Summary:

"Buatkan aku rumah pohon, Neji-nii!" | "Terkadang aku tak bisa menerima kenyataan bahwa kita bersaudara." | "Hentikan panggilan itu saat kita hanya berdua. Panggil aku 'Neji-kun'" | "Ne-Neji-kun..."


DISCLAIMER:
Masashi Kishimoto-sensei, a Naruto's creator who was born in Okayama Prefecture.

Warning:
Out of character, Alternate Universe, Typos, Bad plots, Taboo parts (not lemon) everywhere
('cause I'm beginner)

Pairing:
Neji-Hinata

Anonymous Hyuuga Presents:

"COUSIN"
Part One


"T-Tou-san, a-aku ingin ke rumah Sakura-chan," kataku kepada Ayah yang baru saja menutup sambungan teleponnya dengan seseorang.

"Tidak bisa, Hinata-chan. Liburan ini kau akan tinggal di rumah sepupumu," timpal Ayah tegas. Mata amethyst-nya menatap tajam ke arahku. Aku tak mengerti mengapa ia memandangku demikian.

"T-tapi, Tou-san... Aku sudah b-berjanji," ucapku untuk memprotes dengan kekuatanku yang tidak seberapa.

"Batalkan dan persiapkan kebutuhanmu. Kutunggu kau di mobil," sahut Ayah lagi-lagi dengan tegas, lalu ia meninggalkan tempatnya setelah berkata, "Kita berangkat hari ini juga."

Aku yang tidak memiliki pengaruh apapun akhirnya hanya bisa mendesah dan mengangguk pasrah. Wajah sepupuku satu-satunya itu pun melintas di benakku. Aku takut berjumpa dengannya. Aku takut perasaan yang sudah kutenggelamkan di dasar hatiku itu kembali timbul ke permukaan.

-000-

"Kita sampai," ucap Ayah saat kami―setelah menempuh perjalanan cukup panjang―sudah sampai di sebuah pekarangan besar suatu rumah. Ayah memarkirkan mobilnya dan aku sama sekali tidak menyahuti perkataannya. Desahan pasrah-lah yang aku keluarkan sembari menundukkan kepala.

Tak lama kemudian, kami berdua turun dari mobil. Aku bergegas mengambil koper milikku dari dalam bagasi. Setelah berhasil mengambilnya dengan susah payah, aku berusaha menariknya di tanah berbatu itu―lagi-lagi―dengan susah payah. Namun, selang beberapa detik, sebuah tangan dingin juga ikut memegang pegangan koper itu sehingga otomatis menyentuh kulit jariku.

Aku mendongak dan mendapati seorang laki-laki berambut panjang indigo―yang mirip dengan milikku―dan bermata sewarna batu amethyst yang―juga―mirip milikku, tengah menatapku hangat. Kurasakan rasa panas mulai menjalari pipiku, sehingga spontan aku kembali tertunduk.

"Biar kubawakan," suara hangat itu menyusup ke rongga telingaku, membuat detak jantungku tak beraturan.

"D-doumo, Ne-Neji-nii," gumamku tidak jelas, berusaha menetralisir jantungku yang mulai mempercepat detaknya.

Kami mulai berjalan menuju gedung rumah yang sudah menanti kami. Gedung itu besar dengan cat tembok berwarna coklat lembut yang sangat membawa ketenangan dalam hatiku. Rumah ini masih sama dengan rumah yang kudatangi sepuluh tahun lalu, ketika aku berumur tujuh tahun.

Neji terkekeh mendengar nada bicaraku dan berkata, "Kau masih sama seperti dulu, Hime. Bagaimana kabarmu?"

"A-aku baik-baik s-saja. Neji-nii b-bagaimana?" aku balik bertanya dengan gelagapan.

"Lebih dari baik. Ohya, kopermu letakkan di sini dulu," ujarnya sambil meletakkan koperku di depan pintu raksasa rumah itu. "Aku punya sesuatu untukmu," lanjut Neji dengan sebelah tangan menggenggam tanganku dan sambil menarik aku ke halaman belakang rumah.

Detak jantungku yang tidak beraturan ketika menerima sentuhannya, dan juga rona merah yang sudah pasti terpatri di pipiku, sudah sangat amat membuktikan bahwa aku, Hinata Hyuuga, masih mencintai sepupuku.

