"Naruto…" wanita yang terlihat tidak berdaya itu memanggil anak sulungnya.

Naruto yang sejak tadi diam menunggu ibunya terbangun dari lamunan. Ia menggenggam tangan ibunya, dan mengecup punggung telapak tangan ibunya dengan lembut. Selanjutnya, dengan wajah sendu, Naruto mengelus kening ibunya. Sesekali pemuda itu mengucapkan doa pada Tuhan agar rasa sakit yang diderita ibunya menghilang.

Naruto memaksakan dirinya untuk membalas senyuman Kushina yang selalu terlihat cantik, walaupun wajahnya memucat dan berkerut—termakan oleh penyakit. Sakit hati, sedih, dan penderitaan Naruto, tidaklah sebanding rasa sakit yang diderita ibunya, namun tetap saja, melihat kondisi salah satu orang yang dicintainya seperti ini membuat Naruto sulit untuk tersenyum, bahkan mengucapkan kata-kata manis sekalipun.

Kushina membuka mulutnya, meminta sang anak untuk mendekatkan telinga pada bibirnya.

"Kaa-san, Kaa-san mau apa?" tanya Naruto dengan lembut. Ia membuka masker yang menutupi mulut dan hidungnya agar aroma obat tidak tercium.

"Sakitnya terasa lagi? Aku panggilkan dokter, ya?" tanya pemuda ini, ketika ibunya hanya menatap dirinya.

Kushina mencegah Naruto untuk beranjak pergi. "Tou-san-mu..," Kushina hanya mengucapkan satu kata yang membuat jantung Naruto serasa dihunus oleh ribuan pedang.

Naruto terdiam ketika mendengar permintaan ibunya.

Naruto mengelus rambut Kushina yang merahnya memudar, sedikit beruban. Kushina tampak kewalahan ketika Naruto hanya diam saja.

Berharap anaknya merespon, Kushina memaksakan diri untuk merubah posisi menjadi terduduk, namun gagal. Tidak ada tenaga sedikitpun di dalam tubuhnya, membuat dirinya melemas karena hidupnya sudah bergantung pada obat-obatan dan alat yang diberikan oleh dokter rumah sakit.

"Jangan bergerak tiba-tiba, Kaa-san," Naruto berusaha memposisikan ibunya untuk tiduran kembali, dan ibunya menurut untuk kali ini.

Naruto megenggam tangan ibunya semakin erat. "Dia pasti datang, Kaa-san. Percayalah, dia pasti datang," ujar Naruto, walaupun dia tidak yakin bisa memenuhi keinginan ibunya yang hanya tinggalah menghitung hari sebelum ajal menjemputnya.

"Kaa-san percaya, kan, padaku?" setetes air mata membasahi pipi Naruto. Anak muda ini berharap dia tidak berbohong. Ia berharap orang yang dicintai ibunya akan hadir dan duduk di samping ibunya.

Kushina menggerakan jari-jarinya, menghapus air mata anak sulungnya. "Aku selalu percaya padamu, Nak," bisik Kushina dengan lembut.

"Sampai kapanpun, Kaa-san selalu mempercayai anak-anak Kaa-san," lanjutnya. Kushina pun memejamkan matanya, lelah.

"Kaa-san akan menghemat energi untuk Tou-san-mu," lanjut Kushina.

"Sampai dia datang," lanjutnya, dengan senyuman penuh keyakinan.

"Ya, Kaa-san.. beristirahatlah agar kau bisa berbicara banyak pada Tou-san," bisik Naruto, berusaha menghapus kesedihan di dalam dirinya.

"Dia pasti akan datang."

.

.

Di kala itu, semua terasa mimpi terburuk bagi Naruto.

Rasa pedih ketika melihat orang yang disayanginya terbaring sakit, semakin terasa ketika Naruto tidak bisa memenuhi permintaan terakhir ibunya.

Harapan terakhir Naruto pun untuk membahagiakan ibunya kandas hanya karena ayahnya sendiri.

.

.

Hanya sosok kehadiran seorang suamilah yang selalu diminta Kushina pada akhir hidupnya, tidak peduli jika anak sulungnya lah yang selalu menemani Kushina di dalam sakitnya.

Kushina selalu menanti suaminya, tetapi...

Hingga akhir hidupnya, orang yang dicintai Kushina adalah satu-satunya orang yang tidak hadir dan melihat dirinya meninggalkan dunia.

Ya, di saat itu, Naruto bisa merasakan kesedihan Kushina, walaupun Kushina tidaklah mengatakan kesedihan di dalam hatinya.

Semenjak itupun, semenjak ibunya meninggal, Naruto berpikir, jika dia lebih baik sendiri—tanpa ada cinta yang akan menyakiti hatinya, hingga berakhir seperti kematian ibunya..

Cinta itu tidak ada, bahkan cinta keluarga sekalipun.

Setelah itu, Naruto selalu berpikir demikian.

Dia—Naruto, sama sekali tidak percaya pada cinta.

Sampai kapanpun.

Wow, Because You are Naughty, Naughty!

Disc: Masashi Kishimoto

Rat: M

Pairing: SasuNaru

Warn: Miss typo, OOC, AU, bahasa cukup kasar, dan masih banyak lagi hal-hal tidak baik yang bisa ditemukan di dalam.

Cerita ini hanyalah untuk kesenangan belaka, dan bukan untuk dikormesilkan, terlebih untuk menghina pengarang aslinya.

Chapter 1: Datangnya Mereka

Itachi-Naruto: 26 tahun

Sasuke: 22 tahun

Kyuubi: 18 tahun

Deidara: 16 tahun

Konan: 14 tahun

Nagato: 5 tahun

KALAU orang berpendapat tidak ada manusia sempurna di dunia, itu bohong.

Begitulah pendapat Naruto Uzumaki, pemuda 26 tahun berambut pirang jabrik yang merupakan salah satu pria yang memiliki posisi sebagai General Manager di perusahaan bonafide.

Di Konoha, Naruto memang cukup terkenal sebagai salah satu eksekutif termuda dengan bayaran tertinggi. Sama seperti pria berkelas lainnya; tinggal di apartemen mewah, mempunyai mobil mewah, dan sarapan pagi di jajaran kafe yang isinya hanyalah untuk orang-orang berduit karena harga minuman serta makanan di kafe tersebut yang tidak bisa dikatakan merakyat.

Dengan penjelasan tersebut, cukup saja dikatakan jika Naruto adalah pemuda kelas atas.

"Hai, Naruto-sama!" sapa tiga wanita yang bahkan Naruto sendiri tidak tahu namanya.

"Pagi!" sapa mereka serentak, dengan diiringi cekikikan kecil.

Tidak perlu mengedipkan sebelah mata, atau menyisir rambut layaknya seorang superstar untuk mengundang perhatian wanita-wanita di sekelilingnya, hanya membaca koran dengan tenang—di salah satu meja di kafe yang terletak di tengah kota—sambil menyeruput kopi, Naruto sudah menarik perhatian banyak wanita.

Diibaratkan, dengan hanya menjentik jari, para wanita cantik di Konoha rela bersujud untuknya hanya untuk dinikahi. Namun, tidak ada di dalam kamus Naruto seseorang bisa menjadi pendamping hidupnya. Dia adalah orang yang perfect—bagi dirinya sendiri, dan tidak tidak ada yang berhak menyentuh dirinya, selain dirinya sendiri. Dia adalah si pelayan bagi dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa mengatur kehidupannya, selain dirinya sendiri.

Hidupnya hanya untuk dirinya sendiri.

Tidak ada yang lain.

Semua kesempurnaan hanyalah dimiliki oleh Naruto. Itulah pikiran Naruto.

Oh, betapa arrogant dan narsis-nya laki-laki ini!

"Pagi!" jawab melihat jam tangan omega-nya, lalu beranjak dari tempatnya duduk. Sudah waktunya Naruto berangkat ke kantor.

"Sampai jumpa di kantor, Naruto-sama!" sapa gadis-gadis di sekitarnya sembari menatap kagum Naruto.

Naruto hanya memberi senyuman sinis, seolah-olah mengatakan 'jangan berani mendekati diriku, walau hanya satu meter.'

Wanita-wanita itupun menyayangkan kepergiaan Naruto. Akan tetapi, mereka boleh berbahagia karena keesokan hari Naruto pun pasti akan datang ke tempat ini. Keesokan lagi, lagi, lagi, dan lagi pasti Naruto akan menampakkan wujudnya di tempat yang sama. Well, bisa disimpulkan kehidupan Naruto terlalu mudah dibaca. jadwal pria single mapan seperti Naruto memang sangat mudah ditebak oleh semua orang.

.

.

Naruto melangkahkan kakinya—masuk ke dalam sebuah gedung tertinggi di antara gedung-gedung yang ada di Kota megapolitan ini. Sebagai General Manager di perusahaan design and development software Internasional atau disebut Next Innovation, membuat nama Naruto semakin dipuja oleh orang-orang di sekitarnya. Terlebih, saham yang dimiliki perusahaan—dikhususkan design penampilan ponsel, PC, tablet, dan notebook—ini terus meningkat, hingga bisnis mereka tidaklah akan pernah mati, selama teknologi bisa terus dikembangkan.

Para penjaga depan gedung, serta dua karyawan receptionist memberi hormat pada Naruto, dan Naruto membalas dengan anggukan kecil.

Pemuda Uzumaki itu berjalan menuju lift sambil mengaduk-aduk isi saku celananya. Ia terlihat tergesa-gesa, enggan menyentuh apapun benda di sekitarnya sebelum cairan itu berhasil ditemukan. Dua menit kemudian, ia mengeluarkan sebotol cairan anti virus dan kuman sebelum menyemprotkan isi botol itu pada tombol lift.

Setelah mengelap tombol lift itu dengan tisu dan membuang tisu itu pada tempat sampah terdekat, Naruto barulah menekan tombol tersebut. Pintu lift terbuka, orang-orang di dalam lift sedikit terkejut dengan kehadiran Naruto, dan sudah seperti ritual pemujaan yang harus dilakukan setiap hari, saat Naruto masuk, mereka harus keluar dari dalam lift. Aturan mengatakan, dikala satu atau lebih petinggi perusahaan hendak menggunakan lift yang sama dengan bawahan, para bawahan harus mengalah dan keluar dari lift terlebih dahulu. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap sang petinggi perusahaan.

Tring.

Pintu lift terbuka.

