A/N.

H—Hai, ini pertama kalinya saya berdiri di fandom Vocaloid (padahal masih awam orz). Dulu saya samasekali nggak ngerti Vocaloid itu apa (sekarang juga masih level 0). Jadi mohon maaf bila fanfic saya ga jelas begini, para senpai-tachi yang terhormat! Oke, mohon maaf bila mengganggu fandom ini dan tolong bimbing sayaaaa! Cerita terinspirasi dari magnet (err, padahal jauh banget dari magnet, tapi kepikirannya malah ini).

Disclaimer.

Vocaloid milik Yamaha, Crypton Future Media, dan segala penciptanya.

Genre.

Friendship/Angst

Rating.

15+/Teen

Warning.

OOC, typo, AU, violence-blood, mungkin di beberapa chapter selanjutnya hint Shoujo-ai mulai terasa.


Rambut hijau toskanya yang melambai-lambai pelan sesuai gerak-geriknya berlari adalah salah satu ciri khasnya. Gadis belia berumur lima belas tahun tepat itu tengah terburu-buru menuju ke sekolahnya. Padahal sudah biasa ia terbangun (terlalu) pagi, namun matanya yang mengantuk menyuruhnya berbaring kembali dan inilah hasilnya: sebuah kata yang dibenci murid sekolahan di awal minggu, diawali huruf t, diakhiri huruf sama, sembilan huruf. Terlambat.

Sudah beberapa bulan semenjak hari-hari baru di Yamaha High School mulai bergulir, tetap saja seorang gadis dengan ID Card bernama Hatsune Miku itu telat datang ke sekolah, rumahnya memang agak jauh, perlu sedikit menyambung kereta dan lari estafet antar tempat penjualan tiket.

Biasanya akan ada beberapa teman yang ia temui, namun entah kenapa ia tidak melihat siapapun di stasiun yang berseragam sama dengannya—siapapun boleh asal bisa menemani keterlambatannya. Beristirahat sejenak di tiang penyokong stasiun terdekat sekolah sebelum sprint sekali lagi, matanya menangkap keberadaan seseorang—

Seseorang yang tinggi, terlihat seperti senpai baginya, dilihat dari seragam yang sama dengannya. Surainya terlihat pucat, tidak terlihat warna jelasnya, serta menyala mencolok tertimpa mentari pagi, tas tangan yang ia bawa turut menambah betapa elegan sosoknya di mata seorang Hatsune Miku.

Namun, seketika Miku ingin menyapanya—

(—Ia sudah lenyap dari sisi matanya.)


Chaos Hearts

2011 (c) Kuroi-Oneesan


[Chapter 1 – Matryoshka]

"Telat lagi, eh, Miku~?"

Suara ringan Kagamine Rin, teman sekelas Miku yang menyambut Miku setelah ia terkena damprat guru untuk lari beberapa keliling lapangan sebelum memasuki kelas seakan sebagai ajakan berantem. Untungnya, pelajaran pertama yaitu literatur Jepang jarang sekali ada gurunya, sehingga Miku dengan santai merebahkan diri di lantai dingin.

"Hoi, hoi! Jangan tidur disitu, menghalangi jalan, tahu!" hardik Kagamine Len, saudara kembar Rin yang berada di kelas berbeda—walau sebelahan sih. Pemuda itu sudah siap menginjak Miku tanda bercanda.

"Sudahlah Rin-chan, Len-kun, aku capek..." desahnya pelan.

Rin berjongkok di sebelah 'mayat' Miku, membelai rambut toskanya. "Makanya, pasang weker. Atau suruh saja Mikuo-san menyiram air dingin untukmu tiap pagi."

"Ugh, iya, iya!"

"Oh ya, kau tahu Miku-chi? Mulai sekarang kau harus lebih hati-hati kalau pulang sore dari sekolah, lho?" Sang pemuda kembar itu mengedipkan sebelah mata. "Kudengar sekarang ada banyak korban bullying yang ditemukan berdarah dan tidak sadarkan diri di sekitar sekolah!"

