Disclaimer: ATLUS owns Persona 4
AUSSAGEN
:-:
PART I, CHAPTER 1
'The world is full of obvious things which nobody by any chance ever observes'—Sir Arthur Conan Doyle
New York, Desember 2002
Waktu itu, malam musim dingin di New York telah membekukan danau. Hembusan angin memancing gigi manusia bergemeletuk. Mereka yang berakal sehat tentunya tidak keluar ke jalanan dengan pakaian ala kadarnya. Dinginnya cuaca tidak tertahankan, walaupun belum ada setitik salju yang mendarat di kota.
Namun, suhu malam itu seakan-akan tidak berpengaruh pada sekelompok polisi yang tengah menyelidiki TKP, yang adalah sebuah gang kecil di sisi-sisi gedung yang dicemari dengan sampah, dengan beberapa ekor kucing liar yang sering mengaduk-aduk tempat sampah. Gang kecil yang kotor itu telah dikelilingi garis kuning dengan tulisan 'Police line - do not cross'. Tempat itu begitu sepi, dan mungkin tanahnya hanya pernah diinjak sepatu-sepatu para pelacur, pemabuk, pecandu narkoba, atau hanya warga setempat yang berniat membuang sampah rumah tangga.
Malam ini, tentu saja, gang kecil itu akhirnya diinjak oleh sepatu-sepatu polisi.
"Terlalu mengejutkan. Bayangkan kau hendak membuang sampah dan menemukan mayat seorang wanita dengan bekas luka bakar pada wajahnya di dalam tempat sampah. Aku tidak ingin membuang sampah di gang kecil seperti ini lagi, sungguh." Sersan Jack Shaw berceloteh, hendak meraih mayat itu keluar dari tempat sampah.
"Jangan pindahkan mayat itu, dan berhenti berbasa-basi..." Letnan Harry Dallas menekan dahinya dengan jari, melotot kesal pada sang sersan yang memasang ekspresi bertanya-tanya, "sebelum kau memindahkan mayatnya, Sersan, ada baiknya kita mempelajari posisi mayat."
"Posisi mayat? Mayat ini terduduk di dalam tempat sampah seperti seseorang bersantai pada bath tub... dan baunya sama sekali tidak menyenangkan." Jack menutup hidungnya dengan satu tangan.
"Aku tidak pernah mendengar, ataupun menemukan, ada mayat yang baunya menyenangkan." Harry menjawab ketus. "Penyelidikan sementara, diperkirakan wanita ini meninggal lima hari yang lalu."
"Lima hari, eh? Seseorang sungguh terlambat menemukannya..." Jack menggaruk kepalanya. Perhatiannya seketika teralih ketika ia mendengar seruan para polisi di sekitar TKP.
"Beri jalan! Beri jalan!"
Jack tersenyum penuh arti, "Siapa gerangan yang mampu menyingkirkan polisi seperti itu? Apa Chief?"
"Bukan..." Harry langsung menjawab, kemudian berjalan menjauhi Jack dan mayat itu, menemui seorang pria berusia sekitar lima puluhan tahun yang berjalan ke arah mereka. Jack berpikir mungkin pria itulah yang mampu 'menyingkirkan' para polisi dan memasuki TKP. Apa lelaki ini memegang posisi penting?
"Detektif Masahiro Shirogane, senang berkenalan dengan Anda." Harry tersenyum sangat sopan pada pria itu, kemudian menjabat tangannya. "Saya sering mendengar pada beberapa kesempatan, Anda adalah salah satu detektif yang paling disegani. Saya kira Chief sendiri yang mengirim Anda?"
Pria yang tampak berusia cukup tua itu hanya tertawa kecil, "Tidak... tidak. Kami hanya sedang berlibur, itu saja." Walaupun senyumannya belum pudar, tatapannya kembali serius, "Saya hanya mendengar ada sedikit 'masalah' di sini."
