Seokjin mengernyit.
—menyadari ada hal yang aneh pada gambar milik Jihyun.
.
.
Bangtan Sonyeondan (c) BigHit, their own families and God
Bully (c) americhxno
.
.
"Wah— ini Yoongi, 'kan?" Seokjin menunjuk salah satu goresan pensil milik Jihyun yang tertuang di kertas putih. Goresan yang sangat khas; rambut acak-acakan milik Yoongi, dan mata yang berbentuk bulan sabit—ekspresi ketika Yoongi tertawa. Seokjin tidak tahu Jihyun mendapat bakat seperti itu dari siapa—mengingat Jimin maupun Yoongi tidak terlalu hebat dalam bidang menggambar.
"Iya, itu Papa." balas Jihyun seraya mengangguk, kemudian menggoreskan beberapa garis di samping gambar Yoongi.
"Yang itu? Yoonhee? Kucing peliharaanmu?"
Jihyun sekali lagi mengangguk sebagai jawaban, lantas tertawa senang ketika melihat gambarnya selesai. Seokjin mengernyitkan dahinya—hampir menyatukan alisnya.
—ketika menyadari ada sesuatu yang kurang pada gambar Jihyun.
.
"Jimin tidak digambar?"
Jihyun merenggut mendengarnya. Kemudian menggelengkan kepalanya cepat, "Tidak mau. Aku benci Appa."
Seokjin hampir saja tersedak ludahnya. Dia... tidak salah dengar, 'kan? Memangnya ada perihal apa yang membuat Jihyun—anak adopsi mereka—membenci Jimin? Seingatnya, walaupun bukan betul-betul anaknya, Jimin begitu menyayangi Jihyun.
"Kenapa?" Akhirnya, pertanyaan itu lolos juga dari bibirnya.
"Karena semalam aku melihat Appa membully Papa." sahut bocah lelaki itu, seraya mendengus dan kemudian bersandar pada Seokjin—yang sedang main di rumah Jimin dan Yoongi. Ah, juga Jihyun.
...Membully?
Serius?
Ini merupakan fakta yang sulit dipercaya. Jimin itu kan pemuda yang terobsesi dengan pemuda pucat bernama Yoongi. Sebegitu terobsesinya kah pemuda itu sampai-sampai tega membully suaminya sendiri?
"Membully bagaimana?"
"Semalam, Jihyun keluar kamar karena merasa haus," jawab bocah tadi, pandangannya menggawang melintasi dinding kamarnya sendiri, "Saat kembali, Jihyun melihat Appa menyuduti Papa di kamar mereka. Appa juga menggigit leher Papa, padahal Papa sudah bilang jangan!" lanjutnya—sangat berkoar-koar, "Jihyun takut kepada Appa malam tadi, maka Jihyun segera berlari ke kamar Jihyun sendiri."
Berganti Seokjin yang sweat-drop sekaligus face-palm.
.
"Oh ya?" balas Seokjin, dengan nada yang di buat antusias, "Saat pagi tadi, mereka bagaimana?"
Lagi, pandangan Jihyun menggawang, mengingat-ingat bagaimana pagi tadi orangtua tirinya berinteraksi, "Mereka seperti biasa, kok. Jihyun juga sempat melihat Appa memeluk Papa."
"Yang semalam, itu bukan membully," ujar Seokjin, mengusap puncak kepala milik Jihyun, "Bagaimana, ya, cara menjelaskannya? Itu seperti bentuk penyampaian kasih sayang antara sesama orang dewasa, kurasa?" balas Seokjin sedikit ragu—melakukan seperti yang dilakukan Jimin kepada Yoongi saja belum pernah. Dua sejoli itu 'kan melangkahi dirinya yang notabenenya lebih dewasa dari mereka.
"Oh ya?" Kini berganti Jihyun yang membalas dengan antusias.
Seokjin mengangguk, "Nah, sekarang Jihyun gambar Jimin-appa, ya?"
Jihyun ikut mengangguk, kemudian dengan segera meraih kertasnya dan menggoreskan garis-garis di atas kertas tersebut. Dalam hati, Seokjin mengutuk pasangan yang merupakan sahabat dekatnya semasa sekolah dan kuliah dulu.
.
.
Jimin melirik Yoongi yang sudah terlelap di ranjang mereka. Ia baru saja tiba di rumah tepat dini hari—lembur di perusahaan. Ketika mengingat pekerjaannya, Jimin berbalik dan melangkah menuju ruang kerjanya. Dahinya mengernyit ketika melihat dua kertas tertempel di meja, dan dengan segera diraihnya dua kertas tersebut.
Ia bisa melihat gambar dirinya, Yoongi juga Yoonhee di kertas yang lebih besar. Bibirnya mengulas senyum tipis ketika melihat hangul Jihyun tertulis di sudut kanan bawah kertas tersebut. Iris obsidiannya beralih ke kertas yang lebih kecil—hanya ada beberapa huruf hangul disana. Usai membaca, kedua pipi segera merona.
"Maafkan aku, Seokjin-hyung~"
.
.
"Aku tahu kau begitu bernafsu terhadap Yoongi. Tetapi tetap ingat keberadaan Jihyun. Jangan lagi melakukan hal tidak senonoh pada suamimu itu, kalau tidak ingin Jihyun berasumsi yang tidak-tidak.
—Kim Seokjin."
.
.
.
