Audience (Pitch That Ball to Me)

Maeshika

Pairing : Midorima X Takao

Summary : Di umurnya yang ke enam belas tahun, Kazunari belum juga menemui ujung pangkal dari jam biologinya. Artinya, dia masih belum bisa diklasifikasikan ke dalam kelas Alpha, atau kelas omega.—MidoTaka. Alpha/Omega Dynamic. Part one of Docile.

Warning : uuuh… nggak baik buat anak kecil. Udah itu aja. Terus sebelum baca, mungkin ada kalimat-kalimat yang bikin bingung. Coba tolong minta bantu mbah Gugel, di searching dulu apa itu arti dari Alpha/Omega/Beta Dynamic.

.

.

.

.

.

.

Kazunari tidak terlalu memikirkan hal-hal yang besar.

Hal-hal seperti kenapa manusia diciptakan, kenapa mereka memiliki organ tubuh yang teradvansi dibandingkan mahluk chordata lainnya, kenapa dia harus belajar trigonometri disaat dia siap menjadi pegawai McDonald, dan kenapa dunia ini terbagi atas beberapa kasta yang, menurut sebagian kecil orang yang tidak berani mengutarakan pendapatnya, tidak begitu adil. Kasta, sesuatu yang sakred untuk sebagian besar orang.

Tidak untuk Kazunari.

Di umurnya yang ke enam belas tahun, Kazunari, dengan tinggi seratus tujuh puluh enam dan berat badan enam puluh lima kilogram, belum juga menemui ujung pangkal dari jam biologinya. Artinya, dia masih belum bisa diklasifikasikan ke dalam kelas Alpha, atau kelas omega.

Sekolah Kazunari, Shuutoku, benar-benar bingung menghadapi pria dengan mata biru-silver ini. Dimana mereka harus menempatkannya dengan tepat? Dilematis, menghadapi jam biologis itu sungguh dilematis.

…Untuk orang disekitar Kazunari tentu saja. Ketika orang tuanya dan guru-guru rebut di ruang siding sekolah, orang yang bersangkutan malah bersiul dengan santainya, memikirkan pelajaran bahasa inggris yang ia sukai, dan kapan dia akan boleh pulang. Puding di rumahnya tidak akan habis dengan sendirinya, oke? Kecuali jika adik tersayangnya secara sengaja memakan pudding yang sudah dia simpan di freezer. Akhirnya setelah perdebatan sengit, ludah dan saliva melayang-layang, dan Kazunari yang bosan, sampailah mereka diujung perkara—konsensusnya, bahwa Takao Kazunari akan ditempatkan di kelas atas, dan jika sampai Takao tidak juga mendapatkan waktu biologisnya di akhir kelas dua, diputuskanlah bahwa Takao akan dipindahkan ke kelas biasa.

Kelas biasa adalah kelas berisi orang-orang tanpa klasifikasi. Mereka bukan alpha, Beta atau Omega. Kazunari suka menyebut mereka sebagai penonton. Mereka asyik mengamati dinamika Alpha/Beta/Omega tanpa benar-benar melibatkan diri didalamnya, berpihak sebagai pihak netral bahkan lebih netral dibandingkan Beta, dan Kazunari tidak kaget ketika mendapati sebagian besar dari mereka lulus dan mendapatkan pekerjaan sebagai psikolog biologis, atau ahli A/B/O dinamika. Kazunari iri pada mereka. Mereka hampir punah—namun bukan berarti mereka akan punah. Bukannya Kazunari peduli atau apa akan kepunahan ras orang-orang biasa, tapi—Kazunari iri sekali.

Kazunari berharap seumur hidup dia bisa menjadi seorang penonton.

"Rasanya jadi penonton? Kau ngomong apa, Takao?"

Kazunari menaikkan alis. Apa dia masih belum terlalu jelas saat curhat tadi? "Rasanya jadi orang biasa itu apa, Kotori-chan?" Tentu saja, curhat akan hal kayak gini ke ketua klub kesehatan, ternyata, bukanlah hal yang patut untuk dicontoh. Ketua klub yang diajak bicara malah menatap Takao dengan pandangan super aneh dan dia memutar bola mata. "Ya biasa saja."