Menepuk kepala Len agak lembut dengan sisi buku literaturnya, Rin membalas cerita Len dengan tatapan ngeri. "L-Len! Jangan membuatku takut!"

"Aduh—Ayolah Rin! Ini hanya rumor yang diberitahukan Neru dan Gumi padaku!" Len mengaduh.

Sementara, Miku yang tampak terkesima bercampur penasaran yang terlihat jelas dari raut wajahnya mulai menarik informasi.

"E-Eeh? Benarkah? Ceritakan lagi, Len-kun!"

"Hah? Oke." Pemuda berambut kuning itu mengangguk. "Neru bilang kalau seluruh korbannya wanita!"

Miku yang masih berbaring di tanah berpangku tangan, sedikit menaikkan alis. "Jangan-jangan kamu ya, Len-kun? Kau kan playboy?"

"Hah, hahahahaha! Lawakan bagus, Miku!" Rin tidak bisa menahan volume tawanya. "Tidak mungkin orang selembut Len melakukan bully, bahkan sampai membuat cewek berdarah-darah begitu..."

"Apa maksudmu aku ini lembut, Rin!"

Sebelum memberikan kakaknya sedikit balasan, Len sudah meninggalkan kelas seketika Neru dan Gumi memberi kode dari luar jendela kalau guru Matematika sudah masuk kelas mereka. Sementara, Rin dan Miku masih terus mengobrol—entah tentang acara TV, lawak garing sampai fesyen tidak jelas. Di sebelah kursi Miku terdapat kursi kosong tepat di pojokan dekat jendela belakang, sementara meja Rin ada di tengah-tengah keramaian kelas berkapasitas hingga 40 orang itu.

Sesekali, Miku yang bosan dengan pelajarannya akan membuang muka menatap ke arah meja tersebut. Meja yang benar-benar tidak ada penghuni, tidak pernah diduduki, tidak pernah dijamah siapapun. Gadis itu perlahan melihat ke arah meja seraya masih tetap di areal pembicaraan Rin.

"Ada apa, Miku?" Rin yang kala itu bertopang dagu memperhatikan gelagat Miku yang dirasanya aneh. "Meja kosong dilihat terus tetap saja kosong."

Terbawa penasaran dan tidak tergerak dari arah meja tersebut berada, Miku bertanya. "Itu...kira-kira meja siapa, ya?"

"Entahlah, dari kita masuk meja itu sudah kosong, kan?" balas sang kembar acuh-tak-acuh. "Penasaran juga sih, tapi bahkan Gumi dan Yowane-senpai tidak tahu siapa yang ada disana."

"Eeh? Kau sudah bertanya pada Yowane-senpai segala?"

"Hah? Iya dong, ia kan senior klub musikku, masa tidak kutanyai?" ucap Rin. "Yaah~ walau dia sangat pemalu dan sulit kuajak bicara sih."

"Mungkin kita harus bertanya ke OSIS, atau bahkan guru—" Miku menggeleng seketika, memotong kalimatnya sendiri barusan. "Aah! Aku memang terlalu ingin tahu."

Walau, setelah pembicaraan mereka berlanjut hingga guru pelajaran kedua datang, Miku masih terus memikirkan sosok penghuni meja di sebelahnya tersebut. Entah apa yang terlintas di pikirannya, namun keberadaan yang hilang itu terus mengganggu Miku hingga pelajaran hari itu berakhir dengan damai.

x x x

Sepulang sekolah, Miku belum pulang ke rumah akibat aksi terlambatnya pagi itu. Beberapa guru menasehatinya berulang-ulang selama dua jam di ruangan konseling. Setelah mendapat cap kesalahannya di kartu kehadiran, dengan gontai sang gadis berkuncir dua itu mengayun kakinya keluar sekolah dengan raut wajah lesu bercampur kesal.