Berbeda dengan keadaan di lantai bawah. Pada saat Naruto menginjakan kaki di lantai kerjanya, suasana kerja di lantai—tempat Naruto bekerja—tidak lebih dari sebuah taman bermain anak-anak atau tempat rekreasi.

Lantai kerja Naruto tidaklah di design secara kaku, seperti kantoran kebanyakan.

Di lantai ini disediakan sofa, televisi plasma, dan area santai atau bermain untuk para karyawan— selagi mereka asik mencari ide untuk deadline kerjaan mereka. Bahkan benda-benda di ruangan di tempat ini tidaklah dibentuk dan diwarnai secara monoton atau kaku. Semua benda di tempat itu di design oleh perancang ergonomi ternama agar para karyawan di bagian pengembangan design tidak mengalami strees mental di saat bekerja. Semua tempat ini benar-benar dirancang manusiawi dan sebaik mungkin untuk para pekerjanya yang dituntut untuk terus berinovasi.

Naruto mendesah saat melihat kekacauan di hadapannya. Ia mengambil masker dari tas ranselnya, lalu menggunakan masker itu untuk menutupi hidung dan mulutnya. Ketara, Naruto membenci udara yang sama dengan orang-orang di sekitarnya. Terlebih orang-orang itu belum pulang ke rumah dan membersihkan diri.

Sembari menyemprotkan cairan anti virus dan kuman di sekitarnya, Naruto melangkahkan kaki menuju ruangan kerjanya yang terletak di lantai dua.

Karyawan-karyawan yang dilewati Naruto memberi hormat pada Naruto, dan lagi-lagi Naruto hanya memberi anggukan kecil pada mereka.

Ya, hanya memberi anggukan sampai pada saatnya mata Naruto menangkap salah satu karyawannya sedang tiduran di sofa dengan sepatu yang masih melekat pada kakinya. Naruto yakin sepatu itu tidaklah bersih seperti terlihatnya. Sepatu itu telah digunakan di luar sana dan menginjak apapun di luar sana sebelum masuk ke dalam ruangan ini kemudian menyentuh bantalan sofa.

Dengan langkah tergesa-gesa, tidak sudi sofa kantornya terkotori, Naruto menghampiri karyawannya itu.

"HAI, BOSS!" sapa Kiba sembari cekikikan ketika menerima telepon dari kekasihnya. Ia kembali mendengarkan suara kekasihnya. Tugasnya yang telah selesai membuat Kiba terlihat santai.

"Turunkan sepatumu, Inuzuka!" dari balik masker Naruto berbicara. Ia berdiri di hadapan Kiba.

"Tunggu sebentar ya, Sayang," Kiba meminta izin pada kekasihnya untuk berhenti berbicara sejenak.

Kiba menatap Naruto. "Apa Boss?" tanya Kiba, tidak terlalu jelas mendengar omongan Naruto, ketika diapun sedang sibuk menerima telepon.

"Apa kau ingin mencoba double date? Kebetulan sekali kekasihku memiliki seorang teman yang cantik," tanya Kiba, dengan nada riang.

Naruto kesal.

"Turunkan se—

"HAHAHAHAHAHAHA...," tawa Lee yang merupakan karyawan paling aktif di tempat ini. Lee sangat senang menonton acara humor sebelum bekerja, hingga dia kerap kali lupa diri.

Konsentrasi Naruto pada Kiba berhenti sejenak. Ia mengorek telinganya yang berdengung sejenak karena tawa Lee yang keras.

"LEE, BISAKAH KAU DIAM?!" teriak Naruto pada Lee yang terlalu asyik menonton video di youtube.

Lee mengacungkan ibu jarinya. Ia berusaha menutup mulutnya yang ingin sekali mengeluarkan tawa, sehingga suara Lee terdengar seperti tikus terjepit pintu.

Naruto memutar kedua bola matanya, kemudian menatap Kiba kembali.

Kiba acuh.

Naruto mendengus. Jika sudah seperti ini, percuma saja dia berbicara pada Kiba. Disebabkan Kiba kawan lamanya, walaupun anak buah, terkadang Kiba bersifat seenaknya, dan Naruto tidak dapat mengtoleri sifat-sifat Kiba yang seperti itu.

Naruto melirik kiri-kanan, mencari suatu benda. Iapun menemukan sebuah kertas hvs kosong di atas meja dekat Naruto, dan mengambil kertas tersebut.

"Chk...," decak Naruto sembari menurunkan kaki Kiba dari atas pegangan sofa dengan menggunakan kertas itu. Ia segera membuang kertas itu, dan menyemprotkan cairan pembersih ke tangannya.

Sukses sudah tangan Naruto menjadi wangi, seharum mint.

Kiba tercengang melihat tingkah Boss-nya yang selalu peduli pada kebersihan.

"Kau keterlaluan, Boss. Kau parah!" ucap Kiba, tidak pernah mengerti kenapa Naruto menjadi seperti ini, padahal dulu di kampus Naruto termasuk anak biasa saja, bahkan Naruto tidak pernah segan bermain kotor-kotoran bersama rekan-rekannya.

Namun, sekarang…

Boss-nya memang paling hebat di antara semua orang, kalau soal kebersihan. Boss-nya penggila kebersihan. Sedikit saja kotoran menempel pada tubuhnya, sang bos akan berteriak dan mandi.

Jika masalah kerjaan, Boss-nya satu lagi yang lebih hebat dan mantap. Boss-nya yang satu lagi itu, bisa menyelesaikan kerjaan anak buahnya dalam waktu 45.01 detik, ketika Naruto 45.02 detik. Beda satu detik menurut semua orang, tapi tetap saja Boss-nya yang itu yang paling hebat kalau dilihat dari waktu bekerja.

Selesai membicarakan Boss-nya di pikirannya sendiri, Kiba tersadar dari lamunannya dikala kekasihnya terus berteriak dari seberang sana. Bersantai kembali di atas sofa, Kiba menaikan kakinya setelah Naruto pergi—melanjutkan perjalanan.

"Sayang? APA?! PUTUS? KENAPA?! A—AKU TENTU SAJA MEMPEDULIKANMU, tetapi boss-ku sedang berbi—DAMN IT!" jerit Kiba saat wanita di seberang sana memutus hubungan mereka.

"INI GARA-GARA KAMU!" teriak Kiba, ketika Naruto tidak peduli.

Kiba pun berakhir menghancurkan laptop-nya, ketika dia baru sadar jika di dalam laptop itu terdapat kerjaan yang baru saja diselesaikannya dan pada siang ini harus diperlihatkan pada Naruto.

Matilah Kiba!

Sudah jomblo harus lembur pula.

.

.

Naruto kembali melangkahkan kaki, menuju ruangannya. Ia hendak menaiki tangga, dan menuju lantai dua ketika tubuhnya hampir ditabrak oleh karyawannya yang sedang asyik berlagak menjadi seorang pemain sirkus.

Karyawannya itu menggunakan sepeda sambil melempar-lempar gelas plastik. Ia menggunakan helm yang ceritanya untuk keamanan—dirinya sendiri. Sedangkan karyawan-karyawan yang lain asyik bertepuk-tangan menyemangati tingkah gila karyawan tersebut, berisik seperti monyet di dalam kandang.

Baru saja selamat dari Naruto, karyawannya itu sudah menabrak gadis yang sibuk membawa berkas-berkas menuju ruangan direktur utama perusahaan ini. Seperti penari balet, tubuh wanita itu berputar, terpelanting, dan ia berteriak meminta tolong pada orang-orang di sekitarnya. Namun tidak ada satu orang pun orang yang mau menangkap wanita itu karena mereka terlalu malas.

BRUK!

Kecelakaan tidak diduga-duga pun terjadi di tempat ini, dan untung saja tidak sedikitpun di antara korban yang mengalami luka. Namun, tetap saja wanita yang tertimpa sepeda serta penumpang sepeda itu meringis kesakitan.

Naruto hanya bisa memijat pangkal hidungnya karena tingkah karyawan-karyawannya yang sedang pusing karena dikejar-kejar deadline.

.

.

Beberapa saat kemudian, kedua korban pun berhasil bangkit. Naruto mendeath glare karyawannya, dan juga wanita yang tertabrak itu karena bekerja tidak melihat sekitar, dan hanya fokus pada berkas-berkas di tangannya.

"Maaf, Boss!" wanita itu serta tersangka membungkuk minta maaf.

"Apa aku perlu menyita mainan-mainan di tempat ini dan membuat tempat ini menjadi suasana pemerintah atau lebih bagusnya lawfirm? " tanya Naruto. Matanya yang tajam memandang karyawannya.

Semua wajah karyawan di sekitar Naruto memucat. "TIDAK!" teriak mereka—serentak.

Siapa mau perusahaan yang sistemnya menyenangkan seperti ini dirubah menjadi perusahaan mengerikan?!

"JIKA KALIAN TIDAK MAU PERUSAHAAN INI BERUBAH SISTEM, KALIAN HARUS BERSIKAP DEWASA!" Naruto memberi ultimatum pada semuanya.

"AKU TIDAK MAU DI TEMPAT KERJAKU TERJADI KECELAKAAN KERJA KARENA KEKONYOLAN KALIAN. JIKA MEMANG KALIAN INGIN BERMAIN, MAKA BERMAIN YANG AMAN!"

"Iya, Boss…" ucap para karyawan itu dengan nada lemah. Mereka tahu, Naruto bukanlah marah karena tingkah mereka, melainkan khawatir.

Naruto menggeleng sebelum melangkahkan kakinya kembali. Tetapi baru saja dia akan menaiki tangga, seorang karyawan yang sejak tadi tidak ada di sekitarnya berlari ke arah dirinya.

Naruto mematung saat melihat penampilan laki-laki itu. Naruto langsung mengernyitkan dahi, sedikit menjaga jarak—tidak ingin disentuh.

"Boss!" teriak karyawan itu dengan sangat antusias. Di tangannya terdapat laptop yang isinya ingin diperlihatkan pada Naruto. Melihat cara laki-laki itu berlari, Naruto menjadi ingat pada sosok tubuh titan yang berada di manga kesayangannya—attack on Titan.

"Ada apa?" tanya Naruto, menanti laki-laki itu di bawah tangga. Ia meremas cairan pembersihnya, antisipasi jika laki-laki di hadapannya mendekat ke arahnya.

"Boss, Boss, bagaimana dengan aplikasi yang ini? Apakah sudah sesuai rencana?" laki-laki itu hendak menunjukan isi laptopnya ke hadapan Naruto, tetapi Naruto segera memberi aba-aba dengan gerakan tangan agar laki-laki itu menjaga jarak dengan dirinya.

