STALINGRAD (Tore Niederlage)

Meanie Couple

Mingyu & Wonwoo

Presented by Crypt14

! Please don't spread without permission

! Mencoba untuk menghargai karya orang lain dengan meninggalkan kritik serta saran pada kolom review setelah membaca adalah perbuatan terpuji

! Please don't try to steal my fiction and modify it without permission, I hate it tbh.

! Kemungkinan akan terdapat beberapa kejadian yang membuat pembaca sedikit kebingungan, mohon untuk memperhatikan dengan baik waktu berlangsungnya suatu kejadian

! Rated M untuk beberapa adegan disturb serta kata-kata kasar.

Enjoy this fiction

.

.

Stalingrad, End of Summer 1942

Itu adalah waktu dimana matahari masih sempat terasa menghangatkan tubuh para tentara Jerman yang mulai bergerak masuk ke dalam kota kecil di pinggiran sungai Volga bernama Stalingrad. Barisan teratur tank, artileri beserta tentaranya tampak memenuhi perbatasan kota kecil tersebut. Dengungan dari mesin-mesin pesawat yang bergerak maju di langit kota Stalingrad terdengar pada setiap sudutnya. Ia berada disana, bebaris bersama tentara lainnya untuk melakukan penyerangan pada kota kecil yang terletak di Rusia bagian selatan itu. Bunyi dengungan yang semula hanya menjadi pemecah keheningan mulai tergantikan perlahan oleh ledakkan-ledakkan dari bom-bom yang di jatuhkan oleh angkatan darat Jerman, Luftwaffe. Menyisakan puing-puing reruntuhan yang perlahan memenuhi kota kecil tersebut. Jeritan warga sipil yang begitu memilukan terdengar di kejauhan, mengaung diatas langit kota seakan menyatu bersama kepulan asap hitam yang membumbung tinggi diatas sana. Mingyu, pemuda berparas asia itu mengadah sejenak. Menatap pada kepulan asap hitam yang tampak begitu kontras dengan warna langit Stalingrad. Kedua kaki jenjang miliknya yang terbungkus oleh pakaian tentara masih mengayun, sejajar dengan langkah para tentara lainnya yang tergabung dalam kelompok tentara 6. Misi mereka hanya satu, mengambil alih kota Stalingrad dari tangan sekutu.

Desingan pesawat Luftwaffe masih mengaung disana, membombardir kota yang awalnya tampak begitu tertata rapih menjadikannya porak poranda dalam waktu singkat hanya untuk mengusir penduduk asli keluar dari kota tersebut. Mingyu membuang nafasnya panjang, menatap lurus pada pemimpin kelompoknya yang tengah menjabarkan rencana-rencana penyerangan. Ia memahami betul, segala bentuk rasa ambisius yang tertanam dalam tubuh kelompoknya. Bahwa Stalingrad harus jatuh dalam kuasa Jerman bagaimana pun caranya. Mereka harus berperang, mengenyahkan segala macam rasa takut maupun kekhawatiran. Menjadikan nyawa mereka sebagai taruhan untuk meng-invasi kota tersebut, hanya demi satu tujuan yang begitu jelas tertanam dalam pola pikir disana. Merebut Stalingrad menjadikan obat luka atas kegagalan mereka dalam tujuan penaklukkan kota Moskow, 1941.

.

"Jadi, bagaimana rasanya?" Pemuda itu menoleh, melemparkan pandangan tanpa ekspresi pada rekannya. Membuang nafasnya, seraya kembali menatap pada senjata yang berada dalam pangkuannya. Langit diatas kepalanya tengah menyemburatkan warna kehitaman. Mereka memutuskan untuk berhenti membombardir kota itu sesaat, mengistirahatkan diri mereka untuk kembali melawan sekutu esok. "Entahlah, aku sudah terbiasa." Pemuda di sisinya terkekeh. Mengusap moncong senjata laras panjangnya dengan sebuah sapu tangan yang tampak begitu usang. "Jangan sampai tertangkap saat penyerangan. Kau tahu konsekuensinya 'kan?" Mingyu ikut terkekeh, mengadahkan wajahnya menuju langit yang tampak begitu pekat. "Masih hal yang sama ku rasa. Mati kelaparan, atau menjadi budak Soviet sampai mampus."

