Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto
.
.
.
.
.
.
.
.
Warning:
AU. OOC. Typo. Mature for language and contents.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Wanita itu terbaring di ranjang rumah sakit itu seraya menatap langit-langit di atasnya dengan tatapan kosong sekaligus nanar. Kedua mata hijau emeraldnya tampak berkaca-kaca tapi dia berusaha sekuat mungkin untuk tidak mengeluarkan airmata lagi. Walaupun saat ini dia merasakan perih yang luar biasa di dadanya. Kedua tangannya diletakkan di depan perutnya dan diusapnya dengan gerakan pelan.
Percakapan yang tidak sengaja dia dengar beberapa waktu yang lalu antara suaminya dan dokter yang menanganinya kembali terngiang di telinganya.
"Dengan sangat terpaksa kami mengangkat kantung ovarium-nya. Kami melakukan tindakan pencegahan agar infeksi tidak menyebar ke rahimnya," ujar dokter dengan suara penuh penyesalan. Saat itu Sakura yang sudah tersadar dari pengaruh biusnya hanya memejamkan mata dan berpura-pura masih tertidur saat percakapan itu berlangsung.
"Kalau kantung ovariumnya diambil, itu artinya..." suara suaminya terhenti.
"Ya. Maafkan kami. Istri Anda tidak akan bisa hamil lagi."
DEG!
Setelah mendengar vonis dokter itu, dunianya seakan sudah berakhir.
Dia tidak akan bisa hamil.
Dia tidak akan bisa melahirkan anak dari suaminya.
Airmata kembali menetes dari sudut matanya dan dia mulai terisak kembali. Wanita itu menutup kedua mulutnya dengan tangannya dan berusaha untuk tidak menangis. Dia tidak mau suaminya melihatnya seperti ini.
Pintu kamar terbuka bersamaan dengan suara isak tangisnya yang semakin keras. Dia tidak tahan lagi. Dadanya benar-benar sesak dan terasa perih saat ini.
"Sakura?"
Wanita yang dipanggil Sakura itu langsung melihat ke arah suara. Seorang laki-laki berambut hitam sedang berjalan menghampirinya dengan tergesa. Kedua mata hitam kelamnya menatap Sakura dengan pandangan khawatir.
Sakura semakin tidak bisa menahan tangisnya lagi. Mengingat kalau dia tidak akan bisa membahagiakan laki-laki di depannya ini, benar-benar membuatnya merasa tidak berguna lagi.
"Sakura, ada apa?" tanya laki-laki itu. Dia adalah Sasuke Uchiha, suaminya.
Sakura tidak bisa menjawab. Dia ingin mengatakan sesuatu pada Sasuke. Banyak hal yang terlintas dalam kepalanya saat ini. Bukan sesuatu yang bagus memang. Dia ingin mengeluarkan semuanya pada suaminya, agar Sasuke tahu apa yang mengganjal pikirannya saat ini. Tapi yang hanya bisa dilakukannya hanyalah menangis.
"Sakura," Sasuke mendekatinya dan duduk di pinggiran ranjang seraya mengusap tangannya dengan lembut. Kedua dahinya bertaut, menatap Sakura dengan tatapan pias.
"Maafkan aku, Sasuke-kun," Sakura akhirnya mendapatkan suaranya lagi. Suaranya terdengar parau di tengah-tengah tangisnya yang semakin keras.
Sasuke menghela napas panjang. Tanpa dia bertanya lebih lanjut lagi, dia sudah menduga kalau Sakura pasti mendengar percakapannya dengan dokter tadi.
Sakura menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Tangisnya masih terus pecah.
"Kenapa kau harus minta maaf padaku?" tanya Sasuke.
"Karena aku tidak akan bisa membahagiakanmu," jawab Sakura.
Sasuke menarik napas panjang dan menghelanya. Baginya, mendengar vonis dari dokter beberapa saat yang lalu memang merupakan salah satu pukulan terberat untuknya. Tapi melihat istrinya menjadi frustasi seperti ini, ini menjadi hal paling melukainya seumur hidupnya.
"Sakura, sudahlah," ujarnya, seraya menarik tangan Sakura. Dia melihat wajah Sakura sudah basah karena airmata dan matanya memerah karena tangisannya. Dengan perlahan, Sasuke menarik tubuh Sakura dan merengkuhnya ke dalam pelukannya.
