Imperfect expectation.
Jongin, Yixing, Sehun, Luhan.
Unexpected's sequel.
.
.
"Jongin, tak bisakah kau pulang?"
"Untuk apa? Aku masih sibuk disini dan—"
"Noona-mu akan menghadapi sidang pertamanya kembali, bagaimana kalau sedikit menghibur nanti kalau dia kalah."
"…"
"Bagaimana? Sidang pertamanya setelah berhenti menjadi pengacara akan dimulai dua hari lagi. Apa kau sebegitunya mencintai pekerjaanmu disana?"
"—tidak begitu ma, baiklah. Besok aku akan kesana."
Beberapa kalimat setelahnya Jongin tidak begitu mendengarkan. Dia mematikan sambungan telfonnya begitu sang ibu mengucapkan selamat malam. Dia menatap kearah luar jendela apartemennya. Jepang dimalam hari memang tak pernah tak indah.
Matanya menjalari setiap sudut bagian yang sudah menjadi rumah keduanya tiga tahun terakhir, "Sepertinya memang sudah waktunya untuk kembali ke Korea Selatan." Ucapnya saat melihat kalender yang tergantung. Disebelahnya terdapat bingkai foto yang memperlihatkan fotonya, Sehun, Luhan dan… Yixing.
"Aku akan kembali ge."
.
.
.
Sebulan setelah liburan mereka, Jongin langsung mengambil test untuk masuk kedalam jurusan tari dan meninggalkan kelas bisnisnya di kelas khusus. Dengan beberapa rengekan dari Sehun yang tidak mau ditinggalkan di kelas bisnis—dia ingin masuk di kelas tari juga, Akhirnya Jongin menghadapi satu tahunnya menjadi anak kelas tari.
Jongin mendecah sebal pada dirinya sendiri, dia terlihat seperti laki laki lemah sehabis patah hati. Dia bahkan tidak tau dirinya jadi seperti ini karena ditolak mentah mentah oleh Sehun atau malah karena Yixing mulai tak terlihat.
Tidak, Yixing masih tetap dikampusnya seperti biasa. Hanya saja banyak urusan untuk sidangnya yang terakhir.
Jongin memandang pantulan dirinya sendiri dicermin, hanya ada dia disana. Tangannya bergerak menari sesuai dengan lagu yang terputar, kakinya bekerja seirama. Beberapa detik terlewat, Badannya langsung jatuh, dia tertawa hambar sambil mengacak rambutnya. "Kenapa?"
Jongin sontak menoleh dan mendapati Sehun yang menatapnya khawatir.
"Tidak apa" dia berjalan kearah pemutar musik dan mematikannya. "Kenapa kau bisa ada disini?"
"Noonamu bilang, makan siangmu tertinggal."
"hih, aku sudah besar dan bisa membeli makan sendiri."
Walau berbicara seperti itu, Jongin tetap mengambil tempat makanan itu dari tangan sehun dan makan sambil menyandarkan punggungnya didinding. Sehun mengikuti gerakannya untuk duduk.
"Sudah lama sekali tidak berduaan denganmu."
Jongin tertawa kecil, "kau kangen?"
Sehun balas tertawa, "kita sudah berapa tahun sekelas? Dan kau seenaknya meninggalkanku!"
Jongin menutup kotak bekalnya yang setengah kosong, "Aku tidak bisa melupakanmu kalau tetap berada disampingmu."
Sehun tertunduk malu, "A-Aku…"
"Tidak usah dipikirkan. Lalu bagaimana hubunganmu dengan Luhan ge?"
Wajah memerah sehun perlahan menghilang dengan raut wajah tidak suka. "No need to talk about this."
.
.
.
Incheon airport tidak pernah sepi setiap kali Jongin menapakkan kakinya disini. Sedikit merapatkan jaketnya, dia melihat kearah pohon yang daunnya mulai berguguran. "I'm back"
Dia menarik kopernya dan lebih memilih untuk menaiki bus untuk pulang. Dia bahkan belum menelfon orang tuanya kalau dia sudah berada di tanah kelahirannya pagi pagi buta seperti ini.
Suasana bus yang masih sepi, Jongin mengambil nafas panjang sambil berjalan dan duduk dikursi paling belakang. Saat ini yang dipikirannya hanya satu, dan itu adalah tempat yang paling ingin dia tuju, Sekolahnya dulu.
.
.
.
Berterima kasih karena dia lumayan terkenal saat disekolah, dan sekarang sedang Libur nasional. Dia bisa memandangi isi sekolahnya tanpa gangguan.
Satpam didepan memperbolehkannya masuk, bahkan mereka sempat mengobrol sebentar.