-000-

Aku terperangah ketika mendapati hal yang ditunjukkan Neji berdiri dengan indahnya berlatarkan cahaya mentari senja hari. Mataku menelaah tiap inci benda yang bertengger manis di atas sebuah pohon besar itu, dan tak henti-hentinya decakkan kagum mengalir dari bibirku.

"Kau suka?" tanya Neji. Suaranya yang tenang sangat menghanyutkanku. Aku kembali tersadar dari kekagumanku yang berlebih, dan segera mengangguk antusias. Neji kembali terkekeh melihat tingkahku. Ia mengacak samar rambut panjangku dan tersenyum sambil berkata, "Bagaimana? Aku sudah menepati janjiku, kan?"

Aku kembali mengangguk samar. Tak dapat kusembunyikan lagi rona merah yang bersemburat sempurna di pipiku. Pandangku kembali terpaku kepada rumah pohon yang penuh akan lukisan-lukisan indah itu. Dan perlahan senyuman tersungging di bibirku.

"N-Neji-nii yang m-membuatnya?" tanyaku tanpa melepas pandang dari rumah pohon itu.

"Kau bercanda? Aku paling tidak sabar melakukan pekerjaan yang membutuhkan ketelatenan seperti ini," bantah Neji sembari mendengus geli, "Aku meminta Tou-san membuatkannya untukmu."

Aku mengangguk mengerti dan bertanya ragu-ragu, "Bolehkah aku naik?"

Kali ini Neji tak lagi terkekeh. Ia tertawa renyah dengan tangan kembali mengacak-acak rambutku. "Sepertinya kau sedang memiliki selera humor tinggi, Hime. Rumah pohon ini milikmu!"

Senyuman yang sangat lebar terpatri di bibirku. Aku segera berlari menuju rumah pohon itu dan dengan terburu-buru menaiki tangga tali yang menggantung di pohon besar itu, sehingga aku hampir saja jatuh terpeleset. Namun aku tidak sempat jatuh karena Neji segera menahan tubuhku dengan kedua tangannya. Sentuhan yang diberikan Neji mampu memberikan getaran-getaran aneh yang membuatku merona merah.

"Hati-hati, Hime. Kau masih saja seceroboh dulu," kata Neji dengan dengusan geli yang mengiringinya.

Lalu, dengan bantuan Neji, akhirnya aku berhasil masuk ke rumah pohon berbahan dasar kayu itu. Dinding dan lantai, juga atap rumah pohon itu masih menguarkan harum kayu yang masih baru. Aku merasa sangat senang dapat memiliki rumah pohon ini. Rumah pohon yang kuminta sepuluh tahun lalu tanpa alasan kepada Neji. Aku tersenyum samar ketika mengenang kejadian masa lalu yang sudah membuat aku tergila-gila pada sepupuku yang satu itu.

"Kau menyukainya, kan?" tanya Neji, seakan ragu aku menyukainya.

Aku mendengus geli dan segera menangkup kedua pipi Neji dengan gemas sambil berkata, "Aku sangat suka, Neji-nii!"

Kutangkap semburat merah mulai menjalar di pipi Neji, membuat aku salah tingkah. Aku pun bergegas menarik kedua tanganku, namun segera ditahan oleh genggaman Neji. Kini wajah kami sudah pasti sama-sama memerah. Kami-sama, tolong aku. Neji-nii sepupuku! batinku memohon.

"Hinata-chan, ak-aku merindukanmu," kata Neji sembari mengusap kedua tanganku dengan sangat lembut, menimbulkan sensasi memabukkan di kedua tanganku. Detak jantungku semakin berdetak tak keruan dan darahku mendesir cepat, memenuhi wajahku yang sudah sangat memerah.

"A-aku juga, Neji-nii..." sahutku dengan suara bergetar. Aku mengharapkan waktu berhenti berputar, sehingga aku bisa lebih lama lagi bersama dengan Neji tanpa ada gangguan dari segala macam hal yang saat ini kuanggap tak penting. Seperti asal-usul kami yang sama-sama berasal dari keluarga Hyuuga.

Baru saja aku berharap demikian, teriakkan yang berasal dari Paman Hizashi membuat aku segera menarik kedua tanganku.

"Neji-chan! Mengapa kau letakkan koper Hinata di depan pintu? Lihat, pamanmu jatuh karena tersandung!" seruan itu membuat Neji terbelalak. Ia yang terburu-buru segera melongokkan setengah badannya keluar rumah pohon untuk melihat Ayahnya, dengan satu tangan memegang sisi pintu rumah pohon.