Hal ini tidak membuatnya puas. "Biasanya ya gimana?"

Cewek mungil dengan kacamata tersebut segera membalas, "Bagaimana rasanya jadi natureless kayak kamu?"

Kazunari otomatis menjawab, "Biasa saja."

Kotori Yoshitsune hanya nyengir lebar. "Tuh kan?"

Kazunari tidak suka ketika Kotori nyengir seperti itu. "Nggak usah nyengir. Aku serius—apa ada kelebihannya jadi orang biasa?"

Kotori hanya menaikkan bahu. "Aku akan jawab kalau kau jawab omonganku." Kazunari bisa mendengar lanjutan kata Kotori, karena kasus sepertimu menarik, dan ini bisa jadi referensi untuk kehidupanku kedepannya. Kazunari tahu Kotori berambisi menjadi dokter spesialis dinamika masyarakat. Dan itu berarti, bahasa kasarnya, menjadi psikolog Alpha beta dan omega. "Rasanya seperti melayang di udara." Ucap Kazunari sekenanya.

"Udara?"

"Hm. Karena bebas."

Kazunari tidak melanjutkan omongannya. Kotori hanya manyun, tidak puas. "Ayolah, buchou. Jawab pertanyaanku ini, kumohon!" Kazunari menggabungkan kedua tangannya bersama-sama, melakukan pose memohon

Kotori hanya menghela nafas. "Rasanya biasa saja. Kami tidak bisa mencium bau satu sama lain dari jarak tiga kilometer. Penciuman kami sangat tumpul, tapi kami bisa mencium bau omega yang sedang in heat. Kami juga tidak sekuat kalian, para pemegang jam biologis. Kami tidak mengenal kata marking, mating, atau apapun itu. Kami tidak merasakan keharusan melakukan bonding. Dan…" tiba-tiba Kotori berhenti, membuat Kazunari penasaran dengan lanjutan bicaranya. "Dan apa?" Tanya Kazunari, penasaran.

"Tapi kau jangan marah." Kotori berkata, ragu.

"Tidak, tidak akan."

"…Kami tidak pernah merasa diharuskan untuk mencintai pasangan kami."

Kazunari memandang Kotori. Bingung.

(Udara siang itu begitu panas, dan suara tawa anak-anak lelaki terdengar—dari jauh, suara sonic boom sebuah pesawat juga terdengar. Tetap saja, fokus Kazunari hanyalah Kotori, yang sekarang tengah memandang ke segala arah namun Kazunari.)

"Maksudmu?"

"Begini." Kotori terlihat bersiap untuk perang, dan Kazunari bingung. Kenapa dia terlihat begitu siap dengan argumennya? "Kami bisa meninggalkan pasangan kami, kau lihat? Walaupun salah satu pihak tidak ingin, tapi sebuah hubungan bisa kandas hanya karena rasa bosan. Kalian tidak bisa seperti kami. Ketika kalian jatuh cinta—bukan, ketika kalian melihat pasangan masing-masing, kalian ditakdirkan, diharuskan untuk bersama. Diharuskan untuk memiliki keturunan. Dipaksa untuk menyerah pada keinginan paling primal mereka—seks." Kotori berkata diplomatis. "Hal ini, tentu saja, amat sangat berbeda dengan kami, orang biasa. Aku dibesarkan di tengah kalangan orang biasa, dan—maaf Takao—aku benar-benar bersyukur akan hal itu. Kami jatuh cinta ketika kami ingin. Kami berhubungan badan karena kami ingin melakukannya, dan bukan karena orang-orang ingin kau melakukan itu. Kami melakukannya karena kami saling mencintai… atau, di lain pihak, karena kami memang butuh untuk melakukannya." Dia diam sejenak. "Aku tidak melihat hal itu dalam dinamika kalian. Aku bukan kalian, jadi aku tak tahu bagaimana perasaan kalian ketika bertemu dengan pasangan sehidup semati kalian. Tapi satu hal yang aku tahu—yang kalian lakukan bukanlah cinta, tapi nafsu."

Kazunari memandang Kotori. Secara luas, Kotori terlihat datar. Kazunari ingin mengatakan sesuatu (hal yang sangat, sangat buruk) karena Kotori sudah secara tidak langsung menjelek-jelekkannya, menjelek-jelekan rasnya, menjelek-jelekkan tempat dimana dia berada. Kazunari tidak suka.