"Aku tidak akan bisa hamil kan? Aku akan mandul selamanya. Iya kan? Katakan padaku, Sasuke-kun. Aku tidak akan bisa memiliki anak kan?" tanya Sakura di dalam pelukan Sasuke. Bahunya berguncang dan dia kembali terisak.
"Kita bisa memikirkannya nanti," jawab Sasuke seraya mengusap punggung Sakura dengan lembut.
Sakura segera melepaskan dirinya dari pelukan Sasuke. Dengan wajah terluka, dia menatap Sasuke dengan tatapan nanar.
"Aku tidak akan bisa memiliki anak, Sasuke-kun. Aku sudah mengecewakanmu. Aku benar-benar tidak berguna sekarang. Aku... Kau bisa mencari penggantiku kalau kau menginginkannya. Aku tidak bisa melakukan apapun untukmu! Aku hanya wanita yang–"
"Sakura, dengar!" Sasuke segera meraih wajah Sakura dan menangkupkan kedua tangannya di kedua sisi wajah Sakura. Apa yang dia lakukan itu langsung membuat Sakura berhenti bicara dan menatap Sasuke dengan tatapan kaget.
"Aku tahu kau sedih karena ini. Kita sama-sama terluka karena ini. Tapi kalau kau mengatakan padaku untuk meninggalkanmu karena hal ini.. jawabanku tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kita akan mencari solusi untuk masalah ini," kata Sasuke, seraya menatap Sakura dengan tatapan tajam.
Airmata Sakura masih belum berhenti turun dari matanya, tapi dia sudah tidak terisak lagi. Dia menatap Sasuke dengan tatapan sedih dengan kedua mulut mengatup rapat. Sasuke mengusap airmata yang membasahi wajah Sakura dengan lembut.
"Aku menikahimu bukan untuk melukaimu dengan meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini. Kau ingat janji pernikahan kita? Akan melewati semua bersama-sama. Jadi, jangan pernah memintaku untuk meninggalkanmu lagi," katanya kemudian. Dia kembali merengkuh tubuh Sakura dan memeluknya dengan lebih erat.
Sakura membenamkan kepalanya di dada Sasuke dan kembali menangis sesunggukan. Dia memeluk tubuh Sasuke dengan erat, seolah tidak ingin melepaskannya lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Rumah keluarga Uchiha adalah rumah dengan desain tradisional. Meskipun keluarga Uchiha adalah keluarga terpandang di kota ini karena kesuksesannya yang turun menurun di beberapa dunia bisnis, tapi mereka tidak pernah meninggalkan kesan tradisional yang melekat dalam generasi mereka. Rumah bergaya tradisional dengan bangunan yang terbuat dari kayu berkualitas berdiri dengan megah di kawasan distrik Konoha yang terkenal elit itu.
Terlihat beberapa pelayan dengan busana yukata modern berlalu lalang di beberapa sudut rumah itu. Ada beberapa yang terlihat menyapu halaman yang dipenuhi dengan guguran daun dari beberapa pohon berbeda jenis yang tumbuh di halamannya yang luas.
Di ruang keluarga yang menghadap langsung dengan halaman yang dipenuhi beberapa tanaman itu, terlihat seorang wanita paruh baya berambut hitam panjang, duduk sambil menyeduh tehnya. Seorang lagi adalah wanita berambut merah muda sebahu yang duduk menghadapnya sambil melihat halaman dengan tatapan takjub.
"Bagaimana menurutmu? Aku berencana menambahkan satu tanaman lagi. Kira-kira, pohon sakura butuh berapa tahun untuk bisa tumbuh besar, ya?" tanya Mikoto, wanita paruh baya berambut hitam sebahu itu. Sakura yang duduk di depannya tersenyum.
"Okaa-sama, tanpa bertanya pun kau tahu kalau pohon sakura membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk bisa tumbuh sebesar itu," katanya. Mikoto tersenyum.
"Seharusnya kau tidak perlu menanam pohon sakura lagi. Bukankah menantumu juga mirip dengan pohon sakura? Kau tidak perlu menunggu sakura mekar di musim semi," sebuah suara besar dan dalam mengejutkan mereka. Dua wanita beda generasi itu langsung menoleh ke belakang dan mendapati Fugaku Uchiha, kepala rumah tangga di rumah itu, berdiri di belakang mereka. Dia adalah ayah Sasuke sekaligus istri Mikoto. Perawakannya tinggi dan besar. Hanya melihat wajah dan matanya saja, semua orang tahu kalau dia adalah tipikal pria yang keras dan galak. Tapi sepertinya pandangan itu tidak berlaku untuk Sakura, dan juga menantunya yang lain.