"Wah! Gomen na... Whoaa!" pegangan Neji yang mengendur membuat keseimbangannya berkurang, sehingga laki-laki itu terjatuh dari rumah pohon sehingga tubuhnya berdebam keras di atas tanah. Aku melihatnya dengan mata terbelalak.

"Neji-ni!" seruku panik. Aku bergegas turun tanpa memedulikan kehati-hatian, sehingga dengan mudahnya aku mengikuti jejak Neji, dengan jatuh menimpa tubuhnya.

-000-

"Go-gomen na sai, Neji-nii," ujarku sambil membersihkan luka yang cukup banyak di sekujur tubuh Neji.

"Ah, tak apa, Hinata-chan," sahutnya dengan ekspresi menahan sakit.

Aku terus saja membersihkan luka-luka Neji, yang sedari tadi meringis kesakitan, tanpa memedulikan ocehannya yang tidak penting. Aku merasa sangat bersalah telah membuat lukanya bertambah parah. Syukur aku tidak terluka karena ada 'bantalan' yang menahan agar tubuhku tidak terkena kerikil di dekat pohon itu. Namun yang terkena imbasnya tentu saja kakak sepupuku itu.

"Ah, sudah cukup, Hime. Arigatou. Aku harus meminta maaf pada Hiashi-ji-san," ujar Neji sambil memakai kembali kemejanya, dan berusaha berdiri dengan wajah meringis kesakitan.

Aku pun bergegas membantu Neji berdiri, dan Neji mengucapkan terimakasih saat aku memapahnya. Aku merasa pipiku merona merah saat tangan Neji melingkar di bahuku. Kebersamaan kami pun terpaksa terhenti ketika kami sampai di kamar Ayah. Aku mengetuknya dan terdengar suara Ayah untuk menyuruh masuk. Aku pun segera membuka pintu kamarnya dan masuk.

"Sumimasen, Tou-san. Neji-nii mau berbicara," ucapku lirih.

"Ada apa, Neji-chan?" tanya Ayah yang tengah berbaring di atas ranjang.

"Gomen na sai, Ji-san, aku sudah membuat Ji-san tersandung," kata Neji sambil menggaruk-garuk tengkuknya salah tingkah.

Ayah mengibas-ngibaskan tangannya dan berkata sambil terkekeh, "Tenang saja, Neji-chan. Aku tidak apa-apa. Sekarang kau dan Hinata boleh keluar. Aku ingin beristirahat."

"Ha'i. Sumimasen, Oji-san," kata Neji yang memberi isyarat padaku agar membantunya keluar kamar.

"Sumimasen, Otou-san," timpalku sopan sebelum menutup pintu kamar. Aku pun segera memapah Neji ke kamarnya. Neji sempat mengeluarkan beragam protes yang menyatakan ia tidak ingin cepat-cepat tidur. Namun aku bersikeras dengan tetap 'menyeret'nya menuju kamar agar ia beristirahat, sehingga ia menyerah.

Aku memapah Neji dengan susah payah. Padahal Neji sudah memberitahuku bahwa ia akan berjalan sendiri, namun lagi-lagi, aku bersikeras. Akhirnya tujuan kami pun terlihat di depan mata. Aku membuka pintu kamar Neji dan masuk ke ruangan gelap itu. Dengan tetap memapah Neji, aku berusaha mencari saklar lampu tetapi tidak menemukannya.

"Tidak ada lampu, Hime. Aku suka gelap," kata Neji memberitahuku. Aku pun mengangguk dan segera membawa Neji ke ranjangnya. Tanpa banyak bicara, aku bergegas membaringkan Neji ke ranjang. Lalu aku berdiri sambil menepuk-nepukkan kedua tangan.

"Hah! Akhirnya!" kataku. Aku melakukan gerakkan seolah-olah sedang mengusap keringat. "S-selamat istirahat, Neji-nii!"

Saat aku mulai melangkah, tanganku digenggam oleh Neji, sehingga aku berbalik badan dan menatapnya bingung. Kebingunganku terjawab olehnya, "Temani aku, Hime. Paling tidak sampai aku tidur."

Aku terkesiap mendengar pernyataannya. Pikiran buruk segera merasuki otakku. Dan tanpa pikir panjang aku menyentakkan tangan Neji dan menyilangkan kedua tangan di depan dadaku dengan mata membulat sempurna.

