Disclaimer ©Tite kubo
(Bleach bukan punya saya)
.*.
Not a Cinderella Story
by
Ann
.*.
Peringatan: AU, OOC (Sesuai kebutuhan cerita), Typo(s),
tidak suka? Mungkin bisa tekan tombol 'Back' atau 'Close'
Dan untuk kalian yang berniat meneruskan membaca ...
selamat menikmati!
.*.
Ketika sang pangeran baru saja pergi dari kehidupanku, aku tak berharap pangeran lain akan segera masuk untuk menggantikannya.
.*.
Akhirnya, Cinderella dan pangeran hidup bahagia untuk selamanya.
Rukia menutup salah satu buku cerita Cinderella yang ia temukan di dalam sebuah kamar. Beberapa saat yang lalu, ia masuk ke kamar tersebut, berniat membersihkannya. Namun, pemandangan rak setinggi dua meter yang dipenuhi buku-buku menarik minatnya, membuat gadis berambut hitam itu untuk sejenak terlupa akan kewajiban.
Sebagian besar rak itu diisi buku nonfiksi bisnis, kamus istilah bisnis, dan buku resep masakan. Hanya di bagian rak terbawah yang diisi dengan buku bacaan ringan, beberapa di antaranya adalah novel romantis sedang sisanya dijejali dengan buku-buku dongeng. Putri Salju, Rapunzel, Putri Duyung, Putri Tidur, dan berbagai cerita bertema putri lainnya berjajar rapi, dan di antara semua itu tangan Rukia malah memilih mengambil buku tentang sang Upik Abu.
Rukia menarik napas panjang sambil membawa buku yang tadi di bacanya ke dalam dekapan. Kisah Cinderella selalu menjadi favoritnya. Dulu, ketika di panti asuhan ia selalu membaca buku dongeng Cinderella di pojok ruangan, sementara teman-temannya bermain dengan riang entah di dalam ruang bermain maupun halaman.
Entah mengapa kisah Upik Abu selalu mampu menggetarkan hatinya, padahal ia sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan tokoh fiksi itu. Ia tak memiliki seorang ayah saudagar kaya yang meninggal ketika usianya masih belia, ibu tiri tamak yang hanya menginginkan harta dan selalu menyuruhnya bekerja, atau dua saudara tiri yang membuat kehidupannya semakin sulit. Rukia tak memiliki semua itu, bahkan bisa dikatakan ia tak memiliki keluarga. Satu-satunya yang ia anggap sebagai keluarganya adalah Manna-san, seorang wanita paruh baya yang mengepalai panti asuhan tempatnya tinggal hingga berusia 18 tahun. Mungkin ketiadaan keluarga membuatnya berharap bisa menjadi seorang Upik Abu. Bukan tentang penderitaannya, tetapi mengenai kehidupan bahagia selamanya yang didapat Cinderella di akhir cerita.
Cerita seperti itu hanya ada di negeri dongeng. Berkali-kali Rukia mengingatkan diri sendiri, namun hatinya dengan bebal terus berharap bisa menemukan pangeran tampan dan menemukan akhir bahagia. Meski pangerannya nanti bukan benar-benar pangeran, dan tempat tinggalnya bukanlah istana, melainkan sebuah rumah mungil dengan taman kecil di halaman sampingnya, Rukia tetap akan bahagia.
Rukia memandangi sampul buku cerita anak itu sekali lagi seakan tak rela melepasnya. Dengan berat hati, akhirnya buku itu ia kembalikan ke rak dan melanjutkan pekerjaan. Ia harus membersihkan kamar itu sebelum siang, jika ingin mendapatkan tambahan libur setengah hari sehingga ia bisa pergi berkunjung ke panti dan menemui Manna-san, juga anak-anak di sana. Dan jika beruntung ia bisa bertemu orang itu.
Bekerja sebagai asisten rumah tangga atau lebih tepatnya staf kebersihan di sebuah rumah besar memang bukan perkara mudah. Setiap hari selalu ada bagian yang harus dibersihkan, entah itu di lantai satu, dua, atau tiga. Belum lagi sprei dan tirai yang harus diganti secara rutin, seminggu dan sebulan sekali. Lalu juga ada kaca-kaca jendela yang besar dan tinggi yang harus selalu bersih. Semua itu menjadi pekerjaan rutin Rukia dan tiga orang staf lainnya. Mereka berempat akan mendapat jatah libur secara bergiliran, dan besok adalah hari libur Rukia. Tapi dengan sedikit keberuntungan─jika mengerjakan pekerjaannya dengan cepat─ia akan mendapat libur ekstra setengah hari.
Dengan bersenandung kecil, Rukia menutup tempat tidur king size di kamar utama dengan bed cover, lalu menyusun bantal-bantal di kepala tempat tidur. Setelah merasa puas dengan pekerjaannya, ia beranjak keluar sambil membawa kereta dorong yang berisi alat-alat kebersihan.
"Rukia-chan, kau sudah selesai?" Momo, rekan kerja Rukia, yang baru keluar dari kamar di sebelah Rukia menyapa.
"Ya, bagaimana denganmu?" Rukia balas bertanya.
"Masih ada satu kamar lagi yang harus kubersihkan," jawab Momo.
"Mau kubantu?" Rukia menawarkan. Namun, gadis bercepol itu menggeleng pelan.
"Tidak usah. Kau mau berkunjung ke panti, kan?" ujar gadis itu. "Pergilah. Aku bisa menganganinya, hanya satu kamar lagi kok."