"Ingat saat penyerangan ke Moskow?" Mingyu terdiam, namun Jisoo pemuda di sisinya tersebut mengetahui betul rekannya itu mendengarkan dengan seksama. "Aku kira kita akan berhasil awalnya. Namun kenyataanya Soviet mampu mendorong kita untuk mundur, sial aku benar-benar tidak percaya hal itu terjadi." Pemuda itu masih terdiam. Pandangannya tampak begitu jatuh pada langit kota Stalingrad. Semilir angin berhembus lembut, merengkuh tubuh setiap orang yang di lewatinya. "Musim panas sudah berada di penghujungnya. Kau merasakannya 'kan? Anginnya sangat dingin." Jisoo merapatkan jaket tentara yang membungkus tubuhnya. Kembali meletakkan senjata miliknya, mengikuti arah pandang Mingyu. "Langitnya begitu redup."

"Jisoo." Pemuda itu berdehem, tidak berusaha mengalihkan pandangannya dari langit diatas sana. "Menurut mu, apakah Tuhan tengah menatap balik kita saat ini?" Dan keheningan mengukung keduanya. Jisoo terdiam, mencerna dengan baik maksud dibalik ucapan pemuda yang berada dibawah umurnya itu. "Entahlah." Bisiknya begitu pelan. Sebuah kurva melintang samar pada garis bibir Jisoo. Sebuah senyuman yang begitu mengisyaratkan pertanyaan tersimpan di dalamnya. "Menurut ku, daripada menerka hal semacam itu lebih baik kita beristirahat. Esok akan menjadi hari yang cukup panjang aku rasa."

.

.

Mereka kembali bergerak, memecah kelomok menjadi bagian kecil. Menyusup masuk ke dalam kota. Mengangkat senjata, menjaga jarak antara territorial milik mereka dengan musuh. Mingyu mengendap, mencoba mengintip dari balik reruntuhan bangunan dibalik punggungnya. Bergerak maju, ia memahami dengan pasti bahasa tubuh yang diberikan sersan oleh ia dan beberapa rekannya.

Bunyi ledakkan kuat terdengar beberapa kilo dari tempatnya berada saat ini. Pemuda itu terhenti sejenak dari langkahnya, menatap pada kepulan asap hitam yang kembali membumbung tinggi diatas langit pagi kota Stalingrad. Jika harus berkata jujur, sudut paling kecil dalam dirinya selalu mengatakan bahwa segala yang di jalaninya kini adalah kesalahan besar. Bahwa ia merasa dirinya jauh lebih keji dari seorang iblis sekalipun. Merenggut nyawa orang yang bahkan masih menanam harapan agar perang ini berakhir maupun impian dari anak-anak muda yang berada disana. Warga sipil, mereka adalah korban yang sesungguhnya. "Mingyu awas!"

Ia hanya mengetahui satu hal, rasa nyeri yang menghantam bahu kirinya sesaat setelah timah panas merobek daging hingga benda itu tertanam dengan baik dalam tulang belikatnya. Pemuda itu meringis, tersungkur di tanah dengan darah segar yang mengalir dari lubang di bahunya. "Bangsat! Tarik dia! Tarik dia!" Pemimpin dalam kelompoknya berseru hebat. Seorang dari rekannya tampak berlari mendekat, menyeret tubuhnya ditengah selongsong peluru yang terus berusaha mengenai keduanya.

Mingyu terdiam, mencoba meredam rasa paniknya. Bermaksud untuk tidak membuat dirinya kehabisan darah. "Perban dia!" Ia mendengarnya dengan jelas, pekikkan dari kepala pemimpinnya yang berseru begitu keras pada seorang rekannya. Pemuda itu hanya terdiam saat luka pada bahunya ditekan kuat guna meminimalisir aliran darah yang masih tampak enggan berhenti. "Bawa ia kembali ke barak, yang lainnya kembali maju."

.

.

"Kau berniat bunuh diri?" Ia masih terdiam. Kembali memperbaiki letak seragam tentaranya. "Maaf atas kelengahan ku." Ujarnya, kedua pandangannya jatuh pada pemuda seusianya yang tampak tengah kembali merapihkan peralatan medis. "Itu bukan masalah besar selagi peluru itu belum melubangi kepala mu. Kau tidak berniat mati membusuk di tengah perang 'kan." Ia terkekeh pelan. Kembali menapakkan kakinya pada tanah dalam tenda medis yang terasa begitu pengap. "Kau berdoa agar timah panas itu melubangi kepala ku?" Minghao, pemuda yang juga memiliki garis keturunan asia itu mengulas senyum tipis. Pandangannya tidak teralih dari sekotak perban yang masih di rapihkannya kembali. "Bukan, aku tidak akan pernah berdoa hal semacam itu menimpa mu."

