—LOST ARROW—
Kim Mingyu x Jeon Wonwoo
•••
Menunggu adalah hal yang paling Wonwoo benci di dunia ini. Ia akan menjadi bosan dalam sekejap meski ada banyak hal yang bisa dilakukannya selagi menunggu. Sekarang ia merasakannya—pantatnya seakan mendidih di atas bangku, sementara tidak satu pun aktivitas bisa dilakukan.
Berulang kali uap tipis mengepul di depan mulutnya yang mulai terasa kaku. Suhu yang menurun juga menjadi penyebab rona merah muncul di kedua pipi putih itu. Dalam hati Wonwoo terus merapal umpatan kepada seseorang yang bermain di depan sana, yang bahkan tidak punya sedetik pun waktu untuk sekadar menoleh. Andai saja Jun bukan anak dari bibinya, ia pasti akan menghajarnya habis-habisan.
Tapi tidak. Bukan itu yang menjadi sumber atensinya, melainkan seseorang yang kini tengah duduk di ujung bangku yang sama. Wonwoo sangat mengenal pemuda itu, seorang kakak tingkat yang terkenal jenius dan namanya melejit berkat kemampuan verbal yang dikuasai dengan baik.
Sebagai junior, Wonwoo merasa segan untuk menegur. Ia hanya takut tidak bisa mengangkat topik lain hingga berujung pada keheningan yang melambung di antara keduanya. Namun satu yang pasti, ada sebuah rasa kagum yang muncul dalam benaknya. Wonwoo sampai tidak bisa mengukur sedalam apa kakak tingkatnya itu membuat irisnya terpukau.
Dalam beberapa kesempatan ia sering mencuri pandang. Bukan hanya memiliki kemampuan akademis yang mumpuni, kakak tingkat bernama lengkap Hong Jisoo itu juga mempunyai visual yang sama sekali tak terbantahkan.
"Wonwoo!"
Sepersekian sekon Wonwoo tersadar dan menemukan Jun melambai dari kejauhan. Ia pun lekas berdiri dan menghampiri.
"Tolong ambilkan ranselku di ruang ganti. Kau tahu kan dimana letaknya?"
Hell, Moon Junhwi.
Tidak salah memang jika Wonwoo sering mengumpatimu.
"Aku menunggu selama satu jam yang lalu hanya untuk menjadi pesuruhmu?" Wonwoo memandangnya skeptis. Sekarang ia serius ingin meninju wajah sok tampan itu.
Jun mulai membujuknya, "Ayolah, kau kan sepupuku yang paling tampan dan manis dan penyabar dan paling rajin."
Itu hanya bualan semata. Wonwoo sudah paham tabiat manusia satu itu. Jun baik kalau ada maunya saja.
"Berjanji padaku untuk membelikan novel Haruki Murakami yang baru dirilis kemarin." Wonwoo mengulurkan kelingkingnya, meminta Jun untuk membuat sebuah pinky promise.
"Astaga, Jeon," Jun mendengus kesal. "Kaupikir sebanyak apa uang jajanku hari ini? Lagipula aku hanya memintamu untuk mengambilnya di ruang ganti yang tidak sampai seratus langkah dari sini, bukan di Jepang sana. Astaga,"
Wonwoo tetap kukuh, "Tapi kau meminta bantuanku, dan aku tidak akan baik kepadamu hari ini. Jadi berikan aku buku itu sebagai jaminan."
Jun menatapnya tak percaya. Wonwoo memang baik, tapi mulai sekarang ia akan memegang prinsip jangan nilai seseorang hanya dari sampulnya. Karena sejatinya Wonwoo adalah seorang pemeras yang cerdik.
"Aku akan menawarkan kencan dengan Hong Jisoo jika kau bersedia mengambilkan ranselku."
Penawaran telak tersebut sukses membuat Wonwoo bungkam. Jun tersenyum lebar, merasa telah menang dari rengekan Wonwoo.
Pemuda itu pun menambahkan, "Atau dengan Kim Mingyu—Ace tim kami. Kau tahu dia banyak penggemar—berkencan dengannya menjadikanmu selangkah lebih unggul dari para gadis."
Jun memang pandai memonopoli Wonwoo. Ia takkan lupa dengan apa-apa saja yang Wonwoo favoritkan. Termasuk dua orang tadi—Jun tidak akan menyangkal soal Wonwoo yang mengagumi orang-orang tampan dan jenius.
"Kau pikir aku tertarik? Menjadi perantara Soonyoung saja kau tak becus. Mau menjodoh-jodohkanku? Silakan mengaca terlebih dahulu, Tuan Moon Junhwi." timpal Wonwoo sarkastik sambil berlalu. Ia bahkan membiarkan namanya menggema di lapangan indoor tanpa berniat kembali.
