Setelah beberapa kali pertemuan semenjak menyepakati perpisahan, mereka masih tidak menemukan ujung sapaan kecuali mengangkat dagu dan senyum tipis (setipis udara yang masuk ke paru-parunya). Uchiha Sasuke merasa was-was tetapi juga lega.
Terlalu dekat... terlalu dekat... udara yang Sasuke angkat serasa hasil pernapasannya yang selalu khas aroma manis gula atau coklat. Wajar saja mengingat ruang persegi empat ini besarnya tak seberapa, dan dengan kebetulan hanya terisi mereka berdua. Lift ini pula berjalan terasa lebih lambat dari seharusnya.
Kemudian ketika mencapai lantai tujuan, Sasuke sedikit gemetar melangkah keluar, berjalan pelan di belakangnya. Semoga mereka tidak menuju ruang yang sama, harapnya.
Namun harapan itu menguap cepat saat pemuda pirang di depan membelok ke koridor yang juga ingin ditujunya. Pemuda pirang yang juga bermata biru itu berhenti berjalan di depan sebuah pintu, menengok dan seperti ingin menanyakan sesuatu.
Uchiha Sasuke tahu. Ia bisa membaca pertanyaan di mata biru safir itu. Tetapi berkata lebih dulu bukanlah tugasnya, karena biasanya pemuda berambut pirang ini yang akan melakukan untuknya.
"Sasuke, Naruto, kalian datang tepat waktu! Masuklah!"
Pintu di belakang si pirang terbuka, memunculkan seorang pria bermasker yang langsung menyapa mereka.
Pasangan Sejenis, Cinta dan Moral
Halaman 1
...Kesalahan itu bersal dari sini.
Tokyo, enam bulan yang lalu.
Udara berhembus dingin dan menyapu dedaunan kering sepanjang jalan di bawah gedung apartemen. Segalanya tampak kelam dan kering. Tidak ada orang maupun mobil melintas di jam seperti ini, setengah satu dini hari. Musim gugur baru berjalan setengahnya, namun suhu malam itu nyaris menyamai suhu di malam musim dingin. Uzumaki Naruto menarik rokok di lipatan bibirnya, lalu mendesis memprotes angin. Ia menjentikkan abu rokok ke lantai sebelum menghisap asap beracun itu lagi.
"Apa kau pernah berpikir untuk menikah?"
Uchiha Sasuke, satu-satunya orang yang berada dalam jarak paling dekat dengan Naruto, mendongak dari laptop terbuka di atas meja. Meraih dan menyesap secangkir kopi di depannya, Sasuke memikirkan jawaban dari pertanyaan barusan. Mereka telah menjadi teman sekamar selama satu tahun. Topik-topik absurd sudah sering mereka berbincangkan untuk membunuh kesunyian, dan pernikahan sepertinya akan menjadi topik absurd malam ini sebelum salah satu merasa mengantuk dan memutuskan tidur lebih dulu.
"Hn," Sasuke meletakkan kembali cangkirnya ke meja, membuat jeda sebelum berkata dengan nada datar yang sama, "aku pernah memikirkannya sekali setelah melihat Aniki menikah."
Naruto mendengus, tidak puas dengan jawaban Sasuke. Dijatuhkan putung rokok itu ke lantai sebelum menginjaknya, lalu menarik kursi besi di seberang kursi Sasuke, dan duduk.
"Maksudku, apa kau sudah punya pandangan siapa wanita yang kira-kira akan kau nikahi?" Tanya Naruto lagi, kali ini seraya mempertemukan pandangan mereka.
Untuk sejenak Sasuke mengangkat alisnya. Matanya beralih menatap layar laptop yang menampilkan pekerjaannya yang separuh selesai. Meski mengerjakan pembukuan penjualan bulan ini jauh lebih penting, namun otaknya juga perlu istirahat sejenak. Hanya saja sejauh yang bisa ia ingat, tidak ada seorang wanita pun yang pernah membuatnya tertarik untuk menginjak altar penikahan. Uchiha Sasuke bahkan tidak punya pengalaman asmara sama sekali. Sungguh.
"Tidak ada." Ia menjawab sambil menyimpan pekerjaan yang setengah jadi.
Sementara Naruto langsung menghela napas panjang.
"Kau sendiri?" Tanya Sasuke balik setelah menutup laptopnya dan mempertemukan pandangan mereka lagi.
