—Sudah berapa kali aku melihat pemandangan ini? Sudah berapa kali... aku ada di sini?
Seorang perempuan dengan rambut [hair color] berpikir dengan mata tertutup. Dia terbaring di ranjang putih yang ada di sebuah ruangan dengan warna yang sama. Ruangan yang sering dia datangi, sampai dia memikirkan untuk menjadikan ruangan itu sebagai rumah ketiganya. Ya, ketiga—karena Mekakushi-dan adalah rumah keduanya.
Mata [eye color]nya berubah merah untuk sesaat, sebelum kembali ke warna semula.
—Mereka akan datang sebentar lagi, kurasa?
"[Name]!"
"[Name]-chan!"
"[Name]-san!"
"Ah... kalian datang tepat waktu." [Name] tersenyum kecil, mendengar suara semua anggota Mekakushi-dan yang terlihat khawatir dengan wajah yang pucat—tidak sepucat perempuan itu, tentunya.
"[Name], kamu baik-baik saja?" tanya Kano dengan khawatir. Yang lainnya tidak terkejut dengan ini, sudah beberapa kali melihat Kano dengan wajah khawatir setiap [Name] masuk rumah sakit. Kano selalu melepaskan "topeng"-nya setiap bersama [Name], sesuatu yang telah dijelaskan oleh laki-laki itu sebagai bagian dari sebuah perjanjian antara mereka berdua.
"Tidak perlu khawatir. Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik saja, Shuuya."
—Pembohong. Semua yang dikatakan seorang pembohong... hanyalah kebohongan.
"...jangan berbohong." Kano berkata sambil menatap [Name] dengan tajam. Walaupun dia sangat senang saat [Name] memanggil nama depannya, dia tidak akan goyah. "Kamu pingsan tiba-tiba saat bekerja, jadi tidak mungkin kamu baik-baik saja."
"Benarkah begitu?" [Name] bertanya sambil tersenyum, membuat Kano tanpa sadar mengepalkankan tangannya. "Apa kamu benar-benar mengetahuinya—ah, maaf. Itu tidak sopan dariku." [Name] memotong perkataannya dan menutup mulutnya dengan tangan kanannya, membuat Kano bisa melihat selang IV yang terhubung dengan tangan perempuan itu.
—Kebohongan lainnya yang keluar dari mulutku. Aku tahu kalau kamu mengenalku dengan baik, Shuuya. Aku hanya ingin... membuat jarak di antara kita berdua, kurasa.
Kano terdiam, masih mengepalkan tangannya dengan erat. Melihat suasana tegang yang ada di antara mereka berdua, yang lainnya pergi keluar, dengan Kido mengatakan "Kami akan kembali nanti" dan menutup pintu ruangan dengan nomor 310 itu. [Name] mengalihkan pandangannya ke jendela yang mengarah keluar, sedangkan Kano mengambil kursi di pinggir ruangan dan menaruhnya di sebelah ranjang perempuan berambut [hair color] itu, sebelum duduk dan menghela nafas.
"[Name]... tolong jangan berbohong kepadaku sekarang." tanya Kano sambil menunduk, dengan lembut menggenggam tangan [Name] yang kelihatannya sama sekali tidak keberatan dengan sentuhan itu. "Aku mengenalmu dengan baik untuk tahu kalau kamu berbohong."
Kalau Kano melihat [Name] saat itu, dia akan melihat bagaimana wajah [Name] yang terlihat terkejut.
—Tapi kurasa aku yang salah. Aku yang membuat kita... terlalu dekat.
—Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh—seharusnya seperti itulah hubungan kita berdua. Sebuah hubungan yang membuatmu tidak akan sedih saat aku menghilang.
"Mengenal... kamu bilang? Setelah dipikir lagi, pertemuan pertama kita bukan sesuatu yang baik, benar?" [Name] kembali melihat Kano, pertanyaannya membuat laki-laki berambut pirang itu sedikit memerah. "Aku masih mengingat bagaimana kamu adalah anak laki-laki yang sama sekali tidak mau didekati, Shuuya."
