Dari lama pingin banget bikin fanfic ini habis nonton OVA kuroshitsuji yang How to Make Kuroshitsuji atau apapun itu. Lupa.

Dan dari semuanya paling pingin ambil tokoh utamanya Alois-blondeku-Trancy _/)^^)_/

*Plak*

Summary : Alois dibesarkan di negeri Ibunya, Jepang. Ayahnya yang seorang Jerman meninggalkan mereka semenjak ia kecil. Yang Ia tahu ayahnya seorang actor di Jerman sana. Demi memenuhi permohonan ibunya, ia kini siap mencari ayahnya, dan itu dengan masuk ke industry perfilman.

Mampukah ia?

Include : alternate universe, OC, canon, fanon, dll, dst

Enjoy dan RnR please. Onegai m u_u m

~-0000-~


Alois memasang sepatunya. Dibelakangnya sang nenek menatap cemas,

"Sudah kau persiapkan semua, A-chan?",

"Sudah,"

"Bajunya sudah lebih dari tujuh? Baju dalam? Dompet? Payung? Handphone?",

Alois menarik tali sepatunya, lalu berdiri,

"Kalau yang terakhir, nenek tidak perlu cemas," Alois nyengir,

"Ini bekalmu," neneknya menyodorkan bekal padanya.

"Terimakasih nek," hening.

"A-chan….",

"Tenanglah Nek. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Lagipula, aku pasti akan pulang karena disinilah rumahku." . Alois memeluk neneknya. Dirasakannya badan renta itu berguncang. Betapa ia sayang pada neneknya. Ia pun tak ingin berpisah. Tapi dia ingin mencari mozaik yang hilang dari dirinya. Yang bahkan belum pernah ia lihat. Ayahnya.

Ia bukan seorang mellow yang mencari ayahnya dengan alasan sentimen. Sungguh. Ia hanya ingin melihat, bagaimana ayahnya. Walau ada perasaan kecil dihatinya untu merasakan bagaimana memiliki ayah.

Sosoknya hanya terbangun dari foto sang ayah dan ibunya, sebuah potongan surat kabar lama berbahasa Jerman saat sang Ayah mendapat penghargaan perfilman dengan piala berbentuk beruang, dan cerita ibunya yang mengelus sayang kepalanya saat ia bertanya bagaimana ayahnya.

"Ia mirip denganmu, " ibunya menjawab saat ia bertanya di suatu malam musim panas yang cerah,

"Apanya?", Alois kecil berbaring di pangkuan sang ibu.

"Semuanya. Mata birumu. Rambut indahmu,"

"Tapi teman-teman disekolah selalu mengejekku. Katanya warna ditubuhku sedang luntur dan aku akan mati," Alois berdiri sambil memegang kepalanya,

"Tentu tidak, A-chan. Rambutmu sewarna dengan….seperti….ah! Nyala kunang-kunang.",

"Tapi aku tidak bercahaya, ibu," Alois merajuk.

"Coba kau lihat," ibu menunjuk halaman mereka yang gelap. Beberapa kunang-kunang berterbangan disekitar semak belukar.

"Kunang-kunang sungguh berbeda dengan kegelapan sekitarnya, kan? Seperti rambutmu yang berbeda dibanding rambut hitam teman-temanmu,"

"Tapi kunang-kunang cantik," Alois menatap kunang-kunang yang menarikan tarian musim panasnya,

"Begitu juga dirimu." ibunya menggelitik perut Alois, yang tertawa keras melepaskan semua kegundahannya.

Ia membuka mata. Di rasakannya neneknya mendorongnya pelan.

"Pergilah! Kau harus jadi terkenal sehingga aku bisa menjual foto-fotomu," ditepuknya bahu Alois.

"Dan jangan lupa pulang. Setidaknya saat musim panas agar bisa melihat kunang-kunang. Aku yakin di Tokyo kau akan susah melihat kunang-kunang,"

"Tentu, nek. Jangan tambah tua dulu sebelum aku pulang, ya! Aku pergi dulu!", Alois mencium sekilas pipi neneknya dan menutup pintu dibelakangnya.

"Aku belum setua itu!", Neneknya menjerit. Lalu mengunci pintu.

"Benar-benar anak itu. Oh, Reiko! Harusnya kau lihat ia tumbuh senakal dirimu,", sang nenek menggelengkan kepala sambil berlalu. Berhenti sebentar untuk menenangkan tubuhnya yang mulai berguncang lagi, dan menghembus napas keras sambil meninju udara. "Ayo, Momoka, kau belum menyiapkan makan malam," ujarnya.


Alois mencari disekelilingnya. Sesekali di ceknya hanphone berharap ada balasan dari Atsu Nee-chan. HP nya berdering pelan. Atsu nee-chan

"Aku dipintu keluar utara. Kau dimana?"

Ia membalas cepat.

"Aku kesana"

Alois menaruh HP nya dan mulai mendorong troli. Ia mencari sepupu jauhnya itu.

"A-chan?", Alois menoleh.