Suasana sekolahnya tak berubah, dia menarik kopernya terus hingga berhenti tepat di mading sekolah.
Jongin tersenyum kecil, dia membaca artikel disana dan tertawa nyaring saat dibagian tertentu.
"Dasar anak populer" ujarnya kecil saat tawanya berhenti membaca "Oh sehun kembali menolak pernyataan cinta primadona sekolah."
"bisa bisanya. Padahal sudah waktunya mereka masuk kekuliah."
Jongin kemarin bilang kalau dia sibuk bukan? Itu adalah pengurusannya masuk ke universitas disana. Tapi dia mengesampingkan hal tersebut dan pulang. Toh dia sudah diterima dengan beasiswa dan hanya tinggal melengkapi beberapa berkas saja.
Dia berjalan keluar dan mengucapkan salam pada satpam yang berjaga tadi, menarik kopernya ke penjual bunga yang berada tak jauh dari sekolahnya dengan senyuman.
"Tiga tahun tidak cukup untuk melupakan tempat ini."
Jongin meletakkan kopernya disamping meja kasir dan tersenyum pada pemiliknya—yang dia sudah kenal baik. "Kapan kau kembali kesini?"
"baru saja tadi, aku ingin memberi kejutan" ujar Jongin sambil tersenyum. Dia beralih kebagian bunga bunga yang masih ada dibelakang, tempat yang hangat.
Baru dia akan mengambil satu tulip kuning, Lonceng dipintu depan berbunyi. Jongin menoleh sedikit dan terkejut melihat seseorang yang masuk.
"Yixing ge…"
.
.
.
Jongin menatap jalanan yang mulai ramai, dia menunggu dengan hati yang tidak tenang disalah satu halte menuju rumahnya. Beberapa potong bagian yang terjadi barusan masih terngiang dipikirannya.
"Aku bahkan tak berfikir sampai kesitu."
Jongin tertawa hambar, "aku sampai berbicara sendiri, kau benar benar gila kim jongin."
Jongin melirik kearah bus yang sudah datang dan menyeret kopernya untuk masuk kedalam. Wajahnya yang terlihat sangat lelah dan kebingungan mendadak cerah melihat sosok orang yang duduk sendirian dikursi belakang. "SEHUN!"
Laki laki dengan kulit seputih susu itu mengangkat wajahnya dari hapenya, wajah datarnya memunculkan senyum begitu bertemu pandang dengan Jongin.
"Jongin! Astaga! Kau sudah pulang?"
Jongin langsung duduk disebelah Sehun sambil mengangguk antusias. "aku bahkan tidak berharap akan bertemu di bis seperti ini."
Sehun mengerucutkan bibirnya, "Kau ini. Aku akan kerumahmu tau!"
"Kenapa?"
"karena bibi dan Noona memberitahu kalau kau akan pulang. Kau tidak pernah memberi kabar tiga tahun terakhir! Kau menyebalkan!"
"Maaf, maaf. Bagaimana kabarmu?"
Sehun tersenyum polos dan mengedikkan bahu, "begitulah. Kenapa kau tidak mengabarkan apapun padaku? Aku bahkan baru tau kau ada dijepang tiga bulan setelah keberangkatanmu tau!"
"…"
"Kenapa kau melihatku seperti itu?"
"Aku merindukanmu."
"…"
"Pfftt—astaga sehunaaa~ kau masih saja manis kalau merona seperti itu"
Sehun melongo, memandang Jongin yang masih sibuk tertawa disebelahnya, setelah tersadar, tangannya terangkat dan memukul Jongin kuat kuat. "kau menyebalkan."
"Hahaha, maaf. Aku melewatkan berita apa saja?"
"Aku masuk dalam jurusan bisnis. Ya seperti yang kuambil dulu. Bagaimana denganmu?"
"dancer. Tinggal menunggu jadwal latihan untuk theater nanti. Aku mengambil kelas drama juga"
"Serius? Bagaimana bisa?"
"Kim Jongin"
"Oh!" Sehun berseru—sedikit tertahan begitu menyadari dia masih ada dalam bis. "Noonamu akan melaksanakan sidang besok."
"Iya. Aku tau. Makanya aku kesini."
"—melawan Yixing ge."
Jongin menatap tidak percaya kearah Sehun. Tidak ada yang berbicara sampai bis itu berhenti. Sehun dan Jongin sama sama turun, tapi bukannya berjalan masuk kedalam rumah, Jongin justru hanya diam didepan halte.
"Apa yixing ge sudah punya—ya, kau tau?"
Sehun tersenyum tipis, "Kau sudah bertemu dengan Yixing ge?"
Jongin mengangguk kecil, "tadi di toko bunga"
"Dia bersama dengan seseorang?"
