(Every character has their own stories. About their past, their future, their destiny, their fate.)


Magi © Shinobu Ohtaka

Entries

A Magi fic by NakamaLuna

All the story written in this document—all ideas—all the sentences—belong to me.

Rated: M

Genre: Angst/Hurt/Comfort/Tragedy

Warning: Modified Alternate Reality, Out of Character, slash, lime.


.

.

.

(Karakter pertama.)


Dinding besar yang menyeliputi kota itu terlihat kokoh. Disusun sedemikian rupa, sehingga membentuk susunan melingkar membatasi Istana. Kegelapan pekat menyeliputi kota Balbadd, menandakan hari sudah malam. Lentera-lentera yang berada di setiap rumah kota tersebut sudah dimatikan, menjadikan pencahayaan jalanan kota remang.

Angin dingin menyapu permukaan kening seorang pria, melambaikan setiap helai pirang keemasan rambutnya. Tangannya menopang dagu, bola matanya mengarah tepat kepada dinding kokoh yang berhadapan langsung tepat pada kamarnya.

Pria itu—yang berambut pirang keemasan—menyandang gelar Pangeran Balbadd ketiga, dan... sejak ia kecil, dinding yang kokoh dan besar itu, mengikat dirinya.

Dinding itu—

(Tidak memperlihatkan kedua bola matanya tentang apa yang sebenarnya terjadi di Balbadd. Tentang bagaimana kehidupan liar menggerogoti nyawa. Tentang bagaimana kasta membedakan status manusia. Tentang bagaimana harta, menjadi sebuah penonggak bagi manusia, untuk menyatakan eksistensi dirinya.)

Tidak pernah Pangeran Balbadd ketiga itu, tahu tentang itu semua.

Karena dinding itu.

Sang Pangeran menjerit dalam hati, tubuhnya ingin berontak, kakinya ingin berlari, matanya ingin melihat lebih—merasakan semuanya. Semua yang dirasakan sesama manusia. Mencoba bagaimana kerasnya kehidupan, mencoba bagaimana sulitnya mendapatkan makanan, mencoba bagaimana tubuh itu penuh luka hanya untuk mendapatkan sekeping uang logam.

(Nama pangeran itu, Alibaba Saluja.)

.

.

.

(Karakter kedua.)


Mata keruhnya menghujamkan pandangan kepada sang langit.

Langit malam yang terlihat cerah, yang diselingi dengan bintang bertaburan. Jarak anak itu cukup dekat dengan sang langit mengingat ia memakai sebuah sorban ajaib yang dapat membawanya melayang mengarungi sang langit.

Anak itu manusia, tapi bukan hanya manusia biasa seperti yang lain.

Dia berbeda.

Dia... apa yang disebut orang-orang sebagai Magi.

Dan sang Magi berpikir bahwa ia dapat seenaknya berdeduksi tentang apapun—semua hal yang ada—tentang manusia. Tentang bagaimana kotor dan piciknya mereka.

Sang Magi tertawa keras. Tidak akan ada yang mendengarnya karena ia berada jauh, tertelan oleh malam yang disembunyikan sang awan.

Naif sekali para manusia itu.

Sang Magi menopang dagu.

("Dengan seenaknya mereka membuat peraturan, padahal tahu bahwa akan dilanggar juga.")

Benar-benar makhluk yang ego-sentris.

Mementingkan diri mereka sendiri.

Jika busuk pikiran orang tuanya, maka sang anak akan sama, tidak jauh beda busuknya. Prinsip Heredilitas.

("Dengan seenaknya berpikir bahwa harta, uang, dan kekuasaan adalah segalanya. Yang membuat mereka diakui keberadaannya, yang membuat mereka disanjung dan diingat—")

Sang Magi tertawa lebih keras seraya berteriak.

"Justru itu... justru itu yang membuat ada hierarki di dunia ini!"

Mengumpat dalam-dalam, berteriak dengan nada tertinggi, meluapkan amarah karena suatu bekas pengkhianatan terbesar yang pernah ia alami.

Menjadi Magi tidaklah mudah.

Dan ia masih sangat muda.

Namun jalan pikirannya harus menafsirkan apa yang ada di pikiran orang dewasa.

(Karena ia sang Magi. Ia adalah penyihir, penyihir kuat yang disanjung-sanjungi manusia.)

Penyihir kuat... yang disalahgunakan, menjadi alat, untuk memenangkan perang.

"Manusia... kalian itu semua sama. Yang membedakan kalian hanyalah suatu kondisi."

Di mana yang satu berkehidupan mewah, dan yang satu berkehidupan nol.

Para Raja dari negeri-negeri di seluruh dunia memuja Magi. Menganggap mereka dewa karena kemampuan sihir mereka yang luar biasa—konyol sekali anggapan itu. Raja-raja di dunia ini mempunyai sifat yang berbeda. Ada raja-raja yang congkak, dipilih hanya karena garis keturunan, tanpa tahu apa itu kepemimpinan yang bijak. Dan sedikit sekali Raja yang dipilih karena prestisenya.

"Itulah yang menyebabkan dunia ini membusuk."

Sang Magi berkata lantang kembali, dengan intonasi nada dimain-mainkan. Wajahnya berbentuk cengiran, dan tiba-tiba pandangannya menajam, memperlihatkan sifat aslinya yang tersembunyi dalam wajah anak berumur sepuluh tahun.

Sang Magi... sudah terbiasa... melihat seseorang menderita.

"Salah sendiri."

Ada sesuatu yang bernama takdir; sebuah status/keadaan/kondisi seseorang yang tetap—itu tafsiran umum, definisi takdir yang dipikirkan setiap orang. Tapi tafsiran itu salah. Takdir kita tidak tetap. Bisa berubah tergantung kita memilih bagaimana menjalani hidup. Itu berarti kita dapat mengubah takdir kita 'kan?

Para manusia hanya tidak mau berusaha. Mereka terbiasa ditolong.

Sama sekali tidak mempunyai usaha untuk mengorbankan sesuatu.

—semua itulah, perspektif mengerikan, yang telah dipikirkan oleh sang Magi.

(Ia adalah Magi. Sang Magi. Sang penyihir terkuat dengan sihir yang luar biasa. Dan ia adalah salah satu Magi yang berbeda. Di balik wajah keceriaannya, ia memanfaatkan semua manusia, hanya untuk mengetahui karakterisasi busuk manusia itu, lalu menjelek-jelekkannya habis-habisan.)

