Title: Your Heart Is Mine
Summary: Rukia sejak dulu mencintai Kaien, guru SMA-nya. Namun dia menyerah karena Kaien sudah beristri dan hidup bahagia. Delapan tahun berlalu, kini Rukia telah memiliki Ichigo sebagai kekasih. Tanpa diduga Miyako, istri Kaien menyatakan sebuah permohonan yang amat mengejutkan kepada Rukia. Dan mengapa Rukia berniat memutuskan hubungan dengan Ichigo? Warning: Torture&Murder in future chap. Rate M for gore, blood and criminal.
Warning: Torture&Murder in future chap. Rate M for gore, blood and criminal.
Judul diartikan sebagai: 'Jantungmu milikku'
Cerita ini berakhir tragedi dan akan ada penyiksaan hingga pembunuhan sadis yang dilakukan oleh dan kepada tokoh cerita. Jika Anda bermaksud terus membaca, maka Anda menerima resiko yang telah diperingatkan.
STORY STARTS
Pusat distrik perkantoran di kota Karakura merupakan ladang bisnis yang menjanjikan bagi pemilik kafe dan restoran. Jantung perekonomian kota berkembang di pinggir Tokyo ini memerlukan tempat di mana pegawainya dapat mencari tempat untuk makan siang atau sekedar melepas penat dengan secangkir kopi sesudah bekerja seharian.
Di depan salah satu kedai minum yang tersedia berdiri seorang wanita berperawakan cukup mungil dengan rambut hitam kelam sedikit melewati bahu. Matanya yang berwarna ungu memandang ragu ke arah papan nama yang bertengger manis di atas pintu masuk kafe. Lalu lintas yang agak lenggang karena masih jam kantor tidak meredam perasaan gugup Rukia karena beberapa saat lagi dia akan menemui Miyako. Istri dari Kaien, mentor sekaligus gurunya di SMA. Sekaligus pria yang pernah amat dicintainya. Tentu saja dia telah menyerah bertahun-tahun yang lalu. Dengan alasan tidak ingin merusak hubungan rumah tangga yang berbahagia tersebut.
Lagipula, Rukia masih muda. Jalan hidupnya masih panjang. Terbukti karena nasib mempertemukannya dengan Kurosaki Ichigo di kampusnya dulu. Kini mereka sudah menjalin hubungan selama enam tahun.
Ah, memikirkan masa lalu tidak ada gunanya lagi sekarang. Rukia menarik nafas dalam-dalam. Lalu menghembuskannya dengan kuat. Dengan keanggunan yang telah dilatih sebagai seorang Kuchiki, perempuan yang mengenakan setelan kantor berwarna biru dongker ini masuk ke dalam tempat pertemuannya dengan Shiba Miyako.
Suara bel menandakan kehadiran seorang tamu. Dengan sigap, pelayan lelaki di meja kasir menyambutnya, "Selamat datang. Silakan, Saya akan mengantar Anda ke meja yang tersedia."
"Ah, tidak perlu. Aku ditunggu seseorang," tolak Rukia memberi gestur kibasan tangan. Iris violetnya menatap satu per satu tamu dengan awas. Mencocokkan ciri-ciri orang yang dikenalnya delapan tahun lalu.
Ketemu. Seorang wanita elegan dengan rambut hitam panjang dikepang kuda dan raut wajah rupawan. Tidak banyak yang berubah dari ingatan Rukia.
"Ah, itu dia. Permisi." Dara berparas manis itu berjalan melewati beberapa meja hingga ke tempat Miyako tengah menyeruput minumannya.
Hanya saja langkahnya sempat terhenti ketika menyadari ada perbedaan besar yang terjadi pada perempuan berkepala tiga tersebut. Bola matanya membulat dan bibirnya membentuk huruf o sempurna.
"Kak Miyako …," panggil Rukia lirih. Kristal ungunya tidak lepas dari perut buncit Miyako.
"Ah, Rukia! Lama tak berjumpa!" Nyonya Shiba yang baru menyadari kehadiran Rukia tersebut segera bangkit dari kursinya dan serta merta memeluk tubuh wanita yang lebih kecil darinya ini.
"Oh … Iya."
Sungguh. Rukia sejujurnya ingin langsung mengucapkan selamat kepada sang calon ibu. Namun lidahnya kelu. Sehingga tidak sanggup berkata apa-apa.