"Otousama," Sakura menundukkan kepalanya dengan hormat saat Fugaku duduk di samping Mikoto.
"Bukankah kau bilang akan pulang sore ini?" tanya Mikoto.
"Apa kau tidak suka kalau aku pulang lebih awal? Lagipula, cucu-cucuku akan ke sini kan? Itachi dan Hana akan sampai di sini jam berapa?" Fugaku melihat jam tangannya.
"Sasuke-kun sedang menjemput mereka di bandara," jawab Sakura.
Fugaku beralih menatap Sakura.
"Ah, begitu? Kau tidak ikut menjemputnya? Kenji pasti akan senang sekali kalau melihatmu menyambut kedatangannya," kata Fugaku. Kenji adalah anak pertama dari Itachi Uchiha, kakak Sasuke sekaligus anak sulung di keluarga Uchiha ini. Dia dan keluarganya menetap di Korea Selatan untuk meneruskan usaha yang dirintisnya sendiri di sana. Anak laki-laki pertamanya yang berusia enam tahun itu sangat menyukai Sakura dan selalu menempel pada Sakura tiap dia bertemu dengannya.
"Sasuke melarangnya ikut," jawab Mikoto seraya meletakkan cangkir tehnya di atas meja.
Fugaku menatapnya dengan dahi berkerut.
"Kenapa begitu?" tanyanya.
Mikoto menghela napas panjang.
"Sakura-chan baru saja sakit dan dia perlu banyak istirahat," jawabnya kemudian. Fugaku kembali menatap Sakura.
"Benarkah? Aku tidak tahu. Kau tidak apa-apa, Nak?" tanyanya cemas.
Sakura hanya tersenyum geli.
"Aku baik-baik saja, otousama. Kesehatanku sedang menurun akhir-akhir ini. Mungkin karena aku terlalu lelah bekerja," jelasnya.
"Kau harus banyak beristirahat. Seharusnya kau tidak perlu bekerja. Bukannya kami mau menyombongkan diri. Tapi selama Sasuke bisa memberimu apa yang kau inginkan, kau tidak perlu memaksakan diri," ujar Mikoto.
Sakura mengulas senyum lagi.
"Aku tidak bisa hanya berdiam diri di rumah, okaasama. Tapi setelah ini, mungkin aku memang harus meninggalkan pekerjaan yang melelahkan itu," katanya lagi.
"Lagipula, kalau kau terlalu bekerja sekeras itu, kau tidak akan segera dapat momongan nantinya," ujar Mikoto lagi.
DEG!
Sakura mencoba menahan perasaan menusuk yang mulai membuat dadanya perih lagi. Dia mencoba tersenyum di depan mertuanya, meskipun dadanya kini serasa diremas kuat sekali oleh tangan tak kelihatan.
"Ah, ya. Atau jangan-jangan.. Kesehatanmu yang menurun itu karena kau sudah hamil?" tenak Fugaku. Dan itu membuat Sakura semakin terpojok.
"Tid-tidak. Belum," sahutnya dengan nada terbata.
"Lalu kapan kau akan memberi kami cucu yang lucu? Istri Itachi bahkan sudah hamil anak kedua. Aku tidak sabar melihat bayi laki-laki atau perempuan berambut sepertimu. Pasti lucu sekali," ujar Mikoto seraya tersenyum pada Sakura dengan penuh damba.
Sakura hanya bisa membalas senyumannya dengan canggung. Tenggorokannya mulai tercekat dan rasanya sakit sekali menahan tangis seperti ini.
'Maafkan aku. Aku tidak pernah bisa mengabulkan permintaan kalian,' batinnya perih.
"Kami baru menikah beberapa bulan. Dan belum ada rencana untuk memiliki anak sejauh ini."
Sebuah suara yang sangat dikenal Sakura terdengar di belakang mereka.
Sakura segera menoleh ke belakang dan mendapati Sasuke sudah berdiri di belakang kursinya seraya memegang tangan seorang anak laki-laki berambut hitam. Anak itu langsung membelalakkan matanya yang mirip Sasuke dengan tatapan antusias.