(—Nama sang Magi itu, Aladdin.)

.

.

.


(Apa perspektifmu tentang dunia itu sendiri?)


.

.

"Hh... ah..." Napasnya terengah, bola mata kuningnya menatap liar ke belakang, berusaha waspada akan seseorang yang mengejarnya. Kaki-kakinya tidak berhenti melangkah, bahkan semakin cepat digerakkan, menyusuri setiap gang, jalan-jalan besar, gorong-gorong bawah tanah saluran air—semua tempat ia lewati, asal ia tidak tertangkap, lagi.

Adalah sebuah ide yang buruk untuk tiba-tiba kabur dari Istana Balbadd. Egonya memaksa untuk melihat apa sebenarnya realita dunia, namun begitu ia mengalaminya, mentalnya tak kuat sehingga ia takut, dan memutuskan untuk berlari.

Di luar sana, prostitusi merajalela, tempat pelelangan manusia tidak terhitung jumlahnya, setiap orang asing yang ditemui di jalan ditarik begitu saja untuk dijadikan sebagai budak—tidak peduli orang tua, muda, anak kecil—bahkan pangeran sekalipun seperti dirinya.

Tak akan ada yang pernah percaya bahwa dirinya adalah Pangeran Balbadd yang ketiga, tentu, karena rakyatnya tidak ada yang pernah melihat wujud asli sang Pangeran. Karena itulah kini sang Pangeran akan dijual, diseret paksa ke tempat perdagangan budak, dan entah bagaimana tersalur ke dalam intrik gelap dunia prostitusi.

Semua itu dialaminya hanya dalam semalam.

Tubuhnya menggigil ketakutan bagaikan tikus got bertemu dengan sang kucing pemangsa. Sang Pangeran lari terbirit-birit begitu melihat berbagai pria besar dengan wajah seram berusaha untuk utuh membelinya—entah akan dijadikan pembantu, atau mungkin yang lebih parah, akan dijadikan budak seks.

Sang Pangeran beruntung. Berkat tubuh yang terlatih hasil didikan oleh orang-orang Istana, ia menjadi gesit, dan lincah. Mungil tubuhnya meliuk cepat ketika orang-orang tempat prostitusi itu akan menangkapnya.

Dan kakinya berlari kencang di tengah kasarnya permukaan jalanan malam. Telinganya mempertajam daya dengar, takut-takut kalau langkah kaki dari orang-orang yang mengejarnya mendekat, dan salah-salah ia bisa tertangkap.

Ia sudah berlari cukup jauh dari Istana Balbadd, dan sekarang adalah hal mustahil baginya untuk kembali ke Istana, mengingat ia harus memutar, dan itu namanya mencari mati, mengingat bawahan-bawahan dari para penyalur tempat prostitusi tadi pasti tengah berkeliling mencarinya.

Kakinya berhenti sejenak di sebuah gang kecil yang kiranya aman dari pengejaran. Sang Pangeran mengatur napasnya, berjongkok, lalu membenamkan kepalanya kepada celah yang tercipta antara kedua kakinya.

Seharusnya ia tidak pergi. Seharusnya egonya tidak tinggi.

Jika sudah seperti ini... siapa yang patut disalahkan?

Kemana nanti ia akan pergi? Apa ia akan bisa kembali ke Istana Balbadd lagi? Apa ia akan diterima lagi di Istana itu? Lagipula bagaimana caranya ia kembali ke Istana mengingat dirinya kini tengah dikejar-kejar?

Bagaikan buronan.

Alibaba Saluja tersentak, mendengarkan bahwa ada beberapa langkah kaki sayup-sayup mendekatinya. Ia mempererat pegangannya kepada kedua kakinya yang tengah tertekuk, berusaha sebisa mungkin untuk membuat dirinya tidak kasat mata dengan bersembunyi di remangnya sinar kota tersebut.

"Nah!"

Alibaba berjingkat ngeri ketika telapak tangan seseorang mencengkeram kuat lengannya. Tatapannya berubah menjadi horor begitu mengetahui bahwa orang itu adalah Jamil—sang penguasa, seorang chief kepala keamanan di daerahnya yang berkedok sebagai salah satu penyalur resmi dealer perdagangan budak terkemuka Negeri Balbadd.

Tidaktidaktidak.

"Hwahh—ahh!" Alibaba berteriak, bodoh sekali karena tidak membawa senjata, padahal dirinya mahir bermain pedang. Ketika ia menengok ke belakang, sudah ada satu budak setia Jamil yang berbadan besar mengepungnya.

"Kau tikus kecil. Mau coba lari ke mana? Padahal hargamu mahal." Dengan kasar, Jamil mendorong tubuh Alibaba ke budaknya yang bernama Goltas. Dan Goltas segera memegang kedua lengan Alibaba dengan erat, menyeretnya jalan dengan paksa, lalu berjalan mengikuti tuannya yang akan kembali ke tempat prostitusi.

Alibaba ketakutan bukan main. Giginya bergemeletukan, dan tubuhnya menggigil. Pikirannya berkecamuk, memikirkan nasib yang akan ditemuinya nanti. Nasib? Yang benar saja.

"Lepaskan! Seseorang—tolong!" Alibaba berteriak, dan ia segera mendapatkan pukulan telak di rahang sebagai ganjarannya. Dari dalam mulutnya keluar darah segar, dan ia mendapati bahwa kepalanya pusing bukan main.

Bunyi nyaring yang memantul tiba-tiba terdengar, sangat keras, seperti suara tiupan suling. Dan detik itu juga tanah bergetar, seolah gempa, dan budak milik Jamil yang menahan Alibaba kehilangan keseimbangan, membuat pengawasannya kepada Alibaba menjadi lepas.

Alibaba membelalakkan mata.

Ada tubuh raksasa di depan matanya, berwarna biru, tidak mempunyai kepala, melainkan hanya sebuah seruling yang seolah-olah menggantikan daerah sekitar kepalanya.

"Goltas! Goltas! Cepat hancurkan monster itu! Cepat!" Jamil berteriak ketakutan, tangannya mengibas-ibaskan pedang ke arah budaknya tersebut. "Dan jangan sampai budak mahal tersebut kabur, cepat!"