"U-Uh... tolong jangan membicarakan itu, [Name]." Kano berkata sambil menarik tudung jaketnya, membuat [Name] tertawa kecil.
"Aku selalu mendekatimu, tapi kamu selalu menghiraukanku, dan bahkan membentak saat aku membuatmu merasa terganggu." [Name] tersenyum lebar saat melihat wajah Kano yang semakin merah. "Dan juga... saat hari itu."
Kano berubah suram, mengeratkan genggaman tangannya. "Aku benar-benar menyesal... kamu tahu?"
"Tentu saja aku tahu." [Name] berkata sambil menutup matanya. "Tapi... itu sama sekali bukan salahmu, Shuuya. Kamu tidak tahu kalau mobil itu akan lewat pada saat itu."
"Tapi kamu tahu." Kano berkata dengan nada rendah, perkataanya membuat [Name] membuka matanya yang terlihat lelah. "Aku tidak tahu saat itu, tapi sekarang aku tahu kalau kamu punya kekuatan mata—kekuatan untuk melihat masa depan."
"Kekuatan yang benar-benar berguna untuk menyelamatkanmu."
—Untuk pertama kalinya dalam hidupku... aku merasa kalau kekuatanku bukanlah sebuah kutukan.
—Melihat Shuuya yang terluka adalah sesuatu yang tidak kuinginkan.
"Tapi kekuatan yang membuatmu terluka. Kekuatan yang membuatmu menjadi seperti sekarang." Kano berkata dengan suara yang agak keras; sepertinya laki-laki itu berusaha untuk tidak berteriak di rumah sakit. "Kutukan, kamu bilang—"
"Tolong jangan membahas ini untuk sekarang, Shuuya. Aku ingin menikmati hari ini dengan tenang. Bisa kamu memenuhi itu?" [Name] berkata kepada Kano yang mengangguk dengan perlahan, berusaha menghilangkan emosinya.
"Tapi saat masih kecil, kamu benar-benar kekanak-kanakan, [Name]. Aku tidak akan menyangka kalau [Name]-chan yang selalu tersenyum bodoh akan berubah menjadi [Name] yang benar-benar cantik dan mempesona." Kano berkata sambil tersenyum—sebuah senyuman asli—kepada [Name], membuat perempuan itu tertawa kecil dengan rona merah menghiasi pipinya.
"Jadi ini balas dendam atas perkataanku tadi?" tanya [Name] sambil tersenyum senang. "Kamu memang orang yang tidak mau kalah, Shuuya. Kamu sama sekali tidak berubah, masih seperti saat kita masih kecil."
"Ehh? Aku sudah banyak berubah, [Name]!" Kano memprotes perkataan itu dengan nada kekanak-kanakan. Kalau yang diinginkan [Name] adalah hari yang tenang, maka dia akan melontarkan perkataan yang menyenangkan.
Dan dengan sebuah pertanyaan dari perempuan berambut [hair color] itu, kesenangan mereka hancur dalam hitungan detik.
"Ne, Shuuya... apa kamu akan sedih kalau aku pergi?" [Name] bertanya dengan tiba-tiba sambil memiringkan kepalanya, berusaha membuat pembicaraan serius itu menjadi lebih ringan. Walaupun begitu, Kano menangkap ini, dan laki-laki berambut pirang itu terbelak.
"A-Apa yang kamu bicarakan, [Name]? Kamu baik-baik saja, ingat?" Kano berkata, suaranya yang gemetar bisa didengar dengan jelas oleh [Name].
"Aku tahu itu, baka." [Name] berkata sambil tersenyum lebar dan menyenggol bahu Kano dengan bahunya sendiri, tapi usaha untuk meringankan suasana itu sama sekali tidak berhasil. "Aku hanya bertanya."