"Bibi Sakura!" serunya senang. Dia melepaskan tangannya dari tangan Sasuke dan berhambur untuk memeluk Sakura.
"Kenji, hati-hati! Jangan memeluknya keras-keras!" seru Sasuke dengan nada protektif.
Tapi sepertinya anak laki-laki itu tidak peduli dan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Sakura.
Sakura hanya tertawa geli dan membalas pelukan anak itu sambil menanyakan kabarnya.
Beberapa saat kemudian, seorang pria berambut hitam panjang muncul di belakang Sasuke diikuti seorang wanita berambut coklat berjalan di belakangnya dengan perut membuncit.
"Kenji, kau membuat Sasuke cemburu," ujar Itachi seraya terkekeh geli.
Sakura menundukkan kepalanya dengan hormat ke arahnya. Ayame, wanita berambut coklat tadi, langsung disambut dengan sambutan hangat Mikoto. Mikoto langsung beranjak dari duduknya dan membantu Ayame berjalan.
Sakura melihat pemandangan itu dengan tatapan nanar. Hatinya rasanya kembali seperti diremuk saat melihat pemandangan itu.
Lalu matanya bertemu dengan mata Sasuke yang balas menatapnya dengan tatapan tajam. Sakura segera mengalihkan pandangannya dari Sasuke dan beralih menatap Kenji yang sedang menceritakan sesuatu padanya dengan antusias. Meskipun dia merasa terluka saat ini, tapi dia tidak ingin melibatkan Sasuke. Sudah cukup baginya membuat Sasuke lelah melihatnya menangis seminggu ini. Dia tidak ingin membuat pria itu cemas lagi.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Apa Kenji membuatmu lelah seharian ini?" tanya Sasuke, seraya memeluk pinggang Sakura dari belakang. Mereka sedang berbaring di atas tempat tidur malam ini dengan posisi Sakura membelakanginya.
"Tidak terlalu," jawab Sakura singkat.
Sasuke menghela napas seraya membenamkan kepalanya di bahu Sakura. Aroma khas buah cherry menguar dari tubuh dan rambut Sakura. Sasuke menghirup aroma itu dan menikmatinya untuk beberapa saat.
"Apakah kau lelah?" tanyanya lagi.
"Tidak, Sasuke-kun. Apa kau sedang mengkhawatirkanku?" tanya Sakura dengan nada bercanda.
"Aku serius, Sakura," jawab Sasuke.
Sakura menolehkan wajahnya ke belakang dan menatap Sasuke dengan tatapan menenangkan.
"Aku baik-baik saja," jawabnya seraya mengusap wajah Sasuke dengan lembut.
"Kau tahu kau tidak bisa membohongiku dengan senyummu itu," kata Sasuke.
Wajah Sakura langsung berubah. Senyum riang di wajahnya perlahan lenyap dan digantikan raut wajah kesedihan
Sakura kembali membelakangi Sasuke dan tidak menatapnya.
"Sasuke-kun.. Apa yang ada di benakmu saat kita bertemu pertama kali saat itu? Saat orangtua kita mengatakan kalau kita akan dijodohkan?" tanya Sakura beberapa saat kemudian.
Sasuke tidak segera menjawab dan hanya menghela napas pelan. Dia mengeratkan pelukannya di pinggang Sakura.
"Aku tidak pernah setuju dengan yang namanya perjodohan selama ini. Aku selalu menolak untuk dijodohkan dengan siapapun sebelum itu. Tapi saat aku melihat kalau kau adalah gadis yang dijodohkan untukku, entah kenapa aku tidak bisa menolaknya. Gadis yang selama ini satu kelas denganku selama di SMA, gadis yang membuatku kesal karena selalu dapat nilai tertinggi di kelas, gadis yang menolak ajakan pria paling kaya di sekolah dan memilih untuk bertemu denganku. Satu-satunya gadis yang berani menyatakan perasaannya padaku di depan seluruh sekolahan. Gadis gila yang nekat menamparku karena aku mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Dan gadis itu sekarang menjadi istriku, dan saat ini aku sedang memeluknya," ujar Sasuke panjang lebar.
Tubuh Sakura berguncang dan dia mulai terkikik geli.
"Ini adalah kedua kalinya aku mendengarmu bicara selama itu, sejak kau mengucapkan janji pernikahan kita," katanya, di sela-sela tawanya.
"Apakah aku berbicara sepanjang itu adalah hal yang lucu bagimu?" tanya Sasuke dengan nada tak terima.