"Baiklah. Aku pergi dulu, Momo-chan."
Sementara Momo berbelok masuk ke kamar tidur, Rukia mendorong keretanya ke ruang penyimpanan. Setiap lantai di bagunan bertingkat tiga tempat Rukia bekerja memiliki ruang penyimpanan, untuk memudahkan staf kebersihan sepertinya menyimpan peralatan. Rukia sangat bersyukur dengan kemudahan itu, karena jika harus mengangkut peralatannya dari lantai ke lantai akan sangat melelahkan dan memperlambat pekerjaan.
Setelah menyimpan peralatan di ruang penyimpanan, Rukia melangkah menuju tangga, kakinya dengan lincah menuruni tiap anak tangga hingga mencapai lantai dasar, kemudian ia berbelok ke sayap kiri bangunan, di mana kamarnya serta kamar staf rumah tangga lain berada. Dengan cepat ia berganti pakaian, memakai mantel dan syal guna melindungi diri dari angin musim gugur yang menggigit.
Setengah jam kemudian, Rukia turun dari bus dan melangkahkan kaki ke tempat yang ia tuju, sebuah panti asuhan di Karakura. Sebelumnya ia menyempatkan diri membeli buah-buahan beserta berbagai bahan makanan, karena hari ini ia berencana memasak untuk seluruh penghuni panti.
Udara sudah terasa dingin, padahal musim gugur baru mencapai pertengahannya, dan akan semakin dingin ketika memasuki musim dingin nanti. Musim dingin selalu menjadi yang terburuk dari tiga musim lainnya bagi Rukia. Ia ingat ketika dirinya meringkuk di balik selimut tipis yang tak mampu menghalau dingin di malam hari sambil menggigil, dan menanti pagi tiba agar bisa menikmati semangkuk sup hangat. Hari-hari itu memang sudah berlalu, namun kenangannya masih terukir dengan jelas dalam ingatan. Rukia pikir ia akan menghabiskan gajinya bulan ini untuk membelikan selimut bagi anak-anak di panti. Setidaknya, dengan hasil kerja yang ia dapat setiap bulan yang jumlahnya tidak terlalu besar, ia bisa meringankan sedikit penderitaan anak-anak yang tak lagi memiliki orangtua itu.
Di kejauhan Rukia sudah melihat pagar bangunan yang ditujunya. Ia mempercepat langkah, ingin segera melepas rindu dengan ibu angkatnya. Langkahnya melambat ketika ia melihat seseorang berdiri di depan pagar. Ia mengenali orang itu. Bagaimana bisa ia melupakan jika pria itu selalu berada di hatinya.
"Ah, Kuchiki!" Wajah pria itu berubah cerah ketika melihatnya. Tersenyum senang menyambut kedatangannya. "Kau mau berkunjung juga? Kebetulan sekali."
Kebetulan? Tidak. Bagi Rukia ini adalah takdir. Sebuah nasib baik ketika ia kembali dipertemukan dengan pangerannya.
"Lama tak berjumpa, Ishida-san," Rukia menyapa dengan sopan, menyunggingkan senyum terbaiknya pada sang pria pujaan.
"Bagaimana kabarmu?" Pria berkacamata itu bertanya sambil mengambil kantong plastik yang Rukia bawa. "Biar aku saja." Dengan cepat semua beban berpindah ke tangan kurus pria itu yang ternyata menyimpan kekuatan di baliknya.
"Baik. Bagaimana denganmu?"
"Sebaik biasanya," sahut Ishida. "Apa kau berencana untuk memasak untuk anak-anak?"
Rukia mengangguk. "Seperti biasanya." Ia meniru jawaban Ishida tadi.
"Kuharap kau bisa melebihkan satu porsi, karena aku juga ingin ikut makan," kata Ishida sembari mendorong pagar kayu hingga terbuka.
"Tentu saja, aku akan sangat senang menyiapkannya untukmu." Wajah Rukia memerah seketika saat menyadari bahwa dirinya menjawab dengan terlalu bersemangat. "Ma-maksudku─"
"Aku jadi tidak sabar, sudah lama sejak terakhir aku makan masakanmu, Kuchiki," potong Ishida. "Ayo cepat masuk!" Dengan tangan yang bebas Ishida meraih tangan Rukia, lalu menariknya melewati pagar.
Rukia mengikuti setiap langkah pria itu dengan wajah semerah tomat dan senyum yang berusaha ia sembunyikan.
.*.
Rukia memasak dengan cepat, tak sampai satu jam ia sudah selesai membuat kari, dan kini bersiap menuangkan masakan itu di atas nasi-nasi hangat yang sudah dimasukkan ke piring oleh tiga anak perempuan yang membantunya memasak hari ini. Seperti anak-anak yang tidak sabar untuk makan, Rukia pun merasakan hal yang sama. Bukan bagian makannya, melainkan penantian penuh antisipasi bagaimana reaksi Ishida Uryuu setelah memakan masakannya.
Sebenarnya, Ishida sudah sering memakan masakan Rukia. Tapi entah mengapa hari ini terasa spesial. Mungkin karena tadi pagi Rukia baru membaca dongeng Cinderella dan siangnya ia langsung bertemu dengan sang pangeran. Ishida adalah pangeran impian Rukia sejak dua tahun lalu.
