Harusnya dia mengatakan cinta dari awal pertemuan mereka di gedung pameran fakultas seni.

Ia tersiksa akan seluruh perasaan yang bahkan tak sempat tersampaikan melalui sentuhan.

Sasuke rindu senyuman palsu yang mencoba meyakinkan bahwa semuanya terkendali.

Kangen pale-skin yang mudah memerah tatkala sukses dibuat merona.


This story is dedicated for SasuSai LIFE, 23 August–25 September 2016

Prompt: Morning

Disclaimer: Iya, Naruto emang punya Masashi Kishimoto.

Genre: Romance, Comedy.

Main Chara: Uchiha Sasuke, Sai.

Warnings: DLDR. OOCness, dan seperti kebanyakan peringatan dalam fanfic yang telah ada sebelumnya

Summary: Pasalnya kecantikan pagi hari sayang untuk diabaikan.


Some Beautiful Morning

Sasuke tak yakin, apakah ini bisa dimasukan dalam kategori gagal move on atau apalah. Sebab terus terang saja, kedekatan mereka tidak didasari kesepakatan atas nama pacaran, berakhirnya jalinan kisah kasih itu tanpa kata putus, dan tentunya takkan ada istilah mantan. Akan tetapi, ia dibikin habis-habisan frustrasi, nyaris tiga tahun menderita gundah-gulana sendiri.

Sai Himura, hanya nama itu yang bakalan sukses membuatnya menjadi praktis melankolis.

Menit-menit terakhir kebersamaan mereka, adalah melihat pemandangan sunrise di salah satu villa milik keluarga Uchiha. Momen cantik tersebut juga sempat terekam oleh kamera ponselnya, dengan satu pemuda cakep berkulit putih pucat menjadi fokus utama pada seluruh gambar yang diambil Sasuke. Dan terhitung sejak itu, entah mengapa dia seperti tak mampu lagi menemukan keindahan dari matahari yang baru terbit.

Dapat diingatnya begitu jelas, awal dari segala kegalauan yang mendera. Dimulai dari basa-basi belaka, tentang hawa dingin di pagi hari, soal twilight yang perlahan-lahan menghilang, hingga entah bagaimana bisa malah berubah menjadi topik yang lebih sensitif. Arah hubungan ini tidak mempunyai kejelasan, Sai mengaku kesulitan menempatkan Sasuke sebagai apa dalam hidupnya. Mau disebut sahabat baik sekalipun, rasanya setiap kecupan bibir yang mereka lakukan sudah terlalu menyimpang – belum lagi untuk berbagai hal lain yang enggan si Uchiha bungsu deskripsikan.

Perubahan ekspresi wajahnya kala itu merupakan kesalahan besar, ditambah lagi dengan diam seribu bahasa. Kebodohan berlanjut semakin parah ketika ia malah berucap, "kurasa kita butuh waktu untuk memikirkan masalah ini sendiri." Hening, secara harfiah kebisuan kontan mendominasi. Sai meresponi gagasan idiot tersebut dengan anggukan kepala disertai senyum palsu andalan; Sasuke sebisa mungkin mengalihkan pandangan.

Sungguh, dia tidak bermaksud menganggap Sai hanya sebatas pemberi kesenangan di saat bosan, pemuda itu sangatlah berarti baginya. Sasuke cuma lelah terhadap semua jenis drama percintaan, semacam perkelahian yang tidak penting, kebiasaan buruk saling menyalahkan pasangan, sikap posesif dan kecemburuan yang mengekang, sampai permainan putus-sambung – pengalaman merupakan sumber referensi yang mutakhir, teman.

Sasuke merasa nyaman seperti ini, keduanya dapat memiliki satu sama lain tanpa perlu sandiwara patah hati. Dan kalau memang segalanya harus berakhir, maka mereka tidak ada alasan untuk merasa kecewa. Namun ternyata itu bukanlah jalan terbaik, benar-benar pilihan yang menyesatkan. Lantas beginilah kegiatan pagi hari lelaki berusia dua puluh lima tahun tersebut, bermalas-malasan di tempat tidur sambil menyesali ketidaktegasan dirinya yang dulu.

Why?!

Kenapa Sai membiarkan semua ini selesai begitu saja?

Sebenarnya, ia ingin pemuda itu memaksanya untuk membuat keputusan agar mereka terus bersama. Terserah mau menampar pipinya kuat-kuat, mengancam akan melakukan tindakan bunuh diri, apapun itu asal bisa jauh dari kondisi mengenaskan seperti sekarang ini. Sialnya lagi, Sasuke bahkan tak punya cukup keberanian untuk sekadar mencari tahu kabar terkini Sai, apalagi menghubungi terlebih dahulu – padahal dia hafal mati nomor telepon lelaki yang bersangkutan.

Uh-oh, yang namanya manusia pasti memiliki sisi masokis kritis.

By the way, sumber kegalauan Sasuke kali ini tidak lain karena sebuah berita yang lain hits di berbagai media sosial, tentang galeri seni alam yang dibuat oleh seorang pelukis muda bertalenta – disertai beberapa posting-an foto sang subjek maupun karyanya. Yaa, dapat diterka dengan mudah Monet abad millenium yang dimaksud itu siapa.

Ia mendadak terserang gejolak rindu brutal saat melihat potret sebuah lukisan, di sana tampak dua orang pemuda berdiri menghadap ke direksi matahari yang baru terbit – nyaris menduplikasi sempurna kenangan mereka. Menggiring ratusan nostalgia indah, tapi di satu bagian dirinya yang lain ingat akan realita. Mana mungkin dia bisa seenaknya mendatangi pemuda yang bersangkutan, lalu secara gamblang mengajaknya untuk naik ke atas ranjang.