"A—ada apa, Boss?" kata laki-laki itu, takut jika Naruto tidak menerima idenya sebelum dia memperlihatkan ide tersebut.

Naruto menyemprotkan cairan pembersih ke arah tubuh karyawan di hadapannya. "Bersihkan laptopmu dulu, setelah itu baru kau bawa laptopmu ke ruanganku," kata Naruto, dan membuat laki-laki itu lega. Rupanya, Naruto hanya berbicara tentang kebersihan.

"Oh, ya! Mandilah terlebih dahulu dan jangan lupa gunakan sarung tangan untuk membawa laptop itu setelah kau selesai membersihkannya," lanjutnya, menjelaskan keinginannya dengan detail.

"Kau mengerti?"

Laptop itupun dipegang dengan menggunakan satu tangan oleh pemiliknya."Siap, BOSS!" kata karyawan Naruto sembari memberi hormat. Iapun berlari-lari kecil, senang dan penuh percaya diri jika hasil kerjanya selama beberapa hari ini akan disukai oleh Naruto.

Naruto hanya menggelengkan kepala ketika melihat tingkah seluruh anak buahnya.

Inilah kehidupan Naruto setiap hari. Hidup di kediaman yang mewah, bertransportasi dengan kendaraan mewah, dan mengurusi karyawan-karyawannya yang pintar sekaligus unik. Ya, kehidupan Naruto tidaklah monoton dibandingkan para pekerja lainnya. Dia sangat menikmati kehidupannya sekarang, walaupun tidak ada satupun orang yang mengisi kehidupannya.

Hidup dengan dirinya sendiri sangat sempurna bagi Naruto!

.

.

Naruto membuka pintu ruang kerjanya. Aroma parfum wanita langsung menyeruak masuk ke dalam penciumannya, walaupun Naruto sudah memakai masker.

Naruto mendeath glare rekan seruangannya. Ia mulai menyemprotkan cairan kebersihan ke sekeliling ruangannya seiring Naruto jalan menuju meja kerjanya.

Naruto menatap Itachi Uchiha, pemilik perusahaan ini. Tetapi, Itachi hanya duduk santai sambil menatap laptop di hadapannya. Naruto tahu dengan pasti jika Itachi tidaklah pulang ke rumah, melainkan bermalam dengan mainannya. Lihat saja rambut panjang Itachi. Rambut hitam legam itu masih terurai dan basah. Tidakkah teman one night stand Itachi memiliki pengering rambut?

Naruto mendengus.

"Ini benar-benar parfum murahan," komentar Naruto. Ia membersihkan meja dan laptopnya sebelum mulai bekerja.

"Aku berharap kau tidak tidur dengan salah satu mahasiswamu—lagi," Naruto menatap Itachi dengan pandangan muak.

"Memikirkannya saja aku sudah jijik," Naruto bergidik ngeri ketika membayangkan dirinya disentuh oleh orang-orang kotor dan bau keringat.

"Mereka adalah gadis-gadis manis dengan segelan masih utuh," jawab Itachi dengan seenaknya. Ia mulai mengetik beberapa kode pada laptopnya sebelum meng-run aplikasi yang baru saja dibuatnya.

"Aku adalah pria sehat dengan uang melimpah Naruto. Untuk apalagi aku mempunyai uang dan kepintaran selain membagi-baginya dengan makhluk-makhluk berkilau dan manis seperti itu? Selain mereka mendapatkan nilai dan popularitas, mereka pun mendapatkan keuntungan karena dibuka segelnya oleh laki-laki hebat seperti diriku," Itachi mendekatkan wajahnya ke arah laptop, memastikan jika design-nya cukup jelas untuk dibaca oleh calon pengguna.

Naruto berpura-pura muntah ketika mendengar perkataan Itachi. "Kau sakit," kata Naruto, dan Itachi hanya membalas perkataan Naruto dengan cengiran polos yang dipandang Naruto sebagai cengiran idiot.

Itachi, begitu panggilannya, sahabat Naruto semenjak di S1 dulu. Laki-laki jenius yang telah membangun perusahaan besar ini bersama Naruto. Ia adalah pewaris dari Keluarga Uchiha, dan orang-orang selalu menyebutnya si pria bertangan dingin.

Memang dari generasi ke generasi, Uchiha dikenal sebagai keluarga yang selalu sukses dalam bidang bisnis. Contoh nyatanya saja Itachi Uchiha, laki-laki ini telah berhasil membangun perusahaan ini di dalam waktu cepat. Berangkat dari nol, dan berakhir menjadi miliader. Naruto bersama Itachi, hanya dalam waktu sekejap telah menjadi pria mapan yang wajahnya selalu muncul di majalah, dan tentu saja keberhasilan mereka tidak terlepas dari usaha karyawan-karyawan mereka yang dulunya adalah kakak angkatan, maupun adik angkatan semasa kuliah, seperti Kiba dan Lee.

"Jadi?" Naruto mengganti pembicaraan ke arah lebih serius.

"Bagaimana progress proyek kita?"

"Aplikasinya sudah selesai. Aku tinggal mengujinya pada user sebelum aku memastikan jika proyek yang aku buat ini layak diorbitkan atau tidak," Itachi menuliskan secarik kertas pada kertas memo. Ia akan memberikan memo itu kepada salah satu karyawannya di bawah sana.

"Mudah-mudahan, aplikasi ini bisa mempermudah anak-anak untuk bermain sambil belajar dengan menggunakan ponsel," lanjutnya.

Naruto menatap Itachi dari balik layar laptopnya. Iapun memutar kursinya ke arah meja komputer. Naruto menyalakan komputernya. "Terkadang aku bosan karena user kita hanyalah seputar anak-anak dan remaja, atau para user yang sudah pandai menggunakan gadget," ucap Naruto.

"Aku ingin mencari sesuatu yang lain," lanjut Naruto. Ia mengetikan password pada komputernya, dan menanti sebentar komputernya untuk merefresh.

Itachi yang duduk berseberangan dengan Naruto menatap Naruto. "Contohnya?"

Naruto membalas tatapan Itachi. "User yang memiliki kemampuan terbatas, seperti... manula?" tawar Naruto dengan nada yang cukup tidak yakin.

Sama halnya dengan Naruto, impian Itachi adalah membuat aplikasi untuk pengguna yang Naruto sebutkan tadi. Namun, perusahaan mereka yang baru tumbuh memiliki keterbatasan di dalam beberapa aspek untuk menjalankan proyek itu. Mereka membutuhkan dana serta fasilitas yang mumpuni untuk menjalankan impian besar mereka.

"Aku ingin mencobanya, tetapi... hal tersebut terlalu sulit bagi kita yang baru saja mendirikan perusahaan ini," Itachi menghela nafas berat. Ia menyandarkan punggungnya, menenangkan sendi-sendi ototnya.

"Kau tahu sendiri, bukan, dalam dunia bisnis, terkadang untuk mendapatkan uang bukan hanya otak saja yang kita gunakan."

Itachi menatap Naruto yang nampak kurang setuju dengan pemahamannya. "Kita bukanlah lagi di dunia pendidikan, melainkan di dunia liar yang bernama... dunia bisnis."

Naruto hanya terdiam ketika mendengar perkataan Itachi. Ekspresinya masih mengisyaratkan ketidaksetujuan.

Naruto dan Itachi memang sahabat sangat dekat. Walaupun mereka sering berselisih paham atau menemukan ketidakcocokan. Sama-sama pintar, dan bersahabat bukanlah berarti mereka memiliki hobby yang sama.

Naruto lebih suka menghabiskan waktunya dengan diri-sendiri, ketika Itachi lebih suka menghabiskan waktunya dengan para wanita yang memujanya. Dikala Naruto tidak suka dengan hal-hal yang berbau kotor, Itachi akan lebih suka melakukan ekperimen dengan apapun, walaupun pakaiannya akan dipenuhi oleh noda. Ya, mereka terlalu kontras untuk dikatakan sahabat. Sampai-sampai banyak orang menilai, jika mereka bersahabat hanya untuk saling memanfaatkan. Padahal pada dasarnya, Naruto dan Itachi sendiri saja yang tahu, jika mereka berdua selalu nyambung jika berbicara, dan merasa nyaman jika mendiskusikan banyak hal dalam rencana-rencana mereka di masa depan.

Perbedaan di antara mereka menghasilkan ide-ide jenius. Selalu seperti itu.

"Aku kurang setuju..." bisik Naruto, tetapi Itachi masih bisa mendengarnya.

"Aku yakin suatu saat nanti aku bisa membuktikan pada dirimu, jika ucapanmu itu salah," ujar Naruto, dan Itachi mengerti dengan pasti apa maksud sahabatnya.

"Ya, aku harap aku salah, dan keoptimisanmu yang menang.." jawab Itachi sebelum kembali bekerja.

"Aku pun harap begitu, Naruto."

Tazmaniadevil

Hiruk-pikuk di kota megapolitan tidaklah akan pernah berakhir. Walaupun jarak apartemen Naruto yang mewah itu tidaklah jauh dari tempatnya bekerja, namun, kemacetan kota tidaklah dapat dihindarkan. Naruto harus rela mengantri selama berjam-jam untuk tiba di kediamannya, dan ketika mobilnya sudah mulai melaju ada saja kejadian yang tidak terprediksi, seperti motor yang menabrak mobil di depannya, lalu pengendra mobil dan motor itu saling menyalahkan, hingga berkelahi, mengakibatkan suasana akhir musim panas ini semakin saja terasa menyebalkan ketika pertengkaran di hadapan mobil Naruto semakin banyak menyita waktunya.

Pada waktu hampir tengah malam akhirnya Naruto tiba di apartemennya yang pada akhir tahun ini akan selesai cicilannya.

Apartemen ini adalah apartemen idaman Naruto semasa Naruto kuliah. Apartemen ini terkenal elit dan sangat terawat oleh pengelolanya sehingga tidak mungkin ada kecoa maupun binatang menjijikan yang tinggal di sekitar apartemen ini. Pemandangannya pun paling baik di antara aparteman yang ada di kota ini. Setiap lantai memiliki pemandangan tersendiri, dan Naruto memilih lantai yang cukup atas agar bisa melihat pemandangan kota secara kesuluruhan dari balik jendela besar.

