Meet the Muggle-born: Justin Finch-Fletchley
Disclaimer: Harry Potter punya J.K. Rowling. Saya tidak mengambil keuntungan materil apapun dari penulisan fanfiksi ini.
.
.
"Apa kenangan terbaikmu, Justin?" tanya gadis di depannya.
"Kenangan terbaikku," pikir Justin, "adalah ketika aku menerima surat."
"Surat apa?" tanya gadis itu lagi.
"Surat penerimaan dari sekolahku."
Gadis itu tersenyum. Ia sudah pernah mendengar sedikit dari Justin tentang sekolahnya yang itu. Ternyata sekolah itu menyimpan kenangan yang bahagia untuk Justin. Tapi sayangnya Justin tidak mau cerita banyak. Gadis itu tak banyak bertanya lagi. Ia tak ingin membuat Justin risih.
"Surat penerimaan dari sekolahku," ulang Justin, "dan semua hal yang terjadi selama aku sekolah di situ. Kenangan buruk dan baik, semuanya membuatku terkesan."
Mungkin memang terdengar kuno, tapi Justin Finch-Fletchley mengiyakan saja ketika ibunya ingin menjodohkannya. Lagipula hanya ibunya yang ia punya. Ayahnya telah meninggal dan ia sendiri anak satu-satunya.
"Bagaimana, Nak?" sambut ibunya begitu Justin pulang. "Bagaimana Helena?"
"Tidak buruk," jawab Justin. Ia bukannya tidak menyukai gadis itu, tapi sampai sekarang ia belum menemukan perasaan yang tepat.
Ibunya menghela napas. Ini sudah gadis ketiga yang dikenalkannya, tapi Justin belum juga menemukan yang cocok.
Mengetahui kekecewaan ibunya, Justin mendekati lalu merangkulnya. "Mama, aku masih dua puluh empat tahun. Masih lama bagiku untuk benar-benar harus menikah."
Justin naik ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang hanya geleng-geleng kepala. Di kamar, Justin duduk di depan meja belajarnya. Meja belajar yang sering digunakannya belajar, walau ia tidak sepintar teman-temannya yang lebih pintar. Ya, tidak sepintar Hermione Granger contohnya…
"Apa kenangan terbaikmu, Justin?"
Ketika aku menerima surat penerimaan dari sekolahku, jawab Justin lagi dalam hati. Sekolah Sihir Hogwarts.
Justin duduk memandangi taman belakang rumahnya. Ia ingat betul, saat itu keluarganya sedang pesta barbecue di taman belakang rumahnya yang lama. Ayahnya masih ada dan mereka betul-betul bahagia. Lalu tiba-tiba jatuh sesuatu dari langit. Mereka semua mendongak dan mereka tak salah ketika melihat burung hantu terbang menjauh.
"Itu tadi burung hantu, kan?" tanya ayahnya.
"Burung hantu tidak keluar di pagi hari," timpal ibunya.
"Mungkin dia habis berpetualang semalaman, lalu sekarang waktunya dia pulang dan tidur," jawab Justin yang baru berulang tahun yang kesebelas kemarin.
"Pertanyaannya adalah," kata ayahnya, membungkuk mengambil benda yang jatuh itu, "apakah ini?"
Wajah ayahnya heran melihat benda yang ternyata surat itu. "Lihat," katanya, menghadapkan muka amplop itu pada anak dan istrinya, "ini buatmu, Justin."
Justin meraih amplop itu dari ayahnya. Itu benar-benar surat untuknya. Ada namanya dan alamat rumahnya. Tapi masa seekor burung hantu yang mengantarnya? Justin langsung tertawa. Apalagi tidak ada prangko disitu. Bagaimana bisa?
Justin membalik amplopnya. Amplop itu ditutup dan disegel dengan segel merah. Ada juga logo yang membuatnya penasaran. Ia membaca tulisan di bawah logo itu. "Draco dormiens nunquam titillandus… apa ini?"
"Bahasa Latin," gumam ibunya.
"Apa artinya?" tanya Justin.
"Entahlah."