Sebagai man on top, Sasuke memang terlalu sensitif. Ia harus minta maaf pada tampang stoic-nya.

Apakah dia harus mengikhlaskan semua yang sudah terjadi di antara mereka, atau berusaha mendapatkan sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya? Jadi, biarkan Sasuke mempertimbangkan pilihan yang ada. Uring-uringan sendiri, apalagi setelah aksi investigasi (yang entah motivasi stalker-nya datang darimana) terhadap Sai, memberi banyak informasi yang berefek level dilemanya meningkat ke titik maksimal. Ia tahu alamat galeri seni itu berada, hingga soal status lelaki tersebut yang masih single.

Sasuke jadi besar kepala, mengira pemuda yang bersangkutan masih menanti cinta darinya. Duh, dia sadar sendiri kalau berpikir positif pun memiliki batasan, karena segalanya terasa sangat klise apabila kenyataan yang ada memang seperti itu. Hari menjelang sore, dan Sasuke tetap belum mampu membulatkan keputusan. Mengamati wallpaper ponsel pintarnya, potret Sai yang tersenyum tipis dengan latarbelakang sunrise.

"Apa kabar, Sasuke-san?"

Damn...!

Terkutuklah ide yang secara implisit menyambangi otaknya untuk menelepon Sai, si bungsu Uchiha ini spontan membanting smartphone-nya sebab terlanjur mati akal sehat, menyebabkan benda tersebut jadi blank total. Enam puluh detik kemudian Sasuke menyadari, bahwa lelaki itu ternyata masih menyimpan nomor ponselnya. Pikir-pikir lagi, kembali misuh-misuh tak menentu, sebentar menimbang keadaan, pada akhirnya ia berhasil meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak ada yang salah dengan sekadar say hello ke teman lama.

Butuh waktu lebih dari dua jam untuk Sasuke tiba ke lokasi galeri seni, bukan karena jaraknya yang jauh, tapi seringkali terserang oleh ketidakpercayaan diri yang membuatnya kelimpungan. Memasuki ruangan, mencoba beradaptasi seperti kebanyakan pengunjung pada umumnya, meski mata onyx itu berkeliaran mencari laki-laki yang sangat familier.

Namun yang ada, netra itu terperangkap pada lukisan besar di ujung koridor. Tanpa mengenal kata nanti, dia mendatangi objek mati tersebut. Memang teramat fokus, tapi Sasuke tetap dapat menyadari kehadiran sosok yang sebelumnya ia coba temukan sudah memposisikan diri pada jarak yang cukup dekat, Sai berdiri di sebelahnya.

"Aku menghubungi nomor Sasuke-san beberapa kali tadi, tapi koneksinya selalu gagal."

Sebisa mungkin mengatur artikulasi suara agar terdengar normal guna melisankan kalimat, "tadi ponselku tanpa sengaja terjatuh, lalu tahu-tahu malah mati total."Adik semata wayang Itachi ini tidak bisa memberikan penjelasan jujur tentang smartphone-nya yang (malang) tiba-tiba rusak, oleh sebab demikian ia memilih untuk sedikit berdusta. Hah, harga dirinya sebagai seme absolut mau dititip ke mana, coba?

Sai mengulas senyum, terlihat setampan pada hari pertama kali Sasuke menatapnya di aula dulu.

Sunggingan tanpa beban, kelembutan bibir ketika dicium, kulit pipi yang putih pucat sekaligus gampang dibikin merah merona, gema suara khas yang spesifik di telinga, jemari dingin yang jago memainkan coretan kuas di atas kanvas. Sasuke menginginkan seluruhnya dalam satu paket, dan itu adalah Sai Himura.

Kenapa ia sebegitu pengecut membiarkan pemuda ini pergi begitu saja? Sasuke berharap amnesia.

"Kurasa kita tidak butuh waktu lebih banyak lagi untuk memikirkan masalah ini sendiri."

Sesaat Sai mengubah ekspresinya menjadi terkejut, kemudian bibir itu kembali membuat cekungan.

Lantas ia membalas, "tiga tahun aku menunggumu meneleponku untuk mengucapkap kalimat itu."

Terserahlah kalau ini akan dianggap roman picisan pada umumnya, terinspirasi akut oleh shoujo-manga, cerita dengan ending yang mengecewakan karena mudah diprediksi, klisenya tiada tara, sebab yang terpatri di benaknya cuma memperbaiki apa yang telah dia hancurkan. Sasuke sudah mendapatkan lebih dari cukup waktu untuk memikirkan problema mereka, dan ia telah membuat keputusan paten.

Sasuka hanya mau menemukan keindahan dari matahari yang baru terbit di pagi hari.

Persis seperti sosoknya dan Sai dalam lukisan di hadapan mereka.

Fin


A/N: Yaa, tamat dengan super ambigu. Serius pula plot cerita kayaknya rush. Dan saya satu sisi merasa takjub gimana, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya membuat fic dengan pairing yang berbeda dari biasanya di sini. Awalnya gak yakin bisa ikutan event karena satu sisi pairing-nya bukan kapal utama saya di fandom Naruto.

Terimakasih pada para panitia yang sudah membuat event ini, terutama Rha (Kenzeira) yang bersedia barter fic dengan saya.

Terakhir, bersediakah memberikan review? Saya tunggu.

Salam,

Pixie YANK Velvet.