Going Out

Summary : Dua sahabat karib ditinggalkan kekasih masing-masing di rumah salah seorang yang telah disebutkan. Keduanya memutuskan untuk melakukan "sesuatu", demi menunggu dua pria dewasa pulang dari kerja di luar kota.

Pairing : EruMin, RiRen, slight AruRen non-romance

Warning : Semi PWP, Lime, Lemon, Underage Sex, Pedophilia


1 | See What Happened If You Leave Us Alone

"Okay, that's all for today. See you tomorrow morning, kids."

"Thank you, sir."

Seluruh murid di kelas berbondong-bondong berjalan keluar meninggalkan kelas mengikuti setelah guru mata pelajaran ekonomi keluar dari ruangan. Semua, kecuali Eren Jaeger. Pemuda lima belas tahun itu tengah terkapar di atas meja. Tangan membentuk segitiga, menyangga kepalanya yang menoleh ke kiri dengan mata tertutup dan bibir melengkung lesu.

Sudah sedari tadi Eren begini, duduk lemas tanpa tenaga dan memandang entah kemana. Otaknya sudah tidak bisa mencerna lagi bahasa pengantar yang dipakai gurunya sehingga segalanya kedengaran seperti siaran televisi berbahasa India. Atau Thailand. Atau Rusia. Atau yang lainnya, apapun yang sulit dieja dan perlu kepekaan telinga. Eren hanya mengerti bahasa ibunya saat ini, yang lainnya bahasa alien.

Bahkan ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Jean Kampret waktu pemuda sok-jantan-padahal-uke itu menimpuk kepalanya dengan ensiklopedi sejarah zaman kolonial. Paling-paling juga cuma meledeknya saja tanpa tahu alasan kenapa Eren seharian kelihatan seperti sedang konstipasi.

Sekali lagi, Eren Jaeger menghela napas panjang.

Sebenarnya di kelas Eren hari itu bukan hanya pemuda rambut coklat itu saja yang depresi, juara satu paralel yang terkenal dengan kalem dan pandai menempatkan diri yang satu kelas dengan Eren mendadak jadi makin kalem. Bukan karena memperhatikan pelajaran seperti biasa, tetapi terlalu sibuk berkutat dengan apapun yang ada di dalam kepalanya.

Dapat dilihat di bangku deretan kedua dari depan, samping kanan depan lokasi Eren, Armin Arlert duduk siap, mematung dengan pandangan lurus ke depan. Beberapa kali sudah para guru menghampirinya sekedar bertanya apa dia baik-baik saja karena pemuda satu itu sama sekali tidak beranjak dari posisinya sewaktu diminta menjawab pertanyaan. Armin menjawabnya di tempat, benar, dan tidak maju ke depan.

Fenomena yang cukup luar biasa, dan efeknya juga tidak sekedar ricuh saja. Selain anak-anak satu kelas ribut menanggapi mereka, trio Bertholdt-Annie-Reiner juga kewalahan menangani Armin yang sempat nangis di kelas sewaktu pelajaran matematika. Armin memang tidak bersuara, tapi Bertholdt yang dapat kursi di sampingnya jadi panik seketika begitu melihat Armin sesenggukan dan bahunya bergetar. Hingga pada puncak sang guru mata pelajaran saat itu memintanya untuk membawa Armin ke ruang kesehatan, di mana Bertholdt harus menggendong Armin yang memeluknya erat dan tidak mau jalan sendiri. Selain itu Armin juga tidak mau ditinggal sendiri. Dan, hei, bisa apa dia kalau diberi tatapan memelas dengan mata berlinang air mata dan wajah merona merah seperti itu?

Akhirnya Bertholdt harus meminta tolong Annie dan Reiner yang notabene termasuk salah satu dari banyaknya bodyguard tersembunyi Armin (korban kebaikan dan moe-nya anak itu, tentu) yang cukup over-protektif bergantian menjaga Armin hingga dia terlelap dan menjemputnya kembali di jam istirahat ke dua.

Lain ladang lain belalang. Lain Armin, lain pula Eren.