Alibaba sendiri berusaha melangkahkan kakinya, namun rasa pusing yang diderita akibat pukulan yang ia terima memaksanya untuk berjalan tertatih-tatih.

Jamil menarik lengan Alibaba, berusaha menyeretnya pergi, meninggalkan Goltas sendirian melawan sesuatu yang ia sebut monster tersebut. Tangan Alibaba berusaha menepis Jamil berkali-kali namun cengkeraman Jamil terlalu kuat.

"Hei..."

Jamil menghentikan langkah. Bola matanya menangkap sesosok anak berambut biru kelam dengan kepangan yang panjang, melayang di udara, menaiki sesuatu yang terlihat seperti selendang. Entah apa itu dalam pandangan Jamil.

"Apa?! Maumu apa?!" Jamil berteriak menggertak. Tangannya yang memegang pedang ia kibaskan, berusaha mengintimidasi kehadiran sang bocah berambut biru yang menatapnya dengan senyuman mengejek.

"Aku tidak ada urusan denganmu." Bocah tersebut berbicara, tatapan matanya kini mengarah kepada Alibaba Saluja yang berada dalam cengkeraman Jamil. "Aku... ingin membuat penawaran dengan pria itu."

"Apa?" Jamil merasakan ledakan untuk tertawa. "Kalau ingin membuat penawaran dengannya, kau harus melakukan penawaran denganku terlebih dahulu. Apa? Kau ingin membelinya?"

Bocah berambut biru kelam tersebut tersenyum, sambil duduk melipat kaki di atas selendangnya, ia menopang dagu. "Aku tidak perlu membayar untuk mendapatkannya."

"Apa maksudmu? Tentu kau harus membayar!" Jamil berteriak lantang.

"Namaku Aladdin." Bocah berambut biru tersebut hanya menyebutkan nama. "Dan kalau aku bisa memiliki hati pria berambut pirang yang ada di tanganmu sekarang itu... aku yakin aku tidak perlu membayar untuk mendapati tubuhnya 'kan?"

M-maksudnya?

Otak Alibaba tidak dapat berpikir rasional. Dengan pandangan sayu dikarenakan pusing yang mendera, ia hanya dapat menatap bocah bernama Aladdin itu dengan pandangan terheran-heran.

"H-huh... kuh... tidak ada di dunia ini hal yang seperti itu! Kau mau mendapatkan hati apa memangnya?" Jamil tertawa lantang. "Aku tidak akan memberikannya kepadamu. Dia sudah ditawar dengan harga mahal oleh salah satu klien tetapku."

"Oh begitu..." Aladdin hanya menghela napas pelan. "Sayang sekali ya."

Jamil tidak menghiraukan Aladdin. Ia menarik paksa Alibaba yang kini menatap Aladdin dengan pandangan memohon.

(Kenapa dia tidak menolongku?)

Alibaba menatap bocah tersebut, yang masih duduk di selendangnya, yang masih tersenyum sinis ke arahnya sambil menopang dagu.

"Apa yang kau lakukan? Jalan!" Jamil membentak Alibaba sambil menghentakkan lengan pria berambut pirang tersebut.

Alibaba memandang gusar, terheran dengan Aladdin yang telah mereka lewati sekarang.

"Kau—kau tidak akan menolongku?" Alibaba berteriak, ia berusaha menahan Jamil yang tengah menyeretnya.

"Kau mau aku menolongmu?" Aladdin balas menyahut, masih tersenyum. "Apa yang akan kau tawarkan untukku?"

.

.

.

Sungguh, selama hidupnya, Alibaba tidak pernah sekalipun mengakui hierarki.

Sesuatu yang menciptakan perbedaan itu.

Yang membuat manusia mengerti kasta akan kedudukan dirinya masing-masing.

Namun kali ini—ia terpaksa.

"Aku akan memberikanmu kehidupan yang layak!" Alibaba menggunakan kekuasaannya, berpikiran bahwa hanya itulah satu-satunya cara yang dapat menyelamatkan hidupnya sekarang ini. "Aku Pangeran Ketiga dari Negeri Balbadd ini... jika kau menolongku... aku—"

Dug!

Sebuah tamparan keras dilimpahkan Jamil kepada sisi wajah Alibaba. Membuatnya tersungkur, dan Jamil segera menendang sang Pangeran itu berkali-kali. "Apa yang kau katakan, hah? Kau hanya berbicara banyak!"

"Hei—Pangeran Ketiga Negeri Balbadd..." Aladdin bersuara, ia segera turun dari atas sorbannya—yang Jamil kira sebagai selendang itu—dengan perlahan ia mendekatkan dirinya kepada Jamil dan Alibaba. "Apalagi yang bisa aku dapatkan selain harta dan kehidupan layak itu?"

"A-aku..." Alibaba berusaha menghindari tendangan Jamil yang mengarah ke kepalanya, ia melipat kedua tangannya untuk menahan tendangan tersebut.

Sang bocah berambut biru kelam mendekat selangkah demi selangkah.

"Apa kau mau... pergi bersamaku?" Aladdin berbicara kembali. "Konsekuensinya kau tidak akan pernah kembali lagi ke Negeri ini—dan gelarmu sebagai sang Pangeran Ketiga Negeri Balbadd ini juga harus kau buang."

Penyiksaan fisik yang tengah dilakukan Jamil terhadap Alibaba membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Dengan segera Alibaba menjulurkan tangan, menatap Aladdin. "Apapun—akan aku lakukan!"

Aladdin tersenyum—atau menyeringai—ia meniup seruling emas yang tergantung di lehernya. Dan tiba-tiba saja, sesuatu yang Jamil sebut monster tersebut sudah mendarat di hadapan Jamil sendiri, bersiap-siap untuk memukulnya.

Aladdin mengulurkan tangannya untuk menggapai tangan Alibaba, menaikkannya ke dalam sorban panjang yang nampak seperti karpet tersebut. Sejenak, Aladdin mengalihkan perhatiannya, menatap kepada Jamil, kemudian berbisik.

"Bereskan, Ugo-kun."

DRAKK!

Dan orang-orang mungkin akan merasa heran besok, untuk menemukan tubuh hancur dari seorang kepala keamanan daerah Negeri Balbadd.