Selain tempatnya yang indah, fasilitas di apartemen ini sangatlah memuaskan. Perawatan kebersihan untuk setiap kamar pun bisa dipanggil setiap saat, walaupun harus ada harga tambahan untuk perawatan di luar jam kerja. Oleh karena itu, setiap akhir pekan, Naruto selalu menghemat pengeluarannya dengan cara membersihkan kamar apartemen sendiri, dan Naruto akan memanggil cleaning service di waktu itu, jika pada hari libur ia harus tetap bekerja. Bagi Naruto, kebersihan adalah nomor satu, berapapun biayanya.

Vantofel Naruto mengetuk lantai marmer apartemen itu. Naruto membersihkan tangannya usai menekan tombol lift sembari melangkahkan kaki—menuju kamarnya. Suasana apartemen ini tidaklah pernah bising karena rata-rata penghuni apartemen ini adalah pekerja seperti dirinya. Orang-orang yang tinggal di dalam apartemen ini akan langsung masuk ke dalam kamar setelah tiba. Oleh karena itu, tidak heran jika penghuni apartemen ini tidak mengenal tetangga sebelahnya sekalipun.

"Kunci, kunci, kunci," Naruto mencari card key-nya saat ia sengaja menggandakan kunci apartemennya; password dan kunci kartu.

Naruto mengacak-acak isi tasnya. "Kunci, nah dapat!" Naruto berseru riang. Tetapi belum saja tiba di depan pintunya, langkah Naruto terhenti. Ia menatap sekumpulan orang yang berdiri di depan pintu apartemennya.

"Kalian..." hanya itulah yang Naruto bisa ucapkan ketika melihat segerombolan bocah di depan kamarnya. Tamu yang kehadirannya tidaklah pernah Naruto pikirkan sedikitpun.

"KAKAK!" serentak anak-anak itu menyapa Naruto. Mereka berlari ke arah Naruto, dan Naruto segera melangkah mundur, menghindari anak-anak itu.

"KAMI DATANG!" kata tamu tanpa diundang itu.

"U—untuk apa kalian kemari?" tanya Naruto dengan nada horror. Ia menatap wajah Nagato—adik terkecilnya yang mulutnya kotor, sisa ice cream cone cokelat. Naruto bergidik ngeri melihat mulut itu. Ia bersyukur tidak tersentuh oleh makhluk-makhluk kotor ini.

"Kami akan tinggal disini mulai sekarang," kata Konan, gadis yang penampilannya terkesan tomboy. Ia tersenyum manis, ketika Naruto tersenyum kecut. Anak kecil tetaplah anak kecil, walaupun semenarik ini—kotor.

"A—apa?" Naruto menatap seram.

"Jangan seenaknya! Kalian cepat pulang!" Naruto membentak adik-adiknya. Ia melewati adik-adiknya dan berjalan cepat ke arah pintu.

"Tapi kami diperintah kemari oleh Tou-san," Deidara berkata, dan membuat Naruto mematung di tempat. Jari-jari Naruto memegang knop pintu dengan sangat kuat.

"Kak Naru..." Deidara memastikan jika Naruto mendengar setiap perkataannya. Ekpsresi Deidara sedikit khawatir ketika melihat tubuh Naruto bergetar.

Tanpa berbicara dengan adiknya, Naruto membuka pintu. Ia masuk ke dalam kamar apartemen, tetapi dia segera menutup pintu rapat-rapat di depan wajah adiknya, ketika adik-adiknya itu hendak masuk.

Perlakuan kasar Naruto membuat Kyuubi yang sejak tadi diam menjadi berang. Ia menatap pintu apartemen kakaknya dengan bengis. "HEI, BRENGSEK! SETIDAKNYA KAU MENYAPA KAMI SETELAH KAMI JAUH-JAUH KEMA—

KRIET!

Pintu apartemen kembali membuka. Naruto kembali muncul dari balik pintu apartemen itu.

Rasa takut pada kakaknya membuat Kyuubi secara spontan membalikan badannya. Ia menatap pintu kamar di seberang pintu kamar apartemen Naruto. "HEI, BRENGSEK! KAU JANGAN RIBUT TERUS! KAU TAHU?! KAKAKKU BARU SAJA PULANG!" maki Kyuubi pada kamar yang tidak ada penghuninya sama sekali karena penghuninya tersebut sedang pergi keluar negeri. Kyuubi melakukan alibi ketika dia hampir ketahuan memaki Naruto.

"DASAR KAU TIDAK TAHU DIRI! I—iya kan adik-adik?!" Kyuubi memberi sinyal pada adik-adiknya. Ia bahkan menginjak kaki Deidara yang hanya mengangakan mulutnya karena tingkah gila kakaknya.

"Cepat bantu aku…" bisik Kyuubi di telinga Deidara memberi sinyal pada Deidara jika Naruto sedang menyaksikan aksi mereka.

"O—oh," Deidara mengerti. Deidara pun mulai menyiapkan diri untuk bertingkah gila seperti kakak keduanya.

"I—IYA! KAU MEMBUAT O—ONAR SAJA! DASAR KAU TIDAK TAHU DIRI! MONYET KAMU! YA, KAMU MONYET RI—RI—

BRAK!

Naruto menutup kembali pintunya, pusing dengan teriakan orang-orang di depan pintunya.

Konan yang sejak tadi menyaksikan aksi heboh kedua kakaknya menatap jijik Deidara dan Kyuubi. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Konan dengan nada sok dewasa. Ia mengalihkan perhatiannya pada pintu Naruto yang sudah benar-benar tertutup rapat.

"Jika aku Kak Naru, pasti akupun akan menutup pintu itu," Konan mendesis, dan kakinya mulai gatal untuk menendang kedua kakak di hadapannya.

"ISH Kalian dasar bodoh!" Konan mengacak-acak rambutnya, stress. Lalu, sadar dengan penampilannya yang memburuk, Konan pun segera menata kerapihan rambutnya kembali.

"Kalian merusak image kita di hadapan Kak Naru," gumam Konan.

Makian Konan membuat emosi Deidara meningkat. "Jangan kau berkata sok bisa jika kaupun tidak melakukan apapun," Deidara sudah menjitak kepala Konan. Ia mendekati Konan, dan Kyuubi cepat-cepat menengahi kedua saudaranya yang mulai bermain urat.

Konan mengibaskan rambut pendeknya, sok anggun. "Tidak level aku bertengkar denganmu," katanya, semakin menyebalkan. Konan memalingkan mukanya, bergaya tidak mau menatap Deidara.

"KAU!"Deidara sudah siap menendang Konan.

"Cudah..cudah," Nagato, bocah TK kecil menengahi ketiga kakaknya.

"Dimanyaaa kalau kica-kica cemuaaaa balik ke mobil?" usul Nagato, bocah yang sudah mengantuk jika harus terus menunggu kakak pertamanya.

"Kita ngoblolnyaaa dicana aja...," katanya, dengan gaya cadel Nagato yang sangat khas.

"Cayaa bobo, kakak-kakak cemua cali jalan keyual buat macalah inyi...," katanya, mengambil jalan enak untuk dirinya sendiri.

"Inyi udah waktunya Nato bobo," katanya, memanggil namanya sendiri dengan nada imut.

"Kakak nyak mau kan Nato pipis di celana?" memang Nagato jika bobo terlambat akan pipis di celana pada tengah malam.

Ketiga anak Namikaze yang sedang bersitegang saling tatap. Sepertinya usul Nagato ada benarnya juga. Daripada mereka ribut di depan kamar seperti ini, lebih baik mereka kembali ke mobil dan membicarakan semua ini. Sepakat, semua anak-anak Namikaze pun mulai melangkahkan kaki mereka, menuju ke tempat dimana mobil mereka berada.

.

.

.

Satu-persatu anak-anak Namikaze memasuki mobil.

Nagato langsung mengambil posisi untuk tidur di dalam mobil limosin itu, ketika ketiga Namikaze lainnya terus mengutuk nasib mereka yang menjadi tidak menentu seperti ini.

"Bagaimana?" suara bariton dari arah bangku pengemudi membuat anak-anak Namikaze berhenti mendumel.

Kaca pembatas antara bagian penumpang dan bangku pemudi itu terbuka. Sekarang, anak-anak Namikaze bisa melihat Sasuke yang sedang duduk di kursi pengemudi mobil ini.

Sasuke adalah tangan kanan Namikaze Minato. Ia adalah orang kepercayaan Minato untuk mengurus anak-anak Namikaze ini.

Semenjak tiba di Jepang, anak-anak Namikaze akan diurus oleh Sasuke sampai Naruto siap menerima anak-anak ini. Entah apa maksud dari Minato, tetapi anak-anak Namikaze dipaksa harus pergi ke Jepang, menemui Naruto, dan tinggal bersama Naruto, ketika Sasuke pun akan ikut tinggal bersama Naruto. Namun, untuk lebih mudahnya, Sasuke memberi saran agar adik-adik Naruto saja yang lebih dahulu maju sebelum diapun ikut izin menumpang tinggal di dalam rumah Naruto.

Memang ini terdengar sangat kurang ajar, namun Sasuke beserta Namikaze mempunyai alasan khusus untuk tinggal bersama Naruto. Alasan yang pastinya tidak akan bisa mereka katakan sekarang pada Naruto yang notabene sudah tidak pernah peduli dengan keberadaan ayah kandungnya sendiri.

"Dia sama sekali tidak mau menerima kami," kata Konan menjelaskan.

"Bahkan untuk mendengarkan kami dan mengizinkan kami masuk saja dia tidak mau," lanjutnya, Konan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ia sepertinya sangat membenci kami."

Sasuke menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan perkataan Konan. "Tidak mungkin dia membenci kalian. Dia pasti hanya tidak ingin diganggu saja," kata Sasuke.

"Lalu kami harus bagaimana, Kak Sasuke?" tanya Deidara, ketika diapun sudah mengantuk, dan tidak sanggup lagi berpikir. Ini sudah jam sebelas malam, dan waktunya untuk Deidara tidur.

Sasuke melihat mata anak-anak Namikaze—minus Nagato—sudah sayu, sulit untuk terbuka. Sedangkan Nagato sendiri sudah masuk ke alam mimpi setelah dua menit memasuki mobil.

"Kalian tidur saja dulu," Sasuke memberi usul.

"Besok pagi mari kita beraksi lagi," lanjut Sasuke.

Keempat anak-anak Namikaze saling pandang. Mereka pun mengangguk setuju dan mulai mengambil posisi nyaman untuk tidur di dalam mobil mewah ini. Keempat Namikaze mengambil posisi duduk, dan siaga, ketika Sasuke tetap terjaga, menjaga anak-anak itu.