(Kazunari secara sadar menghindari kenyataan kalau dia marah karena Kotori sudah menjelek-jelekkan para pemegang jam biologis. Bukankah Kazunari ingin menjadi penonton, seperti Kotori?)

"Tapi kami memang didesain seperti ini." Ucap Kazunari, secara aneh lemas. "Kami adalah alat pembuat anak-anak kecil. Alam ingin kami seperti ini."

Kotori memandang Kazunari.

(Sedih. Kasihan. Marah. Sayang.)

"Sayang sekali, ya?" Kotori tersenyum. "Aku tak tahu kau suka memikirkan hal besar seperti ini, Takao."

Kazunari diam.

"Tapi," Kotori menumpukan dagunya di sikunya, matanya menatap keluar. "Aku kira kami akan merasakannya."

"Kami?"

"Orang biasa."

"Merasakannya?"

"Jatuh cinta." Kotori berkata, (suaranya timbul tenggelam) "Mungkin. Aku pernah baca kalau perasaan cinta disebabkan karena senyawa feniltilamin di otak kita. Tapi perasaan itu hanya akan terjadi paling lama tiga tahun." Suara pesawat lagi. "Aku berfikir apakah rasanya jatuh cinta kami dan kalian itu berbeda."

"Katamu kami tidak bisa jatuh cinta." Protes Kazunari. Kotori terlalu plin-plan dalam menyampaikan postulatnya.

"Tidak, aku tidak bilang begitu." Memutar bola mata. "Aku bilang, kelakuan kalian terlalu bar-bar ketika sedang melakukan mating. Aku hampir serangan jantung ketika menemukan dua anak kelas tiga hampir melakukan itu di ruang UKS ini, oke? Ketika aku bertanya kenapa dia melakukan ini, mereka malah berkata kalau mereka harus melakukannya. Tekankan di kata harus." Omel Kotori.

(Kazunari hanya tertawa, sedikit bingung.)

(Warna hijau dan kacamata terlintas dipikiran Kazunari, dan Kazunari memerah.)

.

.

.

.

.

.

.

Hari ketiga setelah bulan maret, Kazunari merasa kalau Shin-chan menjauhinya.

Hal yang aneh, mengingat kalau mereka selalu melakukan banyak hal bersama. Mereka satu kelas, satu ruang klub, bahkan rumah mereka searah. Kazunari berfikir mungkin Shin-chan hanya ingin sendiri, dan Kazunari akan melakukan hal itu jika Shin-chan inginnya seperti itu. Namun setelah tiga hari lagi, Shin-chan malah semakin jauh.

Hal ini membuat Kazunari bingung.

"Shin-chan."

Yang dipanggil malah tidak nengok. "Shin-chaaan," ucap Kazunari, menatap punggung lebar tertutupi gakuran berwarna hitam itu.

(Kazunari menahan keinginan untuk memeluk, menggosok, menyentuh, menjilat punggung Shin-chan yang seksi itu—tunggu, kenapa Kazunari berfikir seperti itu?!)

Shin-chan menjawab dengan kaku, "Apa."

"Apa aku melakukan sesuatu? Kau menghindariku?" Shin-chan tidak menjawab, dan itu berarti iya, dan Kazunari merasa sedikit terluka. Apa yang salah? Apa yang sudah dia lakukan sehingga Shin-chan marah padanya? "Oi Shin-chan, apa aku melakukan sesuatu?" Kali ini Kazunari mendekati Shin-chan, ingin tahu dimana letak kesalahannya. Ini bukan berarti Kazunari peduli atau apalah. Kazunari hanya takut keserasian ritme mereka akan rusak jika hal ini terus berlanjut. Kazunari tidak merasa sakit hati karena kelakuan Shin-chan, pftt. Dia tidak suka Shin-chan, oke? (terus saja berbohong, Kazunari.)