Dan saat itulah hidup Justin berubah. Apalagi tak lama kemudian seseorang yang mengaku penyihir memberitahunya segalanya. Semuanya terasa mimpi, namun di sisi lain ia sangat senang, apalagi ketika suatu hari ia merasakan sendiri dunia sihir yang dimaksud.
Justin Finch-Fletchley… satu-satunya penyihir dalam keluarga. Anak yang memiliki kemampuan istimewa. Orang tuanya sangat bangga padanya, yah… walau ibunya lebih suka Justin masuk sekolah Muggle Eton College, sekolah elit berasrama untuk anak-anak orang kaya dan anak-anak bangsawan.
Di toko Madam Malkin, ketika ia sedang mengukur seragamnya, ia bertemu anak yang akan menjadi sahabatnya.
"Tahun pertama?" tanya anak laki-laki itu. Justin mengangguk. "Aku Ernest Macmillan."
Justin menerima uluran tangannya. Setelah itu mereka berpisah dan di lain tempat ia bertemu anak lain.
"Ini tongkatmu, Miss Abbott," kata Mr Ollivander sambil menyorongkan kotak panjang pada anak perempuan di samping Justin. "Dan aku akan mengambilkanmu beberapa tongkat," sambung Mr Ollivander setelah mengamati Justin beberapa saat.
Justin tersenyum pada anak perempuan itu. "Aku Justin," katanya memperkenalkan diri.
"Aku Hannah."
Waktu tiba saatnya ia pergi ke Hogwarts, ia duduk dengan anak kelas satu lain di kereta. Dari obrolan mereka, Justin benar-benar yakin kalau dunia sihir memang sangat menarik. Buktinya ada anak bernama Harry Potter yang kabarnya juga masuk Hogwarts tahun ini. Tapi karena berita itu juga, Justin jadi agak takut. Penyihir yang jahat membuatnya lebih takut daripada Muggle jahat. Tapi selama ada Albus Dumbledore, semuanya akan baik-baik saja.
Justin senantiasa menceritakan pengalamannya di sekolah pada orang tuanya. Ia juga menceritakan tentang Dia-Yang- Namanya-Tidak-Boleh-Disebut dan itu membuat orang tuanya khawatir. Justin yang sebenarnya juga agak khawatir berusaha meyakinkan mereka. Lagipula Hogwarts memiliki Kepala Sekolah yang hebat. Satu-satunya penyihir yang ditakuti Voldemort.
Selama itu orang tuanya tak pernah mempertimbangkan menarik Justin keluar dari dunia sihir, namun petaka di tahun kedua Justin membuat mereka serius mempertimbangkannya. Mereka marah dan bersikeras membawa Justin keluar Hogwarts, namun Justin sendiri yang melarang mereka.
"Lihat, aku tidak apa-apa!" kata Justin.
"Tidak, Nak." Ibunya menggeleng kepala keras-keras. "Tidak ada yang boleh terjadi padamu. Mereka tak boleh membahayakanmu lagi!"
"Pasti ini ada hubungannya dengan si Potter, kan?" sambung ayahnya tak kalah gusar. "Dia memang membawa kesusahan."
"Papa!" tegur Justin. "Ini memang ada hubungannya dengan Potter, tapi ini bukan salahnya. Aku berjanji aku tak akan kenapa-napa lagi."
Justin sempat ngambek seminggu gara-gara orangtuanya serius menariknya keluar dari Hogwarts. Tak tega dengan anak mereka, akhirnya orang tuanya mengizinkannya pergi ke Hogwarts lagi. Apalagi ketika Profesor Dumbledore sendiri datang ke rumah mereka dan menjamin keselamatan Justin.
"Justin akan jadi prioritas kami, seperti anak-anak lainnya yang diserang," begitu kata Dumbledore.
Orang tua Justin rasanya ingin mendebat penyihir itu tapi mereka sungkan. Pria tua itu memang terlihat sangat berwibawa dan bisa membuat orang segan. Namun begitu Dumbledore pergi, orangtua Justin langsung memperingatkan anak mereka.
"Kami beri satu kesempatan lagi," kata ayahnya. "Kalau kau kena bahaya lagi, kami akan langsung membawamu pulang."
