Narcisse Noir

By: Noir

Cast: Arthur x Kiku x Alfred

Disclaimer: Hetalia is made by Hidekaz Himaruya-san.

Warning: Mengandung unsur YAOI dan sedikit LEMON. Don't mind to read it? Just click 'back' ^^


(A/N): Before read this fic, Noir mau minta maaf dulu buat minna-sama yang udah baca fic Noir yang sebelumnya, tapi Noir hapus. Soalnya banyak Typo+Noir masih labil Mau di buat English apa Indonesian^^" Gomenansai, terutama Riikaagi-san (bener gak?) sama Nesia-san.

Juga untuk Minna-sama yang baca fic noir '(Bingung Judulnya Apa?)', Noir juga hapus. Bikin fic parody lumayan susah ya? ^^"

Jadi Noir kembali ke jalan Noir yang 'lurus' *ditimpukin*. Kalau masalah Lemon, mungkin di chapter ini dan selanjutnya belum ada. Ditunggu saja ya^^

Noir langsung post 5 chapter lho!^^


Summary: Narcisse Noir… I don't know a thing, It's just the day of a boy's first love.

Arthur yang lembut dan tampan, Kiku yang baik hati dan berwajah manis, serta Alfred yang selalu bersembunyi dengan wajah menahan tangis. Dapatkah cintanya tersampaikan?


Chapter 1: A Birthday Greeting is Never Heard

Alfred's POV.

Aku menghela napas. Aku masih ingat persis kejadian penyebab aku bisa membenci kakakku sendiri.

Flashback…

Aku sedang berjalan-jalan di taman. Lebih tepatnya mengejar sebuah kupu-kupu hingga ke taman. Kupu-kupu itu memiliki sayap hitam dengan corak putih dan biru. Besarnya sekitar dua telapak tanganku. Aku terus mengejarnya hingga ujung tembok pembatas taman dengan dunia luar. Jujur, saat melihat tembok itu, rasa penasaranku beralih dengan cepat. Seperti apa dunia di luar sana?

"Alfred…!" Itu suara kakak memanggil. Aku langsung menoleh dan menjauhi tembok segera.

"Kakak!" Aku menyahut. Kak Arthur tersenyum lalu menghampiriku. Kakakku itu sangat tampan, aku memang mengakuinya. Dengan alis tebal dan mata berwarna hijau seperti emerald. Ia juga gagah dan lembut, aku sangat menyayangi kakakku. Tapi entah kenapa, saat melihatnya, mulanya aku seperti melihat seorang pria asing.

"Pasti habis main-main sampai ujung ya? Kau pasti nekat memanjat pohon demi melihat ada hal apa saja diluar sana. Benar?" Tanya kakak sedikit menggodaku. Aku menggembungkan pipi lalu menggeleng keras.

"Tidak! Aku tadi mengejar kupu-kupu! Saat sampai tembok, kakak memanggil, aku langsung kesini, deh!" Aku menuai protes ala anak kecil berumur lima tahun. Sementara Kak Arthur hanya tertawa kecil.

"Ayo kita masuk kedalam! Ibu ingin berbicara tentang pesta ulang tahunmu yang keenam nanti. Sini kakak gendong!" Aku mengangguk antusias. Bagaimana aku mau menolak? Digendong kakakku di atas bahunya, lembut, aku bisa mencium wangi shampo yang dipakai kakak. Yang terkadang aku ikut memakainya sedikit.

"Kakak pasti hadir 'kan?" Tanyaku memastikan. Awalnya kakak diam saja, setelah ku colek pipinya sedikit, ia baru menoleh, lalu tersenyum gugup.

"Ya, kita lihat keadaan nanti ya."

Setiap kutanya perihal perayaan, kakak pasti selalu menjawab begitu. Dihatiku, terbesit sedikit rasa kekecewaan.

[[NN]]

Akhirnya hari dimana aku merayakan hari ulang tahunku tiba. Ibu mengundang banyak sekali orang. Mulai dari saudara-saudara kami sampai orang-orang yang sama sekali tidak kukenal. Ibu tertawa sepanjang hari, aku senang. Karena biasanya Ibu hanya tersenyum lemah sambil menepuk kepalaku. Entah apa yang dipikirkan beliau, yang kutahu saat itu beliau pasti sedang bersedih. Dan beliau selalu bersedih.

Sementara itu, ada satu hal yang kupertanyakan. Kemana Kak Arthur? Sedari tadi pagi ia tidak kelihatan. Padahal biasanya ia sedang menjalankan Early Morning Tea di paviliun utara. Tapi tadi saat aku kesana, paviliun itu kosong. Tidak ada aroma Jasmine Tea kesukaan kakak. Sekarang, pestaku sudah sampai acara utama, yaitu peniupan lilin dan pemotongan kue. Dan Kak Arthur belum terlihat juga.

"Ibu, Kak Arthur kemana?" Tanyaku pada Ibu yang sedang menyiapkan pemantik. Tiba-tiba raut wajah Ibu berubah. Seperti ingin menangis. Aku buru-buru mengusap pipi Ibuku.