Shin-chan memalingkan wajahnya dari depan Kazunari ketika Kazunari berada didepannya. Kazunari mengerutkan dahi tidak suka. "Shin-chaaaaan, kau kenapa sih?" bukannya terdengar meledek, kenapa Kazunari malah terdengar sedih? Berusaha untuk merubah nada suaranya, Kazunari nyengir lebar, "Apa aku terlalu tampan untukmu sampai-sampai kau merasa inferior disampingku?" hal ini sepertinya memancing respon dari Shin-chan, yaitu adalah tawa merendahkan dari hidung ala Midorima. "Shin-chan, mau shiruko?" Kazunari menyodorkan sekaleng Shiruko sebagai sesajen. Kali aja kanjeng ratu kidul Midorima bisa sedikit surut amarahnya.

"Berhentilah melakukan hal ini, nodayo."

"Hm? Melakukan apa, Shin-chan?"

Shin-chan tidak menjawab. "Ah, kau sedang mengerjakan biologi? Ini yang mana? Boleh aku lihat?" Shin-chan tidak menjawab, dan Kazunari mengambil buku Shin-chan. Tulisan Shin-chan sangat rapi, pikir Kazunari. Dibandingkan dengan tulisan Kazunari, bagaikan langit dan cacing tanah. Analogi yang menyedihkan, pikir Kazunari. "Shin-chan, aku belum punya catatan yang ini. Boleh pinjam tidak? Aku tidak ingin guru biologi kita yang angker itu marah padaku karena belum mencatat ini."

"Catat sendir—" omongan Shin-chan terputus ketika helaan udara masuk ke dalam kelas. Kazunari mengangkat matanya dan melihat Shin-chan. Cahaya memantul di kacamatanya. Sore itu warna magenta sepertinya terlukis di rambut Midorima, menghasilkan atraksi warna beda yang keren. "Shin-chan?" Kazunari bertanya. Tangan Shin-chan membeku, begitu pula dengan ekspresi wajahnya. Sekilas, Kazunari melihat kerlingan binatang dibalik mata Shin-chan. (tidak mungkin hal itu terjadi, karena Shin-chan adalah orang paling terorganisir yang pernah Kazunari temui.)

"Catat sendiri nodayo. Aku pulang duluan, ada urusan." Ucap Shin-chan, Kazunari hanya menatap jemari Shin-chan yang tertutupi oleh perban (tangannya gemetar).

"Tidak latihan?" Tanya Kazunari.

"Aku sudah minta izin pada Kapten." Kazunari mengangguk melihat punggung Midorima menjauh. Kazunari menumpukan pipinya di meja Midorima, menutup mata. Samar-samar, bau Midorima tercium. Bau embun pagi dan kertas tua. Bau yang cukup aneh, dan sangat pekuliar.

Malamnya, terjadi hal yang sangat gawat sekali.

Badan Kazunari panas, hampir tiga puluh Sembilan derajat. Hal ini membuat orang tua Kazunari panik. Kazunari sendiri tidak dapat memikirkan apa-apa selain kapan pukulan konstan di kepalanya berhenti dan kapan dia bisa tidur dengan nyenyak. Orang berjas dokter datang dan memasukkan obat aneh serta alat aneh kedalam mulut Kazunari, dan Kazunari tidur nyenyak.

(Tidurnya disertai mimpi dia bermain baseball. Shin-chan sebagai pitcher, Kazunari sebagai penangkap, dan Kotori sebagai penonton.)

Kazunari dilarang untuk keluar dari rumahnya keesokan harinya. Ibunya beralasan kalau dia sakit, dan Kazunari bertanya kalau dia tidak merasa sakit. Dia hanya merasa sangat, sangat panas, dan dia akan senang sekali jika tidak terus menerus dikurung dalam rumah. Proposalnya dengan cepat ditolak oleh sang ibu. Kazunari tidak mengerti kenapa ibunya tidak membolehkan dia keluar, membuka jendela, ataupun melakukan kontak apapun dengan dunia luar.

Tengah malam, Kazunari baru menyadari mengapa ibunya tidak membolehkan dia pergi. Mengapa ibunya menyuruh Kazunari meminum banyak suppressant. Karena dia adalah seorang omega, dan Kazunari menyadarinya ketika tengah malam, bagian celananya sempit, dan bau wangi manis memenuhi ruangannya (baunya, baunya) dan bagian belakangnya sangat becek. (Kazunari tidak tahu harus berbuat apa. Dia bingung, ketakutan, dan ibunya datang masuk, wajahnya terlihat khawatir dan Kazunari tidak tahu apakah dia harus merasa canggung atau menangis haru karena kekhawatiran ibunya. Dia masuk ketika Takao sedang ereksi, demi apapun!)