Sejenak Sasuke menatap bangunan mewah di hadapannya. Di dalam sana, terdapat laki-laki yang menjadi kakak anak-anak ini? Sasuke menjadi was-was dengan nasib keempat anak ini. Ia takut jika Naruto tidak akan menerima keberadaan anak-anak ini, ketika kenyataan mengatakan hanya Naruto saja yang dimiliki anak-anak ini.

"Dinyiinnn…" gumam Nagato sambil memeluk tubuhnya. Kepalanya tidur di atas paha Konan, ketika kakinya terbaring di atas paha Deidara.

Kyuubi yang masih cukup terjaga melepas ekspresi setengah mengantuk, Kyuubi menyelimuti adik terkecilnya. Iapun memperbaiki jaket Konan dan Deidara sebelum kembali tertidur. Sasuke tersenyum kecil ketika melihat aksi Kyuubi yang biasanya kasar pada adik-adiknya.

Mereka adalah anak-anak manis...

Aku yakin, kaupun demikian, Naruto...

Walaupun aku tidak mengenalmu..

Tapi aku yakin, sifatmu tidak akan jauh berbeda seperti mereka...

Sasuke membatin, dan diapun mulai menyalakan musik.

Di dalam mobil itu, musik tenang melantun, menjadi lagu selamat malam bagi anak-anak Namikaze.

Tazmaniadevil

Keesokan harinya...

Kemunculan adik-adik Naruto membuat Naruto terjaga sepanjang malam. Sudah lama sekali dia tidak melihat adik-adiknya, dan tiba-tiba anak-anak itu muncul di depan pintu kediamannya. Naruto merasa ada yang tidak beres dengan anak-anak itu, tetapi dia seharusnya tidak usah peduli. Anak-anak itu diasuh oleh orang yang tepat, yaitu ayahnya, jadi tidak ada alasan bagi Naruto untuk mempedulikan kehadiran anak-anak itu.

Anak-anak itu datang pasti hanya ingin menghabiskan waktu liburan mereka sebelum tahun ajaran baru dimulai. Oh iya, berbicara tentang tahun ajaran, sekarang ini... mereka semua kelas berapa? Naruto sampai lupa umur adik-adiknya. Tetapi, seharusnya dia tidak mudah melupakan sesuatu, kan? Lalu, kenapa untuk urusan seperti ini, dia gampang sekali untuk melupakan?

Cuaca yang mulai cerah membuat Naruto bangkit dari atas tempat tidurnya. Ia beranjak dari atas tempat tidur, mengenakan sandal kamar sebelum melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Naruto menatap wajahnya dari cermin di dalam kamar mandi. Ia membasuh muka dan menggosok giginya sebelum mengambil handuk dan mempersiapkan diri ke kantor. Di saat ia baru saja selesai membuka kancing piyamanya, suara bel pintu terdengar dan membuat aktivitas Naruto terhenti sejenak.

Ting..Tong... Ting.. Tong..

Suara bel pintu Naruto tidak henti-hentinya berbunyi.

Naruto berdecak kesal. Dengan langkah kasar pemuda Uzumaki itupun pergi ke arah pintu. Ia membuka pintu dan menatap pengunjung yang sudah diduganya. Sangat diduganya.

"Ada apa?!" tanya Naruto dengan ketus pada keempat adiknya yang masih saja ngotot untuk berkunjung ke dalam apartemennya.

"Sebentar lagi aku akan berangkat kerja," Naruto menyandarkan lengannya pada bingkai pintu, membuat posisi dirinya terlihat seperti sebuah obyek lukisan yang sangat indah, terlebih ketika kancing pakaian Naruto terbuka.

Sexy.

"Kakak…" gumam Deidara dengan ekspresi memohon.

"Kami lapar…" katanya, dengan nada merajuk.

"Ayo, ajak kami ma—

Nagato menarik ujung pakaian Deidara, menghentikan perkataan Deidara. "Kak Dei, Nato mau—pi—

"Diam Nagato! Kau jangan rewel," Deidara membentak adiknya yang merengek walaupun keadaan sedang serius. Ia kembali menatap Naruto ketika keadaan mulai tenang kembali.

"—ajak kami makan pagi, Kak Naru…" lanjut Deidara. Ia akan menyentuh tangan kakaknya, tapi gerakan menghindar Naruto lebih cepat dibandingkan gerakan Deidara.

Deidara memasang ekspresi semanis mungkin dengan mata dibuat berkaca-kaca.

"Kalian tidak lihat? Aku terlalu sibuk untuk mengurus kalian semua. Jadi, silahkan kalian pergi dari sini! " Naruto menolak permintaan adiknya mentah-mentah. Ia tidak terpengaruh sama sekali dengan puppy eyes adiknya.

"Kalian mempunyai uang, kan? Kenapa tidak kalian makasan saja sen—

"Kak Naluuu, Na—Nato..," Nagato menatap Naruto dengan mata puppy eyes-nya, memotong perkataan Naruto, dan Naruto mengangkat sebelah alisnya ketika melihat gerakan Nagato seperti menahan... menahan..pipis?

"Kami akan traktir kakak kalau begitu. Kami benar-benar tidak tahu makanan yang sehat dan cocok buat kami," lanjut Deidara—mengalihkan fokus Naruto dari memang paling egois, walaupun pandai merajuk.

"Kakak, kami baru saja tiba disini. Masa kakak tega membiarkan kami luntang-lantung sendirian di kota besar ini," Deidara menatap saudara-saudaranya yang lain.

"Benar, kan?"

"Iya, kakak!" jawab saudara-saudara Deidara yang lain, minus Kyuubi.

"Benar, kan, Kak Kyuu?" tanya Deidara, ketika Kyuubi hanya diam saja.

"KAK KYUUBI!" teriak Deidara.

"Eh?" Kyuubi yang rupanya masih belum mengumpulkan arwah atau mengantuk tersadar dari rasa ngantuknya.

"A-apa?!" Kyuubi menatap saudara-saudaranya dengan pandangan bodoh.

Konan dan Deidara ingin membenturkan kepalanya karena kebodohan kakak keduanya.

Nagato sibuk dengan dirinya sendiri.

"Kak Dei..," Nagato berusaha menghentikan perbincangan di antara Naruto dan Deidara.

"Kak Nalu..," Nagato menatap Naruro kembali. Tetapi Naruto hanya menatap heran Nagato, berantisipasi.

Naruto berhenti menatap menatap pemuda berambut pirang panjang di hadapannya. "Sepertinya, dia tidak baik-baik sa—

"Iya, iya..," jawab Kyuubi dengan nada malas karena dia baru saja bangun tidur, memotong perkataan saja seperti Deidara, ia tidak terlalu ambil pusing dengan rengekan Nagato.

Konan dan Deidara mendesah lelah karena Kyuubi telat menjawab. Dasar bodoh.

Lupakan si pemuda rambut merah ini!

"Kak Naru, Kak Naruto dengar kami, kan?" Deidara berusaha mendapatkan persetujuan Naruto.

Naruto sama sekali tidak mendengar ocehan Deidara. Ia lebih fokus pada adik terkecilnya yang sedang kasak-kusuk menahan pipis. Dengan panik mata Nagato melihat ke kiri dan ke kanan. Ia seperti mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk menghentikan masalahnya. Dikala Nagato semakin panik, ia melihat sebuah pot bunga yang tersimpan di depan apartemen Naruto. Mata Naruto memincing tajam. Firasat Naruto mengatakan jika pot bunga tersebut tidak akan baik-baik saja. Dengan langkah diam-diam, Nagato menghampiri pot bunga itu. Ia mulai membuka sleting celananya.

"—jadi begitu Kak Naru. Kami akan bersekolah di tempat i—

"Di—dia mau apa?" Naruto memotong perkataan Deidara yang sejak tadi mengoceh, tetapi tidak didengarkan sama sekali oleh Naruto.

"Hah, maksud Kak Naru?" Deidara tidak mengerti dengan pertanyaan Naruto.

Dengan ragu dan horror, Naruto menunjuk Nagato. "Di—dia mau apa?!" seru Naruto, ketika Nagato mulai mengeluarkan junior kecilnya untuk ditunjukan pada pot bunga.

"Dia tidak akan melakukan hal yang seperti aku pikirkan, kan?" Naruto berharap jika Nagato tidak akan benar-benar mengencingi pot bunga itu.

Seluruh adik-adik Naruto serentak melihat ke arah Nagato."Ohhh…" gumam mereka secara bersamaan. Mereka menatap Naruto dengan cengiran sangat lebar.

"Pipis, kakak!" kata mereka, kompak sekali.

"Biarkan saja dia. Pipis di pagi hari itu sehat," lanjut mereka dengan ekspresi manis, tidak ada dosa sama sekali.

Pi—pipis?

A—apa?!

"JANGAAANNN!" spontan Naruto mendorong adik-adiknya yang menghalangi berlari ke arah Nagato.

Dengan wajah senang dan memerah Nagato sudah siap mengeluarkan hasratnya di pot bunga, kontras dengan bunga di dalam pot itu yang harus mempersiapkan diri untuk menerima ajal karena sebentar lagi akan terkena polusi.

"JANGAN PIPIS DI POT BUNGA!" teriak Naruto sembari megendong cepat-cepat membawa Nagato ke dalam kamar apartemennya. Junior Nagato yang belum masuk kandang terjepit tubuh Naruto, kasihan sekali.

"HUWEEEEEEE... NAGATO MAU PIPIS!" teriak Nagato, memberontak. Di saat sedikit lagi Nagato akan mendapatkan kebahagiannya, Naruto langsung merengutnya atau lebih tepatnya menunda kebahagiaan Nagato.

"KAKAK, LEPAS! LEPAS! POT BUNYAAAAAAA!" teriak Nagato, histeris dikala ia sudah tidak tahan untuk mengeluarkan kencing paginya.

"Po—potiii bunya..." wajah Nagato memerah, ketika dia merasakanya celananya mulai basah.

"Uhhh..." Nagato cengar-cengir tidak jelas, sukses mendapatkan kebahagiannya.

Adik-adik Naruto yang tertinggal belakang saling bertatapan dengan ekspresi miris.

Naruto terpaku di tempat di saat sesuatu yang hangat mengenai dadanya yang tidak terbungkus kain sedikit pun. Ia merasakan sesuatu yang hangat itu mengalir menuju perutnya. Tidak perlu melihat atau berpikir dengan memakai otak jeniusnya untuk mengetahui cairan yang sekarang ini menempel pada tubuh Naruto. Seratus persen Naruto tahu jika adik terkecilnya telah mengencingi tubuhnya. Dengan tubuh bergetar menahan jijik, dan wajah kehilangan roh, Naruto menatap tubuhnya yang terkena cairan menjijikan itu.