.

Aladdin menatap kepada sosok pria yang pingsan di pelukannya.

Namanya Alibaba Saluja. Seorang Pangeran Ketiga dari Negeri Balbadd—yang kini sudah membuang gelarnya tersebut—hanya karena permainan psikis, dari bocah bernama Aladdin yang mengiming-iminginya pertolongan.

Senyum sinis terbentuk kembali dalam wajah bocah tersebut. Ia mengeratkan pelukannya kepada Alibaba Saluja kemudian menjalankan sorbannya.

Namanya Aladdin. Seorang Magi—penyihir terhebat di dunia—yang sudah mulai merasa bosan akan perkembangan zaman, sehingga memutuskan untuk bermain, dengan memanfaatkan satu orang manusia—semata-mata hanya untuk kesenangannya.


.

.

.

.

(Karakter ketiga.)


Ini... masalah.

Layaknya air sungai yang mengalir dan bermuara ke laut—tidak ada habis-habisnya—masalah pun datang, tidak terhitung jumlahnya.

Dengan ngeri, pria itu menatap kepada sosok seseorang yang tengah tertidur di sebelahnya. Iris matanya membesar dan dengan sekejap ia merasa hidupnya hancur.

Apa... yang telah ia lakukan?

Seseorang sepertinya, yang seharusnya menjadi contoh untuk kehidupan khalayak rakyatnya... malah melakukan perbuatan seperti ini?

Ia adalah seorang pemimpin. Seorang raja.

Seorang pemimpin yang membimbing Negaranya menuju kemakmuran, seorang pemimpin yang mempunyai tanggung jawab dan beban besar yang diemban, seorang pemimpin yang dihormati—dan sekarang pemimpin tersebut berada di dalam kamarnya, dengan wajah pucat beserta napas tidak beraturan karena menyadari kesalahannya.

Kebiasaan buruknya tentang alkohol tidak dapat dicegah, dan karena itulah... kesalahan ini terjadi. Kesalahan yang amat fatal.

Apa yang telah ia lakukan dengan anak yang tengah tertidur di sebelahnya ini?

Apa mereka melakukannya—melakukan hubungan itu—melakukan hubungan yang sangat tidak pantas mengingat sang pemimpin sudah mempunyai orang yang ia cintai.

Dan kini pemimpin itu melanggar sumpahnya. Melanggar sumpahnya kepada orang yang ia cintai. Melanggar sumpahnya bahwa ia tidak akan mendekati siapapun, bahwa ia hanya memiliki satu orang yang dicintai dan orang itu adalah seorang yang manis dan berhati mulia, bawahannya.

Kesalahan fatal ini tidak terelakkan.

Sang Raja Sindria menunduk seraya memijat keningnya.

Bisa-bisanya ia melanggar sumpahnya dengan tidur bersama dengan orang lain.

Kesalahan fatal lainnya ialah, sang Raja tidur dengan... seseorang yang sangat dekat dengan dirinya.

(—Nama sang Raja Sindria itu, Sinbad.)


.

.

.

(Karakter keempat.)


Cepat bosan adalah kebiasaan buruknya.

Dan ketika bosan biasanya ia akan mencari sesuatu, sesuatu yang dapat membuatnya senang, sesuatu yang dapat menghilangkan kebosanannya. Tanpa mengetahui bahwa kebiasaan buruknya itu akan berdampak pada sesuatu yang tidak menyenangkan kelak.

Awalnya ia tidak bosan. Bermain-main dengan salah satu pengawal atau dengan para putra-putri penerus kerajaan Kou Empire membuatnya tidak bosan. Namun, satu per satu putra-putri kerajaan Kou Empire pergi, ditugaskan untuk mencari sebanyak-banyaknya aliansi untuk membantu peperangan yang kelak akan terjadi. Kou melawan Sindria.

Dan karena itulah ia sendiri.

Sang Magi—salah satu dari keempat Magi yang berada di dunia ini—termenung sendiri.

Pikirannya dengan cepat menangkap bahwa sendiri itu sama sekali tidak menyenangkan. Tidak ada hal yang bisa ia lakukan, mengerjai orang, mengejek orang, atau apapun itu—tidak ada target yang bisa ia jadikan pelampiasan.

Maka ia pergi, memakai selendang terbangnya, menuju suatu tempat.

"Hei, Raja Bodoh—"

Namun yang disapanya telah tergeletak duluan, dalam selimut sutera hangat, terbaring di ranjangnya yang nyaman.

Sejenak, pria yang cepat bosan itu mengerjapkan kedua matanya, merasa asing akan pemandangan yang disajikan. Bagaimanapun juga hari belum larut, dan biasanya orang yang sering ia kunjungi itu masih berkutat di meja kerjanya, mengerjakan dokumen dengan mulut menyumpah.

Hari ini pengecualian. Orang yang ia temui telah berada terlebih dahulu ke alam bawah sadarnya, tertidur lelap.

Sang Magi menapaki kasur orang yang ia temui tersebut. Dengan hati-hati tangannya menyentuh kening sang Raja, yang dijulukinya sebagai Raja Bodoh.

Senyum tipis terbentuk di wajah Sang Magi. Lekukan di antara kedua bibirnya itu sama sekali tidak menunjukkan kebahagiaan. Kedua bola matanya yang marun memandang lembut kepada sosok yang tertidur tersebut. Tangannya tidak berhenti membelai kening sang Raja yang tengah terlelap.

Sungguh, ia... merasakan ketenangan untuk saat ini.

Sang Magi jarang sekali mendapatkan perasaan seperti ini, ketenangan, sekaligus kehampaan, semuanya berbaur begitu saja, menghujam tepat ke dalam hatinya. Sang Magi yang mempunyai temperamen buruk, yang selalu dipandang segan oleh orang-orang di sekitarnya, kini tersenyum lembut dengan tangan mengusap kepada seseorang.

Seseorang yang amat berarti baginya.

Sang Magi menghentikan gerakan tangannya sejenak, ia terkesiap mundur begitu mengetahui bahwa kelopak mata milik seseorang yang berada di hadapannya bergerak dan sesaat menampakkan kedua bola mata emas miliknya.

Dan semuanya terjadi begitu cepat.

(Nama Sang Magi tersebut—Judal.)