Itu adalah pertemuan yang tak disengaja. Namun, bukan pertemuan pertamanya dengan Ishida Uryuu. Dokter muda itu adalah donatur tetap untuk panti asuhan tempat Rukia tinggal, sehingga mereka seringkali bertemu. Tapi itu hanyalah pertemuan biasa, tak pernah terasa istimewa. Hari itu adalah hari pertama ia bekerja. Setelah menamatkan pendidikan di SMA, Rukia memang langsung memilih bekerja, dan mengambil pekerjaan pertama yang ditawarkan padanya sebagai staf kebersihan. Ia begitu gugup sehingga pikirannya sedikit teralihkan ketika menyeberang jalan. Rukia tak menyadari jika lampu sudah kembali hijau, dan kendaraan sudah mulai kembali melaju, sementara dirinya masih berada sekitar dua meter dari bahu jalan. Ia baru menyadari hal itu, ketika suara klakson memasuki telinganya. Rukia menoleh, sebuah mobil melaju ke arahnya. Panik. Rukia tak bisa melakukan apa pun, ia hanya berdiam ketika mobil itu hampir menyambar tubuhnya. Sedetik sebelum tubuhnya berbenturan dengan bagian depan sedan hitam itu, Rukia merasakan tangannya ditarik dengan kuat. Kehilangan keseimbangan, ia jatuh ke depan. Tapi bukannya menghantam jalan dan berakhir dengan mencium aspal, ia malah membentur tubuh seseorang sehingga tak merasakan sakit sedikit pun.
Rukia masih mengingat betul hari itu. Ketika Ishida Uryuu menyelamatkannya dari kecelakan. Ketika jantungnya melewatkan satu degupan. Ketika untuk pertama kalinya ia merasakan kekaguman pada lawan jenis. Jatuh cinta. Begitulah tepatnya yang Rukia rasakan. Hari itu ia menemukan pangerannya.
.*.
Piring-piring sudah dibersihkan, di tata rapi di tempatnya semula. Beberapa anak keluar bermain, beberapa lagi masuk ruang belajar atau ke kamar untuk tidur siang. Sementara Manna-san menyelesaikan pekerjaannya di kantor kepala panti dan pengurus panti lain kembali melakukan pekerjaan mereka, Rukia tertinggal bersama Ishida. Mereka duduk di halaman samping sambil memerhatikan anak-anak yang tengah bermain.
"Datang ke sini selalu membuatku tenang," ujar Ishida.
"Di tempat seberisik ini?" tanya Rukia tak mengerti.
"Ya. Bagiku, keramaian lebih menyenangkan daripada keheningan. Setidaknya, aku tidak merasa kesepian," jawab Ishida.
Rukia sering mendengar kata-kata serupa dari Ishida, namun ia tak penah bertanya atau menggali lebih dalam tentang hal itu. Ia tak merasa memiliki hak untuk menanyakannya. Tapi hari ini, ia ingin bertanya. Ingin tahu lebih banyak tentang pangerannya.
"Itu sebabnya kau selalu datang?"
"Ya, alasan awalku memang itu. Lalu, kemudian aku memiliki alasan lain untuk datang," jawab Ishida. Kepala pria itu tertoleh pada Rukia, matanya menatap lurus ke mata Rukia. Seketika jantung Rukia memacu. Tak bisa dipungkiri ia berharap alasan lain itu adalah dirinya, dan melihat cara Ishida menatapnya, Rukia semakin berharap. "Kau tahu, aku menemukan banyak hal di sini. Keluarga, kasih sayang, dan cinta."
Cinta. Semoga dirinya adalah cinta yang Ishida maksud. "Ya, tempat ini memang memberikan banyak hal. Apalagi untuk orang sepertiku yang menghabiskan seluruh masa kecilnya di sini. Tempat ini adalah satu-satunya rumah yang kutahu."
"Ya. Tapi pada akhirnya kau akan menemukan rumah yang baru. Sebuah rumah mungil dengan taman kecil di halaman sampingnya. Benar, kan?"
Hati Rukia bersorak girang karena Ishida mengingat impian kecilnya. "Terima kasih sudah mengingatnya," ucapnya. Dan aku akan lebih berterima kasih lagi jika kau mau mewujudkannya. Namun, kata-kata itu hanya tersimpan dalam hati.
"Suatu hari kau akan menemukan pria yang bisa mewujudkan impianmu itu."
Deg!
Kata-kata itu adalah isyarat. Sebuah tanda agar Rukia mematikan perasaannya. Mengubur cinta yang selama dua tahun terakhir mengisi hatinya. Jadi, ia bukanlah alasan lain Ishida datang ke panti. Ia tak pernah menjadi seorang yang penting bagi pria itu. Jika tidak, kata-kata pria itu pastilah seperti ini: "Suatu hari kau akan bisa mewujudkan impianmu itu, bersamaku."
.*.
Patah hati bukanlah sebuah perasaan yang menyenangkan. Sudah tentu. Bukankah kata "patah" sendiri sudah menyiratkan sesuatu yang menyakitkan.
Rukia tidak menyukai keadaan ini. Di mana ia tak bisa merasakan sedikit pun kebahagiaan. Tentu saja, ia sudah mencoba berbagai cara untuk tertawa, namun yang bisa ia lakukan hanyalah menyunggingkan senyum pura-pura. Di depan semua orang ia menampakkan diri sebagai seorang yang bahagia, tapi ketika sendirian dalam kamarnya topeng itu terlepas seketika. Bahkan tak sekali dua ia jatuh tertidur setelah lelah menangis.
