Halo reader,
Fic ini terinspirasi dari film yang sama dengan judulnya, Battle Royale, jadi sedikit banyak pasti ada kesamaan.
Warning! AU, OOC, abal, typo, gaje, dsb, happy reading n review ya!
Bleach Battle Royale
Disclaimer : Bleach © Tite Kubo
Sekitar tiga puluh siswa dan siswi kelas 2D SMU Karakura terbangun satu persatu. Masing-masing sibuk mengarahkan pandangannya pada sekitar mencari tahu dimana mereka sekarang.
"Di-dimana ini?" suara ketakutan mulai muncul dari salah seorang siswi bercepol, Hinamori Momo.
"Hoi Kira, bukankah seharusnya kita berada di bus menuju pantai?" ucap seorang lelaki berambut merah yang tidak lain adalah Renji Abarai pada seseorang berambut kuning disampingnya.
"Tempat ini… sepertinya ruang kelas yang sudah tidak dipakai lagi," Ishida seperti memberi penjelasan sambil membenarkan letak kacamatanya.
"Wargh! Ada tikus di saku bajuku!" teriak histeris Ichigo ditengah remang-remangnya ruangan.
Tiba-tiba lampu ruangan itu menyala, diikuti dengan masuknya para tentara mengitari ketiga puluh remaja yang sedang kebingungan. Kemudian masuklah seorang lelaki tua,
"Selamat! Kalian terpilih untuk mengikuti program pembentukan mental, Battle Royale!" teriak lelaki tua bernama Yamamoto Genryuusai wali kelas mereka.
"Pak Yamamoto? Apa maksudnya ini?" teriak salah seorang murid botak, Ikkaku Madarame. Diikuti gemuruh suara siswa dan siswi lainnya, membuat suasana menjadi gaduh.
"Diam kalian semua! Dengarkan penjelasan berikut ini dengan seksama, penjelasan tidak akan diulangi dan tidak ada pertanyaan, jadi diamlah atau mereka akan meledakkan mulut kalian!" bentak Yamamoto dengan menggebrak meja, spontan semua murid terdiam melihat kearah para tentara yang mengelilingi dengan senapan siap menembak.
Sebuah proyektor menyala, semua murid mengarahkan pandangannya dan berkonsentrasi pada apa yang disampaikan oleh seseorang dalam video itu.
Setelah video selesai diputar,
"Aku tidak ikut," seorang pendek berambut putih berjalan dengan santai keluar ruangan.
"Kau tidak memperhatikan penjelasan tadi?..."
"Baiklah, ini sebagai pembuktian." guru tua itu menekan sebuah tombol pada remote ditangannya. Seketika itu juga benda yang terikat di leher si lelaki menyala merah, bersamaan dengan bunyi detikan jam digital.
"Hn?" lelaki bernama Hitsugaya Toushiro ini hanya memandang acuh pada sumber suara, dan pada detikan kesepuluh, BLAR! Suara ledakan kecil terdengar bersama muncratnya darah segar dari leher Hitsugaya. Kepalanya terlepas dari tubuhnya, terlempar sekitar 1 meter akibat bom yang ditanam pada ikat leher, tepat seperti yang dijelaskan dalam video tadi.
"Ada yang mau mengundurkan diri lagi?"
Serempak seluruh siswa menjadi kalang kabut, berteriak minta tolong. Sedangkan seorang perempuan menangis terisak disebelah tubuh dan kepala Hitsugaya yang bemandi darah,
"Shiro-kun…" tangis perempuan bermata hazel ini tidak bisa berhenti melihat teman sejak kecilnya mati.
"Battle Royale resmi dimulai! Batas waktu kalian 3 hari dari sekarang!" teriak Yamamoto, diikuti para murid keluar satu-persatu dengan dibekali sebuah pedang, peta, makanan dan minuman.
Beberapa menit kemudian, di sebuah rumah tak berpenghuni.
"Hoi Szayel apa kau yakin dengan hal ini?" lelaki berambut biru langit berkata pelan.
"Sangat yakin, aku janji akan menemukan cara melepas ikat leher ini," Szayel yang berambut pink ini meyakinkan kedua sahabatnya.
"Sebaiknya kau cepat," ucap Ulquiorra singkat.
"Menurut penjelasan, ikat leher ini dilengkapi alat pelacak, pendeteksi detak jantung dan bom, jika dalam tiga hari yang masih bertahan hidup lebih dari satu orang, maka semua ikat leher otomatis meledak, jadi aku butuh bantuan kalian untuk bertahan hidup karena teman-teman yang lain sedang dalam kondisi panik dan tidak menutup kemungkinan mereka akan berusaha membunuh orang lain demi bertahan hidup, aku tidak bisa percaya orang lain selain kalian saat ini," jelas Szayel panjang lebar yang dibalas anggukan dari Grimmjow dan Ulquiorra. Lalu Szayel kembali mengutak-atik komputer yang ia temukan dalam rumah itu, sedangkan Grimm dan Ulqui berjaga di bagian jendela.