"Bu, aku takut." Bisik Kazunari, karena dia benar-benar takut dan dia tidak tahu apa yang dia lakukan. Menjadi omega bukanlah pilihan Kazunari. Kazunari sangat siap untuk menjadi seorang orang biasa, bukan salah satu dari dinamika omega alpha beta. Dia tidak siap untuk ini. Kazunari bahagia menjadi orang biasa selama ini, jadi kenapa hal ini datang sekarang?

Ibunya akhirnya bertanya dengan penuh kelembutan apakah Kazunari ingin segera mencari pasangannya atau tidak. Kazunari mendengar sekelibat kata 'pasangan', 'hubungan intim', dan 'penyakit'. Ternyata, jika dia tidak cepat-cepat menemukan pasangannya, Kazunari akan sangat terpaksa melakukan hal itu dengan dirinya sendiria atau orang lain yang tidak dia benar-benar cintai. Karena dorongan untuk melakukan seks begitu kuat, Kazunari tidak dapat berpikir jernih.

(Baru sekarang Kazunari mengerti maksud dari kata-kata Kotori, "…Bukan cinta, tapi nafsu.")

(Sekali lagi, warna hijau dan kacamata melintas. Takao langsung datang.)

.

.

.

.

.

.

Seminggu kemudian, orang-orang seperti memandang Kazunari dengan tatapan lain. Kau tahu pandangan yang selalu kau lakukan ketika kau melihat masakan ibumu ketika kau lapar? Ya, seperti itu, hanya saja lebih bar-bar dan primitif. Kazunari akan segera dipindahkan dari kelas atas ke kelas para omega. Di hari-hari terakhir, para alpha di kelas Kazunari sepertinya berlomba-lomba dalam perlombaan 'Menyentuh Takao'. Teman-teman sekelasnya bahkan dengan sengaja menyentuh punggungnya (membelainya), mengusap rambut Kazunari dengan lembut, dan sesekali menowel bokongnya. Hal yang Kazunari sangat sesali adalah bahwa keadaannya tidak memungkinkan untuknya untuk membalas towelan tersebut dengan tonjokkan. Bagaimanapun, Omega tidak akan pernah menang melawan alpha.

Hal ini benar-benar membuat Kazunari marah.

Pelatih Nakatani datang pada Takao, dan walaupun wajahnya datar seperti biasa, Nakatani-san terdengar benar-benar khawatir akan kesehatan Takao sebelum akhirnya membuka inti dari pembicaraan one-on-one mereka ini. "Aku benar-benar menyesal mengatakan hal ini, Takao." Nakatani berkata. "Tapi kau tidak mungkin melanjutkan bermain basket jika keadaanmu seperti ini."

(Kazunari tahu, dan Kazunari mengerti. Tapi dia pura-pura tidak mengerti.)

"Apa karena saya seorang omega?" Tanya Kazunari, geram. Nakatani terlihat kalem. "Itu faktor utamanya. Masalahnya adalah, hampir dua pertiga anggota tim basket kita adalah alpha. Apa kau tidak pernah belajar biologi, Takao?"

Oh, tentu saja Kazunari belajar. Shin-chan sangat jago dalam biologi, bagaimana mungkin Kazunari tidak mengerti biologi? "…Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak berkeringat." Keringat ekivalen dengan pengeluaran feromon berlebihan. Kenaikan suhu tubuh ekivalen dengan lebih banyak feromon yang dikeluarkan, menghasilkan bau wangi in heat omega yang berkepanjangan. Dan jika itu terjadi ditengah-tengah Alpha yang belum bonding… Kazunari tidak mau memikirkan hal itu. "Jangan konyol. Omega yang masih belum melakukan bonding akan selalu mengundang alpha yang belum bonding pula. Dan setahu ku, hanya Miyaji saja yang sudah melakukan hal itu. Aku tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi di ruang loker, Takao." Nakatani-san memandang Kazunari, tajam. "Kecuali…"

Kecuali?