Sebulan. Butuh waktu selama tiga puluh hari agar keadaan membaik, dengan luka yang tak menutup sempurna. Namun, paling tidak ia sudah berhasil memberi senyum tulus kepada orang-orang di sekitarnya, dan yang terpenting tak ada lagi air mata tersia-sia untuk menangisi kasih tak sampainya. Ia kembali menjadi Rukia yang tegar. Gadis yang menghabiskan enam hari dalam seminggu menjadi tukang bersih-bersih. Yang mengumpulkan setiap sen uangnya untuk membeli rumah impiannya. Ya, Rukia masih menggenggam impiannya. Ia masih mengingini sebuah rumah mungil dengan taman kecil di halaman sampingnya, di mana ia akan menanam mawar dan hydrangea. Hanya bagian mengenai pangerannya yang sedikit diralat. Sekarang pangeran yang diharapkannya bukan lagi Ishida Uryuu, melainkan ... ah, ia tak tahu pangeran seperti apa yang diinginkannya sekarang. Namun, ia yakin suatu hari Mr. Right itu akan muncul dan menjelma menjadi pangerannya.
"Nee-chan!" Seorang gadis berseragam SMA berlari ke arah Rukia dan langsung mendekapnya.
"Nona Yuzu, jangan memelukku seperti itu. Pakaianku kotor, aku baru selesai bersih-bersih," kata Rukia. Ia memang baru saja selesai membersihkan ruang makan, dan tadinya hendak beranjak ke ruangan lain yang belum dibersihkan.
"Tidak apa-apa, Nee-chan. Aku juga baru naik bus tadi," sahut gadis berambut cokelat muda itu seraya melepaskan pelukannya.
"Eh? Nona naik bus? Kenapa? Memangnya Izuru-san tidak menjemput Nona?" Rukia memberondong putri majikannya itu dengan pertanyaan, sebab tak biasanya nona muda itu pulang sekolah dengan naik bus. Biasanya Yuzu dan saudara kembarnya, Karin, dijemput oleh sopir keluarga Kurosaki.
"Izuru-san tidak menjemput karena aku dan Karin yang memintanya. Hari ini aku mau naik bus," jelas Yuzu.
Rukia menggeleng pelan. Begitulah putri majikannya itu, begitu jauh dari sikap nona besar yang manja dan sombong. Kurosaki Yuzu begitu manis, baik hati, dan ramah. Gadis itu tak pernah membedakan orang berdasarkan status sosial. Itulah sebabnya Yuzu mau berteman dengannya, bahkan memanggilnya dengan sebutan "Nee-chan" karena sudah menganggap Rukia seperti kakaknya sendiri.
"Lalu bagaimana dengan Nona Karin?"
"Aku di sini, Nee-chan. Seperti biasa mengekor di belakang Yuzu." Gadis berambut hitam bergabung dengan mereka. Itu adalah saudara kembar tak identik Yuzu, Kurosaki Karin. Jika Yuzu terlihat manis dan feminim, Karin sebaliknya. Gadis itu tomboi dan cuek. Karin memang selalu mengekor Yuzu, ke mana Yuzu pergi Karin selalu ikut. Bukan karena Karin tak bisa menentukan sendiri apa yang ingin dilakukan, tapi itu dilakukan untuk menjaga Yuzu. Sejak kecil, Karin memang selalu memosisikan diri sebagai penjaga Yuzu.
"Jadi, bagaimana rasanya naik bus?" tanya Rukia sembari menuangkan air putih ke dua gelas tinggi, lalu menyerahkan masing-masing satu pada Yuzu dan Karin.
"Asyik sekali! Lain kali aku mau naik lagi!" jawab Yuzu bersemangat setelah menandaskan isi gelasnya.
"Tidak lebih asyik daripada bermain bola, tapi cukup seru." Jawaban versi Karin membuat Rukia tersenyum. Kedua gadis ini, meski dilahirkan di waktu yang hampir bersamaan tapi mereka memiliki sifat yang sangat berbeda.
"Apa nyonya tahu kalian naik bus?"
Kedua gadis itu saling pandang lalu menggeleng bersamaan.
"Kalau kaa-san tahu pasti tidak akan diizinkan."
"Kaa-san kan gitu, suka panikan."
Yuzu dan Karin menjawab bersahutan. Yang satu menimpali jawaban yang lain. Saling mendukung.
"Sekarang pasti kaa-san sudah tahu dan kita akan kena omel," ujar Karin.
"Tapi anehnya, kaa-san belum muncul juga," sahut Yuzu. Kemudian gadis itu menoleh pada Rukia. "Apa kaa-san sedang pergi, Nee-chan?"
"Ya, kudengar nyonya dan tuan besar sedang pergi ke bandara untuk menjemput tuan muda."
"EKH?!" Kedua gadis itu memekik bersamaan. "ONI-CHAN PULANG!" Keduanya histeris lalu berlari keluar ruangan.
Rukia menduga keduanya pergi mencari Izuru untuk meminta sopir itu mengantar mereka ke bandara.
"IZURU-SAAAAAN!"
Teriakan itu berasal dari ruang depan. Pasti Izuru tengah tergesa-gesa mendatangi kedua nona muda itu, lalu si kembar akan menyeretnya ke mobil.