"Ibu jangan sedih, Al Cuma bertanya, kok." Bisikku. Bola mata Ibu membulat sambil menatapku. Lalu beliau tersenyum dan mengangguk. Setelah lilin dinyalakan, aku langsung membuat permohonan sebelum meniup lilin itu.

'Semoga Kak Arthur ada disini, dan menemaniku setiap saat tanpa harus pergi kemana-mana lagi!' Benar-benar permohonan egois seorang anak kecil.

Pesta ulang tahunku pun telah berakhir. Dan Kak Arthur masih belum terlihat. Rasa kecewaku mulai berubah menjadi kekesalan. Lalu aku menangis sejadi-jadinya. Beberapa tamu undangan yang masih ada menatapku heran. Begitu pula dengan Ibuku yang panik dan langsung menghampiriku.

"Alfred!? Kau kenapa sayang? Ada yang sakit? Ada yang salah? Kita buka kado saja yuk!" Ajak Ibuku. Namun aku menggeleng sambil menepis tangan beliau, dan malah tangisanku semakin menjadi-jadi.

"Gak mau…! Hiks…gak mau kalau gak ada Kak Arthur! Huwaaa!" Air mataku makin mengucur deras. Aku berteriak-teriak memanggil nama Kak Arthur, sementara Ibu berusaha menenangkanku yang terus memberontak.

"Kak Arthur sedang pergi bertugas! Ia pergi untuk melindungimu lho! Jadi kita main saja yuk, Al harusnya berdo'a semoga Kak Arthur bisa pulang kerumah dengan cepat dan selamat." Ujar Ibuku, yang terdengar seperti cicitan kebohongan. Aku tahu sebenarnya Ibu justru lebih khawatir dengan apa yang beliau ucapkan. Aku tahu Kak Arthur pergi hanya untuk menorehkan luka keluarga. Ia tak melindungiku!

"Aku benci! Benci Kak Arthur! Mati saja!" Dan aku pun berlari sampai kamarku tanpa memperdulikan panggilan Ibu untuk tetap tinggal.

[[NN]]

"Dia menangis terus dari siang tadi. Sampai sekarang pun ia belum mau keluar kamar. Ia juga belum makan apapun." Sayup-sayup aku mendengar suara Ibu di depan pintu kamarku. Aku langsung merapatkan selimutku.

"Ini semua salahku." Ujar seseorang lagi. Suara itu!? Aku langsung menyibakkan selimut, berusaha mendengar lebih jelas. Itu suara Kak Arthur!

"Jangan seperti itu, nanti dia malah jadi tidak mandiri." Ibu tiba-tiba membuka grendel pintu. Aku langsung menyembunyikan diri dibalik selimut dan menghadap sisi berlawanan.

"Ya, aku tahu, Bu. Tapi sebagai kakaknya, rasanya aku tidak punya waktu luang untuknya. Menemaninya bermain saja jarang sekali." Suara Kak Arthur makin mendekat. Lalu aku merasakan seseorang menduduki kasurku. Pasti Kak Arthur.

"Kalau begitu, pastikan ia turun untuk makan malam." Suara Ibu menjauh dan terdengar suara pintu kamarku ditutup.

Sunyi. Tidak ada kata-kata yang terdengar dari Kak Arthur. Ia masih saja diam. Dan aku mulai tak sabaran. Kalau mau minta maaf langsung saja, Kak!

"Al…kita makan yuk?" Ajak Kak Arthur sambil menyentuh bahuku yang dibalut selimut. Aku tidak bergeming, aku menunggu ucapan 'itu' keluar dari mulut kakak.

"Al? Kakak pulang lho! Malam ini Anna sudah memasak makanan kesukaanmu. Ada Burger juga lho!" Kakak masih saja membujukku. Air mataku kembali mengalir. Lalu tiba-tiba saja aku mendengar isakan yang tak lain adalah isakan-ku sendiri.

"Al…?"

"Pergi kak!" Aku langsung menyibakan selimut dan terduduk sigap. Aku bisa melihat wajah Kak Arthur. Mata Emeraldnya meredup. Senyumnya memudar. Wajahnya yang lembut seakan tak kukenali lagi. Sering sekali ia meninggalkanku dan membuatku lupa akan wajahnya yang dulu kupuja.

"Kata Ibu kau belum makan, jadi kakak…"

"Apa perduli kakak!? Padahal…padahal hari ini adalah hari ulang tahunku. Padahal aku sangat berharap kakak ada untuk menemaniku meniup lilin dan memotong kue! Kalau kakak tidak bisa menemaniku bermain, aku masih memaklumi. Tapi ini hari ulang tahunku! Dan kakak tidak pernah hadir dalam pestaku sejak ulang tahunku yang ke empat!" Aku terus berbicara. Entah dari mana kudapatkan kata-kata ini. Sementara Kak Arthur hanya memandangku kaget.