"Hey, mengapa kau―" pertanyaan Neji terhenti. Sepertinya ia mengerti akan arti gerakkanku. Ia segera menambahkan dengan pipi merona merah―yang dapat kulihat dengan sedikit cahaya dari arah pintu―dan gaya salah tingkah, "―Ah, Hinata-chan, b-bukan itu maksudku... ak-aku hanya memintamu agar tetap di sini sampai aku tidur. Bukan memintamu untuk melakukan―ugh―'itu'. Um, yah, ka-kalau keberata, kau b-boleh pergi."

Aku pun mengerti. Sorot mataku berubah geli. Aku pun berjalan kembali ke arah pintu. Dapat kutangkap Neji menghembuskan napas. Padahal aku hanya ingin menutup pintu, dan kembali ke tempat Neji. Aku duduk bersila tepat di sebelah Neji yang tengah memandangku dengan mata lebar.

"Hime, bukankah kau ingin ke luar?" tanya Neji heran.

"Ssh... sudah, tidurlah Neji-nii," timpalku dengan suara pelan.

Kulihat Neji tersenyum, lalu memejamkan matanya. Ia mengatur posisi tidurnya sehingga kini ia menghadapku. Neji meringis pelan saat bahunya tertekan tubuhnya sendiri. Lambat laun ia kembali membuka matanya dan menatap tepat ke arah mataku, membuat kehangatan menjalari pipiku. Aku menundukkan wajahku untuk menyembunyikan rona merah di wajahku―sekalipun aku tahu kondisi ruangan yang gelap tak akan membuat Neji melihatnya.

"K-kau manis, Hime," bisik Neji sembari menyentuhkan ujung jarinya ke wajahku. Tangannya menelusuri tiap inci wajahku, membuat pipiku kian memanas.

"Ne-Neji-nii..." bisikku dengan mata terpejam. Jarinya pun mulai mengelus bibirku. Aku dapat merasakan tubuhku bergetar hebat kala bagian tubuh Neji kembali menyentuh bibirku―seperti sepuluh tahun lalu.

"Aku rindu ciumanmu, Hinata-chan," bisik Neji sambil menarik kembali tangannya. Kulihat ia memejamkan matanya, dan napasnya mulai teratur.

Kurasa ia sudah tertidur. Aku pun menghela napas lega dan berdiri. Sebelum benar-benar beranjak dari tempatku, aku menyempatkan diri untuk mengecup kening Neji dalam waktu yang cukup lama, dan keluar sambil menutup pintu dengan suara pelan.

-000-

Aku membuka mata dan mengerjap-ngerjapkannya sebentar. Bingung sedang berada di mana aku saat ini. Namun tiba-tiba, kejadian yang baru terjadi kemarin pun menyerbu memoriku. Tentang Ayah, Paman Hizashi, dan... Neji. Pipiku kembali memanas kurasa. Aku pun segera terduduk dan menggeleng-gelengkan kepala, mengusir pikiran-pikiran aneh.

Tanpa banyak bicara, aku segera meraih handuk dari koperku dan berjalan ke luar kamar untuk segera mandi. Aku merasa tidak nyaman dengan keringat yang mengucur di sekujur tubuhku. Saat aku baru saja keluar, aku melihat Paman Hizashi melintas di depan kamar.

"Ohayou, Hizashi-ji!" sapaku ramah.

Orang yang kusapa pun melirikku dan mengerutkan kening, lalu menyahut, "Sejak kapan namaku berubah menjadi Hizashi, dan sejak kapan pula kau memanggilku 'Oji-san'?"

Aku tersentak dan buru-buru berkata, "Go-gomen ne, Tou-san! Kupikir Tou-san Hizashi-ji!"

Ayah tertawa lebar saat melihat aku yang sedikit gugup. Beliau mengacak-acak rambutku dan berkata di sela-sela tawanya, "Kami memang kembar. Tetapi masakan kau tak dapat mengenal Ayahmu sendiri?"

Aku pun ikut tertawa saat mendengar penuturan Ayah, lalu pamit untuk pergi mandi. Dengan terburu-buru, aku masuk ke dalam kamar mandi dan dengan cepat membuka pakaianku, lalu menyalakan pancuran air. Air yang dingin pun menetes membasahi tubuhku, membuat kesegaran merasuki diriku. Aku terhanyut dengan kesegaran air itu, sehingga secara tak sadar aku sudah menghabiskan waktu dua puluh lima menit di dalam kamar mandi. Bergegas aku mengeringkan diriku dengan handuk dan melilitkannya di tubuhku, lalu keluar dari kamar mandi.