Jika Armin hanya membuat orang bingung karena menangis tiba-tiba dan merengek macam bayi kelaparan, Eren Jaeger justru kelihatan horor di mata orang-orang sekitar. Bayangkan saja, pemuda yang terkenal dengan banyak bicara, anteng kitiran, dan aktif dalam segala hal itu tiba-tiba saja jadi pendiam dan tidak mau makan. Padahal tadi beberapa orang seperti Mikasa, Christa, dan bahkan Sasha sudah menyempatkan diri untuk membelikannya roti melon kesukaannya. Jean juga sudah susah-susah membelikan satu kotak makan lengkap dengan nasi dan daging lezat. Jarang-jarang Jean menampilkan sisi dere-nya seperti itu.

Tapi tetap saja gagal.

Eren tetap kuat terpancang pada tempatnya dan tak bergeser barang sedikitpun. Tidak peduli sekalipun kruyukan perutnya terdengar hingga keluar, Eren hanya menanggapi dengan helaan napas panjang.

Lalu, apa yang membuat dua orang paling berpengaruh di kelas mereka (yang satunya sebagai pembuat onar dan satunya lagi yang mendamaikan ketika chaos melanda) ini jadi kelihatan hampir tak bernyawa?

Sebenarnya alasan keduanya sama.

Alasan itu pula yang memaksa Eren dan Armin dengan nelangsa, tampang mirip anak anjing terinjak buntutnya, pulang bersama ke sebuah mansion luas berlantai tiga berjarak sekitar tiga puluh menit dari sekolah mereka.

Tidak, rumah mereka berbeda.

Tidak, ayah Eren berkelana. Ibunya pergi entah ke mana.

Orang tua Armin bulan madu tujuh hari dalam seminggu, jadi biarkan dan lupakan saja mereka.

Kenapa mereka bisa ada di mansion satu ini?

Tentu saja, karena caretaker yang seharusnya selalu mengurusi mereka mendapat panggilan kerja ke luar kota dan Eren dan Armin tidak sedang dalam masa liburan mereka. Mau tidak mau, dua orang ini harus menunggu di rumah. Berdua. Sendirian. Tanpa ada yang menemani.

Heh, orang tua mereka mana peduli untuk sekedar datang dan menjaga anaknya selama pengurus mereka tidak ada. Salah mereka sendiri sih, dulu diajak pulang ikut Papa-Mama pada nolak.

Paragraf kedua di atas ini adalah alasan mutungnya dua sahabat dekat di sana.

Setelah bermalas-malasan di kelas tanpa melakukan apa-apa selama beberapa saat, petugas kebersihan sekolah memergoki dua sejoli ini tengah hilang dalam bayangan mereka dan menyuruh mereka berdua pulang. Berjalan gontai, mereka akhirnya kembali ke mansion tempat mereka tinggal selama dua tahun terakhir.

Sesampainya di dalam mansion, masing-masing segera menempatkan diri di atas ranjang besar di ruang utama tanpa ganti seragam lebih dulu, frustasi.

Sebenarnya mereka tidak akan se-stress ini andai saja tidak ada kejadian kencan-ganda-tembak-massal sewaktu Armin dan Eren lolos masuk ke sekolah berstandar internasional yang pakai bahasa pengantar bahasa Inggris itu. Mereka sendiri heran ketika tau-tau mereka membuka mata dan mendapati atap mobil dan di luar jendela gelap. Setelah itu mereka berhenti di dekat pusat perbelanjaan untuk parkir, dan berjalan ke tempat tujuan.

Mereka dibawa ke sebuah festival kota sepuluh menit dari tempat parkir mereka dan diajak jalan-jalan sambil makan sepuasnya.

Dan di akhir acara keduanya mendapatkan ciuman selamat lolos ke sekolah menengah tingkat akhir dan kalimat pernyataan cinta dari caretaker masing-masing di dua tempat berbeda sebelum kemudian mereka pulang bersama.

Waktu itu memang kedua anak muda ini belum merasakan apa-apa. Mereka hanya mengikuti alur cerita, menuruti apapun yang dikatakan kekasih mereka yang lebih tua dan dianggap lebih berpengalaman. Kini setahun berlalu, dan perasaan keduanya semakin menggebu-gebu.