"Al, kakak tahu…Kakak minta maaf. Maaf sekali!" Kak Arthur memohon sambil mencoba memegang kepalaku. Namun aku menepisnya kuat-kuat. Air mataku kembali mengucur.

"Bukan itu yang ingin kudengar! Kakak sudah berulang kali minta maaf dan bodohnya aku selalu memaafkan kakak! Tapi kali ini aku ingin mendengar 'itu' dari kakak! Padahal aku ingin kakak menjadi orang pertama yang mengucapkan hal itu padaku!" Aku kembali menghujam Kak Arthur dengan kata-kata ketusku.

"Mengucapkan hal 'itu', maksudnya…"

"Selamat ulang tahun! Aku menyayangimu! Mulai sekarang kakak akan menemanimu!" Aku berseru sekencang-kencangnya sambil kembali menyembunyikan diriku dibalik selimut. "Sekarang pergi! Dan jangan pernah menyentuhku lagi! Aku benci kakak!"


Arthur's POV.

"Sekarang pergi! Dan jangan pernah menyentuhku lagi! Aku benci kakak!" Kata-kata itu terdengar seperti cambukan bagiku. Bagaimana bisa, adikku yang manis itu sampai seperti ini…gara-gara seorang kakak yang gagal dan hanya mementingkan diri sendiri? Ya, aku berbohong kalau aku ingin melindungi Alfred. Toh, dia akan tumbuh besar dan melindungi dirinya sendiri bukan?

Tapi, sepertinya caraku salah. Ternyata keegoisanku lebih besar daripada keegoisan seorang anak kecil. Aku selama ini haus akan popularitas dan kejayaan, tanpa memikirkan perasaan orang-orang disekitarku. Bahkan adikku sendiri.

"Kenapa kakak masih disini!? Keluar! Aku tidak mau makan!" Alfred lagi-lagi mengusirku. Aku menunduk, menahan air mata.

"Alfred, selamat ulang tahun. Dan, maafkan kakak, untuk yang terakhir kalinya. Kakak hanya ingin kau tumbuh, tanpa seorang kakak yang gagal disisimu." Aku berbisik tertahan, lalu meninggalkan kamar Alfred. Aku tahu kalau sekarang hubungan diantara kami makin menjauh. Dan mungkin takkan bisa kugapai kembali.

End of Flashback


Alfred's POV.

Aku kembali menghela napas. Sudah seharian ini aku terduduk di tepi kolam sambil memandangi pantulan diriku di air. Seorang anak laki-laki dengan rambut coklat susu, yang dengan kejinya memutuskan hubungan dengan kakak sendiri. Tunggu, bukan aku yang keji, tapi kakakku! Bahkan hari inipun ia tidak ada dirumah.

Aku menghela napas lagi, tidak tahu ini sudah yang keberapapuluh kali. Saat aku kembali menatap bayanganku, tiba-tiba saja aku melihat bayangan Kak Arthur di sampingku. Tersenyum lembut. Dengan mata emerald yang menyala. Aku menoleh, dan memang ada Kak Arthur disitu. Aku langsung berpaling lagi.

"Al, kakak ingin pamit padamu. Mungkin kakak tidak ada dirumah hingga bulan depan." Ujar Kakak.

"Bukan urusanku! Kalau mau pergi ya pergi saja sana!" Aku justru menanggapinya dengan kata-kata ketus lagi. Mataku mulai berkaca-kaca. Sebenarnya, aku sudah lelah terus menerus ketus pada kakakku. Aku ingin kembali ke pelukannya dan digendong di punggunggnya yang lembut. Aku ingin bertanya tentang banyak hal di luar tembok taman. Namun, setiap aku memandang wajah kakakku, perasaan itu hangus seketika.

"…Kalau begitu, sampai jumpa. Jaga kesehatan ya!" Pamit Kak Arthur sambil menepuk kepalaku dengan lembut, lalu mengusapnya pelan. Aku diam saja, lalu kakak menarik tangannya dari kepalaku. Saat langkah kakinya sudah tak terdengar lagi, air mataku turun dengan deras tanpa bisa dihentikan.


TBC.

[Pojok Dunia N-A]

Noir: "Yey! Langsung post 5 chapter!"

Alvarez: "Minna-san, hati-hati! Ini adalah bentuk suap dari Noir karena tidak bisa melanjutkan fic ini untuk sebulan kedepan!"

Noir: "Ikh, Alva! Kan kita ujian! UJIAN!"

Alvarez: "Ya tapi aku gak ngasih suap tuh…"

Noir: "Siapa yang bilang ini suap, hah!?"

Alvarez: "Sengaja kan? Biar Minna-san gak ehemcerewetehem minta kamu buat update fic ini, makanya kamu langsung post 5 chapter dan masukin pojok kita yang sebenernya di angkot kan!?"

Noir: "Aaalvaaaaa!" (Pemberitahuan, Noir&Alva kalau naik angkot selalu nyari yang pojoknya kosong, supaya ngobrolnya enak+bikin dunia otaku berdua w)