"Na—Nato mincaaaa maappp kakak…" gumam Nagato di saat melihat ekspresi kakaknya yang nampak menderita.

"Kakak mau kan maapin Nato?" dengan nada sangat manis Nagato merajuk.

"Kakak~" kata Nagato, genit.

"Ka—kau…" bibir Naruto bergetar dikala adik kecilnya memeluk dirinya.

"Ka—kau…" Naruto tidak dapat melanjutkan perkataannya.

"Nato cayang kakak," dengan manisnya Nagato memeluk Naruto. Ia menyandarkan kepalanya di pundak Naruto. Bisa dilihat tanda love langsung terbang di sekitar Nagato ketika mengucapkan kata itu.

Naruto menepis tanda cinta yang terbang di sekitarnya tersebut. Tidak ada cinta dalam kamusnya. Apalagi cinta beraroma pipis macam ini.

"Ka—kau..." suara Naruto yang serak masih tertahan di pesing mulai tercium di dalam apartemennya.

"KA—KAU KENAPA TIDAK BISA MENAHANNYA SEBENTAR SAJA?!" suara Naruto yang sangat keras akhirnya mengguncang seluruh penghuni apartemen mewah ini. Naruto pun berlari dengan cepat ke arah kamar mandi dengan kamar mandi. Seluruh adik-adik Naruto yang melihat adegan nista itu hanya menatap Naruto dan Nagato dengan miris.

BRAK!

Pintu kamar mandi tertutup.

"Di—dia akan baik-baik saja, kan?" Konan menatap kedua kakak laki-lakinya yang sedang menatap horror pintu kamar mandi itu.

Bunyi siraman air dari dalam kamar mandi terdengar seiring jeritan kedinginan seorang bocah.

"Sepertinya tidak…" kata Deidara dengan ekspresi bisa membayangkan betapa kedinginannya Nagato sekarang ketika harus dimandikan oleh kakak pertamanya. Ketiga Namikaze yang tersisa pun memutuskan untuk menunggu kakak mereka dan adik kecil mereka selesai mandi di ruang tamu.

"HUWEEEEEEE... NATO 'NYAAAAAAAKKK MAU MANDIII!" teriak Nagato, histeris dikala rambutnya diberi shampoo oleh Naruto.

"NATO 'NNNNNYYYYAAAAKKKK MAUUUUU!" Nagato mencoba lari ke arah pintu kamar mandi tetap ditahan oleh Uzumaki itupun menyiramkan air ke kepala Nagato.

"DINGIIINNNNNN!" teriak Nagato dengan tangisan pilu dikala kakak-kakaknya yang tidak bertanggung jawab di luar sana memasang ear phone pada lubang telinga mereka, enggan mendengar jeritan adik mereka.

"DIAAAMMM!" Naruto pun sama frustasi nya dengan Nagato.

.

.

BRUK!

Sudah keseratus dua puluh kalinya Naruto membenturkan kening ke atas meja kerja.

Itachi yang sedang sibuk membaca rekap hasil survey melihat Naruto yang biasanya begitu workaholic kini tidak semangat kerja.

Naruto biasanya langsung membuka komputer dan laptop ketika tiba di depan meja kerjanya. Namun sekarang, sudah berjam-jam ini Naruto hanya menenggelamkan wajahnya di meja, dan sesekali menyemprotkan cairan anti kuman dan virus ke seluruh tubuhnya, tampak depresi dan tertekan.

Apa yang terjadi dengan orang ini? Naruto seperti mengalami hari terburuk di sepanjang sejarah kehidupannya. Apakah dia baru saja menginjak kotoran binatang? Itachi yang seruangan dengan Naruto mulai merasa gerah dengan sikap Naruto.

"Ada apa denganmu, Naruto?" tanya Itachi, akhirnya dia angkat bicara.

Naruto menatap Itachi sejenak, lalu kembali menenggelamkan wajahnya pada meja. "A—aku mau mati saja," gumamnya, terdengar sangat putus-asa.

"Kau seperti baru mendapatkan kabar akan mempunyai anak dari wanita yang tidak kamu cintai saja," Itachi menggelengkan kepalanya.

Naruto mengangkat empat jarinya ke hadapan Itachi.

E-empat?

Empat itu maksudnya apa?

Naruto akan menikah di tanggal empat?

Naruto ingin memiliki empat istri?!

Atau...

"E—empat?! Kau akan memiliki empat anak?" seru Itachi. Ia hampir menjatuhkan tablet yang di atas mejanya karena terkejut dengan informasi yang baru saja dikatakan oleh Naruto.

"Bagaimana bisa? Mereka kembar atau kau menghamili seorang janda?" baru kali ini Uchiha Itachi banyak bertanya, seperti sedang mengsurvey Naruto saja.

Naruto menatap Itachi. Ekpresinya nampak tersiksa. "Mereka bukan anakku," gumam Naruto, dengan intonasi yang sangat lemah.

Lagi-lagi Naruto berhasil membuat Itachi terkejut. "Apa?! Kau akan mempertanggungjawabkan anak yang bukan berasal dari dirimu?" serunya. Ia tidak setuju jika sahabatnya harus mengurus empat anak yang bukan anak kandung dari sahabatnya itu.

"Kau dijebak?" Itachi menatap khawatir memang sahabatnya dijebak, Naruto harus melapor pada pihak berwajib.

Naruto menggoyang-goyangkan tangannya, memberi tanda jika Itachi salah paham. "Bukan begitu, Chi. Bukan begitu!"Naruto menatap bosan Itachi.

"Lalu?" Itachi mengerutkan keningnya, meminta konfirmasi Naruto.

Naruto hanya mendesah lelah ketika sahabatnya selalu saja ingin tahu urusannya.

Flashback

Setelah selesai memandikan Nagato, Naruto membawa adik terkecilnya itu untuk kumpul dengan saudara-saudaranya yang lain. Nagato mengenakan pakaian yang baru saja dibawakan oleh Konan. Tidak seperti biasanya, tubuh Nagato sangat wangi, dan rambutnya tertata rapih, habis disisir oleh Naruto.

Pemuda Uzumaki megandeng tangan adiknya yang berlari-lari kecil—riang, menuju ruang keluarga. Dikala itu, ketiga Namikaze yang sedang menanti kehadiran kakaknya, langsung memposisikan diri menjadi rapih. Naruto mengenakan masker dan memegang botol cairan yang siap disemprotkan jika adiknya berbuat macam-macam.

"Nato jadi campan dan wanyiiii, Kakak~" kata nagato dengan nada centil. Ia menatap kakaknya dengan cengiran lebar khas anak-anak.

"Duduk!" bentak Naruto, pusing dengan tingkah si pembuat onar ini.

Nagato langsung menuruti perintah kakaknya. Ia mengambil tempat kosong di samping Konan, dan Naruto pun menduduki sofa tunggal di dekat anak-anak Namikaze itu.

Kaki Naruto bertumpang tindih. Ia menatap adiknya satu-persatu. Di mata adik-adiknya, gaya Naruto sangat keren dan berkelas. Terlebih ketika syal tipis menghiasi leher jenjang Naruto, ketika pemuda itu sudah siap berangkat ke kantor. Naruto membersihkan tenggorokannya sejenak. Sudah lama dia tidak melihat adik-adiknya ini dan rupanya mereka sudah besar. Terlebih Kyuubi. Pemuda berambut merah ini semakin saja mirip dengan Naruto. Naruto memperlihatkan ekspresi yang sulit diartikan dalam sepersekian detik ketika melihat Kyuubi.

"Jadi kalian mau apa kesini?" tanya Naruto sembari menatap keempat adik-adiknya.

Keempat Namikaze saling pandang. Mereka mencari orang yang akan menjelaskan semuanya pada Naruto, dan dikala itu, Kyuubi lah yang tampaknya dipilih untuk berbicara dengan Naruto. Kyuubi sebagai anak kedua di Namikaze mempersiapkan diri untuk mengucap satu atau dua patah kata pada Naruto. Sedangkan Naruto hanya bisa menanti adiknya dengan cukup tidak sabaran karena waktu berangkat kerja dia semakin mepet.

"Kami ingin tinggal di tempat kakak," kata Kyuubi dengan nada yang sedikit merasa seperti seorang pengemis untuk kali ini.

"Tidak bisa," jawab Naruto, langsung.

"Ta—tapi, kak..." Konan hendak membujuk Naruto ketika Kyuubi mencegah Konan untuk berbicara.

"Walaupun hanya sebentar, Kak?" tanya Kyuubi, memastikan jika kakaknya akan berpikir ulang dengan permintaan adik-adiknya.

Dahi Naruto mengerrut. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. Naruto menatap Kyuubi. "Tapi untuk apa kalian diam di sini? Kalian bisa tinggal di hotel atau mencari tempat lainnya, kan? Kakak yakin, kalian datang ke tempat ini dengan membawa uang," lanjut Naruto.

"Mhm... kami bukan liburan ketika datang ke tempat ini," Kyuubi menatap kakaknya ragu, dan Deidara—Konan pun sedikit gugup untuk mengatakan kebenaran ini.

"Kami—

"Kami?" Naruto membeo.

"Akan pindah ke Konoha," kata Kyuubi dengan cengiran lebar.

"Apa?!" seru Naruto, terkejut. Matanya melotot, dan membuat Nagato seram.

"Kakak jangan celam-celam, macaaa kakak melocccoott kayaaak boneka Natoo~" kata Nagato—menunjukan boneka kodok kesayangannya, ketika melihat ekspresi Naruto.

Naruto merebut boneka itu dan melempar boneka itu hingga membentur dinding.

RIP boneka.

Nagato sesegukan.

"Kenapa kalian harus pindah ke tempat ini? Untuk apa? Kalian bukannya sudah tinggal enak bersama Tou-san kalian? Diam di sini hanya akan merepotkan aku saja tahu," Naruto beranjak dari atas sofa. Ia megendong Nagato, dan memegang pergelangan tangan Konan.

"Sebaiknya kalian cepat pulang ke tempat Tou-san kalian," kata Naruto sembari menarik Konan ke luar apartemen, dan kedua adiknya yang lain pun ikut menyusul.

"Tapi, Kak..," Kyuubi berusaha menjelaskan semuanya. Ia berjalan sedikit di belakang Naruto.