Naruto nampak berpikir mendapat pertanyaan itu. Dalam kasus asmara ia tidak seburuk Sasuke. Uzumaki Naruto pernah berkencan dengan beberapa wanita dan sempat menjalin hubungan serius dengan salah satunya sebelum berakhir kandas dua tahun yang lalu. Namun saat ini, tidak ada satu wanita pun yang benar-benar dekat dengannya.
"Aku sebenarnya tertarik dengan Sakura, B.A make up itu, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mendekatinya." Katanya sebelum meniup poninya yang menghalangi mata.
"Kau tahu," kata pemuda yang sama sebelum Sasuke dapat menemukan balasan. "Usiaku sudah 30 tahun, aku ingin mencari wanita yang mau menjalin hubungan serius dan segera menikah. Apalagi Ibuku sudah mulai menanyakan tentang pernikahan."
"Hn," curahan hati panjang itu hanya Sasuke tanggapi dengan nada ringan, meski begitu ia sendiri mulai memikirkan masa depannya.
Uchiha Sasuke juga berumur 30 tahun tahun ini. Keluarga Uchiha pun tidak sekali-dua kali menanyakan pernikahan, bahkan pernah menawari Sasuke perjodohan. Sasuke bukannya bertampang jelek sehingga tidak seorang wanita pun mendekatinya, kebalikan, Sasuke justru berwajah sangat tampan dengan nilai plus dari fisiknya yang tinggi dan gagah. Satu-satunya alasan mengapa Uchiha bungsu ini belum memiliki pasangan adalah sifatnya sendiri yang anti-sosial. Tidak seburuk kedengarannya, Sasuke hanya tipikal pria serius. Saat ia menjadi pelajar, fokusnya hanya pada pelajaran, dan sekarang saat ia bekerja, fokusnya hanya pada pekerjaan. Ia belum pernah memikirkan perihal pasangan dengan serius, setidaknya sampai mendapat pertanyaan dari Naruto barusan.
"Bagaimana kalau kita mulai mencari jodoh?" Usul Naruto setelah hening nyaris satu menit.
"Kalau aku mau, aku tinggal memilih." Sasuke menyeringai sedikit sebelum melanjutkan, "Aku rasa kau yang harus berjuang keras untuk itu."
"Dasar teme!" Desis Naruto jengkel.
Pemuda pirang itu melipat tangan di depan dada dan memalingkan muka, memasang gaya andalannya ketika mulai kesal. Di seberang meja yang membatasi mereka, Sasuke sendiri mengalihkan mata dari teman sekamarnya. Ia menyandarkan punggung ke belakang dan menatap langit kelam. Meski mengeluarkan balasan menjengkelkan, pemuda berambut senada dengan langit malam ini sebenarnya tidak menyangkal perkataan si pirang. Naruto benar, sudah saatnya mereka mencari jodoh.
Konohamart, perusahaan perdagangan yang merupakan perusahaan terbesar di jepang itu mulai sibuk pukul 10.00 am. Suara musik pembukaan toko sudah digantikan musik pop sejak beberapa detik lalu, sementara para menejer baru saja membubarkan diri dari briefing pagi. Uzumaki Naruto yang merupakan Direct Manager di bagian grocery berjalan beriringan dengan Uchiha Sasuke, Direct Manager di bagian food. Mereka bukan hanya teman sekamar di sebuah apartemen elit di tokyo, mereka juga teman sekaligus rival di dalam perusahaan.
Penjualan bulan ini yang merosot drastis membuat keduanya pusing bukan main. Ancaman mutasi ke cabang yang lebih kecil menanti jika mereka tidak sanggup memperbaiki keuangan bulan ini. Naruto mengacak-ngacak rambut pirangnya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya mencari kehangatan di dalam saku. Dibanding departemen food, penjualan di departemen grocery jauh lebih rendah.
"Menurutmu produk apa yang belum masuk di departemenku, Teme?" Tanya Naruto sambil mengerling rak barang di sebelah kanannya.
Sasuke hanya menaikan sebelah alis. Ia sendiri sedang pusing memikirkan produk apa yang harus ia tambahkan ke departemennya, tidak ada waktu memikirkan departemen Naruto. Pemilik marga Uchiha ini tidak menjawab dan hanya menggeleng pelan, membuat Naruto yang mendapat tanggapan tak acuh itu mendesis jengkel.
Naruto berhenti berjalan, lalu bersandar di barisan freezer yang tingginya sebatas paha orang dewasa. Sepertinya ia sudah memasukkan semua produk gorcery ke dalam departemennya. Mungkin saja bukan produknya yang kurang, tapi―gadis berambut merah muda yang berdiri di depan rak make up mengalihkan perhatian pemuda ini. Raut frustasi di wajahnya langsung berganti. Rasanya ia bisa menunda dulu masalah pekerjaan, ini waktunya mengurus masalah jodoh!
