*oke seriusan ini apa. gara-gara internet kantor mati saya malah ngedrabble tanpa juntrungan gini, dan sebenernya pairingnya notp sih. #shot. oke, avalanche itu punya memme, yowamushi pedal itu punya wataru watanabe dan ceritanya punya saya /o/. semoga berkenan~*
"Bisa diem nggak sih?"
Arakita, 17 tahun, pada Toudou, 17 tahun, teman sekamarnya di asrama SMA Hakone.
(Disertai lemparan kaleng Bepsi kosong, tentunya.)
Karena ia tahu bahwa suara sang pendaki bukan ditujukan untuknya, namun untuk ia yang berada di Chiba sana. Tinggi, kurus, rambutnya hijau. Cih, menjijikkan.
"Mau tidur nih. Sana!"
Arakita, 21 tahun, pada Toudou, 21 tahun, setelah nasib mempertemukan mereka kembali dan memaksa mereka tinggal dalam satu atap, seperti masa SMA mereka empat tahun silam.
Usia yang telah cukup dan adrenalin yang tak lagi bisa disalurkan dengan mengayuh memacu mereka mencoba hal-hal baru. Adegan ranjang, salah satunya.
Namun tentunya, siapa tak kesal jika peran utama yang bertahun-tahun diharapkan, kini bergeser dengan semena-mena menjadi pemeran pembantu tanpa nama?
Empat tahun berselang, nama yang dipanggil dari bibir sang mantan pendaki tetaplah sama. Si empunya nama tak lagi berada di Chiba, namun di Britania Raya. Jadi, sekeras apapun Toudou menjeritkan namanya, ia tetap tak akan datang.
Arakita membencinya.
Karenanya, ia mencoba mengusir Toudou, mulai dari ranjangnya.
"Jangan dulu pulang!"
Arakita, 22, pada Toudou, 22, teman seatapnya, setahun kemudian.
Karena ia tak ingin membiarkan sang pendaki melihatnya menangis, melihatnya kelelahan sepulang bekerja - ia hanya punya waktu dua jam untuk tidur sebelum masuk ke shift pekerjaan sambilannya -, melihatnya tak berdaya di saat sang pendaki benar-benar membutuhkannya.
Bahkan sekedar untuk menjenguk saja ia tak sanggup. Makanan bernutrisi kan mahal, tuan.
(Padahal ia tahu bahwa Toudou lebih membutuhkan keberadaannya - tapi hei, biaya rumah sakit kan tidak bisa lunas begitu saja.)
"Bangun!"
Arakita, 23, pada jasad Toudou, 23.
Mereka bersepakat saat tinggal seatap, bahwa Toudou harus mengikuti semua perintahnya empat hari dalam seminggu. Tiga hari sisanya, Arakita menurut.
Toudou tidur, selamanya, pada hari Minggu yang mendung.
Seharusnya, hari itu ia menuruti perintah Arakita, sejak subuh hingga subuh.
Arakita tidak suka memerintah - tujuh tahun kehidupannya di klub sepeda (tiga tahun di SMA Hakone, empat tahun di Universitas Meisou) sebagai asisten telah terpatri dalam benaknya, membuatnya kesulitan memerintah. Posisinya di kantor pun tak membantu - ia hanyalah pesuruh.
Awalnya, ia tak mau menerima Toudou dalam hidupnya. Cukuplah kisah masa lalu mereka tertelan oleh masa, dicerna oleh dekade demi dekade hingga tersisa memori pahit getir sebagai residunya. Namun saat ia melihat wajah sang pendaki yang tak pernah berubah sejak mereka masih di SMA, keteguhan hatinya melemah.
Ia bukan ahli manipulasi.
Rasanya berat untuk memerintah orang.
Namun saat ia memerintah, hanya sedikit perintahnya yang tak terlaksana - Toudou menyadari posisinya sebagai orang yang memerlukan bantuan, tentu saja.
Satu dari sedikit perintah itu adalah perintah terakhir Arakita pada Toudou untuk bangun.
Dan mendengar.
"Gue masih sayang sama lo. Goblok."