"Tentu, Sir... kami khawatir wanita ini adalah korban pembunuhan." Harry tersenyum pahit, "Oh, maafkan kami karena lupa memperkenalkan diri. Saya Letnan Harry Dallas, dan ini Sersan Jack Shaw."
Jack menjabat tangan Masahiro dengan enggan sambil memasang senyum sopan namun dingin. Sang detektif ternama mengerutkan dahi tanpa memudarkan senyumannya, dan Harry menyadari sikap dingin temannya itu.
Harry menyodok temannya itu dengan siku sambil berbisik kesal, "Bersikap sedikit lebih hormat dan ramah pada Detektif, Jack..."
Jack masih tersenyum ketika melepaskan jabatan tangannya dan menoleh pada Harry, "Aku tidak menyukai orang asing." Ia balas berbisik.
"Suka atau tidak suka, kau harus menghormatinya! Dia salah satu detektif paling disegani." Dallas kembali berbisik.
Sebelum Jack sempat menjawab kembali bisikan Harry, pria itu menyadari tatapan Harry beralih ke bawah belakang sang detektif, dan senyum ramah tersungging di bibir Harry.
"Lihat siapa yang bahkan tidak kusadari keberadaannya," Harry tertawa kecil, dan Jack mengikuti pandangan Harry, yang ternyata terpaku pada sesosok anak kecil yang berdiri bersembunyi di belakang Masahiro, dengan kedua tangan mungilnya yang mencengkeram erat jas hitam Masahiro.
Jack tidak menyukai orang asing... apalagi orang asing itu adalah sesosok anak kecil yang berdiri di tempat yang salah.
Pandangan Masahiro teralih pada anak kecil yang mencengkeram erat jasnya. Ia tersenyum tipis, "Anak ini cucu saya. Perkenalkan dirimu, Nak..." Masahiro mendorong anak kecil itu lembut untuk menghadap kedua pria di hadapannya. Harry dapat melihat sesosok anak kecil dengan potongan rambut pendek berwarna biru gelap, dan sepasang mata kelabu yang juga mengandung kebiruan samudra. Semburat merah mewarnai wajah anak itu, dan ia tampak kebingungan harus berkata apa.
"Kau terlihat gugup, teman kecil. Bisakah kau berbahasa Inggris?" Harry membungkuk dan bertanya ramah.
Anak kecil itu membuka mulutnya, namun belum sampai ia mengucapkan sepatah kata, Harry mendengar Jack mendengus keras.
"Dia tidak bisa berbahasa Inggris, Harry. Atau dia gagap," sembur Jack tidak sabar.
Masahiro tersenyum geli, dan Harry sangat ingin mencekik temannya itu untuk tutup mulut.
"Aku yakin kau bisa berbahasa Inggris, teman kecil. My name is...?" Harry berusaha membantu anak itu, dan ia mendengar Masahiro tertawa kecil.
"Cucu saya pandai berbahasa Inggris, Anda tidak perlu khawatir, Letnan." Masahiro menjawab, "Dia terlalu gugup, itu saja. Dan tidak, saya percaya cucu saya tidak gagap." Masahiro tersenyum, tidak lupa membalas terkaan sembarangan dari Jack.
"Namaku Shirogane Naoto..." anak kecil itu menjawab pelan, dan menyadari dahi Harry berkerut.
"...'Naoto'? Aku tidak mengerti banyak tentang Jepang, dan maaf kalau pertanyaan ini menyinggungmu, teman kecil. Apa kau anak laki-laki, atau perempuan?" Harry bertanya hati-hati. Sejak awal, ia memang tidak yakin apa anak ini laki-laki atau perempuan. Bisa jadi perempuan, tapi juga bisa jadi laki-laki.
Harry dapat melihat semburat merah itu semakin mewarnai wajah anak kecil itu, "...Aku anak perempuan." Sang gadis kecil menjawab gugup. "A-aku... ingin..."
"Cucu saya minta diijinkan menemani saya dalam menyelidiki kasus ini." Masahiro akhirnya membantu cucunya berbicara. Bukan karena cucunya tidak dapat berkata-kata dalam bahasa Inggris, tetapi untuk membantu gadis kecil itu mengatasi kegugupannya.