"Kami hanya akan tinggal di tempat kakak tiga bulan. Setelah itu, kami tidak akan mengganggu kakak," lanjut Kyuubi. Tetapi Naruto tidak kunjung mendengar rengekan adiknya.

Lepas.

Naruto melepaskan tangan Konan dikala sudah tiba di luar pun menurunkan Nagato. Baik Deidara dan Kyuubi melewati Naruto, lalu ikut berjajar dengan Konan dan Nagato. Mereka semua menatap Naruto dengan pandangan memohon.

"Satu hari, tiga bulan, bahkan seumur hidupku pun aku tidak peduli," kata Naruto dengan sedikit mundur memegang knop pintu dari dalam.

"Intinya, aku tidak ingin kalian meganggu hidupku!" bentak Naruto.

BRAK!

Naruto pun menutup pintu apartemennya untuk kedua kali di depan wajah adik-adiknya.

End Flashback

"Hei, Naruto?" Itachi menyadarkan Naruto dari itu tidaklah kunjung menjawab pertanyaannya dan hanya terhanyut oleh pikirannya sendiri.

Naruto mengerjapkan matanya sejenak. Lalu, ia menatap sahabatnya. Untuk hari ini, pemuda Namikaze sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada kerjaan.

Naruto pun beranjak dari atas kursi. Sepertinya, dia harus mencari udara segar sebelum berkerja, atau menikmati secangkir kopi tampaknya bisa menenangkan diri. Tanpa banyak kata, Naruto melangkahkan kaki menuju luar ruangan. Ia sama sekali tidak memberikan informasi pada Itachi. Baik Itachi maupun siapapun di kota ini tidaklah ada yang pernah tahu, jika tuan sempurna memiliki keempat orang adik yang telah dibawa oleh ayahnya, ketika Naruto memutuskan untuk pergi meninggalkan kediaman ayahnya. Ya, Naruto sudah terlalu lama tidak merasakan keluarga untuk menerima keberadaan adik-adiknya.

"Terkadang aku bingung dengannya," gumam Itachi sembari kembali terlalu misterius, bahkan untuk seorang Uchiha sekalipun.

Tazmaniadevil

Di restoran tengah kota, keempat Namikaze dengan seorang pemuda bermata onyx sedang menikmati sarapan pagi mereka. Penampilan kelima orang itu cukup menyita seluruh perhatian orang-orang di sekitar mereka.

Bagaimana tidak?

Baik rambut, gaya, dan tampang mereka sangat mencolok, seperti seorang artis. Terlebih cara bicara mereka yang bercampur-aduk membuat mereka terlihat seperti alien; terkadang menggunakan bahasa Mandarin, atau menggunakan bahasa dari Negeri Eropa sana. Di antara mereka hanya Nagato saja yang masih bisa berbahasa normal, yaitu bahasa cadel.

"Jadi, dia menolak kami lagi, Kak Sasuke," ujar Deidara dengan nada sangat sedih. Ia memakan ice cream di depannya dengan asal.

Sasuke berhenti mengetikan sesuatu pada laptopnya. Ia menatap Deidara dari balik layar laptopnya. Sasuke mendesah pelan. "Lalu, kalian mau menyerah begitu saja?" tanya Sasuke, dengan nada datar seperti biasanya, walaupun anak-anak Namikaze tahu Sasuke sedang khawatir.

"Entahlah," jawab Kyuubi dalam menatap ke arah pinggir jalan, dekat jendela kafe. Sejenak Kyuubi menatap gerombolan gadis sedang berbincang-bincang di depan etalase baju, seberang kafe ini. Kyuubi memincingkan matanya. Ia seperti mengenal gadis itu. Tetapi pikirannya teralihkan dari sosok gadis itu dikala Sasuke mulai berbicara.

"Aku berharap kalian tidak menyerah sampai disini karena dialah wali kalian satu-satunya, di mulai dari sekarang," kata Sasuke dengan nada yang sangat sedih.

Anak-anak Namikaze pun berubah murung ketika mendengar kata itu dari mulut Sasuke.

"Ayo, kalian semangat! Malam ini aku yakin, kakak kalian pasti akan menerima kalian," kata Sasuke, mencairkan suasana.

Keempat Namikaze pun menganggukan kepala mereka. "Mudah-mudahan," gumam mereka.

Sasuke pun hanya bisa tersenyum sebelum kembali menyelesaikan kerjaannya.

Tazmaniadevil

Setelah menjalani aktivitas seharian, akhirnya Naruto telah tiba di apartemennya. Seperti biasa, dia merapihkan barang-barang di dalam mobilnya terlebih dahulu sebelum beranjak pergi ke dalam kamarnya. Naruto harus memastikan segalanya seperti semula, walaupun hal tersebut hanyalah barang kecil seperti satu buah keping CD lagu.

Dengan membawa tas ranselnya, Naruto akan menaiki lift. Namun penjaga gedung apartemen—tempat dia tinggal, tiba-tiba menghadang dirinya, dan meminta Naruto agar memberi waktu luang sejenak. Membuka masker-nya sedikit, Naruto menganggukan kepala, menyetujui permintaan penjaga itu, walaupun rasanya badan Naruto sudah gatal-gatal, tidak tahan ingin mandi.

"Tuan Uzumaki, saya menerima laporan dari tetangga Anda jika akhir-akhir ini di depan kamar apartemen Anda selalu ada segerombolan anak yang berkumpul," lapor penjaga itu, dan Naruto sudah cukup mengerti dengan arah pembicaraan mereka.

"Saya harap Anda bisa menangani tamu-tamu Anda itu sebelum pihak kami melakukan tindakan karena anak-anak itu meganggu ketentraman penghuni yang lain apartemen ini, Tuan Uzumaki," lanjutnya.

Naruto mendengus. Baru pertama kali dia ditegur seperti ini oleh pun menganggukan kepalanya. "Saya mengerti. Terima kasih atas laporannya," Naruto pun mohon pamit, dan tidak lupa dia menyemprotkan cairan pembersih ke seluruh tubuhnya.

Satpam tadi membuat dirinya semakin gatal-gatal saja!

.

.

Tap.. Tap.. Tap..

Naruto melangkahkan kakinya menuju kamar tidak terkejut untuk kali ini ketika adik-adiknya berjajar, menunggu dirinya di luar apartemen.

Naruto berdiri di hadapan menatap satu-persatu adik-adiknya yang sedang tersenyum lebar ke arah dirinya. "Tidakkah kalian pulang saja?" tanya Naruto dengan nada sebal.

"Aku sudah bosan melihat wajah kalian," ketusnya. Ia ingin sekali menelepon pihak berwajib, tetapi alangkah gilanya jika seorang Uzumaki Naruto memenjarakan keempat adiknya.

Apa kata orang-orang jika dia melakukan itu?

"Kenapa kalian tidak bosan merengek, hm?" lanjutnya.

"Kami tidak akan pulang dan akan tetap diam di tempat ini sampai kakak mengizinkan kami untuk masuk dan tinggal di tempat kakak," serentak mereka berbicara. Terlihat semua anak-anak ini sudah merencanakan semua ini.

Naruto hendak membalas perkataan adik-adiknya, namun pintu di sebelah kamar Naruto terbuka, dan munculah seorang bapak-bapak yang menatap dirinya dengan pandangan penuh amarah. Naruto mengerti sekarang siapa orang yang telah melapor keberadaan adiknya pada penjaga. Naruto pun menghela nafas. Ia tidak bisa bertengkar di luar kamar apartemennya untuk kali ini. Naruto pun membuka pintu dan melebarkan pintu tersebut. Ia menatap keempat saudaranya.

"Masuklah!" perintah Naruto dengan nada ogah-ogahan.

.

.

.

Keempat Namikaze untuk kali ini bisa melihat tempat tinggal Naruto dengan langsung.

Tidak salah jika Naruto menjadi orang sukses. Dia adalah orang yang tertata, rapih dan terorganisir. Benda yang ada di dalam rumah Naruto tidak ada yang diletakan sembarangan atau terlihat tidak berguna. Semua barang nampak saling berpadu-satu, menghiasi rumah ini. Selain itu, benda-benda di rumah Naruto nampak sangat unik dan beberapa di antaranya belum pernah ditemukan oleh anak-anak Namikaze dimanapun.

Anak-anak Namikaze bahkan hampir terpukau ketika melihat robot pembersih yang mondar-mandir mengeliling rumah Naruto, dan sesekali meminta anak-anak Namikaze untuk mengangkat kaki mereka ketika robot tersebut akan membersihkan lantai di bawah kaki anak Namikaze. Di saat itu, anak-anak Namikaze ingin menyentuh robot itu, Naruto yang melihat gerak-gerik mereka langsung memberikan death glare mematikan.

Mereka ciut seketika.

Saat ini Naruto sedang ada di dapur. Ia sedang menyiapkan minuman ketika anak-anak Namikaze sedang asyik di ruang keluarga, menonton televisi.

"Kami ingin minum susu cokelat, Kak!" kata Kyuubi, seenaknya. Ia menatap layar televisi yang sedang menampilkan acara animasi 3D ber-genre mecha. Posisi Kyuubi sangat enak, ketika sofa yang didudukinya lebar dan nyaman untuk berposisi tiduran sambil menonton.

Naruto menaruh mug di atas meja dapur. Dari balik dapur bermodel meja bartender, Naruto menatap adiknya. "Siapa yang mau bikinkan kalian minuman?!" serunya dengan nada ketus. Ia memang sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri, bukan untuk anak-anak itu.

Dengan cueknya Konan yang sedang tidur-tiduran di atas karpet berbulu wol—yang dipesan khusus Naruto dari New Zealand—sambil membaca majalah yang dia temukan di sekitar ruang keluarga menatap Naruto. "Kami tamu, Kak!" katanya. Iapun kembali membaca buku.

"Tamu, 'kan harus diperlakukan baik," lihatlah pandai sekali dia berbicara.

Naruto memutar kedua bola tidak peduli adiknya mau mati kelaparan sekalipun. "Kakak hanya punya kopi," kata Naruto.

"Terserah jika kalian tidak mau," ia mengambil gelas plastik sekali buang dari dalam lemari dapur—tempat Naruto menyimpan perlengkapan untuk tamu.

Naruto menuangkan serbuk kopi yang beberapa hari lalu ditumbuknya dengan memakai mesin ke dalam gelas itu. Aroma kopi langsung menyeruak di seluruh penjuru ruangan.

Beberapa saat kemudian, kopi untuk Naruto dan adik-adiknya pun telah siap.