"Kecuali jika kau bisa menemukan pasangan bondingmu, Takao, maka ya, aku tidak keberatan kau ikut klub basket Shuutoku lagi."

Kazunari memandang punggung Nakatani-san yang menjauh, berfikir bahwa mungkin menuangkan bara panas ke dalam telinganya mungkin akan lebih baik dari pada dipaksa mencari pasangan sejati seumur hidupnya segampang itu.

("Itu bukan cinta, tapi nafsu.")

Beberapa hari kemudian, Kazunari pindah ke kelas baru. Kelasnya tidak buruk.

Banyak orang-orang yang baik kepada Kazunari. Kelas Omega, kebanyakan mengajarkan tentang cara memasak dan membereskan rumah. Sesuatu yang membuat Kazunari sebal. Untunglah, tentu saja, setiap akhir pekan akan ada kelas olahraga. Anehnya, omega di kelas Kazunari adalah Omega yang ambisius, sesuatu yang Kazunari sangat senangi. (Dia tidak akan tahan di kelas penuh orang-orang lembek dan letoy. Sesuatu yang selalu diasosiasikan dengan para omega.)

Berada dikelas ini juga membuat Kazunari sadar akan satu hal—bahwa tidak semua omega itu submisif. Mereka memilikir personalita yang nyata—ada yang pemberani, pemarah, penakut, pendiam, yang memiliki harga diri tinggi… mereka tidak submisif dan manis seperti alpha-alpha di kelas Kazunari yang lama. Ini adalah udara segar untuk Kazunari.

"Takao-chan, apa yang kau lakukan?"

Kazunari melihat kebawah untuk bertemu dengan pandangan sebal Fujioka Yutaka, cowok manis yang merupakan omega juga. "Sori," Kazunari nyengir. "Tapi ikebana bukanlah keahlianku. Aku tidak bagus dalam estetika dan kesenian."

Yutaka terlihat sangat kaku namun begitu elegan. Mungkin dia akan memiliki banyak penggemar sehabis lulus dari Shuutoku ini. "Warna merah tidak boleh disandingkan dengan warna kuning, Takao. Terlalu berisik." Ucap Yutaka dengan nada final dan datang untuk membereskan tatanan bunga Kazunari. (Kazunari tidak tahu apakah kita bisa mendengar warna, tapi itulah cara Yutaka untuk mengekspresikan banyak hal.) Kazunari menelengkan kepala ke atas, matanya bertemu dengarn birunya angkasa.

"Aaaah, aku bosan. Kenapa kita melakukan ini, Yutaka?"

(Warna langit seperti warna air. Warna air seperti warna mata Yutaka, yang dalam dan tenang, dan sangat familiar jika saja Yutaka bukan seorang omega dan warna rambutnya seperti hijau lumut…)

"Karena alam ingin kita melakukan ini."

"Mulai lagi deh, analogi anehnya. Bicara dalam bahasa jepang bisa tidak?" entah kenapa Yutaka memandang Kazunari dengan pandangan yang familiar (lagi).

("Takao, apa yang kau lakukan-nodayo.")

"Ada yang sedang kau pikirkan." Yutaka sangat pandai dalam menebak orang.

Takao hanya tersenyum, pahit. "Aku ingin jadi seorang penonton."

.

.

.

.

.

.

.

"Jadi, kau keluar dari klub basket?"

Sore jingga itu, Kotori bertanya, memandang Kazunari.

(Warna oranye terefleksi di mata Kotori, dan warna perak juga, biru juga—)

"Tidak tahu. Aku vakum, sepertinya. Tapi aku mungkin tidak akan pernah ikut basket lagi, tidak diperbolehkan juga oleh orang tuaku." Ucap Kazunari, sebal. "Hal yang tidak mengherankan. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau satu ruangan dengan cowok-cowok alpha desperate itu. Mereka bilang libido antara atlet alpha dan seorang professor alpha itu berbeda, dan kecenderungan untuk bermetabolisme sepertinya menyumbang banyak kepada libido alpha. Bisa dibilang, menaruhmu yang masih belum punya pasangan di antara pebasket alpha sama seperti melemparkan daging ke tengah macan kumbang yang belum diberi makan lima hari."