Memikirkan hal itu membuat Rukia tersenyum. Bekerja di rumah keluarga Kurosaki memang tak pernah membosankan. Selalu ada hal yang menarik terjadi di rumah besar, yang menurut Rukia menyerupai istana itu. Jika bukan si kembar, maka sang tuan besar yang akan berulah. Kurosaki Isshin memang orang yang nyentrik. Tingkah tuan besar itu tak biasa bahkan cenderung aneh. Tapi dia pria yang baik dan perhatian, bukan hanya pada keluarga tapi juga pada karyawan. Jujur saja, Rukia sangat menyukai pria itu. Terkadang Rukia berharap, jika ia memiliki ayah ia ingin yang seperti Kurosaki Isshin. Sedang sang nyonya rumah, Kurosaki Masaki, sikapnya lebih kalem. Wanita anggung nan penyayang yang jelas sekali sangat mencintai keluarga. Dan Rukia sangat mengaguminya.
Hanya satu anggota keluarga Kurosaki yang belum pernah Rukia temui secara langsung, yaitu sang tuan muda. Sulung Kurosaki itu berada di negeri Paman Sam, mengurusi cabang perusahaan Kurosaki yang berada di sana, dan selama dua tahun Rukia bekerja di kediaman Kurosaki, pria itu belum pernah pulang sekali pun. Rukia hanya pernah melihat pria berambut jingga itu dalam foto keluarga berbingkai emas yang dipajang di ruang tengah, serta foto-foto lain yang tersebar di rumah ini. Dari fotonya, pria itu terlihat tampan dengan tubuh tinggi tegap yang memiliki kemampuan menyihir kaum hawa. Bahkan Rukia pun terkadang mendapati dirinya menatap lekat foto pria itu.
Yah, Kurosaki Ichigo memang pangeran yang dimpi-impikan banyak gadis. Tetapi Rukia tidak memimpikan pria itu, karena tahu bahwa ia tak memiliki kemampuan bahkan untuk menggapai bayang sang pangeran.
.*.
Para staf dikumpulkan untuk menyambut sang tuan muda. Semua sudah berbaris rapi termasuk Rukia di dekat pintu masuk, ketika pintu terbuka dan Kurosaki Isshin masuk bersama istrinya.
"Eh? Apa ini?" Isshin terlihat bingung. "Sasakibe-san?"
"Ini adalah penyambutan, Tuan. Kami di sini untuk menyambut kedatangan Tuan Muda." Sasakibe, kepala staf rumah tangga, menjelaskan.
"Tidak perlu terlalu formal." Isshin mengibaskan tangan. "Anak itu datang sendiri, tidak bersama istri atau calon istrinya, padahal aku berharap dia pulang membawa cucuku."
"Hoi, Oyaji! Kau mengatakan itu seperti aku terlibat kehidupan tak bermoral di luar sana."
Suara itu mengundang minat Rukia. Ia menggerakkan kepala─dengan resiko akan mendapat teguran dari kepala staf─sedikit ke arah pintu untuk melihat siapa si pemilik suara bariton itu. Sesuai dugaannya, pria itu memanglah si tuan muda. Ia tak mungkin salah mengenali rambut oranye itu. Berdiri dengan gagah dalam balutan setelan jas berwarna biru malam dengan kemeja putih tanpa dasi. Ketampanan pria itu membius, bukan hanya bagi Rukia, tapi juga bagi gadis-gadis muda lain yang bekerja di rumah keluarga Kurosaki. Rukia bisa mendengar desahan gadis-gadis itu dan bisikan penuh pujian untuk tuan muda mereka.
Sementara gadis-gadis memandangi Kurosaki Ichigo dengan penuh kekaguman, pria itu malah asyik berdebat dengan ayahnya. Dan jika didengarkan dengan saksama, perdebatan mereka sama sekali tidak elit. Semula Rukia pikir hanya Kurosaki Isshin yang suka berisik dan terkadang bertingkah aneh, ternyata anaknya juga hampir sama.
.*.
Keesokan harinya tak ada waktu untuk sekadar mencuri pandang pada pangeran Kurosaki, Rukia disibukkan dengan persiapan pesta yang akan diadakan nyonya rumah nanti malam. Bahkan Masaki sengaja memanggil tenaga tambahan untuk membantu para staf melakukan persiapan; mulai dari bersih-bersih ruangan, pembuatan dekorasi, hingga penyediaan makanan. Masaki ingin semua berjalan lancar karena itu adalah pesta penyambutan putranya.
Sore harinya semua staf diberi seragam baru, staf pria diberi seragam butler berupa celana hitam panjang, kemeja putih, rompi abu-abu dan jas berekor, dilengkapi dengan sarung tangan putih. Sedang staf wanita diberi kostum maid berwarna putih dengan celemek hitam, dan sepatu serta stoking putih. ditambah frill sebagai aksesoris rambut. Ketika mengenakan seragam itu, Rukia pikir dirinya sedang bercosplay.
"KAWAII!" Teriakan memekakkan itu berpotensi merusak gendang telinga Rukia dan hampir saja membuat nampan berisi minuman yang ia bawa berakhir membasahi karpet Turki di kakinya, namun ia tak bisa protes karena yang berteriak adalah nonanya. Lagipula teriakan itu diberikan untuk memuji dirinya.
"Aku tahu kau akan cocok memakai baju ini, Nee-chan. Imut sekali, aku jadi ingin memelukmu." Dan Yuzu benar-benar melakukannya. Gadis itu memeluk Rukia dengan erat─beruntung Rukia sudah meletakkan nampannya di meja terdekat─sama sekali tidak khawatir hal itu akan membuat gaun cocktail kuning lemon yang dipakainya kusut.