—Benar... hanya "bertanya" saja.
"Tentu saja aku akan sedih! Kido, Seto—semua anggota Mekakushi-dan juga akan merasa sedih! Jadi jangan berbicara seperti itu, [Name]!" Kano berkata dengan mata yang mulai kabur karena air mata yang menggenang. "Kamu akan baik-baik saja—aku yakin kamu akan baik-baik saja! Kalau kamu yakin, kamu pasti akan baik-baik saja!"
—Kalau saja bisa semudah itu.
"..."
"[N-Name]...?" Kano bertanya dengan khawatir dan berdiri dari kursinya dengan tiba-tiba saat [Name] tidak mengatakan apa-apa. Dia melihat [Name] yang mulai menurunkan kelopak matanya.
"Aku benar-benar lelah, Shuuya. Paling tidak, biarkan aku tidur sebentar saja, oke?" [Name] bertanya—bukan, lebih tepatnya berkata kepada Kano. Dia tidak akan menerima jawaban Kano setelah ini. "Sebentar... saja."
—Lelah akan hidup ini. Lelah akan keadaanku. Lelah... akan bagaimana aku selalu membuatmu khawatir.
"Tidak, [Name]! Jangan tutup matamu!" Kano mulai berteriak dengan histeris, membuat [Name] yakin kalau yang lainnya bisa mendengar laki-laki berambut pirang itu walaupun mereka ada di luar. "Kumohon—aku mohon jangan tutup matamu!"
—Paling tidak, aku bisa bersama semuanya di saat terakhir. Itu membuatku senang.
Dengan pikiran itu dan matanya yang berubah merah, [Name] tersenyum dalam pikirannya. Dia bisa mendengar langkah banyak orang yang masuk dengan cepat ke dalam ruangannya, dan kekuatannya membuatnya semakin yakin kalau orang-orang yang masuk adalah Kido dan yang lainnya.
"Maafkan aku, semuanya. Sepertinya aku akan pergi lebih dulu." [Name] berkata... walaupun dia sendiri tidak yakin apakah suara lemahnya bisa didengar oleh yang lain. Dia sudah tidak bisa mendengar dengan baik, dan titik-titik berwarna hitam mulai memenuhi pandangannya.
"[NAME]! KUMOHON!"
—Aku sama sekali tidak menyesali hidupku setelah bertemu denganmu... Terima kasih banyak, dan juga...
"Selamat tinggal... Shuuya."
"Ne... Shuuya-kun..." [Name] mulai berbicara, walaupun perkataannya tidak terlalu jelas di balik masker oksigen yang terpasang di wajahnya. "Kamu temanku... benar?"
"...Ya. Kamu temanku, [Name]-chan." Kano berkata dengan pelan, berusaha menahan air mata yang mengancam jatuh dari matanya. Dia menggenggam tangan anak perempuan itu dengan erat, wajahnya menunjukkan kalau dia sangat menyesal.
"Teman... tidak menyimpan rahasianya sendiri, benar? Jadi... jangan pernah... berbohong di depanku lagi, oke?" [Name] bertanya sambil tersenyum. "Tunjukkan kepadaku... wajah senangmu yang sebenarnya setelah aku keluar dari rumah sakit, Shuuya-kun..."
"A-Aku mengerti..." Kano berkata sambil mengusap air matanya. "Setelah k-kamu keluar dari rumah sakit, [Name]-chan!"
"Tunggu aku... oke? Jangan mengingkari janjimu..." [Name] berkata sambil mengulurkan kelingking kanannya ke arah Kano yang mengaitkan kelingking kanannya ke sana. "Kalau kamu mengingkarinya... aku akan marah..."
Kano mengangguk dengan cepat, air matanya berjatuhan. "J-Janji!"
"Itu... bagus..." [Name] berkata, sebelum menutup matanya dan tersenyum kecil. "Shuuya..."