Lalu ketika hasrat ingin terus bersama itu tengah di puncak-puncaknya, dua kekasih mereka yang memang ada di perusahaan yang sama harus pergi bekerja keluar kota.

Katanya sih paling cepat satu minggu.

Paling lama bisa jauh dari perkiraan itu.

Dua helaan napas ditarik bersamaan.

"Sir Levi–"

"Erwin-san–"

"–cepetan pulang..."

Keduanya mengumandangkan nama caretaker masing-masing dengan nada suara merengek, masih dalam posisi satu tengkurap dan yang lain memeluk guling erat.

Sekarang, mau apa mereka selama menunggu kepulangan kekasih tercinta?


Akhirnya, keduanya berakhir dengan bercerita tentang kehidupan cinta masing-masing. Bayangkan saja acara mereka itu seperti agenda kumpul-kumpul para gadis remaja yang suka bicara cinta dengan kawan sebaya mereka. Persis seperti itu. Termasuk selingan jeritan, pekikan, dan olok-olok memalukan tiap kali ada cerita yang menarik hati pendengarnya.

Yah, seperti saat Armin cerita bagaimana Erwin menciumnya dengan ganas di kamar mandi misalnya. Eren langsung meledeknya dengan curcolan dan memeluk Armin yang merona merah dengan gemas. Beda dengan Eren, waktu Eren menceritakan bagaimana Levi suka menyentuhnya di sana-sini, Armin justru yang kelihatan panas dan menyembunyikan wajahnya dengan malu luar biasa.

Mereka imut, ya?

Mungkin Anda sekalian akan tetap menganggap mereka imut, manis, polos, bersih, tanpa dosa, itu kalau Anda tidak meneruskan membaca.

"Hei, Armin. Kira-kira kita mau melakukan apa ya selama menunggu Erwin-san dan Sir Levi pulang?" Oh, jangan tanya kenapa Eren memanggil caretaker-nya dengan panggilan macam guru itu.

"Apa? Aku tidak tahu. Aku ingin mereka cepat pulang."

Eren berpikir. Terus berpikir. Berpikir keras.

Ah.

...kosong.

"Aku juga tidak tahu. Apa ada yang bisa kita lakukan agar mereka segera menyelesaikan pekerjaan mereka dan kembali secepat mungkin?"

"Oh, bagaimana kalau kita rekam video saja lalu kirim ke Erwin-san? Aku ada e-mail-nya. Mungkin kalau kita buat video minta mereka cepat pulang, mereka akan bekerja lebih keras."

"Itu ide ba– TUNGGU! AKU TAHU!"

Armin terdiam, menelengkan kepalanya, menunggu kalimat lanjutan dari sahabatnya yang sepertinya punya masukan yang cukup bagus untuk dipertimbangkan. Entah apa itu, tapi melihat Eren kembali mengulum senyum senang khas miliknya, Armin semakin yakin kalau tidak apa-apa mengikuti ide kawannya ini.

Dan mereka mulai mempersiapkan alat-alat yang diperlukan di dalam kamar luas tersebut.


Kamera, cek.

Tripod, cek.

Lighting, cek.

Laptop, cek.

"Oke, beres." Ucap Armin begitu ia selesai mengatur handicam resolusi tinggi milik Erwin dan mengarahkannya dengan angle yang diminta Eren, agar bagian tengah ruangan kelihatan jelas. Eren sendiri pergi keluar ruangan dan agak lama. Katanya tadi dia akan menutup pintu gerbang, tapi entah kenapa rasanya lama sekali.

Armin kembali berbaring di atas ranjang empuk sebelum membenamkan wajahnya di atas bantal berwarna biru muda kesayangannya. Ruangan ini memang kamar Armin, mengingat bahwa mereka berdua menginap di rumah Erwin yang lokasinya paling dekat dengan sekolah jika dibandingkan dengan rumah Levi yang harus pindah kereta dua kali. Sebenarnya Armin jarang tidur di kamarnya sendiri kecuali Erwin sedang sibuk atau dia ingin tidur sendiri. Biasanya ia akan memaksa masuk ke dalam kamar Erwin dan tidur di sana. Karenanya rasanya agak aneh jika ia tidur sendiri seperti ini.