Jack ingin sekali tertawa keras-keras. Ia tidak meragukan kemampuan sang detektif di hadapannya, tetapi anak perempuan kecil ini? Ia ingin sekali memperingati bahwa menjadi cucu detektif terkenal tidak berarti ia akan mendapatkan kesempatan semudah itu.
"Dengar, Nak..." Jack berusaha menahan tawa sinis, "TKP bukan taman bermain anak-anak. Serahkan masalah ini pada orang dewasa dan—"
"Tentu saja, Detektif!" Harry terburu-buru menjawab dengan nada suara agak terlalu riang, memotong semburan sersan di sampingnya. "Ini akan menjadi pelajaran yang baik bagi cucu Anda."
"Harry, kau bercanda!" Jack mengeraskan suaranya. "Tidak, Detektif! Kami tidak akan mengambil resiko berbahaya yang mungkin saja membayangi cucu Anda. Anak kecil seperti dia—"
"Oh, diam, Jack!" Harry menjawab keras, hingga temannya itu bungkam selama beberapa saat dengan mulut menganga. "Silahkan, Detektif. Anda dan cucu Anda boleh menyelidiki TKP."
Dengan kalimat itu, Masahiro mengangguk singkat dan berjalan ke arah tempat sampah, dengan Naoto mengikuti di belakangnya. Jack nyaris tidak dapat menutupi kekesalannya. Ia benci anak kecil. Apa yang bisa dilakukan anak kecil itu? Apalagi ia orang asing. Jack yakin sampai dewasa pun, anak kecil itu hanya menumpang ketenaran kakeknya.
Masahiro memperhatikan mayat itu sejenak, kemudian mendesah, "Ia telah meninggal lima hari."
"Benar, Detektif." Harry berjalan menghampiri mereka, raut wajahnya kembali serius, "Dalam posisi seperti itu... mungkin wanita ini dibunuh, kemudian mayatnya dibuang ke tempat sampah."
Masahiro terdiam sejenak, kemudian melirik cucunya yang terlihat sedikit pucat, sedang menutup mulutnya dengan satu tangan. "Nao-chan, kau tidak apa-apa?"
"Kau merasa mual, teman kecil? Baunya memang tidak tertahankan, apalagi di antara sampah-sampah ini." Harry bertanya menenangkan.
"Sudah kuduga dia tidak bisa apa-apa dan hanya menjadi masalah..." Jack membuka mulutnya, namun suara yang dihasilkannya hanya berupa bisikan, walaupun Harry dapat mendengarnya.
"Jaga mulutmu, Jack." Harry membalas kesal.
"Aku tidak apa-apa..." Naoto berusaha menjawab, walaupun wajahnya memucat.
"Kalau kau merasa mual, tidak apa-apa. Kakek akan menyusulmu ke penginapan." Masahiro menawarkan solusi pada cucunya, yang hanya dibalas gelengan kepala.
"Aku akan berusaha bergabung denganmu..." Naoto menjawab lirih, "Aku bisa menangani ini."
"Baiklah..." Masahiro menjawab singkat, kembali memusatkan perhatian pada mayat tersebut. Wajahnya penuh luka bakar dan tidak teridentifikasi dengan jelas. Rambut pirang sebahu turun lemas ke sisi tempat sampah. Mengenakan sarung tangannya, Masahiro meraih tangan mayat wanita itu, menemukan setiap jarinya juga penuh luka bakar, termasuk pada bagian kaki.
"Sepertinya untuk sementara kita tidak berhasil menemukan identitas korban. Jane Doe kita yang malang." Terdengar suara Harry. "Tidak dapat mengandalkan sidik jari. Atas ijinmu, Detektif Shirogane, bisakah kami memindahkan mayat itu dari tempatnya?"
