Assassination Clashroom (c) Matsui Yūsei
Majin Tantei Nougami Neuro (c)
Matsui Yūsei

A/N: Headcanon dari komik Ansatsu chapter 5 page 5.
Judul; To Kill A Mockingbird (c) Harper Lee

by St. Chimaira (id: 1658345)

.

.

.


"Sudah makan yang benar, Karma sayang!?"

"Hmm."

"Semua dihabiskan?"

"Aku tidak suka paprika..."

"Jangan merajuk. Kalau mau cepat besar, jangan pilih-pilih makanan."

"Kalau mau isi piringku licin, lekas pulang dan pantau saja kegiatan makanku sampai selesai,"

Ada marah kupendam demi menghindari perkara, tanganku mengepal keras tatkala mengumandangkan penghujung kata,

"—ibu."

Lalu kuputuskan salurannya sepihak. Netraku bertaut pada ponsel di tangan sebelum melemparnya jauh ke tempat sampah. Tidak dibuang, tentu saja. Sekedar lokasi favorit belaka untuk melepas emosi diri yang menimpa.

Kalian. Semua salah kalian hingga aku tumbuh menjadi seperti ini.

Ibunda Yako, ayahanda Neuro, apa kalian mendengarnya?

Tidak, kurasa.

Aku bahkan tidak yakin kalian mempunyai anak. Bermesraan dengan tiket pesawat dan mengurusi individu yang bahkan tidak ada hubungan darah jauh lebih utama dari kehadiran yang kalian lahirkan memakai dalih buah cinta.

Aku hanyalah seseorang asing.

Bagiku, pekerjaan kalian sebagai detektif dan negosiator internasional yang cukup terkenal menjadi kutukan tanpa nama. Aku bahkan harus bertahan untuk tidak terbiasa menonton televisi—karena jika nama kalian hadir dalam salah satu jadwal acara tanpa sengaja, serefleks itu juga aku akan segera menghancurkan layar kacanya.

Sementara kalian menanggapi dengan tertawa kemudian menggantinya baru dari merk ternama.

Usahaku untuk mencari masalah sama sekali tidak menarik perhatian. Bahkan ketika skors dari sekolah menghampiriku, kalian seakan tidak peduli. Tidak mengerti. Kalian berhasil mendidikku menjadi moderator yang handal menjerit dalam hati.

Seiring usiaku bertambah, eksistensi kalian hanyalah ilusi.

Mati.

Aku—Akabane Karma perlahan-lahan mati terbunuh.

Berbekal jaket tipis kesayangan, aku menyambar ponsel yang sempat kubuang di tong sampah, mengenakan sepatu, kemudian mengampiri payung langit. Gelap tanpa awan, kulitku tidak mengacuhkan hawa dingin yang menusuk sepanjang jalan.

Kenapa kalian tidak hadir lalu memarahiku? Menasihatiku supaya mengenakan pakaian lebih tebal? Supaya tidak keluar larut karena sebentar lagi waktunya jam makan malam?

Telingaku tuli. Atau kalian yang bisu?

Kaki ini sedang menuntunku pada neraka lain yang disebut sebagai sekolah. Bangunan yang tarafnya kuanggap sedikit lebih menyenangkan dari sebuah rumah. Kalian harus tahu, aku bahkan lebih nyaman berada di sana walau kelasku baru beberapa bulan dipindah.

Meskipun posisinya terletak di puncak bukit, bukan berarti pegawai yang dipercaya mengabaikan prosedur keamanan. Jika bel pelajaran usai dibunyikan, setiap celah masuk selalu ditutup rapat, menghindari beragam kemungkinan. Misalnya saja batu taman yang kupakai untuk memecahkan kaca jendela agar leluasa masuk ke dalam.

Duduk merenung di bangku paling belakang, tanganku mengeluarkan ponsel serta pisau lipat yang sempat mengganggu dari belakang kantong celana. Baru bersantai beberapa saat, nomor yang sangat tidak ingin kulihat memanggil, merusak pemandangan mata.

"Ya?"

"Karma sayang, ada apa? Tadi kenapa teleponnya ditutup?"

"Baterainya habis."

Sehancur-hancurnya perasaan ini, aku belum mau durhaka dengan melontarkan caci maki pada orang tua. Jadi upaya terbaikku semata-mata perjuangan menelan perih serta desakan air mata.

"Kau baik-baik saja di sana, kan? Ibu dan ayah yakin kau kuat, sayang..."

Jariku menekan tombol off kedua kali dalam satu hari. Mungkin tidak terhitung banyaknya aksi serupa di hari-hari sebelumnya, karena bagiku semua merupakan momen-momen yang tidak terlalu berharga.

"Persetan. Aku mau kalian pulang."

Meraup pisau di atas meja, tanganku melemparnya sembarangan pada kalender di dinding terdekat, menancap pada tanggal yang tidak diinginkan. Persis kenyataan yang dewasa ini kuterima dalam wujud suara dan tulisan, bukan perlakuan.

"Hari ini—"

Jadi ini rasanya kehilangan asa?

Perihnya nyata.

"—hari ulang tahunku."


END