.

.

.

(Karakter kelima.)


Menjadi seorang bawahan dari Raja pemabuk itu adalah hal yang susah. Bukan hanya bawahan—ia sekaligus menjadi seseorang yang dicintai Raja itu juga. Namun entah kenapa perasaannya kepada sang Raja samar.

Memang sang Raja menyatakan cinta kepadanya. Berjanji untuk tidak mengkhianatinya—ia tahu itu bohong karena banyak sekali orang yang menginginkan sang Raja, tentu itu bukan hal mudah baginya untuk menjaga sang Raja tetap berada di sisinya.

Apapun telah diberikan sang Raja kepadanya, hingga akhirnya dirinya sendiri menerima perasaan sang Raja. Tapi hingga kini... masih samar.

Tidak ada apapun. Jantungnya tidak berdegup ketika berdekatan dengan sang Raja. Tidak ada semburat merah nampak dari wajahnya ketika bertatapan dengan sang Raja. Yang ada hanyalah perasaan jengkel, kagum, dan rasa hormat.

Apakah karena rasa hormat, sehingga ia menerima cinta sang Raja?

Atau karena rasa tidak enak? Bahwa dulu ketika masih menjadi assasin, dia pernah diselamatkan sang Raja, jadi kali ini ia membalas cinta sang Raja untuk balas budi? Tidak berani menolak pernyataan cinta sang Raja.

Entahlah, dia tidak terlalu ingin memikirkan hal itu. Ia cukup menikmati hidupnya yang sekarang. Yang sangat tenang.

Kakinya menapaki lorong-lorong Istana Sindria, bola matanya menatap liar kepada sebuah alam galeri langit yang berhiaskan jutaan bintang, ditambah dengan gradasi warna langit yang menyelingi, malam yang tenang itu—benar-benar terlihat indah.

Di saat seperti ini... yang paling menyenangkan adalah sebuah ketenangan. Ketenangan di mana kau bisa menikmati dirimu sendiri bersama dengan semua partikel yang diberikan Tuhan. Ketenangan yang memberikan wajahmu senyuman.

(Nama sang bawahan Raja tersebut—Ja'far.)


.

.

.

Apa definisi ketenangan bagimu sendiri?


Ia terbangun tiba-tiba ketika ada sepasang tangan yang menyentak lengannya. Kedua bola mata marunnya membuka terbelalak, ekspresinya menunjukkan wajah heran, dan ia tiba-tiba saja membisu begitu mengetahui bahwa sang Raja—Raja itu—berada di hadapannya, menggenggam urak-urakan pakaian—yang sepertinya—itu adalah pakaiannya.

"Ra-Raja Bodoh... bagaimana aku bisa ada—" Sang Magi menghentikan perkataannya. Ia buru-buru menggulung selimut, untuk menutupi tubuhnya.

Apa maksudnya ini?

Tiba-tiba saja iris matanya membesar, reaksi akibat otaknya telah mencerna apa yang terjadi.

Semalam... ya, ia mengunjungi Raja Bodoh tersebut... namun, yang ditemuinya malah tertidur. Dan bodohnya, ia tidak mengetahui bahwa sang Raja tersebut tengah mabuk. Ia tidak menghirup aroma anggur pekat yang menyeluak dari tubuh sang Raja.

Hingga akhirnya pertahanannya jatuh, dirinya lengah, lalu—

"Kembali. Sekarang juga." Sinbad, menaruh pakaian yang tengah ia genggam itu di samping Judal. Ia kemudian beranjak, memunggungi sang Magi yang masih berada di kasur dengan wajah terheran-heran.

Tanpa kata, sang Magi memakai semua pakaiannya kemudian berjalan ke arah sang Raja. "Semalam—"

"Aku ingin kau melupakan semalam."

Judal mendongak. Kedua bola matanya menatap kepada Sinbad, mulutnya terkatup.

"Apa maksudmu Raja Bod—"

"Sekarang pergi."

Deg.

Bahkan Sinbad tidak menatap kedua mata Judal saat berbicara dengannya.

Sang Magi masih berdiri di tempatnya. Marah. Sangat marah. Rukh-rukh yang berterbangan di sekitarnya bertambah banyak, didominasi oleh warna hitam pekat.

"Itu salahmu—"

"Pergi sekarang juga atau aku tidak akan pernah menerimamu di sini lagi!"

Judal terhenyak. Kali ini Sinbad menatapnya, menatap kedua bola matanya, yang disinari dengan amarah.

(Seharusnya Judal yang marah. Karena ia hanya korban—ia tentu berontak tadi malam ketika kejadian tersebut terjadi.)

Sang Magi hanya menampakkan ekspresi kosong, kemudian berjalan ke arah jendela kamar sang Raja. Lalu pergi begitu saja dengan selendang terbangnya.

Huk.

Guh.

Kuh—huhuhu.

Boleh 'kan? Jarang sekali ia menangis.

Jadi boleh 'kan sekarang?

Toh tidak akan ada yang melihat.

Tidak akan ada yang menertawakannya juga.

Maka sang Magi tersenyum, tersenyum seperti biasa... dengan air mengalir dari matanya.

("Kepada siapa lagi... aku akan bernaung sekarang?")


.

.

.

"Ja'far!"

Tanpa pertahanan, Sinbad memeluk bawahannya tersebut. Dengan erat, hingga Ja'far merasa akan limbung. "Sin... kembali bekerja, sekarang."

"Aku baru saja bangun..." Sinbad menunjukkan wajah tersiksa, namun Ja'far nampak tidak mempedulikan ekspresi wajah Sinbad tersebut.

"Aku sudah meletakkan beberapa dokumen baru yang harus kau kerjakan." Ja'far mendorong punggung Sinbad agar berjalan ke arah ruang kerjanya. "Lagipula semalam aku sudah memberikanmu keringanan untuk meminum anggur. Jadi hari ini, kau harus ekstra kerja keras."

Sinbad berjalan dengan lesu. Ia menundukkan kepala sambil menyumpah-nyumpah kecil.

"Lagipula... kau Raja. Kau adalah contoh bagi rakyatnya... contoh bagi semuanya. Kau harus mengerjakan pekerjaanmu tepat waktu. Terbuang waktu sedikit saja, maka masalah fatal dapat terjadi." Ja'far bergumam seraya mendorong punggung Sinbad. "Dan jaga tingkahmu itu... bisa-bisa ada yang kau rugikan dengan kecerobohanmu."