"Dan kau sangat cantik, Nona. Warna kuning sangat cocok denganmu," puji Rukia. Ia tak sekadar bermulut manis, namun dengan jujur memuji penampilan nona mudanya. "Apa Nona Karin juga memakai gaun malam ini?"
Yuzu menyeringai. "Kau akan terkejut melihatnya. Dia sangat─"
"Diamlah, Yuzu. Kalau kau berani mengomentari penampilanku lagi, akan kubuang semua koleksi bonekamu." Karin muncul dengan muka masam. Gaun cocktail hitam membalut tubuhnya dengan pas, gadis itu terlihat cantik, andai saja tersenyum maka kecantikannya akan berkali-kali lipat.
"Ah, kawaiii ... kau sangat cantik Nona Karin," puji Rukia. "Dan jika kau tersenyum, maka malam ini kau akan jadi bintang paling bersinar."
"Kalau begitu lebih baik aku tidak tersenyum." Karin memberengut.
"Kau harus tersenyum. Ini kan pesta penyambutan kakakmu, nanti dia mengira kau tidak senang dengan kepulangannya," kata Rukia.
"Rasa senangku tidak perlu ditunjukkan dengan memakai pakaian seperti ini," sungut Karin.
"Ayolah, kau hanya harus memakainya malam ini, Nona Karin. Besok kau bisa kembali memakai kaus bolamu. Bersabarlah untuk malam ini saja, oke?" Rukia berusaha membujuk Karin. "Nah, sekarang ayo tersenyum."
Karin menyunggingkan senyum malas.
"Bukan begitu, Karin," protes Yuzu. "Seperti ini." Gadis itu memberi contoh senyuman manis.
"Seperti ini." Dengan ogah-ogahan Karin melengkungkan bibirnya, tapi itu sama sekali tidak terlihat seperti senyum, malah seperti orang yang sedang menahan sakit.
"Bukan begitu, Nona," kata Rukia, lalu dengan sabar ia mencoba membimbing Karin. "Perlahan, tarik sudut-sudut bibirmu ke atas." Karin mengikuti instruksinya, perlahan mengangkat sudut-sudut bibirnya. "Jangan berlebihan, cukup tersenyum kecil saja." Karin mencoba lagi, dan kali ini gadis itu memperlihatkan senyum kecil yang manis. "Nah, seperti itu. Mudah, kan?"
"Sulit," sahut Karin. "Kalau saja ini bukan pesta untuk Onii-chan, aku pasti tidak akan keluar dari kamar."
"Berarti aku sangat beruntung."
Ketiga gadis itu menoleh ke arah suara. Si kembar langsung tersenyum senang melihat kakak mereka dan mendekati pria itu. Ketika anak Isshin dan Masaki itu bercengkerama dengan akrab, sementara Rukia hanya bisa menatap tak berkedip pria yang berdiri beberapa meter darinya itu.
Tampan mungkin kata yang terlalu sederhana untuk menggambarkan penampilan Kurosaki Ichigo malam ini. Kemeja dan celana hitam dilengkapi jas berwarna abu-abu mengilap membungkus tubuh pria itu dengan sempurna, mampu membuat jantung para gadis melompat-lompat kala melihatnya, termasuk Rukia.
Sungguh, Rukia tak kebal dengan pesona putra Isshin itu. Ia terpesona pada penampilan fisik pria itu. Namun ia tak ingin berharap, tak pernah akan berharap bisa memiliki pangeran tampan satu itu. Dengan segera Rukia menyadarkan diri dari pesona membius Ichigo. Ia mengambil langkah mundur, memungut nampannya, dan beranjak pergi.
"Nee-chan, kau mau pergi?" Pertanyaan Yuzu menghentikan langkahnya.
Rukia berbalik. Tanpa sengaja pandangannya bersirobok dengan mata sewarna madu milik Ichigo. Ia larut dalam pesona pria itu, terlupa untuk memalingkan mata, dan menyadari posisinya.
Ichigolah yang pertama kali memutus kontak mata itu. "Nee-chan?" tanya pria itu pada Yuzu.
"Ya. Aku dan Karin sudah menganggap Rukia-nee sebagai kakak perempuanku. Dia banyak membantu kami selama Onii-chan pergi," jawab Yuzu.
"Begitu rupanya." Ichigo tersenyum. Jika tadi jantung Rukia berjumpalitan tak keruan, sekarang organ itu lupa bagaimana caranya berdetak, ketika senyum pria itu mengarah pada Rukia. "Terima kasih sudah menjaga adik-adikku selama ini," ucap pria itu sopan.
"Ah, ti-tidak─sudah kewajiban saya, Tuan Muda." Rukia gelagapan, tak menyangka akan mendapat kalimat seperti itu dari Ichigo. "A-ano ... saya harus pergi, masih banyak yang harus dipersiapkan sebelum para tamu berdatangan," ucapnya seraya berbalik dan pergi.
.*.
Tak ada waktu untuk menelaah pertemuan singkat dengan si tuan muda, sekembalinya ke dapur, Rukia disibukkan dengan piring dan gelas serta makanan dan minuman pengisinya. Staf pria hilir mudik membawa nampan-nampan berisi sajian maupun piring kotor, dan Rukia beserta staf perempuan bertugas memastikan selalu tersedia suplay makanan untuk mengisi nampan-nampan itu.
"Kau tahu, rasanya percuma memakai pakaian secute ini kalau kita hanya berdiam di dapur," ujar Momo.