"Lalu?" Ujarnya kembali. Pemuda itu menghembuskan nafas panjang, menatap tepat pada arah pandang Mingyu yang berjarak darinya. "Aku hanya memperingatkan mu." Mingyu tersenyum tipis, menggaruk pelipisnya. Kembali menapaki tanah dibawahnya bermaksud untuk beranjak menuju barak. "Kau harus menjaga dirimu tetap hidup, kau tidak melupakan tujuan akhir mu bukan?" Dan satu pernyataan itu menghentikan langkahnya sesaat. Mingyu terdiam, setelahnya menarik sudut bibirnya. "Aku tahu."

.

.

Itu adalah ledakan kesekian yang menghampiri indera pendengaran Mingyu. Pemuda itu kembali menatap langit kemerahan yang tertutupi oleh kepulan asap hitam dari ledakkan manuver milik kelompoknya. Ia dapat mendengarnya disana, di kejauhan suara jeritan pilu yang begitu menghantam rongga dadanya. Mingyu hanya prajurit biasa, namun begitu memiliki peranan penting dalam kelompoknya. Seorang snipper jitu.

"Hoy, aku kira otak mu sudah berceceran. Kau masih hidup rupanya." Ia mendengus sesaat, setelahnya melemparkan senyuman pada pemuda yang berjalan menujunya. "Berharap aku tewas?" Pemuda itu tampak terdiam dengan raut berfikir sejenak. "Tidak, jika bukan di depan mata ku." Dan tawanya lepas. Hanya senda gurau sesaat ditengah rasa khawatir yang menggantung dalam dada kedua pemuda itu. "Tidak ada operasi?" Seungkwan menggelang sesaat. "Malam ini."

"Maksud mu?" Si tinggi menatap pada si pendek sejenak, melemparkan tatapan tanya atas ucapannya barusan. "Komandan membuat rencana baru, penyerangan dilakukan saat malam. Mereka pikir tentara Soviet kemungkinan lengah saat malam." Jabarnya. Mingyu masih menjatuhkan pandangannya disana. Hening menjerat kedua pemuda itu, dan hembusan angin seakan menjadi satu-satunya yang terasa hidup. "Tapi aku merasa ketakutan." Mingyu berdehem, memberikan feedback kebingungan atas perkataan Seungkwan kembali. "Aku hanya merasa begitu takut, entah apa alasannya aku hanya merasa begitu takut Mingyu."

.

.

Desingan peluru masih menggema pada setiap sudut kota Stalingrad. Pemuda itu beranjak, menjaga posisinya senyaman mungkin. Sesaat memejamkan salah satu matanya hanya untuk menatap pada bidikan senapan miliknya. puing-puing bekas pengeboman pesawat Luftwaffe masih mendominasi sekelilingnya. Ia menarik nafasnya dalam, menahannya sesaat sebelum menarik pedal pada senapannya. Memuntahkan timah panas yang tampak begitu cepat meluncur menuju seorang tentara Soviet. Dan ia terdiam pada posisinya menatap mayat tentara itu dari tempatnya berada. Pemuda itu dapat mendengar dengan jelas teriakkan dari tentara Soviet lainnya. "Penembak jitu! Arah jam dua, lantai dua bangunan kosong!"

Ia beranjak, meraih senapannya secepat mungkin berusaha untuk menghindari serangan balik yang dilancarkan oleh tentara sekutu pada detik selanjutnya. Bunyi tembakan yang terdengar memberondong begitu terdengar jelas di telinga pemuda itu. Mingyu merunduk, mencoba menghindari setiap timah panas yang mengejarnya, berusaha untuk membuat lubang pada kepalanya yang akan membawa pemuda itu pada ajalnya sendiri.

Ledakkan begitu keras menjerit sesaat setelah ia menginjakkan kakinya pada tanah kota. Menatap pada potongan tubuh manusia yang tampak bercecer di setiap sudut jalan kota. Lagi, Mingyu memahami betul bahwa ini adalah kesalahan. Ia menghembuskan nafasnya, kembali beranjak dari tempatnya.