Dan ngomong-ngomong sedari tadi ada yang mengganjal di pikiran Armin.

Usulan Eren.

Sungguh, ia tidak mengerti apa yang diinginkan Eren. Pemuda itu hanya menyeringai saja ketika Armin bertanya tentang ini-itu. Jika Eren menjawab dengan kalimat, paling-paling hanya "Tenang saja, Armin. Ini pasti berhasil! Aku jamin. Sir Levi selalu pulang cepat kalau sudah kena jurusku."

Kalau Levi pulang awal, berarti Erwin juga akan diseret serta. Jadi mereka akan benar-benar kembali lebih cepat dari perkiraan.

Yah, asalkan untuk membuat kekasihnya pulang cepat, Armin akan melakukannya, seaneh apapun kedengarannya.


"Eren…"

"Ahh…Hmmh…"

"Kau…tidak apa-apa?"

Anggukan kecil dari yang lebih tinggi mengindikasi Armin untuk melanjutkan gerakan tangannya. Ia memulai perlahan-lahan, memijat batang kejantanan mereka berdua sembari Eren terus mengerang keras.

…Bagaimana bisa sampai jadi seperti ini? Sungguh.

Armin mengingat-ingat eksklamasi Eren beberapa menit yang lalu. Eren bilang bahwa ia punya ide yang akan membuat kekasih mereka berlari secepat kilat ke rumah. Eren tidak menjawab pertanyaannya tentang apakah itu yang ingin dilakukan oleh Armin. Dia bilang akan menceritakan detilnya kalau Armin sudah bilang mau ikut bekerja sama.

Dan tentu saja Armin akan setuju apapun itu, asal bisa lebih cepat melihat Erwin saja.

Akhirnya Eren menceritakan malam pertamanya dengan Levi. Bagaimana Levi pulang terburu-buru, melupakan penyakit cinta-bersihnya hingga ia masuk ke dalam rumah tanpa melepas kaus kaki dan asal terjang masuk ke kamar Eren. Waktu itu Eren sedang belajar di depan meja, dan tiba-tiba saja ia ditarik paksa ke atas kasur. Eren tidak membantah, terlalu terkejut melihat kekasihnya yang selesai bekerja satu jam lebih awal.

Kejadian-kejadian setelah itu, Eren masih sangat ingat. Levi mulai mencumbu bibirnya dan memasukkan lidahnya, menggerakkan otot basah itu di dalam rongga mulutnya, mengabsen gigi-giginya. Bibir itu juga mengecup seluruh permukaan tubuhnya. Lidah menjilat tulang belikat, mengisap tengkuk hingga meninggalkan bekas-bekas ungu-kemerahan yang baru hilang beberapa hari kemudian. Tangan Levi menjamah dari atas ke bawah. Meremas surai-surai coklat tua, mengelus pipi yang basah karena air mata yang keluar akibat kesulitan menahan nikmatnya tiap sentuhan yang diterima, memilin kedua puting yang mengeras, meraba tiap jengkal kulit tubuhnya, meremas alat genitalnya di bawah sana.

Memasuki lubang analnya yang tak pernah dieksplor sebelumnya.

Setelah itu Eren menjelaskan proses peneterasi yang lumayan sakit di awal, hingga masuk ke bagian inti.

Tentu saja tidak bisa dibayangkan lagi semerah apa wajah mereka berdua, terutama Armin, saat itu. Eren mungkin masih bisa bicara sekalipun terbata-bata, tapi jauh di dalam, ia sangat gelisah karena menceritakan pengalaman ranjangnya pada orang lain, sekalipun itu Armin.

Selain itu mengingat bagaimana Levi menyentuhnya…Eren mulai merasa terganggu dengan celananya yang mulai terasa sempit.