Saat aku baru saja menginjakkan kakiku di luar kamar mandi, sosok yang tengah berdiri di hadapanku membuat aku terbelalak dan rasa panas kembali menjalari kedua pipiku.

"Ne-Neji-nii?" panggilku gugup sambil mempererat peganganku pada handuk yang menutupi tubuhku.

Neji juga tampak membelalak melihat penampilanku saat ini. Lalu ia menggaruk tengkuknya dan pipinya tampak memerah. Kemudian ia berkata, "Gomen, Hinata-chan."

"A-ah, ti-tidak a-apa-apa, Neji-nii," sahutku sembari menahan rona merah di pipiku, "N-Neji-nii sudah t-tak apa-apa?"

"Yah, aku sudah baikkan," ujar Neji sambil tersenyum. Aku merasa lega sekali mendengarnya, karena sedari kemarin aku mengkhawatirkan kondisi kakak sepupuku. Lalu Neji tiba-tiba mengedipkan matanya dan menunjuk keningnya sembari berkata, "Mungkin karena ciumanmu."

Aku tak dapat lagi menghindari rona merah yang mulai menjalari pipiku. Kemudian, dengan cepat aku berjalan ke kamarku untuk memakai baju. Wajah Neji yang menyunggingkan senyum jahil dengan sebelah matanya yang mengedip kembali menghantui kepalaku. Pias! Wajahku pun kembali memanas.

-000-

Selesai berganti pakaian, aku tidak langsung keluar kamar. Aku mati-matian menetralisir perasaanku yang semakin tidak menentu. Hingga kira-kira selama satu jam aku di dalam kamar, aku pun memutuskan untuk keluar dan menemui Neji. Hanya dengan kaus lengan pendek berbahan katun dengan warna ungu muda dan celana pendek selutut warna putih, aku keluar rumah untuk mencari Neji. Setelah berkali-kali menelusuri gedung rumah raksasa ini, aku tak kunjung menemukan pria berusia satu tahun di atasku itu di mana pun. Akhirnya kuputuskan untuk ke luar gedung. Aku mengitari setiap inci halaman rumah itu, dan tidak juga kutemukan. Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan ke halaman belakang rumah, dan menuju rumah pohonku.

Saat aku sudah menaiki tangga tali yang menggantung di bawah rumah pohon itu, aku melihat Neji yang tengah berbaring sembari memainkan ponselnya di dalam rumah pohon itu.

"Neji-nii?" panggilku sambil merangkak masuk, "Bu-bukankah kau masih terluka? B-bagaimana bisa kau naik ke mari?"

Neji tampak terkejut mendengar panggilanku. Ia segera meletakkan ponselnya dan memposisikan dirinya untuk duduk. "Hinata-chan!" sahut Neji sambil tersenyum, "Kupikir kau tidak akan keluar dari kamarmu. Makanya aku ke sini saja. Soal itu, yah. Kau tahu aku hebat."

Aku mencibirkan bibirku dan mulai berjalan sambil menunduk, untuk mengamati lebih dekat bangunan yang sudah dibangun oleh Paman Hizashi ini. Harum kayu yang masih baru pun menguar di ruangan sempit ini. Kuperhatikan tiap detail rumah pohon ini. Terdapat dua buah jendela kecil tanpa kaca yang ditutupi tirai tipis berwarna lavender―yang notabene merupakan warna favoritku―dengan corak dedaunan tanpa warna. Di tengah rumah pohon itu, menjulang batang pohon yang menyangga bangunan itu. Tampak seperti pilar raksasa di sebuah aula. Aku pun kembali berjalan ke sudut lain, tempat Paman Hizashi meletakkan sebuah meja kecil dengan dua bantal duduk di kedua sisinya. Meja itu terbuat dari kayu mahoni dengan ukiran-ukiran abstrak yang sangat indah.

Kuhirup napas sedalam-dalamnya, menikmati harum khas rumah pohon itu. Namun tak hanya harum kayu yang masuk ke rongga hidungku, tetapi juga harum maskulin yang begitu kukenal, yang sanggup membuat hatiku mendesir.

