Warning: random timeline—AR, nggak jelas, judul dan summary agak nggak nyambung sama isinya, dan (semoga nggak) OOC. No yaoi.
Disclaimer: Kenapa harus ditulis berulang-ulang? -_- Nggak cukup ya lihat icon di kiri atas?
Keindahan Ilusif
Azca Sky
Rasanya kegelapan malam saja tak cukup untuk menghentikan matanya dari melihat. Bukan salahnya jika ia dilahirkan dengan kemampuan lebih—ia hanya memanfaatkannya.
Kepakan sayap putih memotong sinar sang purnama. Entah kemana.
Burung hantu.
Kyoya Hibari memandang keluar halaman rumahnya dengan curiga. Tidak, bukan pada burung hantu yang bertengger di dahan pohon persiknya. Bukankah normal bagi makhluk seperti burung hantu untuk keluar dan bersiap, menajamkan matanya dan mencari mangsa?
Oh, apa itu artinya rumah sang penegak disiplin mulai dihuni tikus?
Tidak, satu-satunya kecurigaannya adalah burung hantu itu mengincar unggas kuning di tangannya—yang mana sangat mustahil. Ada jarak beberapa meter yang bisa digunakan peliharaan kecilnya untuk terbang, melarikan diri. Belum lagi dinding kaca di hadapannya. Pemangsa dengan insting yang masih normal tak akan mengambil resiko ini.
Lagipula, bukankah ada Hibari yang jelas-jelas berdiri di sana, mengeluarkan tatapan mematikan yang menggetarkan?
Lalu, untuk apa burung hantu itu di sana?
Atau, untuk lebih tepatnya, apa yang sebenarnya Hibari pikirkan? Kenapa masih berdiri di sana, memandangi bulu-bulu cokelat sang burung hantu tanpa berbuat apa-apa?
Dua pertanyaan itu, atau tiga jika kau menghitung yang terakhir, terjawab oleh helaian bulu sayap berwarna putih yang melayang jatuh di antara keduanya.
Pelan,
seakan memilih untuk sengaja mempertontonkan setiap mili gerakannya, dalam kilasan waktu super-lambat.
Lembut,
bagai mementaskan tarian balet paling indah. Melangkah, berputar, melompat…
Rapuh—
ingin rasanya ia menengadah dan meraih, namun takut kontak dengan telapak tangannya akan membuat helaian-helaian itu hancur berserakan. Jadi,
Ia membiarkan semua helai itu jatuh. Menempelkan sebelah tangannya ke kaca yang dingin, menatap—menikmati—tarian yang ditarikan tiap helainya. Hingga akhirnya tanah menyambut mereka semua.
Mata abu-abunya meredup, sebuah desahan sunyi terlepas, seakan dia telah sengaja menahan napasnya sejak tadi—seakan. Tidak mungkin, kan, seorang Kyoya Hibari terpikat pada pertunjukan singkat helaian bulu sayap tak berarti. Harga dirinya tak akan membiarkannya.
Atau tidak?
Sang Ketua Komite Kedisiplinan tak pernah percaya pada intuisi, mimpi, ramalan, atau semacamnya. Baginya, itu tak lebih dari gangguan bagi pikirannya, kerikil yang harus segera disingkirkan. Lagipula, itu semua tak pernah berfungsi baik dalam kehidupan nyata.
Dia adalah karnivora. Jika harus ia menyerahkan keputusan pada suatu bagian yang tidak dapat diaturnya, biarlah itu menjadi insting. Naluri binatang buas haus darah, ada untuk mempertahankan hidupnya. Tidak terikat pada apapun, siapapun.
Lalu?
Mengapa sekarang ia menyentakkan kepalanya ke atas—gerakan yang hanya akan dibuat oleh herbivora yang menyadari kehadiran pemangsanya—seakan merasa dipanggil? Seakan ia peduli pada siapa—atau apa—yang memanggilnya.
Dan melihat—
—kepakan sayap putih yang memotong sinar sang purnama.
Jangan tanya bagaimana ia tahu sepasang mata dwiwarna sedang menatap kegelapan—ia sendiri pun tak tahu. Namun ada satu hal yang jelas di pikirannya, sejelas refleksinya di dinding kaca,
"Rokudo Mukuro,"
.
.
a/n oke, aku tahu ini nggak jelas. Cerita macam apa pula ini? Semoga aku nggak bikin marah guru bahasa Indonesia. Bagi yang sedang belajar bahasa Indonesia tentang cerpen, atau EyD, atau apa, ini sangat tidak baik untuk ditiru.
Harapan terbesarku, semoga cerita ini tidak pernah dibaca.
Tapi aku berterimakasih (dan minta maaf) pada sekian banyak author yang gaya menulisnya kucuri dan kugabung begitu saja dengan jeleknya. Bagi yang merasa, maaf, aku nggak bertanggung jawab.