Dan di sanalah, Armin mematikan lampu tengah yang besar, menyalakan empat lampu kecil yang remang-remang. Ia berjalan menuju kamera dan menyalakannya, memastikan sudut pengambilannya dapat menangkap aktivitas mereka hingga beberapa menit –atau mungkin beberapa jam– ke depan. Ia sempat menangkap adegan Eren melucuti kemejanya sebelum kemudian menurunkan retsleting celana dan melemparkan celana panjangnya asal. Di sana, terbaring dengan wajah memerah, melihat ke atas –ke arah kamera– Eren yang telentang bertelanjang dada. Boxer hitam bergaris hijau kelihatan sempit dan basah di bagian depan.

"Armin, cepatlah kemari."

Dan setelah itu Armin menelanjangi dirinya, melanjutkan dengan melakukan banyak hal bersama, hingga akhirnya berakhir dengan posisi seperti sekarang ini. Armin duduk di pinggir ranjang, Eren di atasnya, tangan melingkar di leher Armin, dahi diletakkan di pundak. Kejantanan mereka saling bergesekan, pinggul bergerak resah, berusaha menambah sentuhan yang ada. Tangan Armin memijat-mijat kedua batang kejantanan tersebut, terkadang meremas kuat. Tangan lain menyangga tubuh Eren agar tidak jatuh ke belakang.

"Ennghh…Nnh, Armin…" Tanpa terasa, gerakan pinggul Eren semakin meliar. Ia mulai menggerakkan dirinya sendiri dan memeluk Armin erat. Tangannya bergerak mengelus rambut keemasan Armin, menariknya ke dalam ciuman panas dengan dansa lidah. Eren mendorong Armin hingga punggung menyentuh permukaan sprei yang halus. Armin hanya bisa membiarkan Eren duduk di atasnya menggerakkan pinggulnya, menggesekkan kejantanan mereka dan menghisap lidah Armin masuk ke dalam mulutnya. Ambil faktanya saja, Armin belum pernah melakukan lebih dari sekedar berciuman dengan Erwin, tapi Eren sudah sampai melakukan itu dengan Levi. Armin tidak tahu ia harus apa, jadi mungkin membiarkan Eren menuntunnya akan lebih baik.

"Hnnh…H-hei –mmh– Armin," Eren melepaskan ciumannya, saliva menghubungkan lidah keduanya, terputus, membasahi dagu. Melapisi bibir yang berkilat basah di bawah cahaya remang lampu berwarna kuning. "Bantu aku?"

Armin hanya bisa berkedip saja. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Membantu apa? Armin benar-benar tidak tahu apa-apa saat ini. Yang diolah otaknya hanya betapa panasnya udara saat itu, dan bagaimana reaksi kekasihnya jika melihatnya melakukan hal seperti ini dengan sahabat masa kecilnya sendiri.

Pikiran terakhirnya instan membuatnya semakin terangsang dan adrenalin terpacu makin kencang. Darah serasa terpompa ke dua ujung tubuhnya.

"Kau ingin aku melakukan apa, Eren?"

Tanpa basa-basi, Eren segera membalik badannya, memposisikan dirinya di depan Armin hingga pemuda pirang itu dapat melihat miliknya yang keras dengan glans merah basah berlumuran precum. Eren sendiri tidak banyak bicara, ia mengecup bagian kepala milik Armin, tangan kiri meremas-remas dari pangkal hingga bagian yang tak tergenggam tangan. Tangan kanan ikut menyentuh, tetapi lebih fokus melumuri jari dengan precum dan membasahi tangannya. Perlahan-lahan, Eren mulai memasukkan milik Armin ke dalam mulutnya hingga ia merasa tidak bisa lebih jauh dan hampir tersedak. Eren memainkan lidahnya, sembari mengisap kencang.

"Hmmph–" Di sisi lain, Armin mencoba menutup mulutnya sendiri, tetapi mulai menjauhkan tangan dari depan bibir begitu ia teringat tujuan awal mereka melakukan hal ini.

Menggoda Erwin dan Levi, memaksa mereka kerja rodi, dan membuat mereka kembali lebih awal beberapa hari.