"Jangan merajuk, Justin," mohon ibunya. "Kau satu-satunya anak kami. Kau yang terpenting. Kami tak peduli kalau kau penyihir dan istimewa, tapi kalau kau celaka, itu sama sekali tak ada artinya."
Siang itu mereka berpelukan lama. Sesuatu yang masih diingat Justin sampai bertahun-tahun kemudian, bahkan sampai sekarang.
.
xxx
Justin tak pernah menceritakan hal-hal buruk tentang sekolahnya pada orang tuanya lagi setelah itu. Tahun-tahun berjalan menyenangkan walau terjadi kejutan-kejutan yang ada hubungannya dengan Harry Potter. Tapi semuanya terasa makin mengkhawatirkan menjelang awal tahun keenam. Segalanya berubah menjadi suram. Orang tuanya tahu itu ketika menemaninya belanja ke Diagon Alley. Dan akhirnya di ujung tahun keenamnya, kematian ibu Hannah Abbott benar-benar mengusik Justin.
Di hari ketika Hannah dibawa pulang ayahnya dan tak kembali lagi, saat itulah Justin merasa semuanya tak akan pernah sama. Dan begitulah yang terjadi. Serangan demi serangan terjadi. Ibu dan ayah Justin bukannya tak tahu. Sejak penyerangan Justin di tahun kedua, mereka sudah mencoba mencari informasi apapun untuk meyakinkan bahwa anak mereka baik-baik saja.
"Lihat, Justin, apa ini?" kata ibunya suatu hari. Ia melemparkan koran ke hadapan Justin. Koran yang tak disangka-sangkanya. Koran Daily Prophet dengan berita penyerangan ke sejumlah keluarga Muggle dan kelahiran-Muggle.
"Lihat juga ini." Ibunya melemparkan koran lain. Kali ini koran Muggle. "Dua-duanya tentang keluarga Parker. Keluarga Muggle. Mereka terbunuh misterius. Dan serangkaian keluarga lain. Lalu kita harus bagaimana?"
Ibunya tiba-tiba histeris, bahkan tambah histeris ketika suatu hari sang kepala keluarga dikabarkan meninggal. Lebih menyedihkan lagi, kematiannya tidak diketahui sebabnya. Semuanya misterius. Seperti banyak pemberitaan di koran.
"Kita harus bagaimana, Justin?" ibunya tersedu-sedu. "Ayahmu tidak salah apa-apa. Kita tidak salah apa-apa. Apa salah kita, Justin?"
Justin tak tahan melihat ibunya meratap-ratap. "Keadaan sudah tak aman lagi, Mama." Justin tak bisa menyembunyikan lagi kehawatirannya. "Kita akan pergi sejauh mungkin. Kita akan ke luar negeri, keluar dari dunia sihir Inggris."
Ibunya memandang Justin tak percaya. Anak yang selama ini meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja, sekarang menurut padanya untuk keluar dari dunia sihir. Namun begitu ia sangat lega dan mengangguk, mengiyakan perkataan anaknya.
Justin dan ibunya berkemas sesegera mungkin. Sambil menahan air mata, Justin mencoba untuk tidak berpikir kembali ke dunia sihir. Tidak dalam keadaan seperti ini. Ia sangat rindu dunianya, ia sangat rindu teman-temannya, tapi ia mencoba mengingat kembali ayahnya. Tak adil rasanya mencampakkan ibunya terlebih setelah kepergian ayahnya yang ia yakini karena ulah Pelahap Maut.
Terdengar suara gaduh di luar. Justin sigap menggendong tas ranselnya dan memegang ibunya yang ketakutan.
"Apa itu?" ucap ibunya penuh horor.
"Mama, pegang aku erat-erat. Percaya padaku. Kita bisa melalui semuanya."
Walau tak paham maksud anaknya, tapi sang ibu mengangguk. Ia berpegangan erat-erat pada Justin, dan dalam sekejap keduanya lenyap bersamaan dengan gerombolan orang bertudung memasuki rumah mereka.
.
xxx
Begitu kaki mereka menyentuh tanah kembali, sang ibu berteriak kaget. Ia tak menyangka ia bakal mengalami apa yang lazimnya dilakukan penyihir: menghilang dan dalam sekejap muncul di tempat yang sama sekali lain.