"Indah ya? Aku sangat kagum akan hasil tangan Tou-san," ujar Neji yang tiba-tiba saja sudah berada di belakangku. Kehadirannya yang begitu mendadak membuat aku berjengit kaget, sehingga spontan aku berbalik badan dengan mata membulat sempurna.

"Ne-Neji-nii, kau membuat aku terkejut," bisikku sesaat setelah sadar dari keterkejutanku.

"Mengapa kau sering sekali terkejut, Hime? Aku heran," dengus Neji dengan geli. Kemudian ia mengacak-acak rambutku.

Setelahnya, Neji mengajak aku untuk duduk di bantalan duduk di sudut ruangan untuk berbincang-bincang. Berkali-kali Neji mengajakku bernostalgia, membangkitkan kembali memori yang pernah tersimpan di otakku. Mengeluarkan kembali kenangan-kenanangan masa lalu kami yang cukup indah. Namun menyiksa.

Aku berkali-kali tertawa mendengar cerita masa lalu kami. Di sanalah aku benar-benar hidup. Di mana aku terus menerus berada di dekat Neji, berlindung di balik lengan kecilnya yang sanggup menghajar anak-anak laki-laki yang menggangguku―hal yang membuat aku suka pada Neji. Aku ingat saat-saat di mana Neji menghajar seorang anak laki-laki berambut hitam kebiruan dengan gaya aneh yang kebetulan sedang membantuku berdiri ketika aku terjatuh. Namun malangnya anak bermata hitam itu, Neji datang untuk menghampiriku dan melihat aku terluka dengan seorang anak laki-laki di sampingku. Seketika itu juga, Neji menjambak dan mencubit anak laki-laki itu. Lawan Neji pun akhirnya berseru kesal dan menatap Neji dengan tajam, lalu meninggalkan kami berdua.

Aku ingat betapa seringnya aku berkata pada Neji bahwa anak laki-laki itu tidak bersalah. Saat Neji sudah mulai jengah dengan perkataanku, ia berdiri tegak di depanku sambil menatapku tajam dan berseru, 'Hinata-chan pasti menyukai anak itu!' dan aku menangis dituduh demikian. Aku tidak menyukainya. Hanya saja aku ingin memberikan penjelasan yang sebenarnya. Melihat aku menangis, Neji segera menggigit bibir bawahnya dan menatapku panik. Ia bertanya, namun dengan segera aku berlari ke kamar dan mengunci diri bersama isakkanku di sana.

'Apakah Neji-nii tidak tahu aku menyukainya?' hati kecilku bertanya kala itu.

Aku masih tidak mengerti bahwa aku dan Neji tak akan pernah bersama.

Tiba-tiba, di sela-sela cerita indah masa lalu kami, suara benda-benda kecil yang menjatuhi atap rumah pohon kami. Aku memandang keluar jendela―yang tirainya tertiup angin―dan melihat hujan sudah turun mulai lebat. Ah, aku baru ingat ini awal musim panas. Saat itulah hujan memang seharusnya hadir. Aku mendesah. Aku tak suka hujan, karena saat hujanlah Ibundaku tercinta disemayamkan di peristirahatan terakhirnya.

"Yah, bagaimana kita bisa kembali ke rumah, Hime?" tanya Neji dengan pandangan mata tertuju ke arah yang sama dengan yang kupandang.

"K-kita tunggu saja di sini, Neji-nii," usulku.

Neji pun mengangguk-angguk. Ia berdiri dari tempatnya duduk, dan mengambil sebuah tikar bambu yang ternyata―tak kuperhatikan―ada di sudut ruangan lainnya. Ia menggelar tikar itu, lalu mulai berbaring di atasnya. Kemudian ia melirik ke arahku yang memandangnya dan berkata, "Kemarilah."

Aku pun berjalan menghampiri Neji dan duduk di sebelahnya. Namun tangan besarnya menarik pundakku sehingga otomatis aku berbaring di sebelahnya. Jarak yang hampir saja tak ada di antara kami membuat pipiku merona merah. Detak jantungku semakin lama semakin tak beraturan, terlebih lagi ketika kurasakan napas Neji mengenai telingaku. Kemudian tangan Neji mulai melingkar di tubuhku, menyalurkan rasa panas yang kian menjadi-jadi. Aku memejamkan mataku saat hembusan napasnya menerpa wajahku.