Dan tiba-tiba saja Sinbad merasa telapak tangan Ja'far yang menyentuh punggungnya fana. Tergantikan oleh beban berat, sementara pikirannya tertuju pada suatu orang.


.

.

.

Tidakkah kau merasa bersalah atas kesalahan yang telah kau perbuat?


Entah sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri.

Namun ketika bola mata kuning tersebut membuka, gelapnya langit malam masih menyelimuti atmosfir suasana yang berada di sekitarnya. Alibaba Saluja mengedipkan kedua matanya, merasakan bahwa angin sedari tadi menerpa seluruh tubuhnya. Sedetik kemudian ia baru menyadari bahwa dirinya ada di permukaan yang jauh sekali dari tanah.

"Sudah bangun?"

Suara seorang anak mengalihkan perhatiannya. Alibaba mendongak, mendapati bahwa posisinya sekarang tengah menyender kepada bahu sang anak tersebut. "A—ya."

Anak tersebut.

Yang tadi.

Seorang anak berambut biru panjang terkepang, yang tiba-tiba saja muncul menaiki selendang terbang, yang dapat mengeluarkan sesuatu dari seruling yang tergantung di lehernya.

Ternyata bukan mimpi.

Alibaba menunduk mengkerutkan kening.

—Seharusnya ia tidur lebih lama lagi. Sampai pagi mungkin.

"Nah." Anak tersebut—yang Alibaba ingat namanya Aladdin—berbicara, dan selendang terbang yang mereka naiki berhenti. Aladdin memutar tubuhnya, menatap kepada Alibaba dengan tersenyum.

Namun senyumnya itu...

"Alibaba-kun... coba kau lihat ke bawah."

Alibaba mengintip sejenak, dan ia terkaget begitu mengetahui bahwa mereka tengah berada sangat jauh di atas langit, ketika melirik ke bawah, matanya menangkap pemandangan air terjun yang begitu besar dan deras mengalir, sementara rawa-rawa terlihat mengitarinya, pohon-pohon yang mengelilingi air terjun tersebut terlihat tajam, baik dahan, ranting, maupun daunnya. Bebatuan besar dan kokoh menyebar di air terjun tersebut.

Otak Alibaba tidak berpikir dua kali bahwa jika ia jatuh sekarang, pasti dia akan mati.

"Terlihat menyeramkan, Alibaba-kun? Apalagi jika kau mengetahui kekuatan airnya. Air keruhnya dapat meracuni setiap bagian tubuh manusia yang menyentuhnya." Aladdin melanjutkan perkataan.

Mutlak pasti mati jika jatuh ke sana.

"Dan sekarang, aku akan membuat penawaran denganmu." Aladdin tersenyum, tangannya mengulur. "Kau tahu, aku bisa mendorongmu agar jatuh dari atas sini, kapan saja."

Dheg.

"A-apa?"

Kedua bola mata Aladdin tertutup sementara senyum yang ia sunggingkan melebar. "Kecuali jika kau mau menyetujui penawaranku, tentunya."

Tentu tidak ada pilihan lain selain menyetujui penawaran itu 'kan?

"Apa penawarannya?"

"Yah, mulai hari ini... kau akan bersamaku terus. Kau tidak boleh pergi, ataupun mencoba kabur dariku. Kau tahu konsekuensinya." Aladdin sedikit menggerakkan seruling yang tergantung di lehernya, membuat Alibaba meneguk ludah.

Dengan gerakan cepat, tiba-tiba saja Aladdin mendorong tubuh Alibaba, membuat kakinya tidak menapak lagi kepada sorban terbang tersebut.

"Kh—!" Alibaba terkaget bukan main. Matanya membelalak, tubuhnya jatuh melawan gravitasi dengan cepat.

Ia pasti mati. Ia pasti mati. Matimatimati—

"Tidak!" Alibaba berteriak, merasakan bahwa matanya memanas mengeluarkan air mata. Tangan Alibaba bergerak-gerak menjulur, namun tahu bahwa usahanya sia-sia. Tidak ada benda yang bisa dicapai untuk menahannya. Ia menggigit bibir bawahnya, menatap kepada Aladdin yang masih tersenyum memandangi dirinya—

yang tengah jatuh. Yang tengah diambang kematian.

"Berikan aku dirimu, Alibaba-kun! Pikiranmu, tubuhmu, jiwamu—berikan semua itu. Dan akan aku pastikan bahwa kau akan baik-baik saja." Aladdin berteriak tiba-tiba.

Itukah penawarannya?

Sejenak Alibaba menutup matanya, memikirkan semua hal dalam hidupnya.

Ia... belum melihat dunia ini lebih banyak—jika memang akhirnya ia harus terikat dengan anak ini—

Alibaba membuka kelopak matanya.

maka biarlah!

"Ambil saja—semuanya! Aku akan berikan kepadamu..." Alibaba berteriak keras.

Dan tiba-tiba saja Aladdin sudah menggenggam telapak tangannya. Anak itu tersenyum lagi, kemudian menaikkan Alibaba ke sorban terbangnya.

"Kau tahu, Alibaba-kun? Aku bohong soal air itu sebenarnya." Aladdin bergumam, dan ia mendaratkan selendangnya di dekat air terjun tersebut. "Air ini jernih dan sama sekali tidak beracun. Ini adalah sumber mata air yang mengalir jauh terbawa ke Negeri Sindria, Balbadd, Laem, maupun Kou. Ini adalah air yang digunakan setiap orang untuk hidupnya."

Alibaba terkejut.

Bisa-bisanya anak ini—

"Tapi kau sudah mengatakannya Alibaba-kun." Aladdin tersenyum, tangannya menyentuh leher Alibaba dan perlahan turun ke dadanya. "Mulai detik ini, kau menjadi milikku."

Dan entah apakah Alibaba harus senang (karena masih hidup) ataukah sedih (karena tiba-tiba terikat oleh seorang anak yang baru saja dikenalnya).


Entry 1.

Aladdin dan Alibaba.

(Entri—kata atau frasa beserta penjelasan maknanya dengan tambahan penjelasan berupa kelas kata, lafal, etimologi, contoh pemakaian dan sebagainya.)