"Kenapa kau bawa kita ke hutan?" kata ibunya, masih takut.
"Aku tidak tahu," kata Justin kalut. Pikirannya terlalu tak fokus untuk bisa mendarat di tempat yang dimaksud.
"Kita harusnya ke bandara, Justin. Kau ingat?"
"Aku ingat," kata Justin. Ia memegang ibunya erat, bersiap untuk berkonsentrasi dan melakukan Apparate lagi. Namun begitu suara derap kaki memecahkan konsentrasinya. Ibunya bertambah takut lagi.
Justin membawa ibunya bersembunyi di balik pohon terdekat. Orang-orang itu tambah dekat dan mereka tambah menahan napas. Namun begitu orang-orang itu mendekat, Justin merasa lega.
Keluar dari persembunyiannya, Justin berseru pelan. "Thomas!"
Orang yang dipanggil menoleh dan terkejut mendapati teman sekolahnya ada di situ. "Finch-Fletchley! Apa yang kaulakukan disini? Kau dalam pelarian juga?"
Justin mengangguk. "Aku ber-Apparate dan salah mendarat."
Dean Thomas memandangi ibu Justin yang mengintip dari balik pohon dan memberikan senyum yang dipaksa ramah. Sungguh situasi yang sulit untuk tetap bahagia.
"Apa dia Muggle?" kata yang lain. Seorang goblin. Ia memandangi ibu Justin yang tampak takut dan tak nyaman.
"Dia ibuku, ya," jawab Justin. Ia memandangi kelompok Dean satu per satu. Selain Dean, ada dua orang lain dan dua goblin. "Thomas, kau mau ke mana?"
"Kami tak tahu," ucap Dean resah. "Kau tahu, kan, kalau kelahiran-Muggle tidak dibolehkan kembali ke Hogwarts dan sedang diburu saat ini?" Justin mengangguk. "Apa kau mau ikut kami? Waktu kita tidak banyak."
Semua orang mengawasi sekeliling dengan saksama. Justin memandang ibunya di belakang. Wanita itu menggeleng.
"Tidak. Kami mau pergi ke luar negeri. Kami tadinya mau pergi ke bandara."
"Kalau begitu, semoga berhasil," kata Dean, sekaligus sebagai ucapan perpisahan. Ia dan rombongannya kembali berlari lagi. Justin tak membuang-buang waktu. Ia segera berlari pada ibunya dan mereka kembali menghilang.
.
xxx
Ketika akhirnya sampai bandara, Justin segera membeli tiket pesawat on the spot untuknya dan sang ibu. Selama rentang waktu menunggu keberangkatan mereka berdua terus gelisah. Mereka bahkan tak memikirkan jika hari menjelang siang dan mereka belum makan apa pun dari pagi.
Ketika akhirnya tiba waktu masuk pesawat, mereka tak membuang waktu lagi. Pikir Justin, kesempatan diburu Pelahap Maut masih ada walau mereka ada di tempat penuh dengan Muggle. Ia sendiri tak habis pikir mengapa ia dan keluarganya jadi sasaran. Salah apa mereka? Apa hanya karena ia teman sekelas Harry Potter? Apa karena ia penyihir yang lahir dari orang tua Muggle? Apa karena ia pendukung Dumbledore? Tapi apa itu dibenarkan bagi Pelahap Laut untuk memburunya? Mengapa mereka menginginkan Justin dan keluarganya mati? Justin hanya penyihir bau kencur yang tak penting.
Di dalam pesawat ia dan ibunya agak bisa bernapas lega. Justin meraba jaketnya. Tongkat sihirnya masih ada di situ. Setidaknya ia masih bisa mempertahankan diri jika ada sesuatu. Ia memandangi satu per satu penumpang yang bisa dipandanginya. Biar bagaimanapun ia harus memastikan tak ada yang mencurigakan di dalam pesawat. Namun kecuali penyihir berdarah-campuran tertentu, tak akan ada Pelahap Maut yang mengikuti karena mereka pasti tidak punya paspor. Hal itu sedikit menenangkannya.