Jongin mengangguk, kali ini menyeret kopernya untuk mengikuti sehun. "terlihat mesra sekali."
"Kim Junmyun. Teman satu kampusnya dulu, sepertinya tertarik—sangat, dengan Yixing ge. Tapi aku tidak tau bagaimana dengan gege sendiri."
Jongin yang daritadi melihat kearah jalan kembali menoleh, "—Bukan pacarnya?"
Sehun menggeleng, tangannya memencet bel rumah Jongin. "Setahuku belum."
"Belum" desis Jongin.
"Kau cemburu?" Sehun tertawa kecil.
"Yang benar saja."
Sehun hanya tersenyum dan mengangguk angguk.
"Ngomong ngomong—"
"Hm-mm?" Sehun menoleh masih dengan senyum diwajahnya.
"Kau tidak menyebut nama Luhan-ge dari tadi."
.
.
.
"Kau yakin tidak mau mampir?" Sehun menoleh kembali begitu membuka seatbeltnya.
Jongin menggeleng, "besok saja sesudah sidang."
Sehun hanya mengangguk kecil dan mengambil tasnya. Baru bersiap turun kalau jongin tidak bertanya, "Luhan ge tidak dirumah?"
Jongin bisa merasakan kalau Sehun membeku, dengan nafas berat—hingga terdengar, sehun menjawab, "Sejak lulus Luhan ge tidak tinggal dirumah lagi."
"Kenapa?—astaga, kenapa menangis sehuna?"
Sehun menggeleng pelan, "aku tidak menangis—" baru sehun menyentuh pipinya, dan rasa basah itu terasa. "cengeng." Ujarnya pada diri sendiri. "ah, dan aku tak apa jongin. Aku masuk dulu."
"Sehun." Jongin menarik pergelangan tangan sehun, "Dia menyakitimu?"
Sehun menggeleng kuat. "aku tak apa. Sungguh."
"Dia sudah berjanji takkan menyakitimu. Dimana dia sekarang?"
"Tidak. Dia tidak menyakitiku. Kumohon Jongin. Tak ada yang salah."
"Kau menangis. Karena dia."
.
.
.
"Jadi waktu itu, mereka memergoki kalian?"
"Begitu sampai dirumah."
"Lalu apa yang kalian lakukan setelahnya?"
"Luhan ge menjelaskan semuanya."
Jongin terdiam, memandang dan mencoba membaca ekspresi sehun. "Lalu?"
"Yah, begitulah. Orang tua kami benar benar marah waktu itu."
Jongin diam. Dia sudah tidak mau bertanya lebih jauh. Tidak kalau bukan sehun yang berbicara sesuai keinginannya.
"Aku bahkan sempat melihat Luhan ge dimarahi—dipukul, sedikit. Saat aku masuk kedalam kamar. Setelah itu dia tidak berbicara padaku selama seminggu penuh, tidak menampakkan diri."
Jongin hanya mengusap punggung sehun pelan.
"Orang tua kami juga tidak mau memberitahu apapun waktu itu. Kau tau? Aku menangis terus selama seminggu penuh, rasanya airmataku kering waktu itu."
Jongin menggeram kesal, dia tidak pernah menyangka kalau orang seperti Luhan bisa bertindak seperti itu. "Dia menyebalkan. Begitu bertemu akan kupatahkan rahangnya."
"Jongin, aku mencintainya."
"Setelah dia meninggalkanmu? Sehun! Buka matamu!"
Sehun hanya tersenyum lembut, "mau tertutup—atau terbuka sekalipun, yang kulihat hanya dia."
"…"
"Kau masih menyukaiku?"
"Move on tidak segampang itu."
"Tapi kau sepertinya sudah dekat dengan yixing ge sebelum ke jepang dulu?"
Jongin tersenyum, "aku memang sudah menganggapnya sebagai hyung sendiri."
"Sama sekali tidak mencintainya?"
"Aku masih dalam tahap melupakanmu, Sehun."
.
.
.
.
Tiga bulan setelah liburan mereka selesai, Jongin sudah dalam rangka kesibukannya mengikuti lomba yang ada. Tidak melihat Sehun sama sekali membuatnya berfikir, memangnya melupakan perasaan yang sudah lama itu secepat ini?
Ingin bertanyajuga, Jongin tidak mungkin bertanya pada sehun. Jadi dia memutuskan untuk ke gedung tempat Luhan berada. Bukannya menemukan Luhan disana, yang ada didalam ruangan justru Cuma Yixing dan beberapa temannya. Yixing menoleh dan mendapati Jongin disana.
"Kenapa kesini?"
"Aku mencari Luhan ge."
Yixing mengangguk kecil, "Kapan pertandinganmu?"