"Bagiku, iya. Dan jangan ingatkan aku tentang kejadian di depan seluruh sekolah itu. Itu adalah hal paling memalukan sepanjang hidupku," ujar Sakura.
"Kau pikir ditampar di depan umum oleh seorang gadis bukan hal yang memalukan?" Sasuke masih bertanya dengan nada tak terima.
"Kau menolakku dengan cara yang menyebalkan. Kau menyebutku menyebalkan, berkali-kali. Dan kau menyebutku dada rata. Itu pelecehan, kau tahu?" Sakura menyahut dengan nada tak kalah kesalnya.
"Karena kau mengalahkanku. Kau lulus dengan nilai tertinggi dan aku di bawahmu. Hanya selisih satu angka," kata Sasuke.
"Ya, Tuhan. Jadi karena itu kau membenciku selama ini? Sasuke-kun!" Sakura hampir berbalik tapi Sasuke semakin merapatkan pelukannya sehingga Sakura tidak jadi membalikkan badannya.
"Yang penting bukan itu kan? Itu adalah masa lalu kita. Kalau tidak ada kejadian itu, mungkin saja kita jadi tidak saling kenal. Lagipula, si dada rata itu sekarang sudah jadi milik si pangeran tampan," ujar Sasuke, tepat di telinga Sakura. Sakura terkikik geli.
"Hentikan. Kau tahu aku sedang marah saat ini," katanya.
"Oh, ya? Lalu apa yang membuat si dada rata ini akhirnya menyetujui perjodohan itu?" tanya Sasuke.
Sakura kembali menolehkan wajahnya ke arah Sasuke.
"Kau tahu jawabannya, Sasuke-kun. Karena aku menyukaimu. Dan perasaan itu tidak pernah luntur sampai sekarang," jawabnya kemudian.
Sasuke tersenyum tipis ke arahnya.
"Tapi aku khawatir perasaan ini akan menyakiti kita semua suatu saat nanti," ujar Sakura. Senyum perlahan kembali menghilang dari wajahnya.
Sasuke mulai bisa membaca situasi. Kalau raut wajah Sakura menjadi seperti ini, dia tahu ke mana arah pembicaraannya setelah ini.
"Tidurlah. Sudah malam. Aku tidak mau kau kelelahan," ujar Sasuke seraya mengusap ujung kepala Sakura dengan lembut.
Sakura tidak mengatakan apapun lagi setelah itu. Dia kembali menyamankan posisi berbaringnya, tanpa melepaskan pelukannya dari tubuh Sasuke. Keduanya mulai memejamkan mata masing-masing. Meskipun mereka berusaha untuk segera tidur, tapi pikiran mereka sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. Sasuke baru bisa tidur dengan lelap, setelah satu jam berkutat dengan pikirannya sendiri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sebulan semenjak operasi pengangkatan ovarium itu, Sakura tampak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Dia terpaksa keluar dari pekerjaannya atas desakan Sasuke yang sedikit memaksa. Sasuke mengancam akan menguncinya seumur hidup di apartemen mereka kalau Sakura bersikeras untuk melanjutkan pekerjaannya. Sakura akhirnya menyetujuinya, meskipun dia agak kesal dengan ancaman Sasuke yang tidak adil itu.
Sebenarnya dia lebih suka bekerja dibanding tinggal di apartemen sepanjang waktu tanpa melakukan apapun. Oh, tentu saja dia mengerjakan pekerjaan rumah tangganya. Tapi setelah itu dia tidak melakukan apapun selain nonton TV sambil makan cemilan dan itu membuatnya merasa tertekan lagi tiap dia melihat tayangan TV yang menampilkan ibu-ibu hamil dan bayi mereka yang lucu-lucu. Akhirnya Sakura memilih untuk tidak menonton apapun dan memilih berselancar.
Setelah seminggu menjadi pengangguran, Sakura akhirnya memutuskan keluar dari kehidupan menyedihkannya. Dia mencari-cari solusi untuk masalahnya sendiri di saat Sasuke sibuk bekerja. Meskipun Sasuke bilang kalau mereka akan menghadapi ini bersama, tapi dia tidak bisa menggantungkan semuanya pada Sasuke sementara suaminya itu sudah bekerja keras di luar sana untuk kehidupan mereka.