Justin sengaja memilih negara di ujung Eropa dan jauh dari Inggris, Georgia. Lagipula disana ia tidak akan menggelandang, mari berharap. Ia punya saudara jauh di sana dan ia yakin para Pelahap Maut tak akan melacaknya sampai sejauh itu.
Setelah beberapa saat lepas landas, dan setelah diyakinkan Justin, sang ibu akhirnya tertidur dengan damai. Justin menatap ibunya iba. Sudah beberapa waktu semenjak serangan pada keluarga Muggle dan kelahiran-Muggle merebak, ibunya tak bisa tidur nyenyak. Diperparah lagi dengan kematin ayah Justin yang misterius. Namun sekarang Justin menolak untuk tidur seperti ibunya. Ia tidak mau lengah sedikitpun. Hanya dirinya yang sang ibu punya. Dan hanya ibunya yang Justin punya.
.
xxx
Ketika mendarat di daratan Georgia, sang ibu sudah terlihat lebih tenang. Mereka sudah ada di negeri nun jauh, masyarakatnya damai tanpa teror, dan seperti yang telah diberitahu Justin, para Pelahap Maut itu tidak akan mengikuti mereka kemari karena tidak akan bisa naik pesawat. Mereka dipastikan tidak punya paspor.
Justin tak tega menghancurkan harapan ibunya, namun ia juga tak ingin ibunya lengah.
"Ma, tetap waspada, ya. Sewaktu-waktu mereka bisa saja muncul," Justin mewanti-wanti ibunya. Sang ibu mengangguk. Mereka kemudian melewati antrean imigrasi. Tiba-tiba ibu Justin ingin membeli makanan.
"Jangan lama-lama," pinta Justin. Ia mengikuti ibunya dari belakang. Matanya mengawasi sana-sini, dan ia terperanjat ketika dua orang yang dari tadi agak dicurigainya berdiri tak jauh darinya. Ketika ia dan ibunya mengantre, mereka juga ikut berhenti. Hanya saja mereka menjaga jarak.
Justin tak tega memberitahukan keganjilan ini pada ibunya. Ketika tiba giliran ibunya memesan, rasanya ia sudah tak sabar mengajak ibunya angkat kaki.
"Justin, Nak, kau tak mau pesan?"
"Tidak," kata Justin tanpa memandang ibunya. Saat itu ibunya menyadari ada yang tidak beres. Ia cepat-cepat membayar makanan dan menurut kemanapun Justin membawanya pergi. Makanan di tangannya terlupakan.
"Nak, kau yakin mereka itu mereka?" tanya ibunya khawatir.
"Sepertinya memang mereka," jawab Justin, terus membelah lautan manusia. Tangannya sudah ia masukkan ke saku dalam jaketnya. "Sesaat sebelum mendarat aku melihat keganjilan mereka di pesawat."
"Kau bilang mereka tidak punya paspor!" terdengar suara ibunya yang gusar.
"Mereka penyihir dewasa. Mereka Pelahap Maut. Pasti punya cara."
Ibunya bertambah gusar. Di sisi lain ia jengkel sudah dibohongi anaknya. Justin pasti sudah mempertimbangkan segala kemungkinan. Penyihir bisa melakukan banyak hal.
Mereka berjalan cepat-cepat keluar bandara. Di luar banyak petugas keamanan berjaga. Kalau saja yang mereka hadapi bukan penyihir, pasti Justin sudah meminta bantuan para petugas itu. Jadi ia dengan cepat melewati mereka dan buru-buru masuk ke dalam taksi.
"Mall kota, Pak," pesan Justin pada si sopir. Ia memandangi dua orang pria itu di belakang. "Sial!" maki Justin. Kedua pria itu juga masuk ke dalam taksi dan masih bisa membuntuti mereka.
"Kita harus bagaimana, Justin?" tuntut ibunya. Ia mulai menangis. Justin tambah bingung. Sepanjang perjalanan ia terus memikirkan cara. Sebelum sampai tujuan, Justin minta berhenti di jalanan kota yang cukup ramai. Ia masih tidak tahu harus melakukan apa, tapi cepat atau lambat ia pasti harus berhadapan dengan mereka.