Tepat ketika Wonwoo melewati ambang pintu, seseorang hampir menabraknya karena berlari seperti orang kesetanan. Membuatnya terkesiap, namun setelah itu ia bisa bernapas lega. Orang tadi adalah Dongjin, adik kelas yang tidak sopannya melewati Wonwoo tanpa meminta maaf seolah ia tak bersalah.
"MINGYU HYUNG CEDERA!"
•
Lagi-lagi Wonwoo hanya bisa menunggu. Jun seolah memegang seluruh kendali. Kunci mobil ada padanya dan Wonwoo tidak dibiarkan mengendarai—lebih kepada menghancurkan—mobil merah kesayangannya itu. Sialnya lagi, sang ibu yang tinggal di ujung Korea pun tidak mengizinkan Wonwoo pulang sendirian karena takut terjadi sesuatu, menghiraukan kenyataan bahwa Wonwoo adalah seorang anak laki-laki.
"Woo, tidak mau masuk?" Jun mengerling. Sengaja menggoda Wonwoo yang entah mengapa tampak lebih sensitif dari biasanya.
Tapi Wonwoo tidak ingin ambil pusing. "Tidak. Kau masih lama? Aku rasanya hampir mati menunggumu tiga jam penuh." keluhnya.
"Sebentar lagi. Kau tahu kan, Kim Mingyu itu kebanggaan—,"
Wonwoo segera menyela dengan kesal, "Aku tahu. Tidak perlu kau pertegas lagi!" Jun pasti ingin menggodanya lagi sampai ia melihat wajah Wonwoo yang memerah padam.
Wonwoo adalah pemuda yang tertutup. Tidak banyak orang yang mengenalnya, kecuali fakta bahwa ia merupakan sepupu Jun. Terlebih, Wonwoo amat sensitif dengan kisah asmaranya. Pola pikirnya cenderung mengarah pada hal-hal logis yang membuatnya memiliki perspektif lain dari arti cinta yang sebenarnya. Oleh karenanya, Jun sedikit khawatir dengan perkembangan sosial pemuda itu.
"Hei, Junhwi."
Hong Jisoo tampak menghampiri mereka berdua dengan senyuman khasnya. Meski yang disapa hanya Jun, Wonwoo masih memiliki etika untuk membungkuk sopan pada kakak tingkatnya.
"Hei, hyung," Jun menunjukkan telapak tangannya. "Aku ada urusan sebentar, apa hyung bisa menjaganya? Dia bisa hilang dalam hitungan detik saat aku tak ada."
Wonwoo terperangah dengan ucapan tersebut. Jelas-jelas Jun menunjuknya barusan—menandakan bahwa pemuda gila itu membicarakannya. Wonwoo bukanlah jin yang bisa timbul tenggelam di antara corong teko yang sempit.
"Oh, ini sepupumu?" Jisoo mulai menghitung eksistensi Wonwoo. "Aku Hong Jisoo."
"E-eh? I-ya sunbae—Jeon Wonwoo." Kalimat yang keluar malah terdengar sangat kacau.
Jun terkikik geli. "Dia mengenalmu hyung. Aku titip dia sebentar ya!" Tanpa perlu persetujuan, Jun langsung beranjak. Meninggalkan Wonwoo dalam kecanggungan yang memenuhi seluruh tubuh—ia sama sekali tidak pandai memulai pembicaraan.
"Panggil aku hyung, seperti Jun."
Wonwoo mengangguk pelan, "I-iya, hyung."
"Kau tidak masuk? Di sini cukup dingin. Nanti kau bisa membeku."
Jika tadinya Wonwoo menolak, kali ini ia tidak punya pilihan selain mengikuti arahan Jisoo. Jalannya amat lambat—tampak sekali keraguan pada setiap langkah kakinya. Wonwoo hanya tidak tahu akan berbuat apa sementara dirinya tidak mengenal dengan baik dua orang yang berbeda usia itu.
"Kakimu sudah baikan, Gyu?" tanya Jisoo sembari mendekat ke ranjang.
"Sedikit, hyung. Masih agak nyeri." Suara Mingyu yang serak menemani kekosongan. Pemuda itu menoleh sekilas dan mendapati Wonwoo yang bergeming menatapnya.
Jisoo langsung mengenalkannya, "Dia sepupu Jun, namanya Wonwoo." tukasnya.
Entah mengapa Wonwoo merasa oksigen di dalam ruangan semakin menipis. Rongga paru-parunya membutuhkan lebih banyak lagi suplai oksigen agar bisa tetap hidup. Ia seperti bermimpi berada dalam satu ruangan bersama dua orang itu. Situasi yang terjadi cukup berbahaya bagi eksistensinya.
"Oh," balas Mingyu singkat. "Dia mirip teman kakakku yang terlihat—manis."
Kalau Wonwoo mirip teman kakak Mingyu yang manis, apa dia juga sama?
To Be Continued