"Bangsat, bangsat itu. Mereka kira akan mampu melawan kita." Ia hanya terdiam, merekam dengan jelas sumpah serapah yang meluncur dari balik mulut setiap rekannya. Itu adalah tentara sekutu, kematian yang begitu menghinakan menyapa mereka. Ledakkan dari meriam yang di muntahakan oleh tank milik kelompoknya dalam hitungan detik menghancurkan tubuh para tentara Soviet. Tawa merendahkan terdengar bersahutan, namun bagi Mingyu tawa itu menyisakan sebuah tanda tanya begitu besar dalam dirinya. Hal apa yang tampak begitu lucu dalam situasi seperti ini untuk di tertawakan?

.

.

Jisoo masih berjaga pada posisinya. Menatap tajam pada jalan-jalan kota yang tampak begitu sepi. Namun pemuda itu mengetahui betul bahwa tentara sekutu berada disana, menunggu mereka lengah untuk mengantarkan malaikat pencabut nyawa pada kelompoknya. "Mereka tidak akan menyerang." Ia menoleh, menjatuhkan pandangannya pada sosok pemuda berkulit kecoklatan yang berada tepat disisinya. Terkekeh pelan dengan nada mengejek. "Tahu darimana jika mereka tidak akan menyerang." Sesaat pemuda itu terdiam, belum berusaha menjawab pertanyaan rekannya. Helaan nafas panjangnya menguar, membentuk kepulan asap samar pada udara di sekelilingnya. "Hanya feeling ku saja."

"Terkadang feeling bisa meleset, Mingyu." Dan tawa renyah milik Mingyu terdengar. Ia masih menatap pada mocong senjatanya. "Begitu 'kah?" Jisoo mengangguk, kedua iris matanya masih berjaga. "Mereka belum melakukan penyerangan, menurut mu rencana apa yang sedang di buat oleh Soviet untuk mendorong kita mundur?"

"Entahlah, aku tidak berfikir bahwa mereka akan mampu mendorong kita untuk keluar dari Stalingrad." Jisoo menoleh sesaat, menatap lama pada sahabatnya tersebut. "Kita berada jauh diatas mereka. Tank, pesawat, artileri bahkan prajurit. Menurut mu apa yang bisa mereka lakukan dengan peralatan yang tidak memadai?" Ia tersenyum, membentuk sebuah kurva pada garis bibirnya yang tampak begitu angkuh membuahkan dengusan bercampur kekehan dari mulut Jisoo. Pemuda itu membuang nafasnya, menarik kembali moncong senapan yang sedari tadi berusaha membidik tentara sekutu. "Oh baiklah, aku rasa kau ada benarnya juga. Soviet begitu miskin."

.

.

Stalingrad, October 20th 1942

"Bergeraklah lebih cepat!" Seseorang memekik begitu keras. Kekacauan tampak begitu kontras terjadi di pinggiran sungai Volga. Puluhan bahkan ratusan orang tampak memadati tempat itu. Uni Soviet, menurunkan kembali tentaranya. "Ambil senjata kalian! angkat setinggi mungkin! Bunuh para babi Nazi itu!" Seruan begitu terdengar melengking dari pria paruh baya yang berada disana bersama dengan sebuah pengeras suara di tangannya. Mengaungkan segala bentuk demokrasi nasionalisme pembelaan negara hanya untuk membangun kembali semangat para tentara baru yang sempat berada pada titik terlemahnya setelah serangan bom bertubi-tubi yang di jatuhkan oleh pasukkan Lutfwaffe Jerman. "Tidak ada kata mundur! Mati atau kalah! Berperang 'lah hingga timah panas menghancurkan otak kalian ataupun bersarang tepat di jantung kalian!" Ia masih berseru, seseorang lainnya tampak membagikan senjata laras panjang pada setiap prajurit baru. Red Army, sebuah titik balik dari prajurit Soviet di tengah-tengah keputusasaan mereka dalam menghadapi Jerman.