Dan lihatlah betapa Eren sepertinya serius melakukan ini. Armin sadar Eren selalu melirik ke arah kamera tiap ada kesempatan.

"Nnn, Eren…"

Melihat Eren masih sibuk dengan mulutnya yang mengulum kejantanan Armin, Armin menjilat bibirnya yang kering. Ia tipe yang cepat belajar, tidak sulit baginya untuk mengerti apa yang harus dilakukannya setelah melihat Eren praktek di depan matanya.

Armin meraih batang kejantanan Eren yang berkedut, meneteskan cairan precum dari ujungnya yang merah sempurna. Armin mencoba menjilat tetesan tersebut. 'Asin,' batinnya. Tetapi ia membiarkan bibirnya menangkap ujung tersebut, mengisap hanya bagian ujungnya saja seolah ia memaksa keluar cairan putih lengket tersebut.

Di ujung sana, Eren yang merasakan sentuhan Armin mengerang, bibir lepas dari milik Armin. Ia membiarkan kepalanya bersandar di perut Armin. Tangannya masih meremas kejantanan yang semakin mengeras dan membesar.

"A-Armin…"

Mendengar Eren memanggilnya, Armin mengulum ujung kepala, menjilatinya, lalu melepaskannya dengan bunyi 'plop' yang terdengar di ruangan.

"Ada apa?"

"C-cukup...Kita selesaikan sendiri-sendiri saja."

Pertama, Armin mengira Eren ingin mereka berhenti melakukannya, yang tentu saja tidak. Gila apa, berhenti ketika libido sedang di puncak-puncaknya?

Eren berbaring di atas ranjang, kepala bersandar pada bantal ia mengangkat tangannya, memasukkannya ke dalam mulutnya dan mengisapnya. Menjilati sela-sela jari, mengemutnya macam permen hingga saliva mengalir dari mulutnya turun ke dagu, menetes ke leher jenjangnya. Armin melihat dengan wajah memerah panas. Memperhatikan dengan seksama bagaimana Eren melakukannya, bagaimana bibir itu mengecup jari-jarinya sendiri, kedua emerald melirik seduktif ke arah kamera, kemudian matanya tertutup dan ia mengeluarkan jemarinya. Tangannya di bawa ke belakang, kaki diangkat mengangkang dan mulai memasukkan jarinya ke dalam lubang analnya sendiri.

"Ummh...Armin, kau juga..."

Armin tersadar dari lamunannya. Ia mengerjap, kemudian menenggak ludahnya. Grogi.

Tapi toh Armin sudah setuju dengan rencana Eren, dan dia akan lakukan ini hingga akhir.

Armin mengimitasi gerakan Eren, namun dengan gerakan lebih ragu-ragu. Tidak tahu bagaimana caranya melakukan ini. Di telinganya berkumandang suara Eren yang mengerang keras sementara ia masih membasahi jari-jarinya dengan saliva.

"Levi...Levi...Nnnghhh, Levi–"

Armin masih menutup matanya bahkan setelah ia mengeluarkan jarinya dari dalam rongga mulutnya. Ia membayangkannya, membayangkan bagaimana Erwin ada di hadapannya sekarang. Jari-jari besar dan kasar menyentuh kulitnya. Membayangkan bagaimana ujung jemari itu mengelus lubang analnya sebelum menyelip masuk ke dalam hingga ke pangkal telapak tangan.

"...Er...win..."

Aneh. Rasanya sangat aneh. Tetapi ia bisa mendengarnya dan ia sudah mendengar cerita Eren betapa nikmatnya ketika lubangnya dipeneterasi, sehingga Armin terus membayangkan Erwin ada di atasnya, membayangkan jemarinya sebagai milik Erwin, membayangkan bagaimana Erwin akan berbisik seduktif di samping telinganya. Ia menggerakkan jarinya keluar masuk dalam tempo yang semakin cepat. Bibirnya bergerak spontan. Mengeja nama kekasihnya. Erwin, Erwin, Erwin. Membalik tubuhnya, mencari angle yang lebih nyaman, menambahkan jari kedua, ketiga.

Mereka tidak bisa berhenti.