'Tidak, Rukia!' Dara berpostur imut itu memaki dirinya sendiri. 'Kau sudah melupakan Kaien. Kau harus mengucapkan selamat atas kehamilan Kak Miyako!"
"Kak Miyako," ucapan Rukia dipaksakan supaya terdengar bersemangat. Menatap mata coklat teduh tersebut, ia berkata, "Selamat atas kehamilannya."
Seharusnya kata-kata tersebut akan membuat wanita berbadan dua ini berekspresi senang. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Binar di wajah Miyakio meredup dan terlihat kesedihan di rautnya. Hal itu membuat Rukia bingung. "Kak Miyako? Ada apa?"
Nyonya Shiba ini tersenyum dan menggeleng. "Tidak apa-apa. Ayo duduk dulu, Rukia," ajak Miyako lembut.
Rukia menurut. Di sanubarinya, ia bisa merasakan lengkung goresan di bibir perempuan yang lebih tua darinya itu nampak dipaksakan dan Kuchiki bungsu tersebut tidak ingin bertanya terlebih dahulu jika Miyako tidak bermaksud menceritakan masalah yang dihadapinya.
Basa-basi sejenak mengenai pekerjaan Rukia di instansi hukum lama-kelamaan menjadi topik yang tak menarik tetapi Miyako seolah tengah menghindari pembicaraan penting yang dikatakannya di telepon tadi. Padahal wanita hamil ini yang memanggilnya terlebih dahulu.
Secangkir kopi panas menemani obrolan mereka hingga dingin. Kedua makhluk feminin itu bercakap-cakap soal Kaien ketika tiba-tiba saja Miyako berhenti berucap. "Rukia …," lirihnya.
'Ini dia,' pikir Rukia merasakan keseriusan di antara mereka.
"Kau … mencintai Kaien, kan?"
Rahasia yang selama ini tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun terbongkar! Tapi bagaimana Miyako bisa tahu perasaan terdalam yang dipendam Rukia?
"Ke-kenapa Kak Miyako bertanya seperti itu? Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Kak Miyako katakan," kelit Rukia berusaha menyangkal kenyataan yang dibeberkan sang Nyonya Shiba.
"Rukia, aku tahu bagaimana perasaanmu pada Kaien. Tidak perlu membohongiku. Saat kau pikir tidak ada seorang pun yang melihat, matamu selalu mengikuti Kaien. Pandangan matamu saat menatapnya, itu tatapan mata orang yang sedang jatuh cinta."
Kuchiki bungsu ini terpaku. Ketahuan! Cinta bertepuk sebelah tangan kepada gurunya rupanya diketahui oleh si istri. Lidah Rukia kelu. Tak sanggup bersuara.
"Rukia … kau betul-betul sangat mencintai Kaien. Perasaanmu begitu tulus. Karena itulah kau tidak pernah menceritakan perasaanmu. Kau juga tidak pernah mencoba untuk masuk ke dalam rumah tangga kami. Semua itu semata-mata karena kau mencintai Kaien dan kau hanya mengharapkan kebahagiannya. Meski pada akhirnya kau sendiri akan menangis sendirian sepanjang malam. Kau memilih untuk menderita dengan memendam perasaanmu dan melihat Kaien bahagia bersamaku. Terima kasih, Rukia. Terima kasih telah mencintai Kaien sepenuh hatimu."
Oh, kenapa Miyako malah berterima kasih padanya? Rukia sama sekali tidak mengerti. "Kak Miyako … a-aku …," kata-kata Rukia tersendat.
"Rukia … apa kau masih mencintai Kaien sampai saat ini?"
Pertanyaan tersebut menyebabkan Rukia tersentak. Dia tidak bisa menjawabnya. Kalang kabut ia menyahut, "Aku sudah punya kekasih!"
Kali ini giliran Miyako yang terkejut dengan pernyataan Rukia. Hanya saja yang dikatakan dara berparas jelita itu bukanlah jawaban 'tidak'. Perempuan berbadan dua tersebut paham, di balik kalimat yang diucapkannya barusan, Rukia secara tidak langsung mengiyakan pertanyaan Miyako.
"Oh, begitu. Sebenarnya tujuanku memanggilmu datang karena ada yang ingin kusampaikan." Akhirnya Miyako memilih untuk sedikit mengalihkan pembicaraan.
