TUUT… TUUT… PIP—

"Hallo? Matthew? Sekarang kau ada dimana?" seorang pemuda dengan jaket bombernya melangkah keluar dari Mc'D. Tangan kanannya memegang bungkusan burger yang baru dibelinya, sedangkan tangan kirinya memegang ponsel yang sedang ia gunakan.

"Ah… Alfred? Maaf… tapi apa kau bisa menelponku beberapa menit lagi? Aku sedang bertugas… -DOR!-" suara lembut di ujung sambungan telepon terdengar sedikit terburu-buru.

"Hah? Suara apa itu, Mattie? Apa kau baik-baik saja?"

PIP!

Matthew memutuskan panggilannya. Alfred menatap layar ponselnya heran. Ada apa dengan Matthew? Suaranya terdengar tergesa-gesa, nafasnya juga terdengar tidak teratur. Dan suara terakhir yang didengar Alfred… apa ia tidak salah dengar? Itu suara tembakan, kan?


Hetalia FanFiction

Paralyzed

Hetalia belongs to Hidekazu Himaruya only!


Alfred segera menekan tombol speed dial di ponselnya. Nada sambung terdengar di ujung ponselnya. Beberapa detik kemudian dan Matthew belum mengangkat ponselnya. Alfred mendecak tak sabar dan memutuskan panggilannya, setengah berlari, ia berjalan ke apartemennya.

Setelah sampai di kamarnya, ia mencoba menelpon Matthew lagi sambil menyalakan computer miliknya. Setelah beberapa lama nada panggilan terdengar, Matthew akhirnya mengangkat panggilannya. "Mattie! Kau dimana? Bukankah kau sedang mengawal presiden di Konferensi G8?!"

Alfred langsung bertanya dengan kecemasan yang jelas terdengar di suaranya. Matthew menghela nafas, ia mencoba memperlambat kerja jantungnya menjadi normal. Setelah lima detik kemudian, baru Matthew dapat menjawab pertanyaan kakaknya itu, "Tenang saja, aku hanya sedang bertugas, kok. Sampai jumpa besok, Alfred." Ditengah kata-kata Matthew, Alfred dapat mendengar suara tembakan berulang-ulang. Dan kemudian disusul dengan tembakan lain dan suara ledakan.

"Benar, ya? Cepat pulang! Bye!" Alfred memutuskan panggilannya. Sejenak ia melihat kearah layar ponselnya, dan menaruhnya di meja. Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke monitor computer. Ia menghubungkan komputernya dengan internet dan membuka e-mail masuk yang ditujukan kepada dirinya. Sekilas ia menyeringai melihat isi e-mail tersebut.

[Sender: Ivan_Braginski]

Matthew dan Yao sedang dalam tugas mereka menjaga presiden di London. Sepertinya ada sekelompok mafia yang mengincar nyawa presiden. Yao menyuruhku untuk memberitahumu bahwa dia dan Matthew baik-baik saja, walau kupikir sepertinya tidak, da.

Mau pergi ke bar malam ini? Sebisa mungkin aku ingin menghindar dari Natalya…

[Message Sent at 17.25 PM]

Alfred terdiam sebentar sebelum ia mengetik balasannya.

[Reply For Ivan_Braginski]

Kuharap mereka baik-baik saja… Well, your plan sounds good to me! I'll invite Gil as well… dan jangan sering-sering menghindar dari adikmu! Hati-hati Ivan… Hahaha!

[Message Sent at 17.29 PM]

.

.

.

"Hah… hahh… Yao… apa kau masih punya peluru? Punyaku sudah habis…" Matthew memperlihatkan handgun miliknya. Dengan sigap, pemuda berwajah Asia itu melemparkan magasin yang langsung ditangkap oleh Matthew. Setelah mengucapkan terima kasih, ia mereload handgunnya.

"Matthew, sepertinya ini tidak bagus. Jumlah mereka semakin banyak, kita harus mundur dari sini, aru!" Yao berjalan setengah menunduk kearah Matthew, sebisa mungkin tidak terlihat oleh musuh-musuhnya ditengah-tengah deretan mobil yang terparkir rapi. Sebuah tembakan membuat tembok tempat Matthew dan Yao bersembunyi retak. Kedua orang itu membeku, Yao dan Matthew bersiap untuk lari kearah pintu darurat yang berjarak 10 meter dari tembok tempat mereka bersembunyi.

Matthew dan Yao memegang senjata mereka lebih erat, dan dalam hitungan ke-3 mereka berlari kearah pintu darurat. Orang-orang yang mengejar mereka pun segera melepaskan tembakan dan baru akan mengejar tapi segera dihentikan oleh seseorang yang sepertinya adalah pimpinan mereka. Dengan pakaian jas hitam lengkap dan handgun di tangan kirinya, ia menyuruh bawahannya untuk berhenti dan berikan sisanya untuk dirinya.

Diikuti pandangan patuh anak buahnya, laki-laki itu berjalan santai kearah pintu darurat dan menutupnya. Sejenak ia berhenti, mengobservasi keadaan sekitarnya. Ia mendengar langkah terburu-buru diatasnya, jadi pasti mereka keatas. Pemuda itu menyeringai dan berjalan tenang menuju atap gedung.

Saat ia tiba diatas, sebuah tendangan menyambutnya. Tapi dengan lihai, pria itu berkelit dan memukul lelaki berwajah Asia tersebut. Pukulannya tepat mengenai dada Yao. Ia mundur untuk mengambil jarak sebelum pemuda Asia itu maju menyerangnya lagi, kali ini ia mengincar muka pimpinan tersebut. Sayangnya pria itu bisa mengelak dan melancarkan serangan kearah punggung Yao dan kena.