Di tempat lain,
"Sudah mulai senja, seharusnya kita semua satu kelas bersenang-senang di pantai sekarang," keluh Renji pada sahabatnya, Kira.
"Jangan lengah Abarai-kun, meskipun kita tidak berniat membunuh teman yang lain, kita tidak tahu bagaimana dengan mereka," Kira masih tetap konsentrasi pada pandangannya. Mereka berdua bersembunyi di sebuah gudang yang tidak dipakai.
"Tapi, jika kita terus begini, pada akhirnya kita akan tetap mati, tiket untuk bertahan hidup hanya ada satu, itupun harus dibayar dengan nyawa 29 teman sekelas yang lain, maksudku 28," Kira menghela nafas, keadaan yang begitu kacau saat ini membuatnya tertekan. Terutama setelah melihat apa yang terjadi pada Hitsugaya tadi.
"Hoi, hoi, jangan sampai kau memilih untuk membeli tiket itu, tenanglah, kita pasti akan menemukan solusinya," timpal Renji kembali bersiaga di sore hari yang dingin itu.
Tepi pantai,
"Mereka serius… kita semua benar-benar ditempatkan di sebuah pulau terpencil agar tidak bisa kabur dari permainan ini," lelaki berambut indigo memandangi matahari tenggelam dari tepi pantai.
"… Indah sekali," perempuan yang berdiri dibelakang Ishida berkata singkat. Mata kehijauannya berbinar memandang sang surya tenggelam.
"Tidak ada waktu mengamati matahari tenggelam Kurotsuchi, Ishida, kita harus segera menemukan Rukia," Ichigo bersiap berlari, namun dicegah oleh Ishida.
"Dari video tadi dijelaskan bahwa pulau ini dibagi menjadi 20 bagian seperti yang terpampang di peta yang tadi dibagikan, dan juga tiap 3 jam akan ditentukan satu daerah ledak, jika kita berada di daerah ledak, dalam 5 detik ikat leher ini akan meledak, lebih baik kita menunggu pengumuman dahulu sekitar 1 jam lagi," jelas Ishida panjang lebar disertai anggukan Nemu yang berdiri dibelakangnya, Ichigo menurut, memang benar saran dari temannya itu.
Di bagian lain pulau,
"Kau tidak apa-apa Rangiku?" seorang dengan seringainya melihat kearah perempuan disampingnya yang meringis menahan sakit memegangi kakinya.
"Tidak apa-apa, cuma tergores sedikit," senyuman berusaha ditunjukkan, tetapi mata birunya tidak bisa berbohong, menyorotkan rasa sakit.
"Dasar tukang bohong! Sini kulihat kakimu," lelaki berambut perak ini berjongkok. Terkejut melihat darah terus mengalir deras dari kaki Rangiku, tanpa pikir panjang Gin merobek lengan pakaiannya dan membalut luka itu.
"Nah, beres ayo jalan lagi, kita harus temukan tempat berlindung malam ini, sambil menunggu pengumuman daerah ledak 1 jam lagi,"
Mereka berdua melanjutkan jalan mereka menyusuri hutan.
"….."
"…. Apa nanti kau akan membunuhku Gin?"
Ichimaru Gin menyeringai tanpa jawaban pada perempuan berambut coklat itu. Seringai yang tidak dapat diartikan oleh sang perempuan, Rangiku.
Beberapa ratus meter dari tempat itu,
"….."
Tidak ada perbincangan sama sekali antara dua lelaki ini. Mereka berdua entah sedang memikirkan apa. Menjadikan perempuan yang bersama mereka gelisah.
"A-anu, Kuchiki-kun, Aizen-kun, selagi menunggu pengumuman daerah ledak, kalian bisa membantuku menyalakan api unggun?" perempuan bermata violet ini bertanya dengan ragu-ragu.
"Baiklah, aku akan mencari kayu bakar, Byakuya-san disini saja menemani Hisana-san," Aizen beranjak pergi.
"Kita pasti bertemu adik kembarmu," ujar Byakuya singkat dan berusaha menyalakan api dengan sedikit kayu yang ada. Hisana mengangguk, sedangkan Aizen sedikit menyesali tindakannya membiarkan mereka berdua saja.
Belahan pulau lainnya (lagi?),
ZLEBB!
"HAHAHAHAHA!" seorang lelaki tertawa puas dengan darah mengalir di tangannya yang menggenggam sebilah pedang.
"U-ugh..Ke-keparat… kau… Nn-Nnoitra…"
Seketika, Nnoitra mencabut pedang dari perut Tousen. Tapi seakan belum puas, ia menusuk-nusukkan pedangnya lagi pada tubuh Tousen yang terbaring di tanah. Tidak jarang ia tertawa keras, merasa hobi anehnya telah tersalurkan. Tawa yang menggema di tengah sepinya hutan.
Tiga perempuan yang sedari tadi melihat dari balik semak menutup mulut masing-masing. Menahan suara teriakan yang akan keluar. Berharap orang yang diamatinya pergi menjauh.
To Be Continued
Review yah!