"Memangnya kau mau keluar dan berdiri di belakang meja prasmanan, melayani orang kaya angkuh yang bahkan tidak mau mengambil sendoknya sendiri?" sahut Minao, staf yang lebih senior dua tahun dari Rukia dan Momo. Gadis itu memang tak terlalu suka dengan para orang kaya, kecuali majikan tempatnya bekerja saat ini.
"Aku hanya ingin melihat pestanya, Minao-san. Juga ingin melihat tuan muda kita yang tampan."
Minao mendengus. "Jangan bermimpi. Dia di luar jangkauanmu." Gadis itu pun berlalu bersama tumpukan piring kotor yang harus dicuci.
"Aku pun tahu itu," gumam Momo. "Aku kan hanya ingin melihatnya. Kau juga kan, Rukia?"
"Eh? Ah, i-iya," sahut Rukia seadanya.
"Kau kenapa? Malam ini kau banyak diam, masih kepikiran si kacamata?"
"Jangan menyebutnya seperti itu, dia punya nama," kata Rukia.
"Ya, ya, aku tahu, namanya Ishida, kan? Apa kau masih kepikiran dia?"
Rukia menggeleng. Itu jawaban yang jujur, karena sekarang yang ada di kepalanya bukanlah Ishida Uryuu, melainkan sang tuan muda yang begitu memesona. Tapi ia tak bisa mengatakan itu pada Momo, bisa-bisa nanti gadis itu mengajaknya membuat fansclub Kurosaki Ichigo, karena mereka sama-sama ngefans pada sang tuan muda. Tidak! Ia tak mau terlibat hal-hal seperti itu. Cukup mengagumi saja, jangan mengharapkan lebih. Seperti yang dikatakan Minao: "Jangan bermimpi. Dia di luar jangkauanmu."
.*.
Pukul sebelas malam sudah berlalu, namun pesta sepertinya belum akan berakhir, meski begitu pekerjaan tak sepadat sebelumnya. Rukia dan Momo akhirnya bisa duduk dan mengistirahatkan tubuh mereka sejenak, bahkan bisa sambil mengemil makanan untuk mengembalikan tenaga yang terkuras.
Rukia baru menghabiskan segelas limun dan sebiji kue sus keju, ketika salah satu staf pria masuk ke dapur dan memanggil semua staf yang ada di dapur untuk berkumpul di aula pesta. Semua orang tampak bingung, bahkan ragu untuk mengikuti staf pria itu. Mereka baru bergerak ketika Sasakibe yang muncul dan memanggil mereka.
Dengan beribu pertanyaan Rukia masuk ke dalam aula. Ia memerhatikan, para tamu juga tengah berkerumun. Tak ada musik yang dimainkan, semua orang sibuk memerhatikan ke atas podium, di mana sang tuan rumah berdiri.
"Baiklah, Nona-nona. Bagi kalian yang ingin mencoba sepatu ini harap mendekat." MC memberi pengumuman.
Sepatu? Rukia dan Momo saling pandang, keduanya sama bingungnya dengan apa yang tengah terjadi.
Rukia memerhatikan, para gadis maju ke depan, mendekati podium, tapi tak bisa melihat dengan jelas apa yang mereka lakukan. Dari percakapan orang di sekitarnya, Rukia menangkap informasi bahwa Kurosaki Ichigo, tuan mudanya, tengah mencari calon istri. Sebuah sayembara, yang mana gadis-gadis muda yang berminat mencalonkan diri menjadi mempelai pewaris Kurosaki Group itu, harus mencoba sepasang sepatu kaca. Gadis mana pun yang kakinya terpasang sempurna pada sepatu kaca akan menjadi istri dari Kurosaki Ichigo. Sesuatu yang mengherankan, mengingat sekarang sudah abad 21, dan keluarga Kurosaki sendiri merupakan keluarga modern.
"O ya, yang boleh mencoba sepatu hanya mereka yang tidak sedang terkait dalam hubungan pernikahan, atau sedang bertunangan, karena tuan muda kita tentu tidak ingin berduel dengan suami atau tunangan yang marah," MC berkelakar dari atas podium. Tamu-tamu tertawa, sementara gadis-gadis muda menunggu giliran dengan penuh harap.
"Mencoba sepatu? Apa kita sedang ada di syuting film Cinderella terbaru?" bisik Momo.
"Sepertinya begitu, pemeran utama wanitanya pasti yang berpakaian pelayan seperti kita," sahut Rukia.
"Dan itu membuat kalian berharap kalau kalianlah sang Upik Abu." Suara nyinyir itu berasal dari samping kiri Rukia.
Rukia menoleh, mengamati wanita cantik dengan gaun toska yang senada dengan rambut panjang dan ikal wanita itu. "Jangan bermimpi, tak satu pun dari kalian yang akan menjadi Cinderella. Kalaupun ada yang pas memakai sepatu itu, akulah orangnya." Wanita cantik itu berlalu, memotong antrian sehingga dirinya berdiri paling depan.
"Wanita menyebalkan, semoga bukan dia yang terpilih menjadi istri tuan muda. Jika iya, aku pasti langsung menulis surat pengunduran diri dan menyerahkannya pada Sasakibe-san," gerutu Momo.
Dalam hati, Rukia pun mengharapkan hal yang sama. Ia tak akan sudi bekerja pada wanita nyinyir seperti itu.
Setengah jam telah berlalu. Puluhan kaki sudah mencoba sepatu kaca, namun tak satu pun yang pas ukurannya. Selalu kebesaran atau kekecilan, seolah sepatu kaca itu bisa membesar dan mengecil dengan sendirinya.