"Ah, apa itu?"
"Aku ingin minta tolong padamu."
"Minta tolong apa?"
Pemilik marga Kuchiki tersebut tentu saja berdia membantu Nyonya muda ini seandainya dia mampu. Namun permintaan yang dituturkan oleh Miyaki sama sekali tidak disangka-sangka Rukia.
"Tolong … jaga Kaien untukku. Dan bayiku juga … jika bayiku berhasil hidup."
"A-a-a-pa? Kak Miyako, a-apa maksud perkataanmu?!" Rukia tidak bermaksud berkata dengan suara selantang itu, tapi dia sedang tidak bisa mengontrol tindakannya.
"Kalau kau … masih sangat mencintai Kaien, aku bisa mempercayakannya padamu, Rukia. Hanya kau satu-satunya yang terlintas di pikiranku untuk kumintai tolong. Aku mohon, Rukia."
"Tu-tunggu dulu! Kak Miyako, aku sungguh tidak paham! Kenapa Kak Miyako memintaku seperti itu?!"
"Rukia … dokter mengatakan kandunganku bermasalah. Kemungkinan besar aku akan meninggal jika melahirkan anakku ini." Sembari berkata demikian, Miyako mengelus lembut perutnya serta menitikkan air mata.
Wanita beriris ungu ini terkejut bukan main. Jadi Miyako akan tewas jika melakukan persalinan? "Apa tidak ada jalan lain?" tanyanya panik.
"Dokter berusaha menyakinkanku untuk menggugurkan janinku. Tapi bagaimana bisa? Aku dan Kaien telah menanti kehadiran bayi ini selama delapan tahun. Delapan tahun, Rukia! Kami menunggu selama ini dan hasilnya seperti ini? Aku tidak terima! Pokoknya aku akan tetap melahirkannya! Meski nyawaku sendiri taruhannya!" sahut Miyako dengan air mata berlinang. Namun pancaran matanya begitu gigih. Rukia tahu dia tidak akan bisa mengubah keputusan Miyako sama sekali.
"Apa kak Kaien tahu?"
Perempuan hamil tersebut menggeleng. "Aku merahasiakan hal ini darinya. Jika Kaien tahu, tidak mungkin dia akan membiarkanku melahirkan anak ini."
Rukia membisu. Tak tahu harus berkata apa lagi. Bola mata violetnya basah karena kristal bening menggenang di sana.
"Rukia."
Panggilan itu membuyarkan lamunan perempuan dua puluhan tersebut. Rukia mendongkak, irisnya berlaga dengan milik Miyako.
"Aku mohon … jagalah Kaien sepeninggalku nanti."
Namun Rukia tidak membalas. Hanya setetes air mata jatuh ke pipinya.
STORY BREAKS
Gedung kantor hukum Ukitake bising seperti biasa. Dering pesawat telepon dan percakapan antar karyawan menambah polusi suara di ruangan tempat seorang Kuchiki Rukia duduk termenung. Matanya menatap hampa ke layar komputer yang menyala, diam menunggu penggunanya menyelesaikan laporan yang harus diselesaikan hari ini juga. Meski sekitarnya begitu berisik, tapi seolah menulikan pendengarannya, dara manis tersebut tetap bergeming.
Pikirannya melayang-layang ke perjumpaannya dengan Shiba Miyako beberapa minggu lalu. Batinnya tersiksa saat memikirkan wanita hamil itu mempertaruhkan nyawa untuk melahirkan buah ngeri membayangkan kondisi gurunya saat SMA tersebut jika ditinggal mati oleh istri tercintanya. Entah apa yang akan terjadi. Depresi masih lebih baik, takutnya Kaien berakal pendek serta memilih untuk menyusul sang belahan jiwa.
Menghela napas dengan berat, si bungsu Kuchiki ini memijit pelipisnya yang berdenyut. Hatinya sudah membuat keputusan mengenai masalah ini. Namun logikanya masih bersikukuh memberikan beribu satu alasan. Di antara semua dalih yang berseliweran di kepalanya, keberadaan Ichigo adalah yang paling memusingkannya. Kekasihnya itu kini sedang berada di luar negeri. Sebagai pewaris tunggal dari sebuah perusahaan bergengsi di ajang perekonomian internasional, pemuda Kurosaki tersebut telah menerima baton tanggung jawab untuk memperluas ladang bisnis usaha keluarganya.