Akhirnya setelah mencari-cari beberapa artikel dan berkonsultasi dengan banyak orang yang ditemuinya di internet, Sakura menemukan jawabannya. Dia sudah menyiapkan mental dan fisiknya saat memutuskan untuk menggunakan cara ini dan sebelum mengatakannya pada Sasuke.
Malam ini, Sasuke memutuskan untuk pulang lebih awal karena Sakura bilang memasakkan makanan spesial untuknya. Sakura sengaja memasakkan makanan kesukaan Sasuke dan menata meja makan dengan kesan berbeda dari sebelumnya. Ada lilin yang dinyalakan agar suasana lebih romantis.
"Kenapa ada lilin di sini?" tanya Sasuke, seraya menunjuk lilin yang menyala di atas meja.
"Ayolah. Jangan rusak mood-ku, Sasuke-kun. Kau tahu ini yang dilakukan para pelayan di restoran mewah untuk makan malam yang romantis kan?" kata Sakura, seraya duduk berhadapan dengan Sasuke.
"Kau masak banyak malam ini," ujar Sasuke seraya melihat hidangan yang tersaji di depannya.
"Apa tidak boleh?" Sakura menatapnya dengan wajah pura-pura cemberut.
"Kau boleh menghabiskan uangku untuk memasak untukku, Sakura," jawab Sasuke dengan nada sarkastik.
Sakura membalasnya dengan tersenyum geli.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan sampai bersusah payah membuat hidangan sebanyak ini?" tanya Sasuke seraya mengambil gelas yang berisi minuman yang sudah dituangkan Sakura untuknya sebelumnya. Dia menyesapnya sedikit. Aroma beras bercampur alkohol tercium indra penciumannya.
"Aku sudah menemukan solusi untuk masalah kita, Sasuke-kun," kata Sakura kemudian.
Sasuke menatapnya sesaat sebelum akhirnya meletakkan gelasnya di atas meja lagi. Matanya sama sekali tidak beralih dari pandangan Sakura.
"Apa itu?" tanyanya dengan nada ingin tahu. Kedua alisnya terangkat.
"'Ibu Sewaan'," jawab Sakura dengan cepat.
Sasuke mengernyitkan dahinya. Dia menatap Sakura dengan pandangan bingung.
"Apa? Aku baru mendengar hal itu," kata Sasuke.
Sakura menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Ini memang berat. Tapi ini satu-satunya cara dan dia harus rela melakukannya.
"Ada beberapa artikel yang mengatakan, ada beberapa wanita yang bersedia dibayar tinggi untuk mengandung anak seseorang," jawab Sakura.
"Maksudmu, seperti bayi tabung, begitu?" Sasuke masih tidak mengerti arah pembicaraan Sakura.
Sakura menggeleng cepat.
"Bukan. Bukan seperti itu. Tapi seseorang yang mau mengandung anak seseorang dan... melahirkannya. Dengan bayaran tinggi," jawab Sakura. Dia menatap Sasuke dengan tatapan takut.
Sasuke kini mulai mengerti.
"Apa kau memintaku untuk... Tidak, Sakura. Demi apapun! Aku tidak akan melakukan itu," ujar Sasuke tegas. Wajahnya mengeras. Kedua matanya menatap Sakura dengan tajam.
"Tapi hanya itu satu-satunya cara, Sasuke-kun," kata Sakura.
"Kita bisa mengadopsi anak," kata Sasuke.
"Tapi orangtuamu menginginkan anakmu. Cucu dari dari darah dagingnya. Mereka pasti akan tahu kalau kita mengadopsi anak orang dan itu akan mengecewakan mereka," kata Sakura. Pandangannya mulai mengabur sekarang dan dia mulai merasakkan tenggorokannya kembali tercekat.
Ya, Tuhan, aku tidak boleh menangis sekarang, batinnya.
"Kita bisa melakukan cara lain. Tapi tidak dengan ini. Aku tidak akan melakukannya!" Sasuke berdiri dari kursinya dan mulai membelakangi Sakura.
Sakura terdiam untuk beberapa saat, menatap punggung bidang Sasuke dengan pandangan nanar.
"Aku.. Aku bersedia, Sasuke-kun. Demi orangtuamu. Demi semua orang. Kau harus bahagia, Sasuke-kun. Paling tidak, kau memiliki anak kandung," ujar Sakura dengan suara parau. Dia menahan dirinya untuk tidak menangis saat ini.