Akhirnya Justin setengah berlari menuju polisi yang mengawasi jalanan di pinggir jalan. Ia berpikir tak ada salahnya mencoba pertolongan Muggle. Justin dan ibunya menjaga jarak dari dua polisi itu, dan ketika dua Pelahap Maut itu semakin mendekat, Justin segera mendekat pada para polisi.
"Pak, tolong! Mereka dari tadi membuntuti kami!" seru Justin, membuat beberapa orang menoleh. "Mereka orang jahat!"
Dua Pelahap Maut berpakaian Muggle itu berhenti dan akan melarikan diri, tapi kedua polisi kekar itu lebih sigap. Para Pelahap Maut itu meronta dan itu dimanfaatkan Justin dan ibunya untuk kabur. Namun belum begitu jauh, ia mendengar kegaduhan dan ia tahu para Pelahap Maut sudah berhasil meloloskan diri.
Justin terus mendorong ibunya berlari melewati jalan-jalan lain yang tidak terlalu ramai.
"Mama masuk!" perintah Justin. Ia mendorong ibunya masuk ke sebuah supermarket. "Jangan kemana-mana dan tenanglah! Nanti aku jemput!"
Justin terpaksa melakukannya karena ibunya tak bisa segesit dirinya. Ketika Justin menoleh ke belakang, dua Pelahap Maut sudah nampak. Mereka mulai mengambil tongkat sihir mereka dan Justin terpaksa melakukan hal sama. Ia lalu berbelok di jalan yang lumayan sepi ketika para Pelahap Maut mulai meluncurkan serangan.
Justin memang penyihir ingusan, tapi berlatih di Laskar Dumbledore membuatnya lebih pintar melawan. Ia melancarkan mantra pelindung, gesit menghindari serangan, dan melancarkan serangan. Dalam keadaan kepepet seseorang bisa mengeluarkan potensi terbaiknya dan itu terjadi pada Justin. Ia tidak pernah merasa seberani ini sebelumnya. Ia tidak begitu takut dan begitu lihai menghindari serangan.
Setidaknya di sini tak ada Muggle, batin Justin.
"Protego!" seru Justin. Seleret sinar meluncur keluar dari tongkatnya, memberikan perlindungan dari para Pelahap Maut itu. "Protego Maxima!" raungnya lagi.
Seluruh serangan Pelahap Maut memantul dan berbalik menyerang mereka. Begitu perlindungan Justin habis, Justin segera menyerang mereka membabi buta dengan mantra Stupefy. Kedua Pelahap Maut itu langsung ambruk. Setelah memastikan mereka tak sadarkan diri, Justin mendekati mereka dan merapalkan mantra Obliviate.
"Kalian tak akan ingat kalau kalian Pelahap Maut," gumam Justin, berharap mantranya berhasil. Ia tak pernah menggunakan mantra ini sebelumnya.
Justin menarik napas lega. Ia bersender di tiang listrik terdekat sekadar melepas penat. Ia kira tak ada yang melihatnya, namun ia salah. Di ujung gang, ia melihat seorang pria tua. Pria itu menatapnya sangat ingin tahu. Justin segera berdiri tegak dan menyembunyikan tongkat di belakangnya.
Pria itu mendekatinya tanpa takut. Pikiran Justin langsung bereaksi. Tak ada salahnya menggunakan mantra hilang ingatan pada pria itu juga.
"Oh, jangan," kata pria itu segera. Mata abu-abunya terpancang pada tangan Justin yang sudah bersiap menarik keluar tongkatnya. "Jangan beri aku mantra Obliviate. Aku bukan orang jahat seperti mereka."
Justin melongo. Tentunya Muggle tidak akan membicarakan mantra Obliviate seringan makan kerupuk.
"Betapa cerobohnya kau menggunakan sihir di daerah Muggle!" bisik pria itu, penuh dengan nada teguran. "Untungnya tak ada Muggle yang melihatmu."
"Anda bukan Muggle?" kata Justin segera. Pria itu mengangguk. "Anda melihatku menghadapi mereka?" tunjuk Justin pada para Pelahap Maut yang masih tak sadarkan diri.
"Iya, dan tolong lanjutkan omongan kita di tempat lain," balas si pria, matanya mengawasi sekitar. "Tinggalkan tempat ini sebelum para Muggle mengira kau menyerang dua orang itu."