Sementara itu Eren bisa melihat Armin menggeliat tidak nyaman, air mata mengalir keluar. Eren bisa merasakannya juga, dia sudah hampir mencapai klimaksnya. Perlahan-lahan, Eren menghentikan gerakannya, dengan kaki gemetar mendekati Armin dan menyentuh wajah pemuda itu.

"Armin..."

Akhirnya Eren kembali naik ke atas Armin, tidak mempedulikan Armin yang masih menggerakkan jarinya keluar masuk. Satu tangan Eren menyangga tubuhnya agar tidak menimpa Armin terlalu banyak, sementara tangan kanannya kembali masuk ke dalam liang hangat dan ketat.

'Ini belum cukup', batinnya. Ia butuh Levi, Levi, Levi. Eren ingin Levi ada di sini bersamanya, memeluknya dalam dekapan hangatnya, mencumbui tubuhnya, memasukinya dan mengklaim Eren sebagai miliknya. Eren menatap Armin yang memandangnya balik dengan mata biru berkabut oleh napsu. Tersenyum, Eren menurunkan wajahnya, mempertemukan bibir dengan bibir, tangan tetap bergerak sendiri-sendiri.

Dan mereka terus melanjutkannya, berciuman sambil membayangkan pasangan masing-masing tengah mendominasi dan bukannya diri mereka sendiri, hingga mencapai klimaks dan keduanya terbaring lemah.


Di lain tempat, Erwin Smith dan Levi tengah memandangi layar monitor ketika benda laknat itu menampilkan adegan tidak senonoh dua orang pemuda yang tidak lain adalah kekasih hati keduanya, meneriakkan nama mereka dengan keras tanpa ditahan.

Kedua pria itu bersumpah akan mengirimkan buket bunga dengan penuh cinta kepada siapapun yang memesankan mereka kamar hotel dengan dinding kedap suara.

Erwin Smith tak kuasa menahan frustasinya. Armin. Arminnya yang manis dan polos, yang dia jaga bahkan sampai tidak menyentuhnya lebih dari ciuman dan dansa lidah, tiba-tiba saja mengiriminya rekaman video porno sebegitu hebohnya. Dan dari semua orang yang menemaninya, harus Eren Jaeger yang melakukannya. Berciuman. Blowjob.

HEI EREN, KAU TAHU TIDAK BAHKAN MENYENTUH MILIK ARMIN PUN DIA BELUM PERNAH.

Erwin Smith membuat catatan mental, ia akan menghukum Armin hingga dia lupa pernah melakukan ini dan itu dengan Eren.

…dan jangan lupa download.

Di samping Erwin, sudah bisa dilihat pria rambut hitam yang wajahnya gelap sempurna hingga wajahnya tak terlihat. Kedua mata berkilat tajam.

Alih-alih membuat catatan mental seperti mitra kerjanya, Levi menggumam.

"Kita selesaikan urusan secepatnya, Erwin."

To Be Continued


HAHAHAHAHAHAHAHA INI GUE BIKIN APAAN HAHAHAHAHAHAHAHAHA.

Oke. Sudah.

Saya kalap. Sudah, kalap.

Tapi benda ini masih berlanjut, HAHA.

Sebagai pemberitahuan saja sih, benda ini akan jadi three-shot. Entah saya nggarap yang mana dulu, pokoknya nanti 2 chapter masing-masing 1 pair. RiRen-EruMin

Jadi, yah, inilah. HAHA. Saya dosa banget, aduh. Biarin lah.

Segala macam review saya terima. Apapun. Kecuali flame. Dan pairwar. Saya damai aja kok.

Oh ya~ Kalian para author yang tertarik bisa ikutan challenge ini.

Peraturan challenge bisa dilihat di facebook dot com (/) notes (/) aphin (/) aphin123-rivaereerumin-fanfic-challenge-01 (/) 258074214341799

DAN JANGAN LUPA YANG SUKA RIREN DAN/ATAU ERUMIN MASUK KE GRUP YE~ facebook dot com (/) groups (/) 1419102024985432 (/)

Thanks for reading~~