Title : Dewi Air dan Bocah Telur

Rating : T

Characters / pairings : Sasuke / Hinata

Genre : Humor / Romance

Warnings : AU. OOC.

Summary: "Hei, Naruto," ujarku, teringat suatu dongeng. "Jika ada yang memberiku minum saat ini juga, kalau laki-laki jelas akan kujadikan saudara." "Kalau perempuan?" "Lihat-lihat." Saat itulah seorang dewi muncul di hadapanku. AU

Disclaimer : Naruto bukan milik saya.

Chapter 1

Cerita Sasuke

Kalau ada hal yang paling kubenci, itu adalah belanja. Bukan sembarang belanja. Kalau aku sendiri, aku akan langsung membeli barang yang kuinginkan dan memang kubutuhkan. Tapi yang paling tidak kusukai sebenarnya adalah mengantar ibuku belanja.

Ibuku wanita mungil. Tak akan ada yang menyangka bahwa dibalik figurnya yang demikian, ibuku memiliki stamina yang mengerikan. Dia kuat mengitari one-stop-shopping mall di tempat kami. Konoha Town Square terdiri dari banyak pertokoan, dan bagaikan peri bertubuh ringan, ibu hinggap di satu toko kemudian berada di toko lain. Dan siapa yang harus membawakan belanjaan? Tentu saja aku! Boleh saja aku anak laki-laki bertubuh tinggi dan kuat, tapi diseret kesana kemari di mall membuat staminaku kalah. Luar biasa melelahkan.

Seperti sore itu. Ayah, ibu, aku dan Naruto berangkat menuju Konoha Town Square. Ayah jarang mengantar ibu ke toko-toko karena punya tujuan sendiri. Tidak ada yang berani menggugat kepala keluarga kami itu. Ibu juga tidak keberatan.

Sebelum berangkat aku sudah memperingatkan teman pirangku itu. "Makanlah sekenyang mungkin dan minumlah sebanyak mungkin."

"Kenapa?" tanya Naruto tak mengerti.

"Supaya kuat mengantar ibuku nanti," jawabku setengah menggerutu.

Naruto terkekeh, membuat matanya menyipit dan goresan di pipinya makin tampak, membuatnya makin mirip rubah. "Jangan khawatir, aku kuat!" balasnya seraya menepuk dada.

"Hn. Kau belum tahu," balasku.

Benar saja. Aku dan Naruto jadi kuli angkat. Kami menyusuri lantai dua dan tiga, dengan tangan penuh menjinjing tas belanjaan. Baru satu setengah jam berlalu tapi rasanya makanan dan minuman yang masuk ke perutku sudah terbakar jadi tenaga. Sekarang tenagaku habis tak tersisa. Yang mengagumkan, ibuku masih terlihat ceria dan sudah merencanakan akan menyusuri underground mall.

"Ibu sudah janjian dengan tetangga kita akan belanja ke hypermart," cetus ibu memberitahu.

Hatiku mencelos. Di sebelahku Naruto bahkan mengeluh "Oh my God. Please give me strength" keras-keras. Mulutnya komat-kamit dan tangannya ditepuk di atas kepala. Walau aku ingin melakukan hal seperti itu, naluri Uchihaku melarangnya. Sama seperti Uchiha lainnya, aku, Sasuke Uchiha punya manner yang jauh lebih baik di atas rata-rata orang kebanyakan. Aku yakin wajahku terlihat pasif meski dalam hati mengeluh.

"Tante Mikoto, bagaimana kalau kami menunggu di sini?" usul Naruto penuh harap. Diam-diam aku setuju dengannya.

"Tapi kita masih harus mengantar ibu ketemu tetangga," kataku, teringat ucapan ibu.

"Tak usah," tolak ibu. "Kalian tunggu saja di sini. Ibu akan segera ke hypermart karena mereka sudah menunggu di sana."

Akhirnya aku dan Naruto duduk di depan toko buku, di dekat rail. Ibuku menuruni eskalator di samping kami. Tas-tas belanjaan tertata rapi di kanan kiri kaki kami.

"Unbelievable! She's as strong as a rock. Even stronger, I think," desah Naruto seraya geleng-geleng.

"She is," balasku pendek. "Every Uchiha is, in fact."

"Except you," Naruto nyengir.

Kupelototi dia.

Sungguh, hari itu energiku benar-benar terkuras, lebih dari biasanya. Bahkan Naruto, yang kata ayahnya adalah a ball of energy, ikutan terkulai. Bocah yang biasanya ceria dengan energi yang tak pernah habis sekarang kalah oleh ibuku.

"Aku haus," kataku. Keliling mall tidak membuatku lapar, melainkan haus luar biasa.

"Me too."

"Naruto, belikan minuman."

"Di lantai dua ini, dimana ada yang jual minum?"

"Hn, tak ada. Kau turun saja di eskalator ini, beli minum, terus kembali ke sini."

"Teme! Do it yourself!"