"Ini!" Naruto menaruh baki sekaligus empat gelas plastik berisi kopi ke atas meja.

Seluruh adik Naruto berhenti beraktivitas. Mereka menatap kopi yang disuguhkan oleh Naruto.

"Nato ausss…" kata Nagato sambil mengambil gelas kopi itu dengan perlahan. Naruto menatap Nagato dari sudut matanya, antisipasi jika Nagato akan menumpahkan kopi itu ke atas karpet kesayangannya. Nagato pun mulai menyeruput kopi itu dan dia hampir saja muntah.

"Uhuk! Uhuk!" Nagato terbatuk-batuk, ketika rasa pahit mengenai lidahnya. Ia menatap kakaknya dengan mata berair.

"Nato nyak cukaaaa kopi..." kata Nagato dengan ekspresi sedih.

"Lacanya nyak enyak…" komentar Nagato, memohon pada kakaknya agar mencari minuman yang lain.

"Tapi Nato nyak mau minum ail puciiihhh..," kata Nagato, mulai ngeyel.

Naruto menatap adik terkecilnya tanpa ekspresi. Sedangkan saudara-saudaranya yang lain—minus Kyuubi—hanya menatap kopi di atas meja itu dengan ekspresi tidak suka.

Kyuubi-lah mengambil segelas kopi itu dan mulai meminumnya tanpa ada komplein sama sekali.

"Tidakkah dia bisa berbicara normal?" tanya Naruto, ketika matanya tertuju pada Nagato.

"Dia masih kecil, Kak…" jawab Deidara.

Sekarang Nagato sedang sibuk menatap film di hadapannya. Ia tidak sadar sedang dibicarakan.

"Dia memang anak kecil, tetapi di umurnya sekarang, sepertinya tidak tepat untuk berbicara cadel," Naruto menatap Deidara dan Konan tajam.

"Kakak yang ajarkan saja. Kami malas," jawab Konan, seenaknya.

Naruto menatap heran saudara-saudaranya. "Kalian makhluk apa?!" gumamnya. Iapun mulai menikmati kopi yang dibuatnya tadi.

Suasana hening sejenak.

"Jadi, bagaimana, Kak?" tanya Kyuubi, memecah keheningan.

Seluruh adik-adik Naruto menatap Naruto dengan pandangan memohon.

Naruto membuka matanya yang sempat tertutup di saat menghirup aroma kopi. Ia mendesah perlahan. Sepertinya, dia tidak mungkin mengusir adiknya yang keras kepala ini. Ia hanya akan mendapatkan masalah jika adiknya terus dibiarkan di luar apartemen.

Naruto menatap adik-adiknya. Sepertinya, adik-adiknya bisa dimanfaatkan Naruto untuk membersihkan rumah. Tetapi, apakah itu mungkin? Anak-anak itu, 'kan, makhluk yang suka berurusan dengan hal-hal kotor? Bisa-bisa apartemen Naruto akan berantakan setiap hari.

Naruto sibuk menimbang-nimbang keputusannya dikala adik-adiknya semakin berusaha terlihat manis.

"Sebenarnya, kemana Tou-san kalian?" tanya Naruto dengan nada sinis. Ia tidak sudi menyebut nama ayahnya.

Keempat adik-adik Naruto saling bertatapan, lalu menatap Naruto. "Benar kakak ingin mengetahui keberadaan ayah?" tanya mereka.

Naruto berpikir sejenak. "Tidak perlu," jawabnya, sangat dingin. Adik-adik Naruto pun tampak kecewa dengan perkataan Naruto.

"Kalian hanya tinggal di sini tiga bulan, kan?" tanya Naruto, memastikan jika adik-adiknya tidak akan melanggar perjanjian di antara mereka.

Keempat adik-adiknya mengangkat kedua jari mereka ke hadapan Naruto. "Kami berjanji," kata mereka, kompak.

Naruto menatap curiga kembali adik-adiknya. "Setelah itu kalian akan kemana?" tanya Naruto.

Keempat adik-adik Naruto memperlihatkan cengiran usil mereka. "Ikh kakak, kok jadi perhatian gitu, sih?" kata mereka, menggoda Naruto.

"Kakak mulai sayang sama kami, yaa~" goda mereka, sinting.

"Lupakan pertanyaanku tadi," Naruto memutar kedua bola matanya.

Anak-anak di hadapannya memang anak-anak yang menyebalkan.

Keempat anak-anak itu nyengir.

"Kami akan mencari tempat tinggal baru di kota ini setelah tiga bulan berjalan…" kata Kyuubi, mulai meluruskan pembicaraan di saat Naruto kehilangan selera untuk berbicara dengan adik-adiknya.

"Kami tinggal disini untuk sementara karena kami tidak sempat untuk mencari tempat tinggal pada saat kami terlalu sibuk mengurusi surat-surat untuk perpindahan sekolah kami," katanya dengan panjang lebar.

Naruto mulai mengerti maksud adik-adiknya ketika memilih tinggal bersamanya.

"Setelah kami beradaptasi dengan lingkungan di sini, kami tidak akan meganggu kakak," katanya.

Naruto menganggukan kepalanya. "Baiklah!" jawab Naruto sambil menatap ekspresi adik-adiknya yang berubah cerah.

"Aku izinkan kalian tinggal di tempat ini, setelah itu aku tidak peduli apa yang terjadi dengan kalian, tidak boleh ada satupun dari kalian yang tinggal disini setelah tiga bulan," kata Naruto. Di saat itu, adik-adiknya berseru dengan gembira.

"Eits! Tetapi dengan beberapa syarat," Naruto membuat adik-adiknya terdiam seketika, saling pandang.

"Kalian harus mengikuti aturan yang ada di dalam rumah ini," lanjutnya.

"A—aturan?!" gumam adik-adiknya serempak.

"Ya. Aturannya akan dibicarakan besok. Terserah kalian suka atau tidak suka. Jika kalian tidak suka, silahkan pergi meninggalkan tempat ini," Naruto menunjuk pintu keluar di belakangnya dengan ibu jari.

"Mengerti?" tanyanya.

Adik-adik Naruto pun saling pandang sebelum menganggukan kepala mereka dan menatap Naruto dengan antusias. "Kami mengerti kakak!" seru mereka, dengan sangat memutar kedua bola matanya.

Naruto mendesah lelah. Ia menatap pakaian yang digunakan adik-adiknya.

Semenjak mereka datang kemari, sepertinya mereka selalu berganti baju, dan tiba-tiba saja Nagato pun bisa memiliki baju, ketika kencing di celana. Tetapi tidak ada satupun tas besar yang dibawa oleh mereka.

Dimana mereka menyimpan barang-barang?

Naruto mengernyitkan dahi. Ia mulai sadar jika ada yang tidak beres dengan keempat adiknya. Naruto pun berpikir sejenak, lalu kembali menyeruput kopi, ketika adik Naruto sibuk menatap Naruto, siap menerima instruksi Naruto selanjutnya.

"Dimana barang-barang kalian?" tanya Naruto, akhirnya dia tidak tahan untuk tidak bertanya juga.

Anak-anak Namikaze dengan kompak memperlihatkan gigi putih mereka.

Kyuubi yang paling besar di antara adik-adik Naruto mengambil ponsel dari saku celananya. Ia sibuk berbicara dengan seseorang dari telepon itu, lalu menutup telepon itu dengan ekspresi yang tidak dapat dibaca.

Seluruh anak-anak Namikaze pun seperti menanti seseorang. Sedangkan firasat Naruto mengatakan jika semua tidak akan baik-baik saja, terlebih ketika bunyi bel pintu terdengar.

"Kalian memanggil siapa?" ujar Naruto sambil beranjak dari sofa.

Adik-adik Naruto mengikuti Naruto di belakang. Akhirnya, orang itu datang juga.

"Kalian tidak akan memanggil preman, kan?" Naruto menatap curiga adik-adiknya.

Keempat Namikaze menggelengkan kepalanya, ribut.

Naruto membuka pintu. Ia menatap pemuda yang tingginya lebih jangkung beberapa senti dari dirinya.

Pemuda itu memiliki rambut hitam kelam, dengan warna mata yang tidak jauh berbeda dengan warna rambut tersebut. Bibir pemuda itu menyunggingkan senyuman sombong, sebagaimanapun pemuda itu menutupi sifat aslinya.

Dengan penuh percaya dirinya pemuda itu berdiri di hadapan Naruto dan mengulurkan tangannya. Nampak sekali dari kepercayadiriannya, pemuda ini terlatih untuk berhadapan dengan orang-orang seperti Naruto.

Dari penampilan pemuda itu, Naruto dapat menilai jika pemuda ini sering berhadapan dengan orang-orang penting, dan aura pemuda ini sangat mengingatkan Naruto pada sosok Itachi Uchiha—sahabatnya.

"Ini adalah barang-barang adik-adikmu," kata pemuda itu sambil menunjukan koper. Ia mengulurkan tangannya.

"Perkenalkan. Aku adalah Sasuke," katanya, tanpa ada segan sama sekali.

"—Atau bisa kau katakan saja, adik tirimu, atau jika kau tidak suka memiliki adik lagi, anggap saja aku pengasuh mereka," lanjutnya.

A—adik tiri?

Pe—pengasuh?

Naruto menatap Sasuke dengan ekspresi shock.

"Kakak!" anak-anak Namikaze melewati Naruto, berhamburan ke arah Sasuke dan memeluk Sasuke dengan sangat erat.

Anak Namikaze menatap Naruto dengan ekspresi senang. "Dia juga sudah seperti saudara kita kakak. Dia boleh, kan menginap bersama kita?" tanya anak-anak Namikaze dengan nada merajuk.

"Dia adalah orang yang bisa melakukan semuanya, dan orang serba bisa yang pernah ada di dunia ini! Kakak tidak akan pernah rugi membiarkan orang hebat seperti Kak Sasu diam di tempat Kakak," kata anak-anak Namikaze, tapi Naruto malah menangkap perkataan adik-adiknya jika Sasuke bukanlah manusia melainkan alien yang kemampuannya melebihi manusia.

"Si—siapa dia?" hanya hal itu yang bisa Naruto ucapkan ketika senyuman Sasuke semakin lebar.

"Seingatku, aku hanya memiliki adik empat?"

.

.

Ini semakin memusingkan saja!

Naruto mencari sesuatu dari saku membutuhkan cairan itu. Dia sangat membutuhkan cairan itu. Sekarang!

Bersambung...

Edited: 08.05 (20/05/2017)