Yao terbaring tak berdaya dengan moncong pistol mengarah ke kepalanya. Pria dengan jas hitam itu menginjak tubuh Yao dengan kakinya, menahan dia supaya tidak melawan. Dan seketika dari belakang terdengar suara pistol yang diarahkan ke pemuda itu. Dengan tidak senang, ia melihat ke belakang dan menemukan Matthew mengarahkan senjata api kearah kepalanya dengan tatapan dingin.

Sebuah senyuman tergambar di wajah pria itu, ia kemudian tertawa dan menantang Matthew dan Yao. "Hahahaha! Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?"

Mathew menarik pelatuk pistolnya, tak peduli dengan tantangan pria itu dan kemudian berkata pelan namun penuh ancaman, "Lepaskan partnerku…"

"Hmm… kau kira aku mau menurutinya?" pemuda itu menyeringai, ia jelas-jelas tak peduli pada pistol yang diarahkan padanya.

"Lepaskan atau kau kutembak…"

"Kau tahu? Jangan mengatakan kata-kata seperti 'kau akan kutembak' atau 'aku akan membunuhmu' sebelum kau benar-benar bisa melakukannya…" ia berkata dengan nada pelan penuh ancaman.

Hening. Tak ada satu pun dari mereka yang bergerak. Masing-masing memperhatikan gerakan lawannya. Hingga akhirnya keheningan itu dipecahkan. Matthew baru akan menarik gagang pelatuknya untuk menembak pemuda di depannya saat tangan kanan pria itu -yang tidak memegang senjata- dengan cepatnya menyambar pistol yang ada dibalik saku jasnya dan mengarahkannya kepada Matthew. Dan dengan satu gerakan cepat dan ringan, ia menembak Matthew tepat di kepala sebelum bisa bereaksi dengan gerakannya.

Yao yang menyaksikan itu segera berontak, mencoba menyelamatkan Matthew. Tapi sayangnya sebuah peluru lebih dulu menghentikan gerakannya. Pemuda itu menatap wajah Yao yang kesakitan dan marah dengan datar. Pelurunya menembus lengan pemuda Asia itu dan membuatnya tak bisa bergerak karena sakit yang ia rasakan. Yao hanya bisa menggeram dan menggertakkan giginya sebelum ia bisa benar-benar mengeluarkan suaranya.

"Kau… berani-beraninya…" kata-kata Yao yang penuh emosi terpotong dengan suara dingin yang berasal dari pemuda itu, "Aku tak ada waktu mendengarkan ocehanmu. Au revoir. " nada ejekan terdengar jelas di suaranya yang beraksen British.

Ia pun pergi, meninggalkan Yao yang mengepalkan tangannya da menggertakkan giginya keras, berusaha meredam air mata kemarahannya atas kematian partnernya. Ia berusaha duduk sambil menekan luka di lengannya dan melihat mayat di depannya. Darah mengalir dari luka tembak di kepala Matthew, tubuh itu sudah tak bisa bergerak lagi. Partnernya sudah mati.

.

.

.

Pagi itu Alfred bangun dengan perasaan tak nyaman. Kepalanya masih sakit dan pusing setelah tadi malam ia pergi minum bersama Ivan dan Gilbert dan baru pulang ke apartemen jam dua pagi! Dengan malas, ia berdiri dan menyandarkan tubuhnya yang masih lemas ke tembok dan berusaha berjalan menuju dapur. Setelah akhirnya ia sampai di dapur, Alfred membuka kulkas dan menemukan sekotak susu dingin yang langsung ia minum dari kartonnya. Setelah membuang sampahnya di tempatnya, Alfred meminum obat sakit kepala yang ia temukan di atas kulkas dengan segelas air dingin. Ia memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sebentar di sofa. Alis Alfred sedikit mengerut begitu dilihatnya 5 miss call masuk ke ponselnya, 2 dari Yao dan 3 dari Gilbert.

'Ada apa dengan kedua orang itu?' pikir Alfred dalam hati. Ia heran, tumben-tumbennya Gilbert menelponnya sampai sebanyak ini...

TING TONG!

Suara bell berbunyi, Alfred terdiam sebentar sebelum akhirnya membuka pintu apartemennya setelah suara bell itu berubah menjadi lebih cepat dan mulai mengganggunya. Ekspresi pertama yang ia tunjukkan adalah heran, begitu dilihatnya Yao, Gilbert dan Ivan, berdiri di depan pintu apartemennya pagi ini secara bersamaan.

"Err… morning? Apa yang kalian bertiga lakukan disini?" Alfred bertanya bingung begitu dilihatnya muka Gilbert yang sekilas menggertakkan giginya dan suasana kaku yang menyelimuti mereka. Sayangnya, Alfred tak menangkap sebuah tekanan emosi yang ada di muka Yao, sebelum akhirnya Yao menyuruhnya untuk ikut dengan mereka sekarang ke Rumah Sakit.

Saat mereka sampai disana, Yao segera membawanya ke sebuah ruangan. Alfred menemukan seseorang tertutup kain putih diantara para mayat yang terbujur kaku di ruangan itu, Matthew.

"Mattie?"

"Dia sudah mati, Alfred… Aku minta maaf." Yao mengepalkan tangannya, mengalihkan pandangannya ke tembok putih rumah sakit untuk menahan emosinya.

"….."

Alfred hanya menatap mayat di depannya dengan kaku.

Blank.


A/N

well, this is my first fanfict, so... yoroshiku, reader-sama :D

Kritik jika berkenan? :)