Hai Minna!

Saya author baru di sini dan ini fic pertama saya. Mohon maaf jika masih banyak kekurangan, namanya juga masih amatiran, hehehe...

Tolong tinggalkan review ya, kritik dan saran sangat diperlukan...

Oke, langsung aja...

Pair: ShikaTema

Warning: fic super gaje, typo, dll.

The Last Hope

-Chapter 1-

"Hujan"

Sore itu adalah sore yang kelam.

Awan kelabu yang gelap dengan sombongnya menutupi langit, menghalangi matahari dan sinar hangatnya. Rinai hujan mengguyur 2 jam terakhir. Udara dingin menusuk kulit, berbisik menyampaikan pesan kesedihan.

Di tanah lapang yang luas itu, terlihat kerumunan orang yang sedang berkumpul, mengelilingi dua gundukan tanah yang di dalamnya terbaring jasad sepasang suami-istri yang baru saja menyelesaikan peran mereka di kehidupan dunia yang singkat ini. Wajah mereka tertunduk, khusyuk memanjatkan do'a di dalam hati masing-masing, memberikan penghormatan terakhir. Beberapa menitikkan air mata, menangisi kepergian suami-istri tersebut yang dikenal sangat baik ketika masih hidup. Di bawah payung-payung hitam dan lebar, rona kesedihan terpancar dari wajah mereka. Keluarga, kerabat, tetangga, rekan dan mitra kerja sang suami-istri tersebut larut dalam kesedihan, mengenang kebaikan dan jasa pemilik jasad yang sudah berkalang tanah itu.

Di tengah-tengah kerumunan tersebut, terlihat seorang bocah kecil 12 tahun yang berdiri mematung menatap makam kedua orang tuanya dengan tatapan yang kosong. Hampa. Di tangan kanannya terlihat buku tebal yang ia genggam dengan erat, ia baru mendapatkan buku itu sebagai hadiah karena ia mendapatkan peringkat terbaik di kelasnya. Tapi sungguh, apa yang ia dapatkan sama sekali tak sebanding dengan apa yang harus ia relakan untuk pergi. Orang tuanya.

Tak lama, satu-persatu dari orang-orang di kerumunan itu pergi, berpamitan pada keluarga dan kerabat sang suami-istri tersebut, beberapa mencoba menghibur bocah kecil yang malang itu, namun bocah itu sama sekali tak menggubris, sesekali bocah itu hanya menanggapi dengan senyum tipis yang dipaksakan.

Sekarang, semua orang telah pergi, menyisakan bocah laki-laki kecil itu yang merupakan putera satu-satunya dari pasangan Nara itu dengan ditemani oleh sepasang suami-istri yang berdiri di belakangnya.

"Shikamaru..." Panggil wanita itu dengan lembut. Wanita itu berjongkok, menyamakan tingginya dengan bocah kecil itu, sementara yang dipanggil sama sekali tidak merespon. Wajahnya kosong tanpa ekspresi, tatapan matanya yang hampa menatap lurus ke depan, seolah menembus wanita yang kini ada di hadapannya itu.

"Hei, ayo kita pulang." Ajak wanita itu, namun sekali lagi, yang ia dapatkan hanya diam. Wanita itu mengusap lembut rambut bocah itu yang sudah basah karena gerimis, pakaiannya pun sudah basah kuyup.

Si bocah tetap diam tak bergeming. Ia masih berdiri mematung dengan buku tebal di genggaman tangan kanannya dan tatapan mata yang kosong. Sinar semangat dan harapan sudah sirna, yang tersisa di sana hanyalah sinar kesedihan dan keputus asaan.

Melihat kondisi bocah kecil itu, wanita tersebut menangis, air matanya meleleh untuk kesekian kalinya. Ia sudah faham betul dengan apa yang dirasakan oleh sang bocah, bocah itu kehilangan kedua orang tuanya, sementara dirinya sendiri kehilangan kakak yang sangat ia cintai. Ya, wanita itu adalah adik dari ayah sang bocah. Sambil terisak, wanita itu memeluk bocah tersebut, ia mendekap erat keponakannya itu di bawah gerimis yang mulai deras.

"Dengar Shikamaru, aku tahu ini mungkin berat bagimu. Tapi percayalah sayang, mungkin ini yang terbaik bagimu, bagi bibi, bagi kita semua." Ujar wanita itu dengan suara parau.

Pikiran bocah kecil itu melayang. Ia bertanya-tanya apa maksud perkataan bibinya barusan. Ia sama sekali tak mengerti bagaimana bisa semua kejadian ini adalah yang terbaik bagi dirinya. Ia sama sekali tak tahu dan tak mengerti di mana letak baik dari semua kejadian ini. Kejadian yang merenggut nyawa orang tuanya. Kejadian yang bahkan membuat dirinya sudah lelah untuk menangis. Lalu, benarkah ini yang terbaik? Jika memang ini yang terbaik, lalu di mana letak baiknya? Tolong seseorang beritahu bocah kecil yang malang ini!

Bocah kecil itu melepaskan pelukan bibinya dan berlari dengan kencang. Sang bibi hendak menyusul bocah itu namun segera dicegah oleh suaminya, akhirnya ia hanya bisa menangis di dalam dekapan sang suami.

Bocah kecil itu terus berlari dan berlari. Ia berlari dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Air matanya meleleh menuruni pipi bocah itu. Ia menangis. Ia terisak. Dadanya terasa sesak seolah ada beban berat yang menindihnya. Ia terus berlari dan berlari, bersamaan dengan hujan yang berubah menjadi deras, seolah alam pun ikut menangis bersama dengan bocah itu. Ia sudah lelah. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia ingin pulang dan segera tidur dan berharap semuanya akan kembali normal ketika ia bangun, ibunya akan menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuknya, kemudian ia berangkat ke sekolah bersama dengan ayahnya yang pergi ke kantor. Ya, ia berharap semua kejadian ini tidak nyata. Ia berharap ini semua hanya ilusi belaka. Ia berharap ini semua hanya mimpi buruk. Ia berharap ini semua hanya mimpi buruk! Jika benar ini semua hanya mimpi buruk, tolong, siapa saja, bangunkan bocah kecil yang malang ini!