"Memang aku yang menyerang mereka." Justin nyengir. "Tapi kita harus menjemput ibuku dulu. Aku meninggalkannya di supermarket supaya aman."
Ibu Justin luar biasa lega mendapati anaknya kembali dalam keadaan selamat. Hanya saja ada beberapa luka kecil yang membuat ibunya agak histeris.
"Mama, tenang. Aku kembali. Ayo kita pergi sebelum kita menarik lebih banyak perhatian."
Pria tua itu mengenalkan dirinya sebagai Irakli. Ia akan membawa Justin dan ibunya ke tengah-tengah komunitas sihir Georgia, yang pintu masuknya tak jauh dari situ. Pada kenyataannya mirip seperti pintu masuk ke Diagon Alley. Dalam sekejap mereka bertiga sudah memasuki perkampungan penuh penyihir.
Irakli membawa mereka ke rumahnya. Ia tinggal sendirian. Istrinya telah meninggal dan putranya tinggal di tempat lain. Di rumah Irakli mereka baru bebas menceritakan segalanya.
"Tentu saja kami mendengar kabar dari Inggris yang sedang dalam bahaya," Irakli buka suara. "Tapi tidak banyak memengaruhi kami. Disini kami relatif hidup aman."
Justin menarik napas dalam-dalam, lalu membuang napas keras-keras. Baru kali ini setelah beberapa lama, ia benar-benar merasa aman.
"Aku dengar tentang kematian Grogorovitch sang pembuat tongkat sihir. Ia tinggal jauh dari sini dan ular itu tentu tak ada urusan dengan penyihir Georgia."
" 'Ular itu'?"
"Orang yang kalian sebut dengan Kau-Tahu-Siapa," Irakli memberi tahu. "Lebih aman memanggilnya dengan nama lain karena di saat genting seperti ini, kurasa menyebut namanya bisa saja berbahaya."
"Anda benar-benar penyihir bijaksana dan pandai," puji Justin.
"Boleh kulihat tongkat sihirmu, Nak?" pinta Irakli. Justin memberikan tongkatnya, kemudian Irakli menilainya. "Kau pasti membelinya dari Ollivander, kan? Kini setelah Gregorovitch tiada, sepertinya Ollivander bisa jadi jadi sasaran juga. Aku harap dia baik-baik saja."
"Apa Anda kenal mereka berdua? Gregorovitch dan Ollivander?"
"Aku kenal mereka. Kami pernah sama-sama ikut pertukaran pelajar. Aku dan Ollivander, masing-masing mewakili sekolah kami ke Durmstrang."
"Anda dari Beauxbatons?"
"Bukan."
"Kalian di sini punya sekolah sihir sendiri kalau begitu?"
"Ah, sekolahku yang dulu sekarang telah tiada. Cuma sekolah kecil. Pemerintah memutuskan menutupnya dan menyekolahkan anak-anak sini ke Durmstrang atau Beauxbatons. Sekarang cuma ada tiga sekolah sihir di Eropa."
Selama berbulan-bulan Justin dan ibunya hidup relatif damai di tengah-tengah masyarakat sihir Georgia. Mereka berdua berusaha tampil tak mencolok, terutama ibu Justin. Namun lama kelamaan identitas mereka sebagai orang asing diketahui banyak orang. Mereka tak bisa sembunyi selamanya. Ada yang menerima dengan terbuka, namun ada juga yang ketakutan dan marah. Mereka tidak mau Justin dan ibunya membawa petaka yang dibawa dari Inggris.
"Kuyakinkan pada kalian, aku bukan buronan!" kata Justin. "Aku hanya korban salah sasaran. Aku bukan orang penting."
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Justin melakukan apapun yang bisa ia lakukan untuk menghasilkan uang. Jadi penjaga di toko Irakli, jadi pelayan di kedai, jadi pencuci piring, sampai menjadi kasir di supermarket Muggle. Apapun untuk menunjang hidupnya di sini. Untungnya banyak orang disini yang bisa bahasa Inggris.