.

.

.

"Kita akan bermalam di sini?"

Pertanyaan itu dilontarkan oleh Alibaba Saluja ketika mereka mendarat di sebuah hutan lebat dengan cahaya bulan yang minim. Bola mata kuningnya tidak lepas menatap Aladdin, bocah yang dengan seenaknya menetapkan dirinya sebagai—milik bocah tersebut.

Aladdin menatap Alibaba dengan pandangan remeh. "Wajahmu terlihat takut... kenapa? Apa karena substansi Pangeran sudah terbuang darimu jadi kau takut tidak akan mendapat kehidupan yang layak lagi jika bersamaku?"

Deg.

Perkataan anak tersebut... menusuk.

"Atau kau tidak terbiasa bermalam dalam hutan yang gelap, menyeramkan, yang sewaktu-waktu dapat memunculkan makhluk yang akan memakanmu?" Aladdin melanjutkan perkataan seraya memetik daun-daun besar yang menyebar di hutan itu, kemudian menjejerkannya di tanah. "Pikiranmu mungkin menanyakan kenapa kita tidak berhenti di suatu kota lalu menginap di salah satu penginapan di sana, begitu? Ahaha."

Semburat merah menghiasi wajah Alibaba. Jari-jari telapak tangannya menguras karena ia mengepalkan tangan dengan kuat, ia menggertakan gigi kemudian berbalik memunggungi Aladdin.

"Kau keluar dari Istana Balbadd dengan membawa ego-mu dan baju yang terpasang di tubuhmu. Tapi tidak mempunyai persiapan seperti membawa uang atau senjata. Jadi sekarang kau tidak bisa menuntut hak akan kehidupan mewah yang dulu kau jalani." Aladdin berkata seraya merebahkan diri di atas dedaunan yang telah tersusun rapi.

"Aku tidak menuntut hak!" Alibaba berteriak ketus. "Memangnya—memangnya kenapa kalau aku dulu Pangeran? Apa kau pikir aku akan merajuk seperti anak kecil meminta semua yang diinginkan? Kau pikir aku manja?"

"Tidak." Aladdin tertawa keras. "Kau tidak manja. Kalau kau manja, kau tidak akan mempunyai keberanian untuk menginjakkan kaki ke luar Istana."

Alibaba terdiam. Sulit untuk mengidentifikasi apakah perkatan Aladdin tadi pujian atau... fakta. Dengan perlahan Alibaba menengok ke belakang, mendapati bahwa Aladdin sudah tertidur memunggunginya.

Kabur?

Sekarang... adalah kesempatan, bukan?

Tapi ke mana?

.

.

"Kau memikirkan untuk kabur?"

Alibaba dengan segera menengok ke arah Aladdin. Bocah itu masih tidur memunggunginya. "Ti-tidak."

"Baguslah." Suara Aladdin terdengar parau, sepertinya ia berbicara diselingi dengan menguap. "Toh kau tidak akan bisa kabur dariku juga."

Hening.

Mulut Alibaba mengatup. Matanya menerawang memandang jajaran pohon yang terdapat dalam hutan itu. Langit malam tidak begitu kelihatan dikarenakan daun-daun besar dan pohon-pohon menjulang menyeruak menutupi semua pemandangan langit.

Ya.

Perkataan anak itu... benar apa adanya.

Ia tidak akan bisa lari.

Alibaba memilih untuk melakukan hal yang sama, memetik daun-daun besar, kemudian menjejerkannya ke atas tanah lembut, lalu berbaring di atasnya.

Inilah kehidupannya sekarang.

Kehidupannya yang baru.

(Selamat datang, rutinitas yang tidak biasa.)

.

.

Dedaunan bergesek menyentuh dahan-dahan yang melekat di pohon. Menimbulkan bunyi berisik khas yang disebabkan oleh tiupan semilir angin. Suhu udara terasa semakin dingin, dan Alibaba Saluja mendapati bahwa tubuhnya menggigil bukan main karena kedinginan.

Berkali-kali ia mengerjapkan mata, mendapati bahwa debu-debu pasir yang terbawa angin memasuki kedua matanya. Kedua tangannya memeluk dirinya sendiri, sementara lututnya tertekuk, posisinya kini tengah melingkar.

Hidungnya telah memerah diakibatkan oleh udara yang tidak biasa ini, dan ia menatap kepada Aladdin yang tengah tertidur. Alibaba heran... kenapa anak itu terlihat baik-baik saja.

Ah, anak tersebut sudah biasa, sudah biasa akan kehidupan liar yang menyatu dengan alam.

"Tidak bisa tidur?"

Alibaba segera menengok ke arah Aladdin (lagi) dan kini Aladdin sudah tidak memunggunginya, melainkan menatapnya tajam dengan kedua bola mata safirnya. "Dingin?"

Alibaba mengangguk.

"Kemari." Aladdin menjulurkan tangannya. "Sini."

Awalnya Alibaba hanya menatap Aladdin dengan ekspresi bingung. Namun akhirnya dia bergeser mendekat, ketika jaraknya dengan Aladdin hanya beberapa inci, Aladdin langsung mengunci lehernya, memeluk tubuh Alibaba erat.

"A-Aladdin?" Alibaba menatap Aladdin bingung.

"Lingkarkan tanganmu, ke tubuhku juga. Mendekatlah."

Walau sedikit canggung, toh akhirnya Alibaba menurut juga. Kedua tubuh mereka yang tengah berdekatan membuat suhu tubuh mereka menghangat, dan mau tidak mau Alibaba mengakui bahwa ia tidak begitu merasakan dingin lagi.

Alibaba menaikkan sedikit dagunya, dan tiba-tiba saja pandangannya bertemu dengan Aladdin—yang tengah menatapnya dalam. Entah kenapa semburat merah muncul lagi di wajah Alibaba, walau kali ini berbeda maknanya.

Belum pernah Alibaba bersentuhan dan berpandangan sedekat itu dengan seseorang.

Degup jantung Alibaba terasa semakin keras, entah disadari atau tidak, tapi Alibaba terlihat risih karena berusaha menenangkan degup jantungnya. Dan hal itu membuat Aladdin tersenyum.