Rukia tahu Ichigo adalah lelaki yang sangat pencemburu. Beruntung pemilik bola mata ungu kelam ini tidak seperti perempuan kebanyakan. Sifatnya realistis dan disiplin. Aura yang dipancarkannya membuat Kuchiki kecil itu sulit didekati. Kalau pun ada laki-laki yang mencoba merayunya, ia akan menolak dengan tegas.
Karena itu, Ichigo bisa percaya bahwa bidadari mungilnya tidak akan terpikat pada pria lain. Sayangnya sang Kurosaki tidak mengetahui kalau Rukia tak pernah berhenti mencintai seseorang dari masa lalunya.
Shiba Kaien.
Nama itu terpatri di relung hati Rukia yang terdalam. Terkubur oleh waktu. Namun tidak pernah menghilang.
Perempuan berparas rupawan ini sudah bisa membayangkan bagaimana Ichigo akan bersikeras mempertahankan hubungan mereka meski Rukia berniat pisah. Dia pasti akan tetap ngotot supaya tidak putus.
Hah … lagi-lagi Rukia hanya bisa mendesah.
"Kuchiki? Kenapa kau melamun saja?"
Rukia terlonjak dari bangkunya. Rupanya Kiyone, rekan sekerjanya telah berdiri di belakangnya.
"Ah, ti-tidak apa-apa, kok! Aku hanya sedang berpikir," bata Rukia menghadap wanita pirang itu sembari tangannya mencoba menggapai cangkir kopinya di atas meja. Namun rupanya benda keramik berisi cairan hitam pekat tersebut tersenggol dan jatuh bebas ke permukaan tanah.
Pecah sudah sang cangkir yang tak bersalah. Terkejut sudah pasti tetapi entah kenapa mendadak perasaan Rukia sangat tidak enak. Seperti ada bisikan menyambangi telinganya. Petuah lama mengenai pertanda buruk atau sesuatu.
"Aduh! Sebentar, Kuchiki! Jangan bergerak dulu! Akan kupanggilkan cleaning service!" Kiyone buru-buru pergi dari tempat itu.
Memegang dadanya yang berdebar, Rukia meneliti jam dinding kantornya. Masih pukul 11 siang.
Ring! Ring! Ring!
Ponselnya berbunyi. Rukia dengan gesit menjawab panggilan yang masuk ke telepon genggamnya.
"Halo?"
"Halo? Apakah ini Nona Kuchiki Rukia?"
"Iya, benar. Ada apa, ya?"
"Maaf, Nona. Saya perlu memberitahu Nona bahwa Nyonya Shiba Miyako mengalami kondisi kritis dan baru saja masuk ke UGD. Apakah Nona bisa datang ke Rumah Sakit Karakura sekarang?"
"A-a-apa? Ke-kenapa Anda menghubungiku? Bagaimana dengan suaminya?" tanya Rukia bingung.
"Maaf, Saya menghubungi Nona karena nomor Nona tertera sebagai nomor darurat untuk Nyonya Shiba. Saya tidak tahu mengenai suaminya."
"Baiklah. Saya akan segera ke sana sekarang juga."
Perempuan beriris violet ini tergesa-gesa mengambil tasnya dan melangkah pergi dari tempatnya bekerja. Rukia meminta kepada Nemu, si resepsionis gedung agar menyampaikan pada atasannya bahwa dia minta izin pulang lebih awal karena ada urusan mendesak yang penting.
Sesampainya di luar, Rukia segera menyetop taksi. Sepanjang perjalanan, mulutnya tak henti berkomat-kamit memanjatkan doa.
'Semoga Kak Miyako baik-baik saja!'
TO BE CONTINUED
Voidy's note: well, seri terbaru dari saia dengan tema yang sangat berat, sangat sadis dan sangat … ya, begitulah. Chapter 1 ini baru latar belakang cerita, ya. Tokoh para cowoknya aja belom pada nongol semua. Ichigo dan Kaien. Dan kriminalnya juga belom ketahuan, ya. Eniwei, cerita ini ga bakal berakhir hepi end. Well, ada yang hepi sih tapi secara general yah ga bisa disebut ending yang memuaskan. Terakhir saia ucapkan terima kasih yang telah membaca.