"Apa kalian sudah memotretnya?" tanya Masahiro, dan segera menerima anggukan tegas dari Harry. "Silahkan kalau begitu, Letnan Dallas." Masahiro menjawab, kemudian berjalan mundur dan membiarkan beberapa polisi lain menghampiri tempat sampah dan mengangkut mayat tersebut.
"...Kakek..."
Masahiro menoleh pada cucunya, yang telah memegang dua plastik seperti plastik obat-obatan dengan sebuah cotton bud di dalam masing-masing plastik. Meskipun di dalam kegelapan, Masahiro dapat melihat cotton bud yang satu telah basah dengan darah dan yang lainnya basah dengan cairan transparan lain. "Apa itu, Nao-chan?" Sang kakek bertanya dalam bahasa Jepang.
"Aku menemukan darah di sisi tempat sampah itu..." Naoto menunjuk bagian yang dimaksudnya, dan juga berbicara dengan bahasa Jepang, "dan cairan bening ini menetes dari kepala korban. Aku... mengambil sampelnya, seperti yang pernah kauajarkan padaku."
Masahiro menghampirinya, meraih kedua bungkusan itu dari tangan cucunya dan memeriksanya perlahan. Ia membungkuk dan mengelus lembut rambut Naoto. "Kerja bagus. Kita akan memeriksa kedua cairan ini. Apa kau kedinginan?" tanyanya lembut.
"Aku tidak menyadari angin berhembus ketika berada di tempat ini." Naoto menjawab jujur, "Terlalu banyak hal lain yang mampu mengalihkan perhatianku."
Jepang, Desember 2002
Di bawah cahaya bulan yang menerangi malam dingin, dua orang anak kecil tengah berdiri di depan deretan perumahan. Alasan keberadaan mereka di sini cukup simpel; mereka bermain bersama hingga kelelahan dan memutuskan kembali berjalan pulang ketika langit menggelap. Salah satu bocah itu tidak setuju ketika temannya bermaksud melewati jalan melintasi perumahan yang terkenal 'membawa kesialan', dan bocah satunya menentang pernyataan itu. Sambil menarik temannya untuk melewati perumahan itu, mereka saling berdebat.
"Tanah ini terkutuk..." Seorang bocah kecil dengan rambut coklat terang bergumam menyimpulkan.
"Tentu saja tidak!" Bocah lainnya, yang berambut abu-abu dengan poninya yang rata, menentang habis-habisan.
"Sudahlah, Souji! Aku lelah kita terus berdebat!" Bocah kecil berambut coklat itu mulai kesal.
"Sayang sekali, Yosuke. Tidak sampai kau mengakui bahwa tanah ini tidak terkutuk." Souji menjawab keras kepala. "Keluargaku pernah tinggal di tempat ini, dan sangat menyayangi tempat ini. Tidak ada omong kosong tentang kematian berturut-turut para penghuni tanah ini."
"Yah... tapi itulah yang terjadi akhir-akhir ini! Para penghuninya meninggal secara misterius. Kaulihat ini?" Yosuke melambaikan tangannya ke sekeliling perumahan. "Perumahan ini... tidak ada satu pun penghuninya sekarang! Sebutkan kemana perginya tetangga-tetanggamu, Souji."
Souji tampak ragu sejenak, ia tahu ia hampir kalah. "Mereka ke... um... ke..." Souji mengalihkan perhatiannya ke arah lain, "...Urusan mereka masing-masing, tentunya. Ada yang pindah karena urusan pekerjaan, ada yang—"
"Seluruh tetanggamu di perumahan ini pindah, dan tidak ada lagi penghuni berikutnya, bukan?" sembur Yosuke, yang merasa kemenangan nyaris ada di pihaknya. Rasa senang yang aneh berdesir dalam dirinya. Jarang sekali ia menang dalam 'perlombaan debat' melawan sahabatnya.
"Akan kubuktikan tanah ini tidak terkutuk..." Souji memelankan suaranya. Yosuke mengerutkan dahi. Mengapa sahabatnya ini sangat keras kepala? "Kita sama-sama masuk ke salah satu rumah mewah ini."