Dilihatnya langit yang tengah kemerahan, burung-burung mulai terbang ke arah matahari, pertanda bahwa sudah cukup lama ia berada di sekolah dan harus pulang sebelum matahari tenggelam atau ia harus berdesakan dengan kereta berisi pegawai kantoran. Miku tepat keluar sebelum gerbang sekolah ditutup.

(Tetapi, tidak disangkanya, ada yang menantinya di luar gerbang sekolah tanpa sepengetahuannya—)

Beberapa gadis yang manis dan cantik dengan tinggi semampai dan perawakan model serta seragam sekolah berbeda dengannya tampak membuat barisan di depan gerbang Yamaha High. Terlihat bahwa badge sekolah mereka menunjukkan bahwa mereka berasal dari Vocaloid High, sekolah yang berada di kota sebelah dan merupakan rival utama Yamaha High dalam berbagai strata.

"U—Umm...senpai-senpai sedang mencari seseorang?" menelan ludah, Miku mengajak bicara.

Gadis yang terlihat paling menonjol, dengan rambut pendek berwarna cokelat yang kemerahan tertimpa cahaya sisa matahari pun maju beberapa langkah tepat di depan Miku yang mulai merasa gentar. Gadis berambut hijau toska itu jelas merasakan bahwa keadaan ini bisa jadi berbahaya untuknya.

"Ah, tepat sekali." Gadis itu tersenyum, lalu berpangku tangan. "Kebetulan aku ada perlu denganmu, Hatsune Miku-san."

Gadis berambut hijau toska itu jelas tersentak, ia pun berusaha mundur beberapa langkah menjauhi jarak pandang gadis itu—bagaimana gadis di hadapannya itu bisa mengetahui namanya?

"Siapa kau? Perlu apa kau denganku?" dengusnya dengan nada menggertak, tangannya mengepal di jahitan roknya.

"Tenang saja, kami tidak akan melakukan apapun padamu jika—" gadis yang berasal dari Vocaloid High itu menjentikkan jari. "—Selama kau menjawab pertanyaanku dengan jujur."

Seketika deretan gadis yang dibawa oleh orang itu mengeluarkan bermacam senjata, mulai dari sebalok kayu rapuh hingga pipa besi berkarat. Mereka mengelilingi Miku dengan sigap. Miku memicingkan matanya, melihat keadaan dengan pasif selagi mendengarkan ocehan lawan bicaranya tersebut.

"Bisa tolong kau serahkan Black Snow pada kami?"

"Black...Snow?" nama panggilan tersebut terasa aneh di telinga Miku, siapa yang mereka sebut, sebenarnya?

"Hoo, kau tidak tahu toh? Payah sekali." Tawa renyah keluar dari bibirnya. "Kalau begitu, saatnya menutup mulutmu, ya?"

Gadis berambut pendek itu memberikan makanan pembuka, sebuah pukulan mengarah cepat ke arah wajah Miku—yang untungnya bisa ia tangkis sempurna.

Melihat kepalannya dihindarkan oleh gadis berambut hijau toska itu, seringainya muncul. "Hoo? Boleh juga. Kau ternyata pengguna Kempo, eh?"

"Jangan remehkan aku, cewek bodoh!"

Miku berusaha membalik keadaan, tangan kirinyanya menjaga tangan kanan yang ia tepis tadi dan berusaha melayangkan tendangan ke arah perut sang lawan, namun—

DUAK

Tanpa disadari Miku, salah satu bawahan gadis penyerang itu sudah melayangkan pipa besi ke arah kepalanya dan membuatnya tak berdaya ke arah tanah, darah mengalir pelan dari kepalanya. Miku mengerang kesakitan, kesadarannya setengah melayang akibat pukulan ke bagian rentan tersebut. Gadis yang melihat Miku sudah tersungkur di tanah pun menginjaknya tanpa ampun.