Sayangnya aku sudah tak kuat jalan. Di mall ini tiap lantai hanya memiliki dua eskalator, satu untuk turun ke lantai di bawahnya dan satu untuk naik ke lantai berikut. Sayangnya, dua eskalator itu tidak berdekatan, melainkan berada di masing-masing ujung keseluruhan lantai. Saat ini, membayangkannya saja sudah membuatku lebih loyo.

Di depan kami segerombolan orang asing lewat, keluar dari toko buku. Mereka bermata terang , berambut pirang dan coklat dengan kulit putih pucat.

"Hei, Naruto, siapa tahu mereka punya minum. Mereka temanmu, kan?" kataku, menunjuk mereka.

Naruto meninju lenganku. Mungkin karena kehausan sepertiku, tinjunya tak terasa sakit. "Teme! Tidak semua orang asing itu temanku!" serunya kesal.

"Hn."

Naruto adalah anak blasteran. Ayahnya orang Amerika yang memiliki darah Jepang mengalir di tubuhnya. Mr Minato Kamikaze, ayahnya, mengajar Bahasa Inggris di sekolah kami. Naruto memiliki banyak teman, baik kawan Jepang mau pun asing.

Aku benar-benar kehausan sampai-sampai kupikir aku sudah mengalami dehidrasi. Menyiksa sekali. Di depan kami, ada seorang anak kecil berjalan bersama ayahnya. Gadis cilik itu dengan nikmatnya meneguk isi jus kalengan di tangan mungilnya. Tanpa bisa kutahan, mataku mengikuti bocah kecil itu, ingin ngiler melihatnya dengan ceria dan tanpa rasa berdosa minum jus di depanku. Walaupun saat itu juga aku berpikir, memproduksi air liur pun aku tak sanggup. Bahkan ada pikiran gila di kepalaku: kalau ayah anak perempuan itu menoleh dan melirik kami, kemudian menyuruh anaknya memberi minumannya, dengan sukarela aku akan menerima.

"Hei, Naruto," ujarku, teringat suatu dongeng. "Kalau ada yang memberiku minum saat ini juga, kalau laki-laki jelas akan kujadikan saudara."

Naruto menoleh, bengong kemudian tertawa lemah. "Lho, Itachi mau dikemanakan?" tanyanya seraya menunjuk kakak laki-lakiku.

"Itachi tetap jadi saudara pertama," timpalku.

"Kalau perempuan?" Naruto benar-benar nyengir.

Aku menarik bibirku sedikit. "Kalau perempuan, yah, lihat-lihat…" jawabku dengan nada menggantung.

"Lihat-lihat? Well…"

"Kalau masih kecil, kujadikan adik," lanjutku. "Kalau cantik, bakal kupertimbangkan jadi pacarku."

Naruto geleng-geleng. Wajah anehnya tampak geli. "Promise?"

"Promise."

Tentu saja aku tidak serius. Saat itu rasa hausku sudah mencapai titik ekstrim sampai-sampai imajinasiku juga ekstrim. Tak dinyana saat itulah keajaiban terjadi.

Seorang gadis menghampiri kami. Aku tak menyadarinya sampai dia duduk dan pandangannya selevel denganku dan Naruto. Tanpa berkata-kata, dia tersenyum sambil mengeluarkan dua botol minuman dingin. Aku tak ingat apa yang dikatakannya. Pikiranku mendadak kosong. Yang pasti, ketika dia menjulurkan botol minuman padaku, aku refleks menerimanya, seolah-olah itu hal yang wajar. Setelah kuteguk isinya sampai setengah, barulah aku menyadari bahwa seharusnya aku tidak boleh menerima minuman atau makanan dari orang asing. Barulah setelah rasa hausku sirna, akal sehatku mulai jalan. Bagaimana kalau ternyata dalam minuman itu ada racun atau jampi-jampi pemikat supaya aku mau ikut dengannya dan tanpa menyadari bahwa aku sudah diculik?

Aku hendak menanyai siapa dia dan apa maksudnya. Tapi kemudian suaraku tercekat di kerongkongan.

Pantulan cahaya membentuk halo di rambut indigo cewek yang tak kukenal itu. Wajahnya putih, seputih yang biasanya diiklankan di media. Memandangnya membuat sejuk hati, tenggorokan dan mulutku yang sempat kehausan sampai kering kerontang. Lagi-lagi aku tak tahu harus berkata apa. Hal yang nyaris tak pernah terjadi.

Wajah teduhnya menyunggingkan senyum kecil dan malu-malu.

Seperdetik kemudian aku teringat janjiku. Tiba-tiba, pemikiran menjadikannya seseorang yang istimewa muncul dengan kuat di kepalaku. Bagiku, dialah Dewi Air yang sudah menyelamatkanku. Dewi cantik yang menolongku dari rasa haus yang mencekik. Kalau ini bukan cinta pada pandangan pertama, aku tak tahu lagi. Otakku yang super pintar pun tak menemukan jawabannya.

TBC

Selamat membaca.