Sasuke yang sejak tadi berdiri diam di depan Naruto, mengikuti gerakan si pirang melalui matanya. Mata oniksnya berakhir menemukan Naruto menghampiri seorang gadis. Sasuke bisa menebak Naruto akan melakukan gerakan mencari jodoh sekarang. Si Dobe itu benar-benar memilih seorang Sales promotion girl, batinnya sambil menggeleng pelan.
Mata Sasuke beralih ke tempat lain dan menyapu wajah-wajah wanita di dalam toko mereka. Ia juga ingin mencari kandidat calon istrinya. Tidak, tidak... Sasuke mengernyit saat melihat Hinata, team leader dari bagian fresh fruits yang juga merupakan anak buahnya. Sasuke tidak ingin memiliki istri pasif seperti itu. Sales menejer? Sasuke tidak tertarik dengan satu pun sales menejernya.
Lagipula, pasangan bukan sesuatu yang bisa dipilih dari penampilan dan jabatannya saja. Yang Sasuke inginkan adalah seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman, bisa diajak berbagi kesulitan dan kebahagiaan, dan mengerti sifat-sifatnya. Sayangnya, sejauh yang dirinya ingat, tidak pernah ada seorang pun yang memenuhi kriteria itu. Tidak...
...tidak, kecuali Uzumaki Naruto.
Kening Sasuke langsung mengernyit saat ia menyadari telah menatap ke teman sekamarnya. Sejauh ini orang yang bisa cocok dengannya hanya Naruto meski mereka memiliki sifat yang bertolak belakang. Secara mengejutkan Uzumaki itu juga berhasil membuat Sasuke membuka sedikit privasinya. Dengan berbagai alasan yang beberapanya adalah menghemat uang dan membunuh kebosanan, Naruto membuat Sasuke setuju mereka menempati satu ruang apartemen yang sama. Selama setahun tinggal bersama, tentu saja mereka juga sering berbagi berbagai hal, saling membantu dan mendukung (meski bukan dukungan melalui kata-kata secara langsung), Naruto juga memahami sifat-sifatnya dan bahkan betah menghadapinya yang kadang bersikap kaku, Naruto...
Ah.
Sasuke menghembuskan napas sambil memijit pelipisnya. Naruto adalah laki-laki, sama sepertinya, tidak mungkin jika ia memilih Naruto sebagai pasangannya. Sasuke sangat yakin ia bukan homoseksual meski tidak pernah tertarik pada wanita. Bahkan selama ini, ketertarikan Sasuke pada laki-laki jauh dibawah ketertarikannya pada wanita. Ia masih bisa berpikir kotor saat melihat tubuh telanjang wanita, tapi ia tidak pernah sekali pun memandangi bagian tertentu dari tubuh pria.
Mungkin... jika tidak bisa menemukan kandidat istri di sini, Uchiha Sasuke harus mencari kandidat lain di luar perusahaan mereka.
"Oi, teme, mau nonton denganku?" Ajakan Naruto terdengar oleh Sasuke yang sedang menjelajahi internet.
Sasuke mendongak lalu menemukan pemuda bermata biru itu berjalan mendekat, tangannya yang berwarna tan memegang dua lembar karcis. Sasuke menggeleng sebelum kembali menatap laptopnya.
"Ayolah, tiket ini akan sia-sia." Naruto menjatuhkan diri di sofa yang Sasuke duduki. "Tadi niatnya aku mau mengajak Sakura, ternyata Sakura membatalkannya karena tiba-tiba ada rapat dengan supervisornya."
"Aku sedang sibuk, Dobe." Tungkas Sasuke tanpa melihat lawan bicaranya.
"Siapa tahu kan kita dapat ide saat nonton? Sekalian refreshing, Teme!"
Sasuke sudah menengok dan hendak memprotes, tapi perbuatan Naruto yang menutup laptopnya begitu saja langsung membuatnya mengalihkan perhatian.
"Nah, pekerjaanmu sudah tidak bisa dilanjutkan." Naruto nyengir lebar tanpa rasa bersalah sedikit pun, mengabaikan Sasuke yang melotot tajam ke arahnya. "Ayo!" Katanya dengan semangat sambil menarik tangan Sasuke.
"Cih!" Sasuke langsung menepis tangan pemuda itu, namun ia sama sekali tidak berniat kembali duduk, justru mengikuti Naruto yang terus berjalan ke pintu.