Pemuda itu terdesak, melangkah dengan tergesa saat beberapa orang yang berada di belakang tubuhnya mendorongnya kuat. Sebuah senapan tergenggam dalam pelukkannya. Ia bukan tentara yang sebenarnya. Hanya seorang mahasiswa, warga sipil yang di paksa oleh pihak pemerintah untuk turut memperjuangkan Stalingrad, kota yang akan menjadi titik kehancuran Soviet jika jatuh kedalam kekuasaan Jerman. "Bergeraklah lebih cepat!" Pemuda itu masih memeluk erat senapan di dadanya. Sejenak menaikkan ujung dari helm pelindung yang bertengger pada kepalanya saat benda itu terdorong kedepan, menutupi jarak pandangnya. Sejujurnya, ia merasa begitu takut. Namun apa yang di ketahuinya hanyalah berada bersama dengan rekan lainnya, berperang melawan sekutu sekalipun ia tidak memahami dengan baik bagaimana cara kerja benda yang kini berada dalam dekapannya hanya untuk satu tujuan yang sama, mempertahankan Stalingrad demi keutuhan negara.

Nafasnya menderu hebat, ia berjaga bersama yang lainnya. Mendengarkan dengan seksama rencana penyerangan yang tengah di jelaskan dengan menggebu oleh pemimpin pasukkannya. Sisa-sisa dari lumpur yang mengering tampak mengotori setiap tempat pada baju juga wajahnya. Begitu kontras dengan warna kulit miliknya yang tampak seperti susu. "Hey." Ia menoleh, menatap pada pemuda yang berjongkok disisinya. "Kau ketakutan?" Pemuda itu terdiam, hanya menunjukkan ekspresi datar pada garis tegas wajahnya. Hembusan nafas cepat terdengar dari mulut pemuda yang menyapanya. Ia terhenyak sesaat, merasakan tangan dingin yang menggenggam pergelangan tangannya. "Tenanglah, kita akan baik-baik saja." Dan seakan begitu banyak beban yang terangkat dalam dirinya, ucapan itu mampu membuat rasa takut dalam dadanya perlahan berkurang. Ia menarik garis bibirnya samar, melemparkan senyuman tipis pada pemuda disampingnya itu. "Choi Seungcheol." Dan untuk pertama kalinya sejak ia ditarik paksa untuk ikut berperang, pemuda itu kembali mengeluarkan suaranya. "Jeon Wonwoo."


030916 by Crypt14

Hello i'm back again with my new fanfict. Udah lumayan lama yak kita gk bersua, so we meet again my loyal readers with new chaptered ff. Masih tema yang gk jauh beda adventure & perang. I dunno why i love this genre. Okay cuap" sedikit mengenai tema ff yg diangkat kali ini, seperti judul yang bisa kalian liat diatas STALINGRAD mungkin ada beberapa dari kalian yg terbesit pertanyaan soal apa sih stalingrad itu?. Oke, jd Stalingrad itu nama dari sebuah kota yg saat ini namanya udah berubah jd Volgograd, letaknya di sebelah seltan dari Rusia. Kota kecil yg sebenernya bukan landmark dari negara Uni Soviet cuma kota Stalingrad itu bisa dibilang sebagai salah satu pintu masuk menuju kesana. Kalo kalian ngegoogling mengenai Stalingrad percaya deh something deep in your heart cieilah kalian bakal merasa begitu penasaran. Stalingrad, kota kecil yg nyimpen begituuuu banyak kenangan pahit peperangan antara Jerman vs Uni Soviet. Sekitar 1,6jt dari masing" negara harus berkabung buat ngenterin jenazah korban peperangan dikota itu. Perang yg selalu disebut" titik balik dr World War 2. Nulis ff ini itu tantangan banget buat aku tbh. Kenapa? krn jujur aja aku itu gk berani ngangkat tema yang mengacu sama perang sesungguhnya, perang yg memang betul terjadi didunia nyata krn jujur ya aku itu perfect dalam segala hal. Maunya sempurna, so setiap kali nulis yg based on Real aku maunya betul" real. Jadi pas nulis ff ini tuh agak kelabu gitu gk pede krn khawatir kalo gk sesuai dgn faktanya. But, i choose to still post this fiction. Semoga aja menarik pembaca ya.

xx : utk kalian yg ngebaca dan mampir di ff ini dimohon dgn sangat tinggalin kritik dan saran kalian, please jangan cuma review next or anything else like that bcs that's so bad tbh. Aku ngerasa agak eneg gitu liat review yang cuma bilang next, lanjut atau apapun itu. So please, be a smart readers dan tolong juga jgn cuma ngeklik fav/follow krn keliatan banget deh kalian itu males banget ninggalin jejak. Coba utk hargai jerih payah orang lain ya :)

okay, last but not least I want to say thank you so much for everyone who still follow my fiction and leave their comment. I really appreciated it. Sorry for typos

Salam,

Crypt14