"The Last Smile"

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dulu aku tak bisa membedakan antara bermimpi dan berkhayal. Bagiku sama saja. Lalu aku ceritakan mimpi sebagai khayalan begitu pula sebaliknya. Mereka bertanya, 'Tadi kau bilang itu mimpi, yang mana yang benar?'. Sebuah kebohongan yang aku sadari bahwa aku hanya ingin menarik perhatian teman-temanku.

Dulu aku sering memarahi adik kecilku ketika ia melakukan kesalahan di depan mataku. 'Kenapa gelasnya dipecahkan?! Aku malas membersihkannya untukmu! Cepat bersihkan!' Tanpa menghiraukan sorot mata meminta maaf yang hampir menangis, kutinggalkan adik kecilku begitu saja dan kembali menggeluti permainanku yang tertunda.

Dulu aku sering menceritakan mimpi-mimpiku tanpa satupun keyakinan untuk mewujudkannya. 'Gedung ini akan menjadi tempat kerjaku suatu hari nanti. Kalian harus mengingat alamat dan cara kalian sampai disini untukku.' Aku menatap ke atas puncak gedung dari bawah saat itu. Aku tak melihat nama gedung maupun detail alamatnya. Akupun hanya menganggap angin lalu.

Aku sering memanjat pagar rumahku tengah malam untuk masuk ke dalam. Sehabis bermain sampai tak ingat waktu, aku selalu ketahuan dan berujung dipukuli ayahku. Hanya sebuah pemberontakan kecil untuk mewarnai hidupku. Padahal aku takut sekali awalnya.

Aku kerap kali melihat seorang nenek membawa anjing bersamanya yang melintasi depan rumahku. Lalu sebulan setelahnya aku tak lagi melihatnya. Nenek itu meninggal dunia. Anjingnya terus menunggunya di depan rumah berharap sang tuan ingin mengajaknya berjalan-jalan lagi.

Aku menyobek kertas di bukuku. Membentuknya menjadi sebuah pesawat kecil dan menerbangkannya bersama keinginan-keinginanku yang tertulis apik di dalamnya. 'Hey! Jangan membuang sampah sembarangan!' Akupun berlari menyelamatkan diri.

Suatu hari aku menyukai seorang pria. Aku bukan seorang gay, aku menganggap diriku hanya menginginkannya. Aku tak tertarik pada pria lain selain dia.

Dua botol infus kuhabiskan setelah mengalami kecelakaan kecil. Aku tak berhati-hati saat menyeberang jalan. Aku mengikuti kemana dia akan pergi.

Bunga adalah cantik. Cantik tidak semua bunga. Filosofi yang kupakai untuk menggambarkan cinta. Cinta adalah cantik. Tetapi tidak semua kecantikan dimiliki cinta. Contohnya cinta sesama pria seperti halnya yang terjadi padaku. Aku hanyalah manusia yang memiliki cinta. Kepada siapa aku mencintai itulah yang cacat.

Pagar jembatan penyeberangan jalan, menjadi tempatku memandanginya dari kejauhan. Aku memiliki teropong untuk melihat jarak yang sangat jauh.

Aku mengintainya diam-diam. Tetapi aku tak berani memandangi punggungnya. Bagaimana kalau tiba-tiba dia sadar kalau aku menatapnya secara terus-menerus? Jadi aku hanya memandangi matahariku dari kejauhan. Seperti arah bunga matahari memandangi cahayanya.

Aku tidak ingin memperkenalkan diri padanya. Aku sangat gugup. Aku malu tertangkap basah. Pada akhirnya aku bisa menghela napas lega. Dia hanya bertanya arah toilet terdekat.

Aku dan dia kini sudah dekat. Bukan berteman. Aku memiliki tempat duduk selisih lima bangku dengannya. Aku anggap dekat. Biasanya aku duduk di ujung kelas. Dia di ujung satunya.

Hujan tak bisa kuhentikan. Ramalanku tentang cuaca sangat akurat hari ini. Aku melihat cahaya kilat sebelum aku berucap bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

Kucing tetanggaku sangat berisik. Hari ini musim kawinnya datang. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak. Aku jadi ikut membayangkan adegan-adegan rating dewasa.

Malam ini sangat dingin. Aku sedang menunggu salju pertama turun. Aku ingin berdoa bersama salju yang turun pertama kali. Seperti halnya melihat bintang jatuh. Aku memiliki permohonan. Permohonanku adalah aku ingin saat aku mati nanti, buku ini berada di tangan yang tepat.

Di luar ruangan serba putih, tampak begitu hidup. Aku terpenjara. Di dalam rumah sakit. Aku memiliki riwayat buruk mengenai kesehatanku. Aku harus mengeluarkan gumpalan darah di otakku. Bekas kecelakaan waktu dulu.

Aku mencintai Kim Kibum. Namaku Cho Kyuhyun.

Mungkin ini adalah catatanku yang terakhir di buku ini. Aku menyayangi semua keluargaku. Ayahku, ibuku, adikku, teman-temanku, tetanggaku, kucing tetanggaku, anjing tetanggaku yang setia, lalu aku menempatkan hatiku di bagian spesialnya untuk Kim Kibum. Aku tersenyum saat kutulis pernyataan ini. Aku bahagia bertemu dengan kalian semua. Aku bahagia menjalani hidup yang singkat. Jangan sia-siakan sebuah kehidupan. Jangan sampai menyesali apapun. Hargailah semua hal walau sekecil apapun. Aku bahagia. Dan aku tersenyum sangat lebar. Aku tidak akan meminta maaf. Tapi kumohon maafkan aku untuk yang terakhir kali. Aku masih tersenyum teramat lebar.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

End.

.

.

.

.

I have nothing to say. Feel free to leave a review for this short story.