Namun seaman apapun hidupnya disini, kehidupan di Inggris yang ditinggalkannya mengusiknya. Bagaimana kabar teman-temannya? Bagaimana keadaan di sana? Apakah benar-benar akan ada perang? Lama-lama ia merasa tidak enak hati. Ia aman di sini sedangkan orang lain ketakutan di negeri mereka.
Namun ia juga tak bisa mengabaikan ibunya.
"Justin, jangan pernah lagi kembali ke dunia gila itu. Berjanjilah."
"Dunia gila… maksud Mama, dunia sihir?" Ibunya mengangguk. "Lalu sekarang ini kita tinggal di mana? Dunia sihir, bukan?"
"Iya. Tapi ini hanya sementara. Setelah Inggris aman, kita akan pulang. Ke dunia kita yang sesungguhnya. Dan jangan menoleh ke belakang lagi."
Justin menatap ibunya yang sudah mulai sedih lagi. "Andaikan papamu masih ada di sini. Mama tidak peduli kita ini pelarian atau tidak, pokoknya kita bertiga bisa berkumpul bersama."
Justin menggapai tangan ibunya. Ia berpikir keras harus mengatakan apa.
"Harusnya kami tidak membiarkanmu pergi waktu itu," lanjut ibunya. "Harusnya kau tidak pergi ke sekolah itu. Harusnya kau sekolah di Eton saja. Kami bangga dengan apa pun keadaanmu, bahkan jika kau seorang Muggle."
.
xxx
Belakangan ini koin Laskar Dumbledore yang dibawa Justin dalam pelariannya semakin sering menghangat. Bukannya selama beberapa bulan ini tidak pernah, hanya saja belakangan ini menjadi semakin sering. Koin menghangat yang berarti dilaksanakannya pertemuan anggota. Justin diam-diam menangis mengingat ini. Betapa ia rindu dengan kehidupannya yang lama, dan betapa ia merasa seperti pengecut.
Tapi aku kelahiran-Muggle. Aku tidak bisa bertemu mereka. Aku tidak dibolehkan sekolah, batin Justin. Dan itu sedikit menghiburnya.
Namun di suatu hari menjelang larut malam, koin itu menghangat lagi. Bukan sekadar menghangat, tapi juga memanas. Belum pernah koin itu sepanas ini. Ini pertanda buruk, batin Justin. Ia akan mengingatnya. Awal Mei 1998 dan ketika itu Irakli yang belum tidur langsung merangsek ke kamar Justin.
"Justin, perang mulai berlangsung! Lokasi pusatnya di Hogwarts! Adikku di Inggris mengabariku barusan lewat perapian!"
Justin langsung berdebar. Perang benar-benar telah terjadi. Di Hogwarts! Berarti Harry Potter ada di sana. Dan di sana penuh dengan murid tak bersalah.
Justin langsung bangkit dari kasurnya. Ia hanya menyambar jaket dan tongkat sihirnya. Masih mengenakan piama, ia memakai sepatu dan bergegas ke perapian di lantai satu.
"Kau tidak melarangku, kan?" kata Justin. Irakli menggeleng. "Tolong jaga ibuku. Aku akan kembali dengan selamat. Aku janji."
Takut Irakli tiba-tiba berubah pikiran, Justin buru-buru mengambil bubuk Floo dan menghilang. Irakli pernah bilang kalau jaringan Floo ini tersambung ke rumah adiknya di Godric's Hollow.
Beberapa menit kemudian Justin tiba di perapian adik laki-laki Irakli, Georgi. Ia dan istrinya mondar-mandir di ruang tamu dan terkejut mendapati Justin ada di perapian mereka.
"Selamat malam dan maaf mengganggu! Saya Justin yang sedang tinggal di rumah Irakli. Saya murid Hogwarts," cerocos Justin sebelum kedua penyihir tua itu menanyainya.
"Oh, jadi kau yang bernama Justin?" kata Georgi.
"Saya mau ke Hogwarts. "
"Kau yakin, Nak? Perang mulai meletus disana."
"Ya!" Justin mengangguk. Ia keluar dari perapian dan segera ber-Apparate ke Hogwarts. Ia memikirkan lokasi yang sesuai. Ia berpikir akan lebih aman ber-Apparate di sisi luar kandang burung hantu Hogwarts.
.