"Kau tahu? Kita akan melakukan yang lebih dari ini, nanti." Aladdin bergumam, membuat Alibaba yang tengah mengalihkan pandangan menjadi menatapnya lagi.

Dan ketika mata mereka bertemu kembali, Alibaba harus menahan keinginannya untuk berteriak, karena tiba-tiba bocah itu sudah mempertemukan kedua bibir mereka.


.

.

.

(Karakter keenam.)


Ia tidak dapat memaafkannya, tidak akan pernah.

Orang itu—yang telah memanfaatkannya, agar ia mau membuat Lady Scheherazade untuk mempertimbangkan 'keputusan itu'—adalah seorang yang cerdik. Seorang yang amat cerdik, yang mampu mengendalikan permainan, yang mampu memanfaatkan siapapun untuk mencapai misinya.

Tidak bisa... tidak bisa... dimaafkan.

Meskipun sebenarnya Lady Scheherazade setuju akan keputusan itu... namun ia—tidak akan pernah—seharusnya tidak begini. Kalau saja dari awal ia tahu maksud tersembunyi dari semua rencana orang itu—ia tidak akan mau membantunya.

Tidak berdasar.

Sebenarnya kekesalannya kepada orang itu sama sekali tidak berdasar. Tentu—karena bagaimanapun juga, pada akhirnya Lady Scheherazade memang mempertimbangkan penawaran 'keputusan itu' dengan matang sehingga akhirnya setuju.

Kekesalannya sama sekali tidak berdasar karena 'keputusan itu' tidak mempunyai sebuah artian menuntut paksa penyetujuan.

Tidak ada unsur paksaan. Semua berjala lancar dengan mempertimbangkan baik dan buruk dari segala sisi, dengan menimbang unsur-unsur kerugian maupun kebaikan yang terjadi, tidak ada hambatan, dan Lady Scheherazade telah setuju terhadap 'keputusan itu'.

Tapi tetap saja ia merasa bahwa dirinya telah dimanfaatkan oleh orang itu.

Dengan seenaknya orang itu pergi begitu Lady Scheherazade menyetujui keputusan tersebut. Dengan seenaknya orang itu menghilang dari hadapannya—dari ia yang telah berhasil direbut hatinya.

Ia adalah penyihir. Salah satu penyihir yang termasuk dalam jajaran penyihir kuat.

Namun—entah kenapa semua teori itu runtuh begitu ia dengan mudahnya terpikat akan pesona yang dimiliki orang itu.

Maka kini ia berjalan, diiringi dengan kegelapan malam, hanya untuk satu tujuan. Mencari orang itu, orang yang telah berhasil membuatnya tertarik itu. Orang yang tidak akan pernah bisa ia maafkan, karena telah berani-berani memanfaatkannya. Orang itu... Aladdin.

(—Nama sang penyihir itu, Titus Alexius.)


.

.

.

.

"G-gah!" Alibaba Saluja terkejut. Tubuhnya seharusnya bereaksi untuk segera menjauh, mundur ke belakang, atau melompat lari begitu otaknya mencerna apa yang Aladdin lakukan terhadapnya. Namun tidak bisa, tubuhnya terkunci karena Aladdin mengkaitkan lengannya kepada lehernya.

Sekali lagi, Aladdin mencium bibir Alibaba, membuat Alibaba menutup kedua matanya rapat-rapat. Dan kini ciuman itu beralih, menjadi jilatan, lidah Aladdin mengusap bibir Alibaba—membuat tubuh Alibaba merinding. Turun ke dagu, hingga sampai kepada leher.

"A-Aladdin berhenti!" Alibaba berteriak ketika tiba-tiba saja Aladdin melahap lehernya, menjilati—sampai menggigit bagian sensitifnya. Alibaba gemetaran bukan main. Tenaga anak itu kuat, ia sulit sekali untuk melepas cengkeraman Aladdin kepada tubuhnnya.

Wajah Alibaba memerah, merasakan sensasi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Gah!"


To Be Continued...


Apa? Jangan liatin saya kayak gitu. 8'D

Cliffhangerkah? Sebodo amat. X'DD #plak

Eniwei saya minta maap sebesar-besarnya karena ini fic itu multi-chapter... ;v; Habis saya itu kalo kepikiran plot fic pasti multichap terus. Tapi don't worry... saya mau mempersingkat alur fic ini sehingga jadi cuma beberapa chapter doang... xD

Bahasan ficnya... mm...

Kira-kira ada beberapa cerita kepisah yang saya terangin di atas ya? Jangan khawatir, nanti semua cerita itu sebenarnya ketarik satu sama lain kok di akhir. Setiap tokoh saya jabarin pendeskripsian singkat tentang kehidupannya selama ini, dan seperti yang tertera di warning; 'modified canon'. Jadi kalau misalnya bingung kok Alibaba dari kecil udah tinggal di Istana dan bukannya dia dulu diasuh ama Ibunya di lingkungan 'slum', ya, itu semua karena emang ini pake intrinsik modified canon. xD

Dan Jamilnya jugaa... anggep aja itu di Balbadd yahhh... ;A;

Masalah OOC, emang saya akuin, pada OOC banget. Terlebih para Maginya... *nunjuk Aladdin sama Judal* Abisnya saya masih percaya bahwa dibalik wajah anak-anaknya Aladdin pasti ada sifat angkuh tersembunyi, dan dibalik sifat slengean Judal ada kerapuhannya. ;v;

Tokoh fic ini masih muncul kira-kira dua atau tiga orang lagi untuk jadi main characternya (Karakter ketujuh, kedelapan, dan kesembilan.) Walau tetap aja, yang akan aku banyak ceritain itu AlaAli. xDD Yang jelas semua Magi bakal ada dan dua orang dari Kou empire bakal muncul lah. X) *spoiler* #krik

Pair di fic ini bakal banyak... banget. Sherhiuoush... ada cinta segitiga, segiempat, segilima, segiduableas *bujugh* #plak Rated M untuk fic ini hanya jaga-jaga, tidak akan ada lemon secara explisit, saya hanya menyelipkan lime. ;v; #plak

Dan belom keliatan ya main problem fic ini? ;v; Uhuhu itu teasernya ada di penjelasan mengenai Titus tentang 'keputusan itu'... #ngasihbocoran #plak

Oalah... eniwei... review? ;v;

2012 © NakamaLuna~