Tangan Neji memelukku dengan penuh rasa proteksi. Aku tak dapat lagi mengendalikan diriku, dan membiarkanku larut dalam sentuhannya.

Kini aku suka hujan.

-000-

Aku tertidur dalam dekapan lembut Neji, dan kembali terbangun ketika rasa lapar mulai menyerangku. Ah, aku baru ingat aku sama sekali belum makan hari ini. Aku melihat ke bawah dan ternyata lengan Neji masih melingkari tubuhku. Dengan hati-hati, aku mengangkat tangan Neji, yang sedang tertidur pulas, dan duduk. Aku berjalan ke arah jendela, menyibakkan tirai, dan mendapati hujan deras sudah berhenti dengan menyisakan tetesan air dari dahan-dahan pohon.

"Kau sudah bangun, Hime?"

Suara itu kembali mengejutkanku. Spontan aku berdiri dan berbalik badan. Neji kembali mendengus geli ketika mendapati aku kembali terkejut.

"Ne-Neji-nii, bisakah kau t-tidak mengejutkanku?" tanyaku kesal, dengan jantung masih berdebar karena rasa kaget.

"Gomen, Hime. Aku senang melihatmu terkejut," ujar Neji sambil terkekeh geli. Aku mendengus kesal mendengarnya. Lalu ia melanjutkan, "Ayo kita turun. Ada seseorang yang tampaknya lapar saat ini."

Pipiku kembali dijalari rasa panas. Lalu tanpa basa-basi, aku segera menuruni tangga tali yang agak basah terkena air hujan, dan segera disusul oleh Neji. Lalu kami berdua berjalan ke rumah tanpa sepatah kata pun mengiringi langkah kami. Setelah kami sampai di rumah, kami segera berjalan menuju ruang makan dan sudah mendapati Ayah dan Paman Hizashi sedang makan sembari berbincang-bincang.

"Ah, Tou-san dan Ji-san curang, tidak mengajak kami!" protes Neji sambil mencuci tangannya di bawah keran air.

"Kami saja tidak tahu kalian dari mana," bela Ayah yang tidak menghentikan acara makannya.

"K-kami habis bermain di rumah pohon, Tou-san. Ah, ya! Doumo arigatou, Hizashi-ji, sudah m-membuatkanku r-rumah pohon!" ujarku dengan wajah berseri-seri sambil mengikuti Neji mencuci tangan.

"Doita, Hinata-chan. Seharusnya kau berterimakasih pada Neji, karena ialah yang sudah membujukku mati-matian untuk membangun rumah pohon itu," sahut Paman Hizashi sambil tersenyum.

Aku dan Neji pun segera duduk di meja makan dan mengambil makanan yang sudah tersedia di sana. Aku mengambil kari banyak-banyak dari sebuah tempat di depanku, dan juga beberapa potong yakiniku.

"Itadakimasu!" seruku, lalu segera menyuap makanan era Meiji itu ke dalam mulutku. Makanan ini sangatlah enak. Bisa ditebak dari rasanya, ini adalah buatan Ayah. Ups, jangan salah. Ayahku sangat pandai memasak. Sepeninggalan Ibuku, Ayah belajar memasak pada teman-temannya, hanya untuk aku. Aku merasa cukup terharu karenanya.

"Tou-san, ini sangat enak. Berbeda sekali dengan buatan Tou-san!" seru Neji di sela-sela acara makannya.

Paman Hizashi melirik anaknya dan berkata, "Kau ini tak pernah sekalipun memuji aku."

Perbincangan pun mengalir di antara kami berempat. Tawa pun tak luput dari bagian perbincangan kami. Seperti obrolanku dengan Neji di rumah pohon, kebanyakan dari isi obrolan kami pun berisi tentang nostalgia. Bahkan Ayah sempat menangis saat mengingat tentang kebaikkan Ibu dan kenangan manis yang pernah terjadi di antara mereka. Aku yang sudah dapat merasakan air mata di pelupuk mataku pun segera meminta Ayah menghentikan ucapannya seputar Ibu. Dan kami benar-benar mengganti topik pembicaraan tentang kawan Paman Hizashi yang tak sengaja menjatuhkan kacamata dan juga salah satu sepatunya di tempat pemancingan.