"Atsu...nee-chan?" Alois masih belum yakin. Tentu saja, sudah lebih dari 3 tahun ia tidak melihat kakak sepupunya ini.

"Ya ampun! Cepat sekali kau tumbuh!", ia mengacak-acak rambut Alois.

"Haha. Memang Atsu nee-chan ya,"

"Waah! Pasti menyenangkan kesekolah bersamamu lusa. Pasti teman-teman iri melihatku datang bersama cowok semanis ini," Atsu nee-chan mencubit gemas pipi Alois,

"Aiaaa!", Alois mundur menghindar.

Suara musik terdengar pelan. Atsu nee-chan membuka HP-nya.

"Iya ibu. Sudah. Iya. Ini kami akan pulang. Ow! Ibu pasti akan terkejut! Ok. Tunggu kami ya," Atsu nee-chan menaruh kembali HP-nya dan mendorong troli Alois menuju pintu keluar.

"Ayo cepat, A-chan! Ibu hari ini masak sukiyaki!", suara Atsu nee-chan menyemangati Alois yang tengah berlari mengejarnya.


"Karasuma Alois. Mohon bantuannya," Alois membungkuk di hadapan kelas barunya.

"Baik Karasuma-kun, silahkan duduk disebelah Amane-san. Bila ada pertanyaan bisa bertanya pada Himeka-san, ketua murid," Sensei menunjuk sebuah bangku kosong di tengah.

Alois membungkuk, lalu berjalan kebangkunya.

"Baik. Kita mulai pelajaran hari ini,"

Bel berdentang tanda istirahat. Alois merapihkan bukunya saat Atsu nee-chan masuk.

"A-chan! Bekalmu! Tadi lupa aku kasih,", ia melambai-lambaikan bekalnya.

"Atsu nee-chan!", Alois cepat bangkit.

"Kok diantar sampai sini. Maaf merepotkan," Alois mengambil bekalnya.

"Tenang. Gedung SMP dan SMA bersebrangan. Tidak jauh kok.",

"Terimakasih," Alois membuka bekalnya.

"Baiklah. Aku balik ya," Atsu nee-chan mengelus kepala Alois.

"Wow! Kau bersaudara dengan Karasuma-senpai, Aroisu kun?", Seorang anak menumpu lengannya dibahu Alois.

"Sepupu," Alois berbalik membawa bekalnya.

"Kau pindah dari mana? Hokaido?",

"Hmm," Alois duduk dan mulai memakan bekalnya,

"Wow! Bekal yang hebat! Aku coba ya," sebuah tangan mengambil sosisnya,

"Nagisa!", anak laki-laki tadi memukul pelan kepala Nagisa,

"Gomu!", Nagisa membalas dengan menendangnya.

"Hei, Karasuma-kun, rambutmu bagus sekali," seorang gadis lain duduk dimeja depannya.

"Terimakasih," Alois masih tidak acuh.

Mejanya menjadi sesak dikelilingi orang. Apalagi anak perempuan. Alois menghelai napas,

"Bitte leise Sein...", semua diam. Alois menutup kotak bekalnya. Sebenarnya ia kaget mereka mengerti apa yang di katakannya.

"Aroisu-kun...", anak yang tadi menumpu lengannya memandangnya. Wah, berlebihan juga kalau sampi menyesal, Alois beripikir.

"Kau bisa bahasa asing?", teriaknya kagum dibarengi dengan jeritan centil anak-anak perempuan.

"Sedikit. Ibuku wartawan koran asing." Alois mengangkat bahu.

"Ng...Karasuma-san, ada orangtuamu yang dari luar?",

"Ada, ayahku.''. Alois membuka botol minumnya,

"hoooo", koor anak-anak pertanda kagum.

"Hei, Karasuma-kun, apa arti yang tadi kau bilang," Alois menurunkan minumnya,

"Loh, kupikir kalian tahu makanya diam,", Alois memandang teman-temanya yang serentak menggeleng.

"Hahaha! Ya ampun. Kalian benar-benar lucu!", Alois memukul meja berulang kali sambil memegang perutnya.

Ia tidak terlalu suka perasaan seperti ini. Diperhatikan, ditanya-tanyai, toh sekalipun ia berbeda, ia masih manusia juga. Risi sekali. Dan selalu seperti itu. Di SD, di SMP nya yang lama, saat makan diluar bersama teman, saat pergi jalan-jalan. Ada beberapa yang minta foto bersama malah.

"Oi, oi. Jangan berlagak! Punya muka manis sedikit sudah berlagak," seorang anak bertubuh besar berjalan melewatinya. Didorongnya bangku Alois hingga bergerak kasar.

Dan ini yang paling tidak ia sukai dari perbedaan didirinya adalah, tidak jarang ia jadi korban kekerasan. Itulah yang mendorongnya utuk menarik diri dari pergaulan. Pernah suatu kali ada kakak kelasnya yang melapor ke pacarnya bahwa Alois menembaknya. Padahal kejadian sebenarnya adalah gadis itu yang menembaknya, walau ditolak oleh Alois.