Kalimat terakhir Souji sukses membuat mulut Yosuke menganga lebar. "Kau gila!" Yosuke akhirnya berteriak. "Di dalam sangat angker! Kau akan dikutuk selamanya begitu masuk ke rumah ini...!"
"Kami pernah tinggal di sini, Yosuke." Souji menjawab tenang, nyaris kembali menjadi dirinya yang kalem seperti biasa.
"Ta-tapi..." Yosuke berusaha mencari alasan, "sekarang sudah gelap. Ayah dan ibuku akan mengoceh panjang lebar kalau aku pulang terlambat. Lupakan ide gilamu itu."
"Ayah dan ibuku juga." Souji tersenyum tipis, "Katakan saja bahwa kau takut. Ya, kan?"
"T-tentu saja tidak!" balas Yosuke, "Aku tidak takut sama sekali. Aku hanya khawatir kutukan itu akan menempel."
"Tidak ada kutukan." Souji tertawa kecil, "Percayalah padaku, Yosuke. Yang kau takutkan bukan hanya kutukan, tapi..."
"Hantu? Aku tidak takut mahluk abstrak itu!" Yosuke berusaha bertahan, walaupun ia sangat tahu bahwa ia takut dengan hal-hal berbau gaib.
"Baiklah. Ayo masuk, kita sepakat, oke?" Souji tidak dapat menahan senyum kemenangannya, "Biasanya, kau selalu melanggar jam bermain yang ditetapkan orangtua, bukan?"
Yosuke menelan ludah. Ia tidak dapat menunjukkan kelemahannya, bahkan di depan sahabatnya. Tidak. Akan. Pernah.
Tetapi ia akan membuat sahabatnya ini menyesal telah mengajaknya memasuki salah satu rumah yang dikutuk ini.
A/N:
Merry Christmas, all :D
Maaf kalo tau" saya balik dengan cerita yang amat sangat gaje ini *swt* .Setting cerita ini semi-AU. Atau malah emang AU...? Souji udah ketemu Yosuke dari kecil... yah, ini jelas AU. (_ _") dan... yah... bakal panjang... *swt* maaf lagi" saya bikin multi-chap... tapi saya usahain banget cerita ini dan LuR berhasil diselesaikan... mungkin juga termasuk fic" yang lain... kalau saja saya bisa ngilangin kemalasan saya ini... orz
Berhubung sekarang Natal... tapi cerita ini sama sekali ga ada hubungannya dengan Natal :') (dodolnya saya) Saya khawatir chapter pertama ini aja udah gajelas banget. Pokoknya amit" deh... :'D Saya ingin ngelanjutin LuR juga dalam waktu dekat ini... tetapi juga mungkin bakal fokus juga ke fic satu ini.. (maaf awal" gaje banget ya?) pendek pula... (_ _")
Dan tidak terlupakan, saya ingin berterima kasih banyak buat yang telah mereview fic" saya yang lain. Untuk Kallen Glory dan Rendezvous, makasih banyak untuk reviewnya di fic saya yang lain! Saya sangat menghargainya dan senang serta lebih bersemangat XDD berhubung anonym review, saya bingung gimana balesnya... mungkin cuma bisa lewat sini :') dan untuk signed review akan saya bales... secepatnya... karena ini udah malam dan saya- (maaf basa-basi yang mirip" aja dengan sebelumnya, mending dilewatin aja)
Seperti biasa, kalau ada pertanyaan, komentar beserta kawan-kawannya, silahkan sampaikan lewat review :D
Dan sebelum saya yang pikun walopun masih muda ini lupa lagi, Jane Doe biasanya sebutan yang dipakai untuk korban perempuan yang tidak teridentifikasi, buat yang belum tahu :)
Makasih banyak bagi yang telah membaca, maaf kalo cerita ini, dan chapter satu ini tentunya, penuh kekurangan orz
Mari bersukacita di hari Natal yang indah ini!
-Snow Jou