"…Seperti biasa perbandinganmu sangat luar biasa, Kotori-chan."

"Trims, Takao. Jadi bagaimana menurutmu menjadi seorang Omega?"

Takao nyengir. (mengingat kembali pembicaraan bodoh mereka bulan-bulan lalu.)

"Biasa saja."

"Ayolah, tidak mungkin biasa saja." Kotori menyebalkan.

"Hm, oke. Sangat membosankan. Aku tidak boleh bermain basket sering-sering karena mereka takut kami menarik perhatian banyak alpha. Aku juga tidak jago melakukan ikebana dan memainkan lagu, tapi aku cukup jago dalam memasak—"

"Bukan itu," potong Kotori dengan cepat. "Rasanya jadi Omega, bukan rasanya di kelas Omega."

Kazunari menyentuh bibirnya dengan sedikit berfikir. Rasanya jadi Omega? Menyebalkan, tentu saja. Dia tidak bisa lagi berjalan di udara, tidak lagi bebas. Dia tidak lagi diperlakukan seperti seorang penonton, tapi pemain. Sesuatu yang Kazunari tidak sukai. Dia tidak tahu apa langkah selanjutnya, prediksi apa yang dia harus lakukan. Aspek yang bisa dia lihat hanyalah satu, dan dia tidak biasa melakukan hal itu—karena bertahan-tahun selama ini, dia selalu menjadi seorang penonton di ujung lapangan—

"Kau benar-benar harus berhenti melakukan itu!"

("Berhentilah melakukan hal itu, nodayo.")

"Melakukan apa?"

("Melakukan apa?")

(Takao menyeringai canggung—ini seperti déjà vu.)

"Itu." Kotori terlihat aneh—wajahnya terlihat merah dan matanya kemana-mana. Takao menganggap Kotori terlihat manis sekali jika seperti ini. "Melakukan ini." Kemudian tangan Kotori terbang ke bibirnya, mendemonstrasikan gerakan Takao—namun dengan gerakan yang lebih lambat, lebih halus, lebih seduktif.

"Ha?" Kazunari tidak mengerti.

"Kau tadi me-melakukan itu!" Geram Kotori. "Aku tahu itu! Gerakan Omega yang selalu menyihir orang-orang, bahkan orang biasa sekali pun! Ingat ya, Takao, kau ini bukan lagi natureless, jadi kau harus benar-benar menjaga kelakuanmu! Jangan terlihat terlalu manis, oke? Atau kau akan rasakan akibatnya nanti! Seorang omega akan terlihat lebih halus figurnya ketika mereka menginjak kedewasaan. Dan kau, kau sudah lebih dari dewasa! Uuh, bahkan aku merasa deg-degan sejenak tadi…"

Kazunari tidak mengerti apa yang Kotori bicarakan, tapi Kazunari tidak senang dipanggil manis. "Kotori-chan, walaupun aku Omega, aku tetap seorang laki-laki, kau tahu? Aku tidak senang dipanggil manis, apalagi oleh cewek imut kayak kau." Wajah Kotori bertambah marun, dan Kazunari terkekeh puas. Sepertinya perubahan jam biologisnya tidak merubah ketampanannya sekalipun. "Takao, jangan permainkan aku." Geram Kotori. Kazunari hanya nyengir. "Sudahlah, bicara dengan orang sepertimu membuat kepalaku sakit!" Kotori sepertinya sedang ngambek. Kazunari tertawa. Kazunari sudah lama tidak menggoda seseorang, karena tidak ada yang cukup dekat di kelasnya untuk dia goda (selain Yutaka, tapi mungkin Yutaka akan berhenti membantunya dalam pelajaran Ikebana kalau Kazunari berani mengganggunya sejentik nyamuk saja.)

"…Menyebalkan."

"…?"

"Rasanya jadi Omega. Menyebalkan. Kau tidak lagi berjalan dalam air—kau terperangkap didalam tanah."

.

.

.

.

.

.

.

.

Cilanjutkan ci part duaaa.

Maaf karena FF hetalia tidak kulanjutkan.

FILENYA ILANG, SODARA-SODARA.

Hal yang menyedihakn T…T

Dan saya bentar lagi UN.

Tapi feel Midotaka… T_T

Sudahlah.

On two chapter two!