Jongin yang masih celingukan mencari keberadaan Luhan disekitar tempat tersebut menoleh cepat, "Darimana gege tau? A-aku bahkan tidak memberitau sehun."
Yixing tertawa hambar, "jadi kau pikir aku tau semua tentangmu dari Sehun?"
"A-aku…" Jongin mendadak salah tingkah, dia bahkan lupa bagaimana pernyataan cinta yixing tiga bulan yang lalu.
"Tidak usah dipikirkan. Lupakan saja kata kataku dibandara dulu."
Jongin menundukkan wajahnya, "aku minta maaf."
Jongin bisa merasakan tangan Yixing dirambutnya, mengusapnya lembut dan hati hati.
"melupakan orang yang kau cintai tidak bisa secepat itu kan?"
"Yixing ge, sepertinya perasaan sayang lebih dari seorang adik itu tidak akan bisa berkembang…"
"Tidak apa Jongin. Sungguh."
"besok, jam tiga sore. Kau mau menonton perlombaannya? Jangan beritahu siapapun tapi."
"Dengan senang hati."
.
.
Yixing tersenyum lembut, sekarang dia berada dibackstage. Melihat kearah lantai dansa dimana Jongin masih menari. "tariannya bahkan tidak pernah berubah."
Jongin baru saja selesai, Yixing bertepuk tangan mengikuti para penonton yang ada, "Hyung ya? Aku bahkan mulai iri dengan Sehun dan Luhan…"
"Gege! Bagaimana tadi?"
Jongin menghampiri Yixing dengan senyum lebar. "Bagus tidak?"
Yixing mengangkat wajahnya, mempertemukan wajahnya dengan milik Jongin, kakinya sedikit berjinjit dan mengalungkan tangan dileher jongin—memeluknya.
"Gege—aku berkeringat."
"Sebentar saja. Aku tidak perduli."
Jongin menghela nafas dan membalas pelukannya. "Gege kenapa? Ada masalah?"
Jongin bisa merasakan gelengan. "Aku mencintaimu."
.
.
.
Jongin merasa dirinya adalah orang yang paling bersalah. Orang paling jahat dan tidak bisa menerima kenyataan. Kenapa dia harus berulang kali menyakiti orang yang menyayanginya. Kenapa dia harus menyakiti dirinya sendiri untuk mengharapkan orang yang benar benar sudah menolaknya?
Sebenarnya apa yang diharapkannya? Dia sebetulnya sudah melupakan sehun sejak dua tahun yang lalu. Dia hanya tidak bisa melihat sahabatnya itu menangis terus menerus. Tersakiti terus.
Dia sendiri bingung bagaimana perasaannya terhadap Yixing. Setelah insiden Yixing memeluknya waktu itu, Jongin tidak tega untuk melihat Yixing sedih. Tidak untuk kesekian kali karena dirinya.
Dia pertama berfikir kalau itu mungkin karena dia hanya kasihan, sedikit rasa simpati.
Tapi dengan kenyataan kalau dia juga bingung selama tiga tahun diluar negri, tanpa kabar dari yixing, langsung ataupun tidak, dia merasa rasa simpati itu mungkin berkembang.
Jongin bingung, dia mengharapkan apa?
Bahkan dengan kenyataan kalau ada orang lain yang menginginkan perhatian Yixing, bagaimana bisa dia tiba tiba kembali. Toh belum tentu kalau Yixing masih mempunyai perasaan yang sama.
Yixing sudah dewasa dan jongin yakin kalau gege-nya itu pasti sudah memikirkan untuk pendamping hidupnya. Sepertinya didunia ini sudah tidak begitu memperdulikan masalah gender.
Dan kalau yixing sudah menetapkan hatinya, apalagi yang bisa jongin lakukan?
.
.
.
"Jongin! Bangun! Kau ini sudah besar juga masih susah dibangunin."
"Aih, kenapa ribut sekali sih?"
"tiga jam lagi, sidangnya mulai. Kau tidak mau ikut?"
Jongin berhenti mengomel didalam selimutnya, pikirannya kembali berperang. Dia baru bisa tertidur jam tiga pagi dan dibangunkan jam tujuh.
"Pergi—tidak."
Jongin sudah berada dalam tingkat dilema yang cukup tinggi. Dia bahkan tidak tau harus berkata apa jika bertemu yixing nanti.
"Jongin, ikut atau tinggal dirumah?"
Begitu merasakan handphonenya bergetar, dia membuka dan membaca pesan masuknya. Berdiri dengan tiba tiba, dia langsung berteriak "AKU AKAN MENYUSUL"
.
.
Aku ingin membicarakan sesuatu.
Luhan.
.
.
.
To be continued.
