Siang ini, mereka akan merampok bank.

Rencana itu dicetuskan Momo dua bulan yang lalu. Dell sedang sibuk menggoreskan bentang kota Paris abad pertengahan pada buku sketsa ketika Momo mengetuk pintu. Gadis itu membukanya sedetik kemudian, tidak merasa perlu menunggu dipersilakan masuk.

Dell bertanya mengapa Momo tiba-tiba datang berkunjung. Mereka terakhir kali bertemu dua minggu lalu dalam operasi pembobolan ATM yang nyaris sukses besar. Nyaris, karena Momo meninggalkan jepit rambutnya di tengah acara berlari kabur. Dell hampir meledak ketika mengetahui keteledoran kecil itu, tapi Momo memintanya tenang, semua akan baik-baik saja. Toh terbukti, hingga detik ini mereka belum dikejar-kejar polisi.

"Aku punya proposal untuk bos. Tapi aku harus dapat persetujuanmu."

Dell mengangguk-angguk, tidak melepaskan matanya dari permukaan kertas. Paling-paling Momo membawa rencana perampokan bank nomor kesekian. Daftar bank yang akan mereka rampok biasanya memang disusun oleh Momo, walau kadang-kadang Dell turut memberikan suara. Bos akan setuju-setuju saja selama dia dan Momo sudah sepakat.

"Sudah waktunya kita berhenti mengincar bank-bank kecil," kata Momo, menatap Dell dengan penuh keyakinan. "Kita tidak pernah tertangkap selama sepuluh tahun ini, kan? Kenapa kita tidak mencoba hal baru? Bank desa sudah, bank kabupaten sudah, tinggal bank pusat kota yang belum. Jika sukses, kita bisa menaikkan level incaran kita ke bank sentral."

Insting pertama Dell adalah melempar pensil di genggamannya ke muka Momo. Insting kedua menyuruhnya melakban mulut Momo sebelum yang bersangkutan melantur lebih jauh. Insting ketiga mendorongnya memberikan tanggapan seperti, "Kau gila, ya?"

Bank sasaran mereka berdiri di pusat kota. Gedungnya terdiri dari tiga lantai. Dell sudah hapal seluk-beluk bank itu hingga ke sudut-sudutnya: letak brankas, letak gudang, letak toilet, letak ruang karyawan, jumlah pintu, bahkan jumlah karpet yang ada di sana. Mereka sudah menyusun rencana sedetil dan sepresisi mungkin, mulai dari rencana A hingga F, rute kabur dari yang paling mungkin hingga mustahil, dari skenario terbaik (lolos dengan koper penuh uang) sampai terburuk (menerima tembakan tepat di kepala). Tapi tetap saja ini level baru dalam sepuluh tahun karir merampok bank mereka! Yang berarti risiko gagalnya juga sangat besar! Dell tidak dapat menahan diri berpikir mereka tengah menggali kuburan sendiri.

"Ini ide yang buruk sekali," cetusnya untuk mungkin kesejuta kali hari itu. Dia sudah mengulang-ulang rencana sejak mereka berangkat dari markas hingga kini ketika tiba di lapangan parkir, tapi hal itu tetap tidak membantu mengurangi kegugupan yang mendidih dalam darahnya. Dell mematikan mesin mobil dengan perasaan ingin meledak. "Sebentar lagi kita akan masuk penjara."

Momo mengabaikannya. Gadis itu mengecek penampilan di cermin untuk terakhir kali, sebelum menoleh pada Dell. Matanya berkilat-kilat penuh semangat. "Siap?"

"Ini ide yang buruk sekali!" Dell menggelengkan kepala kuat-kuat. Dia menggertakkan gigi, berusaha menenangkan degup jantung yang berdentum-dentum tidak karuan. Dia butuh air dingin. Atau mandi es. Atau tidur panjang setahun penuh. Ini gila. Dia merampok bank dan menyimpan hasilnya selama bertahun-tahun tidak untuk tertangkap polisi dalam satu operasi nekat yang tidak jelas peluang keberhasilannya ini. Dell menghantamkan kepala ke setir mobil, tiba-tiba ingin sekali pergi dari situ sekarang juga. "Kalau kita tertangkap, aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Aku mungkin akan menelan pil bunuh diriku begitu kita menginjakkan kaki di dalam."

Momo hanya menyeringai. "Dalam hitungan ketiga, oke? Kau siap?"

Dell ingin menonjok Momo di tempat. Dia ingin sekali melakukannya. Dasar partner kurang ajar. Dia sedang dilanda demam panggung parah begini, Momo malah santai saja membetulkan kunciran rambut. Kepalang tanggung untuk mundur, Dell meraih pegangan pintu dan siap-siap menghambur keluar. Rautnya masih carut-marut ketika berkata, "Hitungan ketiga."