"Apa ini akan berhasil?" bisik Isshin pada Masaki.
"Pasti. Malam ini Ichigo akan menemukan pasangan hidupnya," jawab Masaki dengan penuh keyakinan.
"Kau yakin?"
"Tak pernah seyakin ini. Sudah menjadi tradisi, putra keluarga Kurosaki akan mendapatkan jodoh dengan cara ini," jelas Masaki.
"Tapi─"
"Tenang saja, Suamiku. Gadis itu akan muncul, sebentar lagi."
"Apakah Nona ini gadis yang terakhir? Apa tak ada lagi yang ingin mencoba?" MC kembali bersuara.
Hening. Tak ada seorang pun yang bersuara. Orang-orang saling pandang, mencari kandidat yang tepat untuk mencoba sepatu kaca itu. Namun, tak ada yang bergerak maju. Semua terdiam, karena semua nona muda itu memang sudah mencoba sepatu dan tak ada satu pun yang cocok memakainya.
"Para staf rumah tangga belum mencobanya," Ichigo bersuara.
MC mendekatinya dan berbisik, "Kau yakin ingin menyuruh staf rumah tangga mencoba sepatunya. Mereka─"
"Aku yakin. Bisa jadi jodohku benar-benar seorang Upik Abu."
"Hm ... baiklah." MC kembali ke tempatnya, menghidupkan kembali microfonnya dan bersuara. "Sepertinya sekarang giliran para staf mencoba. Ayo maju, gadis-gadis. Siapa tahu salah satu dari kalian beruntung menjadi the next Cinderella."
Beberapa gadis maju dengan penuh percaya diri, berbaris menunggu giliran, Momo pun menjadi salah satunya. Gadis itu memberi kode pada Rukia untuk maju, namun ia menggeleng dengan pelan. Rukia tak ingin menjadi bagian kehebohan ini. Tak akan membodohi diri sendiri karena kecuali sepatu itu ajaib, maka sepatu itu tak akan pernah cocok untuknya.
"Kuchiki."
Rukia menoleh ketika namanya dipanggil. "Sasakibe-san?" Si kepala staf berdiri di dekatnya.
"Apa yang kaulakukan di sini? Cepat maju. Apa kau tak ingin mencoba peruntunganmu?"
"Tapi ... saya ..."
"Tak ada salahnya mencoba."
Akhirnya Rukia hanya bisa mengangguk. Dengan langkah pelan ia berdiri di barisan paling belakang. Hanya tiga orang termasuk dirinya yang belum mencoba sepatu itu. Momo sudah mencoba, gadis itu kini berdiri dengan wajah bertekuk. Dua orang tersisa, dan Rukia merasakan kegugupan luar biasa. Rasanya ia ingin kembali ke dapur dan mencuci piring saja. Kini tiba gilirannya, Rukia maju dengan cepat. Ingin bergegas agar ia bisa segera kembali pada pekerjaannya.
"Wah, Nona kau begitu tergesa. Tidak sabar menjadi calon mempelai Kurosaki rupanya." MC salah menilai ketergesaannya, menjadikannya lelucon bagi para tamu yang bosan.
Orang-orang menertawainya. Rukia menunduk dalam karena malu. Ia ingin menghilang. Menjauh dari orang-orang picik ini. Ia tahu, sama seperti dirinya, di dalam ruangan ini tak seorang pun yang berpikir bahwa ia akan memperoleh keberuntungan menjadi sang Cinderella. Jadi, sebelum tawa orang-orang itu meluluhlantahkan semua kepercayaan dirinya, Rukia melepas sepatunya, lalu memasukkan kakinya ke dalam sepatu kaca, mulai dari yang kanan lalu kiri.
Ia memandang Shuhei, berharap rekan kerjanya itu menggeleng seperti yang dilakukan pria itu pada gadis-gadis sebelumnya. Namun, ia tak mendapatkan apa yang diharapkannya.
"Tuan muda, sepertinya dia yang kau cari."
Hah?! Apa?!
Rukia menunduk memandang kakinya, mendapati sepatu kaca cantik itu terpasang dengan pas di kakinya. Ia mengangkat matanya, memindai sekeliling. Tawa orang-orang menghilang, dan kini mereka memandanginya dengan ekspresi tak percaya.
"Jadi, kaulah Cinderella-ku, Rukia."
.*.
Bersambung
.*.
Hola, Minna-san. Meet me again! Semoga nggak bosan ya. ;)
Iya, ini fic baru. Ide awalnya datang dari berita kedatangan Raja Salman ke Indonesia yang katanya bawa 25 pangeran arab (nggak tahu juga beritanya bener apa nggak) dimix sama kisah si Upik Abu yang sudah mendunia. Idenya datang seketika dan diketik dalam waktu sehari, jadi di dalamnya tentu masih banyak kekurangan. Terutama typonya pasti banyak. Hehe ... Sementara bagian satu beredar di ffn, saya sedang mengetik bagian duanya. Rencananya sih mau saya selesaikan paling lama minggu depan, tapi itu kalo kerjaan saya nggak banyak ya. Kalo tiba-tiba dapet orderan, terpaksa fic ini dipending dulu pengetikannya.
Okeh, sampai sini dulu. Saya mau lanjut ngetik. Terima kasih buat yang udah baca, semoga sudi ninggalin kripik, eh maksudnya review.
See ya,
Ann *-*