"Wah, wah, kupikir akan menarik, tetapi semuanya sama saja, ya?" gadis itu berucap dengan nada kebosanan, sambil kakinya menapaki gadis yang tak berdaya dibawahnya bagaikan alas. "Mungkin besok kita harus langsung ke ketua OSIS mere—"

"Cukup—Meiko."

Melirik sedikit ke arah asal suara lain, Miku menangkap keberadaan seseorang yang memanggil gadis berambut cokelat itu. Memfokuskan pandangannya ke arah atas, maniknya menangkap sosok seseorang yang ia temui di stasiun kereta pagi itu—

(Surainya terlihat pucat, tidak terlihat warna jelasnya, serta menyala mencolok tertimpa mentari pagi—)

—Surai merah muda yang menggelap karena matahari, manik berwarna senada, serta seragam sekolah yang sama dikenakan Miku. Siapa orang itu?

"Wah, wah? Kita lihat siapa yang datang kesini—ternyata sang Black Snow!" masih menginjak Miku, gadis yang disebut Meiko tadi menyambut kedatangan orang yang dicarinya. "Atau harus kubilang, Megurine Luka-san?"

"Aku tidak butuh ocehanmu, pergilah dari sini."

"Hmph, memangnya aku akan mundur semudah itu?"

Menjentikkan jarinya sekali lagi, Meiko menyuruh para bawahannya maju. Dengan senjata di tangan, jelas menurut Miku, pertarungan itu tidak adil. Tak disangkanya, dengan mudah gadis bertitel Black Snow itu melakukan beberapa tendangan yang menyingkirkan seluruh penantangnya. Mulai dari tendangan rendah yang meluluh-lantakkan barisan terdepan hingga sliding langsung menuju kaki untuk menghindari pemilik pipa besi mengenainya.

"Sudah puas, Meiko?" matanya melirik tajam kepada sang bos yang kini meratap seluruh anak buahnya sudah berhamburan di tanah.

"Ah~ ya. Seperti yang sudah kuperkirakan." Meiko menaruh telunjuknya di sebelah bibirnya, matanya sedikit melirik jam tangan yang ada di pergelangan kirinya. "Sudah saatnya aku pulang, Luka-san."

Luka diam saja melihat Meiko dan seluruh anak buahnya tertatih pergi dari sana. Pandangannya kini teralih pada gadis lain yang tengah menjadi korban disana.

"H-Hei, kau tidak apa-apa?" ekspresi yang ditunjukkan oleh gadis bersurai merah muda itu tampak sangat khawatir di manik biru Miku yang masih mengadah ke atas.

"I—Iya..."

Miku hendak bangun dari tidurnya di tanah gravel tersebut, akan tetapi Luka meraih tangan Miku sebelum gadis bersurai toska itu bisa berkomentar apa-apa.

"Ikut aku," ucapnya.

"Ti-Tidak usah, aku bisa—"

"Sudahlah, ayo ikut denganku."

Luka pun membimbing Miku ke suatu tempat. Beberapa meter dari sekolah, ada sebuah taman bermain kecil yang sudah sepi pengunjungnya. Walau taman tersebut telah sepi, seluruh permainan, seperti bak pasir, ayunan dan banyak hal lain tampak tidak kesepian di sana. Luka mendudukkan Miku di bangku taman yang tepat diantara pepohonan rindang di sebelah bak pasir berisi ayunan. Luka mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna putih dari dalam sakunya, dan menuju pancuran air terdekatnya. Miku memperhatikan gadis itu seraya meringis.

"Ti, tidak usah, Luka-san. Aku bisa mengobati luka ini sendi—"

Segala celotehan Miku terkunci seketika sapu tangan yang dingin berbalut air itu bertemu dengan muara dimana darahnya mengucur.

"Sakit, kan?" Luka memelankan tangannya, masih berusaha membersihkan darah Miku. "Tunggu disini, ya? Aku akan membelikan antiseptik dan perban di toko seberang sana."