Keesokan harinya, Alois pulang kerumah dengan penuh luka. Neneknya bahkan sampai siap membawa katana yang terpajang di ruang keluarga, "Akan kubalaskan dendammu," ucap sang nenek.

"Nenek, mungkin frekuensi menonton acara drama samurai nenek perlu dikurangi," Alois berkata dengan tenang sambil mengobati lukanya.

"Kenapa tidak kau lawan?" Neneknya membantu membungkus luka itu dengan kasa.

"Tidak perlu. Aku malas berurusan serius melawan mereka. Terserah mereka saja."

"Kalau begitu katakan pada mereka kau juara kempo "

"Tidak akan ada yang percaya, nenek."

"Bawa mendalimu!"

"Untuk apa? Sudahlah. Pukulan nenek tempo hari lebih keras, kok" Alois nyengir.

"Anak nakal," neneknya menyiramkan iodin ke luka Alois yang membuatnya menjerit.

Alois menghelai napas, lalu. Tes. Sebutir air mata menitik dari matanya.

"Maafkan aku, aku...", ia menghapus air matanya, "Hanya gugup dengan suasana baru ini,"

Beberapa anak laki-laki bersemu merah mukanya. Terkutuklah anak ini dan muka manis-saat-menangisnya, rutuk mereka.

Kena! Mungkin sedikit menyebalkan, tetapi ini lebih baik dibanding melawan dengan kemponya. Usahakan sedikit kekerasan, itu prinsipnya. Ia kadang bersyukur memiliki muka manis seperti wanita, walau tidak jarang ia digoda, bahkan hampir diserang oleh laki-laki. Kalau sudah begitu, penggunaan kempo mungkin bisa dimaklumi semua orang.

"Ah, Karasuma-san, jangan diambil hati. Kami mengerti kok," seorang anak gadis mengambil tangannya. Ditepuk-tepuknya untuk memberi semangat pada Alois.

"Untuk orang yang gugup, klub drama adalah solusinya!", ia lalu membawa tangan Alois meninju udara.

"Klub drama?", Alois melupakan akting menangisnya. Sebenarnya kepindahannya ke Tokyo, terutama ke sekolah ini karena banyaknya artis yang berasal dari sini. Ini tentu saja, mungkin, bisa meluruskan jalannya menuju dunia perfilman.

"Oh, Reina-chan sudah mulai, ayo menyingkir," beberapa anak menyingkir sambil tertawa.

"Iya! Klub drama terhebat disentero Jepang! Kita tidak hanya bermain teater, tapi juga membuat film. Kita juga siap menyalurkan bakat-bakat yang ada untuk audisi karena kami punya koneksi," ia berkecak pinggang bangga.

"Menarik. Kebetulan aku senang dengan dunia akting. Boleh aku tahu kapan kegiatannya?",

"Setiap Minggu pagi. Jam 9. Kalau berminat datang saja. Kami berlatih di aula.", Reina menepuk tangan Alois lagi.

"Akan aku pertimbangkan." Alois mengangguk.


Hari Minggu. Jam 9 pagi. Alois sudah sampai didepan aula. Kosong. Ia melihat kesekeliling tidak ada tanda-tanda kehidupan. Hah. Lebih baik ia pulang. Hari ini ia akan main ke Shibuya. Kata Atsu nee-chan banyak scout dari berbagai agensi yang mencari bibit baru disana. Alois berbalik bersiap pulang.

Tiba-tiba terdengar suara, "Karasuma-kun!",

"Oh. Reina-san." Alois menoleh.

"Semua sedang latihan pagi berlari keliling. Mereka mulai jam 8 tadi, jadi lebih baik kau tunggu disini saja,"

"Kapan mereka selesai?"

"Yah...kalau dilihat mereka baru sampai blok 5. Mulai hari ini porsi dinaikkan menjadi keliling distrik," Reina melihat jamnya.

"Distrik?" Alosi terkejut.

"Begitulah. Bagaimana, menarikkan? Hari ini jadwalku piket, jadi aku bertugas merapikan sanggar."

"Ini...Klub drama kan?", Alois menunjuk aula.

"Yup! Yang terbaik! Ah, Karasuma-kun, namamu memakai kanji yang ini atau yang ini,"

"Karasu,"

"Begini?"

"Bukan.", Alois mengambil pulpennya dan menulis di atas kertas putih itu.

"Coba kulihat bagaimana tanda tanganmu. Aku selalu penasaran tanda tangan orang dengan nama asing,"

Alois membubuhkan tanda tangannya di bidang kosong yang tersisa diantara coretan di sekelilingnya.

Dan secepat iya menarik pulpennya, secepat itu juga kertas itu ditarik oleh Reina.

Alois terkejut. Dan lebih terkejut lagi saat Reina membuka lapisan penuh coretan meninggalkan kertas putih berhuruf ketik rapi dengan tulisan tangan berisi nama dan tanda tangannya, seperti membuka lapisan tipis disosis.

"SURAT TANDA ANGGOTA DRAMA"

"Yosh! Kau sudah resmi sebagai anggota kami. Selamat datang, Aroisu-chan", Reina tersenyum.

"hah? HAAAAAH?",