Akhirnya acara makan kami pun selesai. Setelah aku mencuci segala piranti makan kami, aku pun menyusul Neji yang tadi sempat menyuruhku untuk menemuinya di halaman depan. Aku menemukan laki-laki berambut panjang itu tengah berdiri membelakangi aku di halaman depan. Menungguku.

"Neji-nii?" panggilku. Neji segera berbalik badan dan tersenyum.

"Kau ingin jalan-jalan?" tanya Neji sambil berjalan mendekatiku.

"Ka-kapan?" tanyaku gugup.

Neji mulai mengusap lembut pipi kiriku, membuatnya memanas, lalu menjawab, "Besok."

Aku menimbang-nimbang sejenak. Bagaimana jika perasaanku kembali tumbuh semakin besar? Ah, aku tak peduli. Bukankah aku sudah memutuskan untuk tidak memikirkan status dan asal-usul kami berdua? Tanpa menunggu waktu yang lebih lama lagi, aku segera mengangguk dan segera disambut senyum lebar dari Neji.

"Baiklah, besok kita pergi jam sepuluh," ujar Neji dengan mata berbinar-binar. Lalu ia mendekatkan bibirnya ke sebelah telingaku dan berbisik, "Anggaplah ini kencan kita."

Lalu ia pergi meninggalkan aku yang masih terpaku akan perkataannya.

-000-

Pagi ini aku sudah siap di halaman depan perihal ajakkan 'kencan' dari Neji. Aku mengenakan dress tipis dengan―lagi-lagi―warna ungu muda dan juga sepatu flat berwarna putih yang sangat simpel. Yah, tentunya sebagai seorang perempuan, aku membawa sebuah tas kecil yang diselempangkan di bahuku. Tak lama kemudian, Neji muncul, dengan kaus katun putihnya dan juga celana pendek berwarna hitam, dari dalam rumah. Ia juga menggunakan sneakers berwarna senada dengan bajunya. Neji berjalan menghampiriku sembari tersenyum.

"Ayo, Hinata-chan," ajak Neji sambil menggandeng tangan kananku, membuat aku tersipu malu.

Tak ada perbincangan di antara kami. Aku sibuk menetralisir rasa gugupku. Sedang Neji? Aku tak tahu. Yang kutahu adalah ekspresinya mulai berubah, dengan rahang yang cukup menegang. Aku sebenarnya tak nyaman dengan suasana canggung ini. Namun apa daya aku tak bisa melakukan apa pun untuk mencairkan suasana.

"Hinata-chan..." panggil Neji akhirnya, memecah keheningan di antara kami, saat kami sudah berjarak cukup jauh dari rumah Paman Hizashi.

"A-apa?" tanyaku gugup.

Neji mempererat genggamannya pada tanganku dan ia berkata dengan nada kaku, "Terkadang aku tak bisa menerima kenyataan bahwa kita bersaudara. Hinata-chan."

Aku terkesiap mendengar ucapannya. Lantas aku menoleh ke arahnya dan bertanya dengan suara bergetar karena gugup, "A-apa m-maksudmu, N-Neji-nii?"

Mendengar pertanyaanku, Neji menghentikan langkahnya. Ia berdiri menghadap ke arahku dan menatap mataku dengan sangat tajam. Lalu ia berkata, "Hentikan panggilan itu saat kita hanya berdua. Panggil aku 'Neji-kun'"

Mataku kembali membulat sempurna, dan perlahan rona di wajahku mulai terlihat nyata. Aku pun menundukkan kepalaku, namun segera diangkat lagi oleh Neji dengan satu jarinya. Ia menatapku seakan memaksa aku memanggilnya dengan sebutan itu. Aku pun berbisik lirih, "Ne-Neji-kun..."

Aku melihat Neji tersenyum puas mendengar ucapanku. Ia berkata lembut, "Aku mencintaimu."

Ucapan laki-laki itu diakhiri dengan ciuman yang mendarat persis di bibirku. Ciuman kedua kami.

To be continued.


Yosh! Setelah (tidak) sukses dengan fiction SasuHina-nya, Anonymous Hyuuga kembali dengan fiction berbau 'Hyuuga'~!

Betewe, aku minta maaf buat pecinta keluarga Hyuuga, karena aku sudah membuat 'taboo contents' di sini T^T Gomeeeennn!

Yaudahlah, bacotanku dikit-dikit ajaa..

Langsung RnR aja yaah! Ditunggu looo~

Never Stop Trying To Be Better, And Better.

-Anonymous Hyuuga-