak.

"Masa? Kau tahu, kan, honor sekali jika kau bisa merasakan darah pureblood itu seperti apa," aku merengganggkan tanganku ke atas, merasa sedikit pegal karena menegangkan punggung sedari tadi.

Tetap berusaha santai, aku melanjutkan, "Aku yakin nanti Yuuki Cross itulah yang bakal jadi penyicip darah pureblood paling beruntung milik Kana—"

..

..

PLAK

..

..

"Kurasa kau bisa menjelaskan apa maksud ucapanmu tadi, Aido,"

Mulutku tak sanggup bicara apa-apa lagi. Bibirku seperti terkunci ketika satu tamparan keras mendarat di pipi kananku. Setelahnya, aku hanya diam. Kaname-sama muncul mendadak di hadapan kami berdua—tanpa ekspresi—dan karena itulah aku tahu ia marah.

"Ka-Kaname-sama," gumam Akatsuki—terbata-bata.

"Kain, kembali ke kelas. Aku harus memberi sedikit penegasan tentang apa yang semestinya dan tidak semestinya vampire seperti kalian katakan mengenai pureblood,"

"Lalu, Hanabusa…"

"Lupakan dia. Cepat kembali, pelajaran seharusnya sudah dimulai sekarang,"

Aku melirik kecil ke arah Akatsuki yang tengah bingung. Di satu sisi ia ingin menemaniku untuk menjalani hukuman itu, tapi di sisi lain atasannya secara langsung memerintahkan dia untuk segera enyah. Sebagai sahabat yang baik, tentu saja aku tak bisa membiarkannya terjebak dalam jerat kedua pilihan tersebut.

"Pergilah," bisikku.

Akatsuki sempat menoleh ke arahku, melemparkan pandangan apa-maksudmu. Tapi pada akhirnya, ia memutuskan untuk meninggalkanku saja—sesuai mauku.

"Saya permisi, Kaname-sama,"

Dan hening.

..

..

..

"Katakan padaku. Perkataanmu barusan, jelaskan maksudnya kepadaku,"

Kaname-sama membanting sekian banyak buku yang ia kumpulkan dari belakang pintu, membantingnya ke atas meja kerja yang terletak di seberang pintu. Wajahnya tampak datar—ekpresi yang biasanya ia pasang—lebih kaku dari Akatsuki, ditambah tersirat kekesalan di bola mata coklatnya.

Aku masih tak bisa bicara. Dipojokkan dengan suasana dengan atmosfir yang tak jelas seperti ini—pokoknya kaku. Aku mengerti sekali, tak ada yang bisa membuat saat seperti ini mencair dan membuat tawa—paling tidak senyum terlepas. Dan sekarang yang bisa kulakukan hanya diam—berdiri membatu seperti patung di taman—tanpa mengeluarkan suara sedikit pun meski ditanya.

Kecuali jika batinku sudah cukup tertekan karnanya.

Aku menunduk.

"Kenapa dengan mulutmu? Kurasa tadi kau bisa bicara dengan begitu lancar,"

Aku masih diam—berpikir dalam kesunyian.

"Aido, jawab aku. Kau mau kuhukum, hah? Kau tahu, aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Sepertinya kau memang minta ditampar untuk kedua kalinya hari ini,"

Kaname-sama berjalan mendekat ke arahku dan aku tak mungkin bisa mundur atau mengelak. Rasanya pasti akan perih begitu tamparannya mendarat—lagi. Tapi, jika aku menjawab pertanyaannya sekali pun, Kaname-sama selalu punya celah untuk dimasukki dan itu akan jadi alasan baru untuk menambah hukumanku.

"Kau bicara seakan darah kami begitu mudah untuk didapatkan. Dan masalah Yuuki, apa urusanmu?"

Begitu mendengar kata Yuuki, entah kenapa katupan bibirku terbuka begitu cepat. Tak bisa menahan suara dan kata-kata yang melesat terpeleset keluar dari lidahku, aku hanya bisa menyesali akan jadi apa nanti hukuman yang kuterima.

"Saya hanya ingin melihat anda bahagia bersama orang yang anda cintai. Yuuki-chan ingin anda miliki, bukankah begitu? Mohon biarkan saya membantu! Saya akan melakukan apa saja agar Kaname-sama bisa bersamanya!"

Kalimat terakhir begitu cepat—agak pahit rasanya dilidah untuk kurasakan. Suasana kembali hening, tanpa tamparan dari Kaname-sama yang kuduga akan sampai di pipiku sebelum rangkaian kalimat kuselesaikan. Kaname-sama hanya menatapku—samar.

"Cepat keluar,"

Begitu dua kata tersebut terdengar, aku hanya terkejut tanpa bisa melakukan apa-apa.

Maksudnya—bagaimana dengan hukumanku? Benarkah Kaname-sama melepaskanku begitu saja? Tidak mungkin kan? Pasti ada sesuatu—sesuatu.

"Kau terlalu bodoh untuk ini. Keluar sebelum aku berubah pikiran, cepat,"

Berubah pikiran? Anda… sebenarnya kenapa?

"Terlambat. Moodku memburuk,"

Terjerat dalam kebingungan—antara harus bergegas keluar atau diam di situ sampai Kaname-sama memberikan hukuman yang pantas untukku, aku memutuskan untuk diam saja—90 persen karena takut—tatapan tajam yang dilontarkan Kaname-sama padaku…

..

..

GRIP

"KHAA—Ka-kaname-sama…?!"

Nafasku tercekat—telapak tangan Kaname-sama yang besar tergenggam membaluti sekujur leherku—mencekikku hingga sulit mendapat asupan udara untuk bernafas.

"Wajahmu membuatku muak—Aido,"


Itu kau sebut dengan rasa peduli?

Dimana ada rasa peduli seperti itu?

Kau pasti menginginkan sesuatu, kan?

Seperti Ruka yang ingin menjadi pengisi lubang di hatiku—

Seperti yang lain yang ingin tenar di kerajaanku—

Katakan apa maumu

Kau bodoh

Bodohbodohbodohbodohbodoh

TANGAN KANAN BODOH!


..

..

"Semua kulakukan hanya untuk—

Kaname-sama,"