"Kenapa kau yang harus terluka sendirian untuk semua ini?" Sasuke berbalik dan menatap Sakura dengan tatapan yang sulit diartikan.
Sakura mencoba tersenyum untuk menenangkan perasaan Sasuke.
"Karena aku menyayangimu," jawabnya kemudian.
Sasuke menghela napas putus asa.
"Sakura," panggilnya dengan suara pelan.
"Aku sudah siap, Sasuke-kun. Jangan mengkhawatirkanku," kata Sakura kemudian.
Sasuke mencoba menahan gemuruh yang terjadi di dalam dirinya saat ini. Dia memejamkan matanya seraya menarik napas panjang untuk kesekian kalinya. Kalau ini adalah keputusan Sakura, itu artinya dia harus rela melakukannya. Sakura sudah membuat keputusan besar dengan mengorbankan perasaannya sendiri. Untuk kebahagiaan orangtua mereka, dan juga untuk dirinya.
"Baiklah. Akan aku lakukan," katanya kemudian.
Sasuke melihat senyuman lebar di wajah cantik istrinya. Dia tahu, senyuman lebar itu hanya topeng untuk menutupi perasaan terluka yang bercokol di dalam diri Sakura.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Suara dentuman keras dan bau alkohol bercampur rokok serta suara cekikikan dan teriakan manusia menyambut Sasuke saat dia masuk ke dalam pub malam itu. Beberapa orang sedang menari dengan gerakan liar saat dia melangkah menuju meja bartender.
Sasuke sudah jarang datang ke tempat ini semenjak dia menikah. Dulu sekali, saat dia masih menjadi remaja labil, kadang dia datang ke tempat ini bersama dengan teman-temannya. Tidak terlalu sering. Karena dia juga tidak suka mabuk. Tidak selama ibunya masih suka mengomelinya dan membuatnya jadi anak kecil saat ketahuan pulang dengan keadaan mabuk.
"Ada yang ingin dipesan?" tanya si bartender begitu Sasuke sudah duduk di sana.
"Sebenarnya, iya. Tapi aku sedang buru-buru saat ini," jawab Sasuke, seraya mengedarkan pandang ke sekelilingnya.
Bartender itu meninggalkannya dan beralih melayani seorang pelanggan lain.
"Bisa aku minta tolong padamu?" tanya Sasuke kemudian, saat bartender itu selesai melayani pelanggannya yang lain.
Bartender yang masih tampak muda itu menghampirinya.
"Di mana aku bisa menemukan seorang wanita... wanita yang mau disewa dengan harga tinggi untuk melakukan suatu tugas?" tanya Sasuke. Bartender itu menatapnya dengan senyuman mengejek.
"Melayanimu? Itu maksudmu?" tanyanya.
"Jadi?" Sasuke menatap pemuda itu dengan tatapan tidak suka.
"Namanya Karin. Cari saja yang berambut merah panjang. Dia yang paling mencolok di antara semuanya. Kau tahu? Dia juga rela dibayar untuk... sedikit 'disakiti'. Kau tahu maksudku kan? Asal kau mau membayarnya mahal saja," jelas bartender itu.
Sasuke memutar matanya dan segera beranjak dari tempat itu.
Dia lalu kembali turun ke lantai dansa dan berusaha mencari seorang wanita berambut merah yang dimaksud itu.
Tidak sulit untuk menemukan seseorang dengan rambut merah mencolok di antara ratusan orang yang ada di tempat itu. Sasuke menemukan wanita berambut merah yang dimaksud di antara beberapa laki-laki hidung belang yang sedang mengelilinginya. Wanita itu terkikik genit saat ada seseorang yang mencoba menyentuh tubuhnya.
Sasuke menarik napas panjang dan menghelanya sebelum akhirnya menghampiri meja itu.
"Karin?" tanyanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin.
Tidak hanya wanita berambut merah itu yang mendongak tapi beberapa orang yang berada di tempat itu langsung menoleh ke arahnya dengan pandangan bingung.
"Kau memanggilku, Tuan... Seksi?" tanya Karin dengan wajah menggoda.
"Bisa kita bicara?" tanya Sasuke.
Karin menatapnya dengan bingung.
"Bicara? Apa aku mengenalmu? Aku sedang bekerja," ujar Karin.
"Aku akan membayarmu dua kali lipat," ujar Sasuke tanpa basa basi.