"Teme," Naruto menengok dari posisinya yang sedang duduk di lantai sambil memakai sepatu. "Kau tidak pakai jaket? Udaranya dingin tahu."
Mendengar himbauan itu, Sasuke mendengus sambil berbalik badan. Memangnya siapa orang bodoh yang menyeretku tadi, gumamnya dalam hati selagi berjalan ke kamar. Tidak sampai satu menit pemuda ini kembali ke ruang depan sambil memakai jaketnya. Ia menemukan Naruto sudah berdiri di ambang pintu, dan juga sepasang sepatu miliknya yang sudah keluar dari rak dan berjajar rapi seolah menunggu dikenakan.
"Film ini bergender humor-drama," Kata Naruto tanpa diminta. Namun meski tidak bertanya, Sasuke juga sempat memikirkan film seperti apa yang akan mereka tonton. "Siapa tahu hari ini adalah hari bersejarah dimana kau bisa tertawa." Lanjutnya sebelum terkikik pelan.
"Hn," Sasuke menyahut cuek sebelum berdiri. Kemudian mereka berangkat bersama.
Bulan belum tinggi saat Sasuke berdiri sendirian di beranda satu jam setelah mereka pulang. Ia menyandarkan kedua lengannya di atas pembatas, dan matanya menatap jauh ke depan. Ia berpikir, apa itu cinta?
Uchiha Sasuke tidak pernah merasa jantungnya berdegup kencang saat seseorang menggandeng tangannya, darahnya tidak mengalir aneh ketika ia menatap mata seseorang, angin juga bertiup normal saat ia bertemu dengan orang baru, tidak sekalipun ia merasakan tanda-tanda jatuh cinta seperti adegan di film yang mereka tonton tadi.
Tapi,
Jika merasa nyaman dan senang, merasa cocok dan pengertian, Sasuke merasakannya berkali-kali saat bersama Naruto. Naruto bahkan mengerti hal-hal yang tidak Sasuke ucapkan. Sampai di sini, jika Sasuke harus memilih pasangan hidup sambil menutup mata, satu-satunya yang terbayang hanya pemuda pirang itu. Sasuke tidak mencintai Naruto―entahlah... tapi Sasuke yakin, Naruto akan menjadi pasangan yang tepat untuknya.
Pertanyaannya, apakah tidak akan menjadi masalah kalau Uchiha Sasuke memilih Uzumaki Naruto sebagai pasangannya? Atau bahkan, apakah Uzumaki Naruto mau menjadi pasangannya?
Lamat-lamat, Sasuke memejamkan mata. Ia menarik udara melalui hidung dan menghembuskannya lewat mulut. Setelah matanya kembali terbuka, pemuda ini berbalik badan dan berjalan pelan melewati pintu beranda. Ia bisa bodoh seperti Naruto kalau terus-terusan memikirkan jodoh.
Langkah Sasuke berhenti sebelum ia mencapai kamarnya. Kepalanya menengok, menghadap pintu kamar lain di apartemen itu. Kurang dari satu menit ia telah mengganti arah tujuan, kaki Sasuke berjalan pelan dan tenang ke depan pintu kamar Naruto. Dibuka dan dilewatinya pintu itu tanpa kendala, lalu ia berhenti tepat di samping ranjang dimana Naruto tidur lelap.
Kening Sasuke mengernyit tajam ketika menyadari hal apa yang ingin ia lakukan dengan berada di kamar itu. Ia ingin membuktikan apakah ia jatuh cinta pada Naruto atau tidak? Rasanya Sasuke ingin memukul kepalanya sendiri. Satu hembusan napas, Sasuke berbalik membelakangi Naruto. Ia menengok samar sebelum memutuskan berjalan pergi, namun setelah menyadari tubuh Naruto yang tidak berselimut, Sasuke kembali menghadap si pirang. Ia menarik naik selimut di ujung kaki Naruto, menyelimutinya.
Mata oniks Sasuke terpaku tepat sesaat sebelum ia berpikir untuk berdiri tegak. Badannya masih membungkuk ke tubuh Naruto, dengan wajah mereka sejajar. Sasuke tidak merasa risih sedikit pun meski wajahnya hanya berjarak lima centi dari wajah Naruto. Bahkan ia memergoki dirinya sedang mengagumi bulu mata sang Uzumaki yang terlihat terlalu lentik untuk ukuran laki-laki.
/he thea ariea, oct 19 2016, words 2k/