Luka melepas tangannya dari sapu tangan dan berlari pergi. Miku melihat ke arah sapu tangan milik Luka tersebut setelah menyeka sebagian besar darah yang percuma mengalir mengotori bajunya dan juga wajahnya. Pemandangan darah mengotori sapu tangan yang indah itu membuatnya tidak enak hati—sebenarnya, siapa Megurine Luka itu sebenarnya? Lalu 'Meiko' tadi? Dan apa maksudnya soal Black Snow?

Menghela nafas sejenak, Miku berusaha rileks. Kejadian tadi bagaikan cahaya baginya.

"Maaf, kau sudah menunggu lama?"

Tidak terasa, ketika Miku tenggelam dalam pikirannya, Luka kembali datang—kini dengan plastik berlabel logo palang merah. Luka duduk di sebelah Miku, mengeluarkan seluruh isi plastik yang berupa antiseptik, providine iodine, kapas lemak, pinset dan perban.

"Kau akan kuobati tapi—" Luka mengambil kapas lemak sedikit, dijepitnya dengan pinset serta kapas dituangi antiseptik. "—tahanlah sakitnya. Ini pasti akan menyakitkan."

"Errm...o-oke."

Sungguhpun demikian, sang Hatsune Miku tidak bisa menahan jeritan penuh sakit yang keluar dari mulutnya hingga tenggorokannya kering.

x x x

Sang surya sudah tenggelam, kini sekitar mata Miku bagian kanan diperban karena asal mula darah berasal dari kepala bagian depan sebelah kanan. Ditilik dari cara mengobati, Miku bisa menyimpulkan bahwa tangan Luka sangat terampil, dalam banyak arti. Ketika Luka tengah mencuci tangan setelah menangani pendarahan Miku, beberapa pertanyaan terlintas kembali di benak sang gadis bersurai toska tersebut. Mengenai Megurine Luka dan mengapa gadis bersurai merah muda itu mengenakan seragam Yamaha High.

"U-Umm, Luka-san?" bibir Miku terbuka.

"...Ya, ada apa?"

"Kau...senpai-ku, kan?"

Tidak ada jawaban.

"Luka-san...?"

Jemari Luka tampak menutup keran, ia tidak menampakkan wajah ke arah Miku. "—Pulanglah, malam sudah tiba."

Gadis itu diam mendengar reaksi subyek yang ditanyakan. Urung melakukan apapun, Miku hendak pergi dari tempat, sebelum akhirnya Luka menghentikannya dengan perkataan tanpa menghadap Miku.

"...Siapa namamu?"

"Aku Hatsune Miku, kelas 1-2 Yamaha High."

(Dan mereka berdua bertukar nama. Segalanya baru saja dimulai.)

.

Bersambung


trivia.

[1] Kempo ialah seni bela diri Jepang yang penggunaannya banyak memakai permainan teknik tangan. Miku belajar teknik Kempo oleh kakaknya, Hatsune Mikuo, sebagai bentuk self-defense di setting cerita ini.

[2] Kickboxing ialah seni beladiri untuk self-defense yang berupa tendangan dan pukulan.

[3] Black Snow nama panggilan Meiko untuk Luka. Diambil dari atribut lagu-lagu Luka. Awalnya ingin saya namai Snow Queen.

a/n.

Chapter 1 selesai! Akhirnyaaaaa! Saya nggak nyangka bisa sampai 1k lebih—Ehem, maaf ceritanya SAMASEKALI nggak jelas begini. Saya cuma mau menambahkan kalau di chapter-chapter selanjutnya mungkin banyak hint shoujo-ai seperti yang saya bilang. Segalanya akan diceritakan satu-persatu kok, mohon supportnya! Terima kasih atas para pembaca, sampai jumpa di chapter selanjutnya!

[next chapter / Chapter 2 – Meltdown] — stay tuned!