"Hm. Baiklah. Dua kali lipat. Untuk.. Satu malam yang panas?" tanya Karin seraya berdiri dari duduknya. Dia hanya menggunakan gaun ketat dengan belahan dada rendah dan rok pendek sekali, yang memperlihatkan hampir seluruh pahanya. Beberapa pelanggannya langsung kecewa saat dia beranjak dari tempat itu.
"Tapi tidak di sini. Kita keluar," ujar Sasuke seraya berjalan mendahuluinya.
"Wow, kau benar-benar tidak sabaran, Tuan," ujar Karin.
Sasuke tidak menjawab dan hanya berjalan mendahului wanita itu keluar dari tempat laknat ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Wanita berambut merah itu membulatkan matanya menatap Sasuke yang kini duduk berhadapan dengannya. Awalnya dia sudah membelalakkan matanya saat pria yang mengaku bernama Sasuke itu mengajaknya ke restoran dan bukannya hotel mewah. Dan pria itu memang benar-benar mengajaknya berbicara dalam artian sebenarnya. Bukan 'bicara' di atas ranjang seperti yang selalu dilakukan pelanggan-pelanggannya.
Dan begitu dia menunggu pria muda itu menyelesaikan perkataannya, barulah Karin menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini. Apa? Apa yang baru saja pria ini katakan? Dia sudah menikah dan dia memintanya untuk –
"Jadi, kau memintaku untuk melahirkan anakmu?" tanyanya dengan nada bingung. Meski bingung dan penasaran, tapi membayangkan 'membuat anak' dengan pria ini membuat Karin menjadi terangsang dengan sendirinya.
"Begitulah," jawab Sasuke singkat.
"Oke. Biar aku ulangi. Kau memintaku melayanimu dan mengandung anakmu lalu melahirkannya. Dan kau akan membayarku mahal untuk itu? Mahal sekali?" tanya Karin, memastikan pendengarannya. Meskipun dia yakin pendengarannya masih bagus, tapi dia tidak yakin otaknya masih bisa mencerna informasi dengan cukup bagus.
"Yah," Sasuke mengedikkan bahunya. "Berapapun yang kau minta," lanjutnya.
Kedua mata Karin membelalak lebar.
"Benarkah? Aku bisa kaya dan tidak perlu bekerja keras lagi setelah melahirkan anakmu?" tanya Karin.
"Dengan syarat, anak itu akan jadi anakku seutuhnya. Kau cukup melahirkannya dan pergi dari kehidupanku setelah anak itu lahir," ujar Sasuke dengan nada tegas.
Karin angkat bahu.
"Tidak masalah. Aku juga tidak mau direpotkan dengan urusan anak. Baiklah. Aku setuju," ujar Karin dengan nada enteng.
Sasuke menatapnya sesaat sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya.
"Kau harus menandatangani kontrak ini. Kontrak ini akan berakhir setelah anakmu lahir. Setelah itu, kau boleh pergi," ujar Sasuke seraya menyerahkan kertas itu pada Karin.
Mendengar dia akan mendapatkan banyak uang sesuai dengan keinginannya, Karin segera membubuhkan tanda tangan di atas kertas perjanjian itu.
"Dan ini... Adalah ponsel untukmu. Besok aku akan menjemputmu untuk membeli baju-baju untukmu. Kau tidak boleh kelihatan seperti wanita murahan di depan istriku. Istriku sangat disiplin untuk urusan penampilan. Dan dua hari dari sekarang, kita akan pindah ke Inggris. Kita akan tinggal di sana sampai kelahiran anakmu," jelas Sasuke panjang lebar seraya menyerahkan sebuah ponsel pintar pada Karin.
Karin langsung merebut ponsel pintar itu dari tangan Sasuke dengan wajah antusias.
"Ya, ampun. Ini keluaran terbaru!" serunya.
Sasuke hanya menghela napas panjang.
"Dan jangan coba-coba melarikan diri," ujarnya seraya berdiri dari tempat duduknya.
"Aku tidak akan lari dari uang sebanyak ini. Yang benar saja!" kata Karin, seraya menghidupkan ponsel barunya.
"Baiklah. Besok pagi. Jam tujuh," kata Sasuke seraya pergi dari tempat itu.
Karin menatap punggung laki-laki itu seraya angkat bahu dengan gaya tak acuh. Dia kembali menatap ponsel baru di tangannya dengan tatapan senang.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Continue Part 2
