Pengap, sesak, saling berhimpitan. Ah, aku memang tidak suka dengan keadaan seperti ini. Tapi hari ini berbeda, persis di depanku terlihat seorang pria tinggi bertubuh professional. Ia berambut pirang, mungkin ia mewarnainya; berpakaian bartender; dan sebuah puntung rokok dikulum di bibirnya. Satu kata yang langsung terlintas di otakku, kakoi~!

Orang di belakangku tiba-tiba mendorongku dan aku pun tak sengaja menabrak punggung pria itu. Ah, dia juga wangi. Aku senang, walaupun sejujurnya aku tahu siapa orang yang ada di depanku ini. Dia adalah Heiwajima Shizuo, seorang penagih hutang di Ikebukuro yang ditakuti dan berbahaya. Desas desus mengenai pria ini sudah sering kudengar dan kerusakan-kerusakan yang dibuat pria ini juga sudah sering kulihat. Yah, aku seorang siswi SMA yang tinggal di Ikebukuro.

Pria itu sepertinya tidak merasakan ada yang menabrak punggungnya. Yah, tentu saja karena kami sedang berada dalam tempat yang ramai. Dan−oh, apakah author belum memberitahu di mana setting cerita ini? Jika anda membayangkan kami sedang mengantri sate di warung Pak Mamat itu jelas salah. Jika anda menduga kami sedang mengantri sembako itu juga jelas salah. Tepatnya, setting cerita ini berada di dalam kereta bawah tanah.

Dan−oh, tunggu. Kenapa diawal cerita aku bilang pengap? Itu karena Jakarta panas. Aku tahu jawaban yang aku tuturkan sungguh tidak nyambung dengan cerita. Tapi ini kenyataan, Jakarta memang panas.

Aku membetulkan posisi tas sekolahku di bahu dan berharap orang di belakangku mendorongku lagi, tapi itu sekarang tidaklah terlalu penting. Kalian tahu? Sejak aku bertemu langsung dengan Heiwajima Shizuo (sosok keren di depan mataku ini yang hanya memperlihatkan punggungnya saja kepadaku) dengan mata kepalaku sendiri, aku tahu dan sadar perasaan ini tidak dapat kutahan lebih lama lagi. Tak dapat kutunda lagi, harus kukatakan sekarang, HARUS!

Tapi, apa mau dikata, hati ini berdetak tak karuan. Seolah ingin lari dari rongganya. Aku berusaha memberanikan diri, menghirup napas dalam-dalam dan mengeluarkannya secara perlahan. Oh Tuhan, berikan aku keberanian. Ketika tanganku dengan malu-malu terangkat dan jari telunjuk telah siap mengacung untuk menyenggol pelan lengan pria itu, aku sadar−oh dear, tanganku gemetar!

Tapi…...tak bisa! Harus kukatakan sekarang juga! Aku sungguh tak dapat menundanya lagi. Rasa ini sungguh tak mampu kutahan. Akhirnya, setelah aku meneguk ludah dan makan permen Hexos, aku menyenggol lembut tangannya.

Ia menoleh ke arahku, menundukkan kepalanya agar dapat melihatku yang jauh lebih pendek darinya ini. Oh, seketika jantungku seolah berhenti berdetak. Tapi itu tidak penting sekarang. Mata hitam itu menatapku lekat-lekat seraya berkata, "Ada apa?"

Oh Tuhan, biarkan aku meleleh saat ini. Tapi tidak bisa, aku harus mengatakannya terlebih dahulu. Aku tak kuat lagi menahan rasa ini, sungguh! Ya, harus kukatakan sekarang.

"Maaf Bang, kaki saya keinjek."


Review, please?